Merasa bahwa ini sudah di luar nalar dan tidak kumengerti, maka aku segera menegaskan kepada dokter Okan agar tidak bermain-main denganku."Tolong jangan main-main dokter Okan. Apa kau bercanda, hidup saya sudah sangat banyak beban. Kenapa Anda malah datang menambahkannya?""Saya tidak hendak menambahkan bebanmu, Saya justru ingin minta pertolonganmu.""Kamu pikir saya bersedia? Saya terlalu pusing dengan masalah hidup saya sendiri, bagaimana saya bisa meluruskan orang yang sedang sakit sementara saya tidak bisa menata perasaan dan mental saya sendiri."Aku memarahi lelaki itu tapi dia tetap tenang dan duduk di posisinya. "Saya akan pergi sekarang, saya tidak memaksa mbak Syifa untuk segera dengan hati terbuka menerima pertemanan dengan saya, tapi saya sangat berharap, sembari ingin sekali menghilangkan rasa dosa dan bersalah dari diri saya." Dokter Okan berdiri sementara aku masih meremas rambutku karena pusing dan bingung dengan begitu banyaknya kejadian hari ini. Kedua orang tua
Minggu subuh.Aku dan Bunda sengaja menyempatkan diri untuk salat subuh ke mesjid dekat dengan komplek rumah kami. Kupikir sesekali salat berjamaah akan membuat hati ini sedikit tenang, ditambah bertemu dan saling menyapa dengan para tetangga akan membawa ketenangan tersendiri dalam hatiku.Usai dari masjid aku dan bunda sengaja jalan jalan mengitari komplek untuk sekalian menikmati cuaca pagi, subuh masih setengah gelap, cahaya merah baru saja terlihat di ufuk timur, aku dan bunda berjalan santai sambil mengobrol ringan tentang pekerjaan dan kegiatan sehari hariku. Banyak yang kami ceritakan termasuk tentang keanehan sikap Mas Widi dan kedatangan dokter okan yang mengherankan. Tiba tiba dua dokter itu datang ke rumah dan hendak memperbaiki hubungan denganku? aku agak terkejut dengan situasi itu. Aku dan Bunda nyaris mencapai pintu depan pagar rumah kami, saat tiba tiba aku melihat mobil merah milik dokter Okan berhenti, lelaki itu turun dari mobilnya dan menyapa ibuku dengan mem
Tin tin....Bunyi klakson mobil jemputan dari Pak Adrian berbunyi di depan rumah, aku yang sudah menunggu dengan rapi segera mencium tangan Bunda dan berpamitan. Bunda mengantarku ke gerbang, saat beliau dan Bosku berpapasan, Adrian membuka pintu lalu segera datang menyalami Bunda."Bu, izin berangkat," ucapnya."Iya, Nak, terima kasih sudah mengajak anak Bunda bekerja. Mohon bimbingan dan pengertiannya ya," ucap Ibu."Siap, saya akan bersikap baik.""Terima kasih," ucap Bunda dengan senyum hangat, ada raut lega di wajahnya saat melepasku menjauh, dari balik kaca spion Bunda melambai samar ke arah mobil bosku."Nah, bagaimana kabarmu?""Baik.""Maaf karena aku membuatku bekerja di hari Minggu.""Jangan sungkan, Anda atasanku, Pak." Aku melirik supirnya yang duduk di depan kami, Adrian hanya menggeleng dengan isyarat aku tak perlu sungkan. "Bersikaplah santai, kita akan ketemu klien dan membicarakan penawaran bisnis, