Kiara Parvati merasa jantungnya berdegup kencang saat Dalvin Pramoedya mengajaknya ke ruang yang lebih pribadi di dalam villa mewahnya. Ruangan itu didekorasi dengan gaya yang sangat elegan, penuh dengan perabotan mahal dan nuansa yang tenang. Namun, suasana hati Kiara terasa berat, mengingat pertemuan penting yang akan datang.
Dalvin mengantarnya menuju sebuah ruangan di sisi lain villa, di mana ia memperkenalkan Kiara pada seorang wanita cantik dengan rambut pendek. Wanita itu terlihat sangat lemah dan duduk di kursi roda, didampingi oleh beberapa perawat yang berdiri di sekelilingnya. Meski wajahnya cantik, tatapannya tampak penuh kesedihan dan kesakitan. "Kiara, ini adalah Irene, istri pertamaku," Dalvin memperkenalkan dengan suara lembut. "Irene, ini adalah Kiara, yang akan menjadi istri keduaku." Irene menatap Kiara dengan tatapan yang tidak bisa diartikan. Ada campuran antara keputusasaan dan ketenangan di matanya. Dengan suara yang hampir tidak terdengar, Irene berkata, "Selamat datang, Kiara." Kiara membalas dengan senyum canggung, tidak tahu harus berkata apa. Akan tetapi ia yakin sepenuhnya bila wanita itu benar-benar sakit saat menerima kedatangannya. "Terima kasih Nyonya Irene." tutur Kiara lirih. Irene tidak banyak berkomentar lagi. Dia menundukkan kepalanya dan mengusap air mata yang mengalir di pipinya. Hati Kiara tak karuan, jika ia berada di posisi tersebut, pasti Kiara merasa tidak ingin hidup lagi. "Aku... aku rasa aku perlu kembali ke kamar. Tolong maafkan aku Dalvin." Dalvin mengangguk dengan penuh pengertian. Lelaki itu mengantarkan Irene ke ruangannya, kemudian ia kembali dan mengarahkan Kiara untuk mengikuti langkahnya keluar dari ruangan. Sepanjang ia mengiringi langkah Dalvin, kepalanya tertunduk menahan perasaan yang sedih luar biasa. "Aku akan menjelaskan lebih lanjut tentang situasi ini," kata Dalvin sambil menutup pintu ruangan di belakang mereka. Mereka melanjutkan ke ruangan yang lebih privat, sebuah ruang kerja yang nyaman dengan pemandangan taman yang indah. Dalvin duduk di kursi yang empuk, dan Kiara duduk di kursi di hadapannya. Suasana di ruang ini lebih tenang dan intim. "Kiara, aku ingin kamu tahu lebih banyak tentang diriku dan harapanku ke depan," Dalvin memulai pembicaraan. "Sebagai seorang penguasa, memiliki keturunan adalah hal yang sangat penting. Tradisi kami mengharuskan seorang pria untuk memiliki keturunan yang dapat meneruskan warisan dan tanggung jawabnya." Kiara mengangguk, mencoba memahami konteks dari tuntutan tersebut. Ini artinya setelah menikah, Kiara akan dituntut segera memiliki keturunan. "Aku mengerti, tuan. Aku akan menghormati keinginan tuan." ujar Kiara lembut. Dalvin melanjutkan dengan nada serius. Napasnya tampak berat saat melanjutkan kalimatnya. "Irene saat ini sedang berjuang melawan kanker dan tidak dapat memberikan keturunan. Ini adalah alasan mengapa aku mencari istri kedua. Aku berharap kamu bisa membantuku memenuhi harapan ini. Aku ingin memastikan bahwa kamu merasa nyaman dan diberi perhatian yang layak. Ini semua juga atas permintaan dan persetujuan Irene, aku sudah memikirkannya selama satu tahun." Kiara merasa campur aduk antara kekhawatiran dan harapan. Namun, saat melihat cara Dalvin berbicara dengan lembut dan penuh perhatian, dia merasa sedikit tenang. Benarkah pria itu akan membuatnya bahagia? "Tuan Dalvin, aku... aku ingin memastikan bahwa ini adalah keputusan yang tepat untukku juga. Aku tidak ingin hanya menjadi pengganti, tetapi aku juga ingin merasa dihargai." Dalvin tersenyum lembut, membuat Kiara merasa ada kehangatan dalam tatapannya. Sepertinya ini kali pertama Kiara dipandangi oleh pria sehangat itu. Seketika jantungnya berdegup kencang. "Kamu tidak akan pernah hanya menjadi pengganti. Aku menghargai kehadiranmu dan akan berusaha membuatmu merasa dihargai dan dicintai." tutur Dalvin. "Aku tertarik padamu sejak pertama kali Cecilia mengenalkanmu. Jadi, aku akan berusaha mencintaimu sebagaimana aku terhadap Irene." Selama percakapan mereka, Kiara mulai merasa ada kenyamanan dalam sikap Dalvin. Pria ini tidak hanya tampan, tetapi juga menunjukkan sisi lembut dan pengertian yang jarang ditemui. Meski usia mereka terpaut jauh, Dalvin menunjukkan sikap yang menenangkan dan mengayomi, membuat Kiara merasa lebih percaya diri dengan keputusan yang telah dia ambil. Sementara mereka berbicara, Kiara memperhatikan betapa perhatian Dalvin terhadap setiap kata dan emosinya. Ini adalah sisi yang berbeda dari pria yang pernah dia bayangkan sebelumnya, dan meskipun ada rasa cemas yang mendalam, dia juga merasakan adanya harapan baru. "Terima kasih, tuan Dalvin," kata Kiara akhirnya. "Aku akan berusaha melakukan yang terbaik. Aku hanya ingin memastikan bahwa kita bisa saling mendukung satu sama lain." Dalvin mengangguk dengan penuh pengertian. "Itu yang aku harapkan. Mari kita jalani ini dengan penuh hormat dan pengertian. Aku percaya bahwa kita bisa menemukan kebahagiaan bersama, meski situasi ini tidak biasa." Dengan itu, mereka menyelesaikan percakapan mereka dengan rasa saling pengertian yang lebih mendalam. Kiara merasa lebih siap menghadapi tantangan ke depan, mengetahui bahwa dia tidak hanya menjalani peran yang sulit ini semata-mata untuk membantu keluarganya, tetapi juga untuk menemukan kemungkinan baru dalam hidupnya. "Ah Kiara, aku menyiapkan ini sebagai tanda. Aku harap kau mau menerimanya." Dalvin mengeluarkan sesuatu dari dalam lemarinya. Pria itu membawa sebuah kotak perhiasan indah berisikan emas putih dan juga berlian. Meskipun bentuknya sederhana, Kiara bisa menerka bila itu memiliki nilai fantastis. "Izinkan aku memakaikannya untukmu. Wanita adalah sesuatu yang harus diberikan keindahan karena itu fitrahnya. Sebagai tanda awal, aku akan memberikan ini padamu. Berhiaslah hingga dirimu bersinar, aku akan mendukungmu." ujar Dalvin. Dalvin menyibakkan rambut panjang Kiara dan memakaikan kalung berbentuk tiara itu di leher jenjang Kiara. Dua buah anting-anting juga dipakaikan Dalvin pada telinga Kiara yang sebelumnya tidak pernah dipakaikan apapun. Selain itu Dalvin memakaikan gelang dan terakhir ia menyematkan cincin berlian bermata biru di jari manis Kiara. "Ini kudatangkan langsung dari Perancis, mereka merancangnya khusus untuk gadis seusiamu dan akan cocok dikenakan sehari-hari. Aku juga sudah memesan banyak sekali pakaian, makeup, sepatu serta tas-tas yang akan kau gunakan saat mendampingiku. Semoga kau menyukainya." ujar Dalvin. Kiara baru pertama kalinya memakai sesuatu yang mahal di tubuhnya. Seketika, ia merasa bila dirinya sangat berharga dan juga indah. Kedua bola matanya menatap ke arah Dalvin, lelaki itu menggamit tangan Kiara dan mencium jemari Kiara yang sudah dihiasi cincin berlian tersebut. "Apa kau menerima pria tua sepertiku, Kiara?" tanya Dalvin. "Bahkan aku masih berpikir apakah pria tua sepertiku boleh memiliki istri semuda dan secantik dirimu?" Kiara merasa jantungnya berdegup kencang. Dalvin sangat tampan, usia 45 tahun bagi Dalvin bagaikan seorang Vampir yang sudah hidup ratusan tahun dengan ketampanan yang sempurna. Kiara menganggukkan kepalanya dan ia menggenggam jemari calon suaminya itu. "Kau sangat tampan, tuan. Kau layak mendapatkan apapun yang kau inginkan." ujar Kiara. Dalvin mengulas senyum, ia mendekat ke arah Kiara dan mencium kening gadis itu dengan lembut. Kiara sejenak tertegun, itu merupakan kali pertamanya disentuh oleh seorang pria yang bukan ayahnya. "Mari kita menikah." Kiara hanya menerima saat Dalvin mendekapnya erat. Pria yang jauh lebih tinggi dari dirinya itu merengkuh Kiara dengan hangat, Kiara merasakan hatinya membuncah dan berharap bahagia walau menjadi istri kedua. Ketika Kiara dipersilakan masuk ke kamar barunya, dia merasa terharu dengan situasi yang baru saja dia alami. Dia tahu bahwa perjalanannya akan penuh dengan tantangan dan perubahan, tetapi dia juga merasa ada secercah harapan dalam hubungan baru ini. Dia berharap bahwa dia bisa menemukan cara untuk membuat situasi ini bermanfaat bagi dirinya dan keluarga, sambil menghadapi masa depan dengan keberanian dan tekad.Kiara Parvati merasa campur aduk antara rasa cemas dan keheranan saat dia mulai menjalani kehidupan barunya di kediaman Dalvin Pramoedya. Setelah pertemuan singkat dengan Irene dan percakapan dengan Dalvin, dia diperkenalkan pada banyak hal baru yang akan menjadi bagian dari hidupnya.Pagi hari yang tenang dimulai dengan perkenalan kepada seluruh ajudan dan staf rumah tangga Dalvin. Kiara diperkenalkan kepada setiap orang dengan nama dan posisi mereka, mulai dari para pelayan hingga para asisten yang akan membantunya dalam berbagai hal sehari-hari. Semua orang di rumah tersebut tampak sangat profesional dan menyambut Kiara dengan sikap sopan dan penuh hormat."Selamat datang di rumah, nona Kiara," kata seorang wanita paruh baya yang tampaknya bertanggung jawab atas dapur dan kebutuhan sehari-hari. "Kami akan memastikan bahwa kamu merasa nyaman di sini."Kiara mengangguk dengan senyum yang penuh terima kasih. "Terima kasih banyak. Aku sangat menghargai bantuan kalian semua."Setelah pe
Siang itu, Kiara dan Dimas baru saja selesai berbelanja untuk kebutuhan Pernikahan. Mereka berjalan berdampingan keluar dari pusat perbelanjaan, membawa beberapa tas berisi barang-barang yang sudah dipilih dengan teliti oleh Kiara. Matahari bersinar terang, memberikan suasana hangat yang nyaman, dan mereka berdua memutuskan untuk makan siang di sebuah restoran kecil di sudut jalan.“Aku lapar, bagaimana kalau kita makan di sini?” Kiara menunjuk sebuah restoran dengan dekorasi yang hangat dan sederhana.Dimas mengangguk setuju, meskipun dia tahu bahwa sebagai asisten Dalvin, seharusnya dia menjaga jarak profesional dengan Kiara. Namun, entah kenapa, kebersamaan dengan Kiara hari itu membuatnya merasa lebih rileks dan santai. Dimas memang tidak memiliki teman, sejak kecil ia sudah ikut Dalvin dan ia sendiri sudah menganggap pria tersebut sebagai pengganti ayahnya sendiri.Mereka memesan makanan dan duduk di meja yang menghadap ke jendela, bisa melihat jalanan yang sibuk di luar. Sambil
Hari pernikahan Kiara dan Dalvin akhirnya tiba, sebuah perayaan yang intim namun mewah, dipenuhi dengan kemegahan dan keanggunan yang tidak pernah Kiara bayangkan sebelumnya. Acara tersebut digelar di sebuah resor terpencil yang dikelilingi oleh hamparan pepohonan dan pantai putih. Sejak pagi, Kiara sudah disibukkan dengan persiapan. Gaun pengantin putihnya berkilauan di bawah cahaya matahari pagi, dengan detail renda yang rumit dan hiasan kristal yang menjuntai di sepanjang ekornya.Kiara tidak pernah membayangkan dirinya menjadi pengantin seperti ini. Segala sesuatu terasa seperti mimpi—mimpi yang menjadi kenyataan hanya dalam waktu semalam. Dalvin, pria dewasa yang kaya raya, telah memilihnya, seseorang yang biasa saja, untuk menjadi pendamping hidupnya. Di matanya, hari ini ia benar-benar merasa seperti seorang putri dalam kisah dongeng. Ketika cermin memantulkan bayangan dirinya yang mempesona, Kiara merasa seolah tidak mengenali siapa yang ada di balik wajah cantik yang berhias
Kiara duduk di tepi ranjang, menggenggam gaun tidur sutra yang melekat di tubuhnya. Malam pertama yang seharusnya penuh dengan kebahagiaan malah berakhir dengan rasa sakit fisik dan emosi yang menggelegak. Air matanya telah habis, tetapi luka di hatinya tetap terasa dalam. Dalvin, pria yang baru saja menikahinya, tidak lagi berada di sisinya. Sejak pagi, pria itu pergi ke Amerika untuk sebuah pertemuan penting dengan koleganya, seperti yang sudah sering ia lakukan sebelumnya. Ternyata, ini semua bayaran mahal bagi keinginan Kiara mengubah hidupnya.Kiara mencoba menghibur dirinya sendiri. Dia mengingat bahwa Dalvin selalu mengatakan bahwa pekerjaan adalah segalanya, tetapi tetap saja, ada perasaan yang tak bisa diabaikan. Rasa diabaikan. Lebih lagi, malam pertama mereka terasa berlalu cepat, tak ada kehangatan yang tersisa kecuali rasa sakit yang membakar tubuhnya. Kiara belum tahu pasti, apakah hanya sebatas itu perasaan setelah berhubungan badan?Tak lama kemudian, pintu kamar terbu
Kiara duduk di sudut kamar, air mata membasahi pipinya yang pucat. Hatinya terasa hancur, seperti kaca yang jatuh ke lantai dan berkeping-keping. Perkataan Irene masih terngiang-ngiang di telinganya, menusuk setiap sudut hatinya. Irene, istri pertama Dalvin,sudah bertekad bahwa ia tidak akan menyembunyikan kebenciannya terhadap Kiara. Bagi Irene, Kiara hanyalah alat, seseorang yang hanya diperlukan untuk satu tujuan—memberikan keturunan bagi Dalvin. Kiara hanyalah seseorang yang menggantikannya, tidak lebih. Ia tidak akan pernah membiarkan suaminya jatuh ke dalam pelukan Kiara, tidak akan pernah. "Kau hanya istri kedua, Kiara. Dia butuh anak, dan itulah satu-satunya alasan kau ada di sini." Kalimat itu menghantam keras. Meski Kiara sudah berusaha menahan air mata, pada akhirnya ia tak sanggup. Mungkin benar, pikirnya. Ia tak pernah merasakan kasih sayang yang tulus dari Dalvin. Seharusnya Kiara tidak perlu bersedih, bukankah ia juga mau menikah dengan Dalvin karena uang semata? L
Kiara duduk termenung di tepi ranjang, memeluk dirinya sendiri seolah mencoba melindungi hatinya yang rapuh. Setelah percakapan dengan Dalvin, ia merasa hampa, tak tahu ke mana harus melangkah. Namun, di sudut hatinya, ia masih menyimpan harapan bahwa mungkin ada ruang bagi cinta di antara mereka. Mungkin, dengan waktu, Dalvin akan melihatnya lebih dari sekadar calon ibu dari anak-anaknya.Dengan napas berat, Kiara akhirnya memutuskan untuk keluar dari kamarnya. Ia merasa perlu berbicara lagi dengan Dalvin, menyampaikan perasaannya lebih dalam. Mungkin kali ini, Dalvin akan lebih mendengarkannya.Dengan langkah hati-hati, ia berjalan menuju ruang keluarga, berharap menemukan Dalvin di sana. Namun, ketika Kiara semakin mendekat, ia mendengar suara samar-samar dari dalam ruangan itu.Suara Dalvin. Tapi nadanya berbeda dari biasanya—lebih lembut, lebih hangat daripada saat bersama Kiara. Kiara berhenti sejenak, rasa penasaran menguasai dirinya. Ia mengintip dari balik pintu yang sedikit
Malam itu, Kiara kembali ke kamarnya setelah tangisannya mereda di hadapan Dimas. Meski hatinya terasa sedikit lebih ringan setelah menumpahkan segala yang ia rasakan, perasaan hampa dan sakit masih menguasai dirinya. Langit di luar sudah gelap, dan rumah terasa begitu sunyi. Seolah-olah dunia di sekitarnya membeku, namun di dalam dirinya, badai masih mengamuk.Kiara duduk di tepi ranjang, tatapannya kosong menembus jendela yang menampilkan malam yang tenang. Namun, kedamaian di luar sana tidak bisa menghapus kenyataan pahit yang baru saja ia alami. Gambaran Dalvin dan Irene yang berciuman terus menghantui pikirannya, seolah diputar berulang kali dalam kepalanya.Dalvin memang sangat tampan di usianya yang ke 45 tahun, ia memiliki tinggi sekitar 190cm dengan kulit yang benar-benar bersih seperti seorang Vampire. Wajahnya tampan, mirip aktor-aktor China sehingga wanita mudah luluh hanya dengan sekali tatapan saja. Irene pun cantik luar biasa meskipun ia tengah sakit kanker, hal itu mem
Pagi itu, sinar matahari menyusup lembut melalui tirai kamar, menghangatkan kulit Kiara yang masih berbaring di ranjang. Ia perlahan membuka mata, kepalanya masih terasa berat oleh perasaan yang campur aduk. Semalam, ia akhirnya menyerah pada Dalvin—merelakan tubuhnya untuk suaminya dengan harapan tipis akan cinta. Namun, di lubuk hatinya, Kiara tahu bahwa perasaan itu masih samar-samar, tak sepenuhnya tulus.Saat ia mencoba menenangkan pikirannya, pintu kamar terbuka. Dalvin masuk dengan wajah segar, senyum tipis menghiasi bibirnya. Pria itu sudah bangun terlebih dahulu dan juga sudah mandi. Ia sangat tampan dengan kaus putih polosnya."Pagi, sayang. Bagaimana tidurmu?" tanya Dalvin, menghampiri Kiara yang masih duduk di tepi ranjang.Kiara menatapnya sejenak, mencoba memahami apa yang sebenarnya ia rasakan. Dalvin mendekat dan mengecup keningnya."Cukup baik," jawabnya pelan, berusaha tersenyum meskipun fisiknya terasa lelah akibat gempuran semalam.Dalvin duduk di sebelahnya, tanga
Ruangan rumah sakit penuh dengan kesibukan. Dokter dan perawat berseliweran, membawa berbagai peralatan menuju ruang operasi. Di tengah suasana panik itu, Dimas berdiri di lorong dengan wajah tegang. Sementara itu, Dalvin berdiri tidak jauh darinya, rahangnya mengeras dan matanya tak pernah lepas dari Dimas.Dalvin bisa melihat cinta di mata Dimas. Tatapan mata yang belum pernah Dalvin lihat sepanjang hidupnya bersama Dimas. Karena itulah batin Dalvin berteriak, ia tidak mau melihat Dimas seperti itu.Dokter keluar dari ruang persalinan dengan langkah cepat, menghampiri mereka berdua. "Kami akan segera melakukan operasi caesar. Detak jantung bayi melemah, dan kami harus bertindak cepat," jelas dokter dengan nada serius."Dokter, tolong selamatkan mereka," ujar Dalvin tanpa ragu.Dimas mengangguk tegas. "Lakukan apa pun yang diperlukan. Jangan biarkan istriku atau bayinya terluka."Tatapan Dalvin berpindah ke Dimas, penuh kemarahan. Kata-kata dokter seolah tak terdengar, tenggelam ole
Di ruang kerjanya yang megah, Dalvin duduk termenung. Di hadapannya, segelas kopi yang sejak tadi tak tersentuh mulai mendingin. Sebuah laporan tebal tergeletak di atas meja, tak menarik perhatian Dalvin sama sekali. Pikirannya dipenuhi oleh satu nama—Kiara.Seorang pria berjas hitam berdiri di hadapannya, wajahnya tegas tapi penuh keraguan. Beliau adalah ajudan sekaligus Sekretaris yang kini menggantikan Dimas. Dalvin memutar bola mata, menatap pria itu saksama."Tuan Dalvin, laporan terakhir dari tim kami. Nona Kiara sudah dibawa ke rumah sakit di Amsterdam. Dari informasi yang kami dapat, kemungkinan besar beliau akan melahirkan dalam waktu dekat."Dalvin mengangkat wajahnya, tatapannya tajam. "Amsterdam? Jadi mereka benar-benar pergi sejauh itu..." gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri."Benar, Tuan. Tim kami memastikan Dimas masih mendampingi Nona Kiara. Mereka terlihat cukup hati-hati, tapi kami berhasil mengawasi pergerakan mereka," pria itu melanjutkan.Dalvin menghela napas
Kiara terkulai lemah di atas ranjang hotel, matanya setengah terpejam karena kelelahan. Sejak beberapa hari terakhir, ia merasa gelisah dengan kontraksi-kontraksi palsu yang datang silih berganti. Setiap kali rasa sakit itu datang, tubuhnya menggigil dan perutnya terasa kencang. Meski begitu, ia tahu itu bukan tanda bahwa persalinan akan segera terjadi, tapi tetap saja, rasa tidak nyaman itu cukup membuatnya kelelahan."Aduh... Dimas..." Kiara mengeluh, memegangi perutnya yang semakin membesar.Kiara merasa sesak, dan kali ini rasa sakit itu seakan lebih kuat dari sebelumnya.Dimas yang berada di sampingnya, segera duduk di tepi ranjang dan menggenggam tangan Kiara dengan lembut. Sejak hari-hari terakhir di Amsterdam, ia tak bisa lagi menahan kekhawatiran melihat Kiara yang semakin menderita. Apalagi kalimat Dalvin, semua itu akan menjadi sebuah ancaman bagi Dimas dan Kiara ke depannya."Ada apa, sayang? Apakah rasa sakit itu semakin menjadi?" Dimas bertanya khawatir, matanya memandan
Dalvin duduk di ruang kerjanya yang luas, dikelilingi oleh tumpukan berkas dan file penting yang menanti untuk ditandatangani. Namun, hari itu pikirannya teralihkan oleh laporan yang baru saja ia terima. Di meja kerjanya, ponsel bergetar, menandakan panggilan masuk. Dalvin mengangkat telepon dengan wajah serius."Tuan Dalvin, saya punya kabar penting," suara suruhan Dalvin terdengar dari ujung telepon. "Kami telah melacak keberadaan Kiara dan Dimas. Mereka berada di Amsterdam."Dalvin terdiam sejenak, terkejut mendengar berita itu. Jantungnya berdebar kencang, dan seketika rasa cemas menyelubunginya. Amsterdam? Kiara dan Dimas? Tak pernah terlintas di pikirannya bahwa mereka akan pergi sejauh itu."Amsterdam?" Dalvin bertanya, berusaha tetap tenang meski hatinya berkecamuk. "Apa mereka melakukan perjalanan bersama? Ah ya tentu saja, maksudku apa mereka tinggal bersama?""Ya, Tuan," jawab suruhannya dengan nada hati-hati. "Mereka pergi bersama, dan yang lebih mengejutkan, mereka sudah
Kiara duduk di sofa ruang keluarga dengan tangan memegangi perutnya yang semakin membesar. Wajahnya pucat, dan keringat dingin membasahi dahinya. Ia sering mengeluh mulas belakangan ini, dan rasa itu kian hari semakin intens. Dimas yang duduk di sampingnya tampak gelisah, mengawasi Kiara dengan tatapan cemas.“Kiara, kita harus pergi ke dokter sekarang,” desak Dimas, suaranya tegas namun penuh perhatian. "Ini dekat dengan HPL bukan?"“Tapi aku takut, Dimas,” jawab Kiara lirih. “Aku dengar prosedur pemeriksaan untuk pembukaan itu menyakitkan. Aku tidak tahu seperti apa, tapi katanya akan sakit.”Dimas menggenggam tangan Kiara dengan lembut. “Aku ada di sini. Apa pun yang terjadi, aku akan menemanimu. Ini demi kesehatanmu dan bayi yang kamu kandung. Jika nanti sakit, kamu boleh meremas tanganku dengan keras."Kiara menatap mata Dimas yang penuh keyakinan. Akhirnya, ia mengangguk meski hatinya masih dipenuhi kecemasan. Dengan sigap, Dimas membantu Kiara berdiri dan mengenakan mantel. Mer
Pagi itu, Dimas sedang sibuk di dapur. Ia mengaduk adonan pancake dengan cekatan sambil sesekali melirik ke arah Kiara yang duduk di sofa ruang tamu. Wanita itu tampak sibuk membaca buku tentang persiapan melahirkan, sesekali mengusap perutnya yang semakin besar. Dokter mengatakan bila menunggu dua minggu kedepan untuk melahirkan.“Kiara,” panggil Dimas dari dapur. “Kamu mau tambahan cokelat atau sirup maple di pancake-nya? Atau mau ditambahi ciuman dari aku?” imbuhnya.Kiara menoleh dan tersenyum kecil. Ia gemas pada Dimas yang sudah mulai gombal terhadapnya.“Sirup maple saja. Aku sedang mengurangi yang manis-manis. Kata Dokter berat badanku cepat naik, aku harus menjaganya supaya tidak sulit melahirkan."Dimas mengangguk, menuangkan adonan ke penggorengan. Suara desis adonan bertemu dengan wajan panas memenuhi ruangan, menciptakan aroma manis yang membuat suasana pagi terasa hangat.Namun, di tengah kehangatan itu, ponsel Dimas yang tergeletak di meja makan bergetar. Nama yang tert
Kiara terbangun di pagi itu dengan rasa sakit yang semakin mengganggu di dadanya. Beberapa kali ia terbangun dan meraba dadanya yang terasa sangat penuh dan membengkak. Setiap gerakan terasa begitu nyeri, dan meskipun ia mencoba untuk tidur, rasa sakit itu tak kunjung mereda."Ahh..." Kiara mengeluh pelan, meremas bantal yang ada di sampingnya. Ia tak bisa menahan rasa tidak nyaman itu lebih lama. Tak ada yang bisa membantunya kecuali Dimas, yang tidur dengan tenang di sebelahnya.Dimas yang terbangun mendengar suara desahan Kiara segera menoleh. "Kiara? Kamu kenapa?" tanyanya, suaranya penuh kekhawatiran. Matanya masih setengah terpejam, namun ia bisa melihat ekspresi kesakitan di wajah Kiara.Kiara menatap Dimas dengan tatapan penuh harap. "Dimas, dadaku... Sakit sekali," kata Kiara dengan nada lemah. "Aku merasa seperti hampir meledak, ini lebih sakit dari kemarin saat kamu memompanya. Keringatku juga dingin."Dimas menggaruk tengkuknya, sedikit bingung. Ia tidak tahu bagaimana har
Cecilia melangkah keluar dari bandara dengan perasaan campur aduk. Di tangannya, ia menggenggam tiket pesawat yang baru saja ia gunakan untuk kembali ke Indonesia. Hatinya penuh dengan kecemasan dan tekad. Ia tahu, apa yang akan ia lakukan hari ini akan mengubah banyak hal, terutama bagi keluarga Kiara.Keluarga Kiara harus tahu bila putrinya hidup. Hanya itu yang ada di benak Cecilia.Perjalanan ke rumah keluarga Kiara terasa lebih panjang dari biasanya. Ia memandangi jalanan yang penuh kenangan, mengingat bagaimana dulu ia dan Kiara sering melewati jalan ini bersama. Kini, Kiara berada ribuan kilometer jauhnya, berjuang untuk hidup dan bayinya, sementara orangtuanya di sini tidak tahu apa-apa.Ketika mobil berhenti di depan rumah besar dengan taman rapi, Cecilia menarik napas dalam-dalam. Ia turun dari mobil dan melangkah ke pintu depan. Tangannya gemetar saat mengetuk pintu, seolah ia membawa beban yang terlalu berat untuk disampaikan. Semua salahnya, ia yang telah membawa Kiara da
Di sebuah ruangan besar dengan pencahayaan redup, Irene duduk di kursi roda mewahnya. Wajahnya dingin, tanpa ekspresi, namun matanya menyiratkan kebencian yang dalam. Wanita itu belum puas dengan apa yang terjadi di hidupnya. Ia ingin siapapun yang ia benci, hancur lebur tak bersisa.Di hadapannya berdiri lima orang pria berpenampilan garang, berpakaian serba hitam, dengan wajah tanpa belas kasihan.Irene memutar cangkir teh di tangannya, aroma melati memenuhi udara. Ia menatap mereka satu per satu sebelum akhirnya berbicara dengan suara rendah namun penuh wibawa.“Kalian tahu kenapa kalian ada di sini?” tanya Irene, suaranya nyaris seperti bisikan namun cukup untuk membuat semua pria itu tegang.Salah satu dari mereka, seorang pria bertubuh besar dengan bekas luka di wajahnya, maju selangkah. “Kami akan mendengar perintah Anda, Nyonya. Kami siap menjalankan apa pun yang Anda inginkan.” ujar pria itu dengan tatapan tajam.Irene tersenyum tipis, namun senyumnya dingin seperti es. Wani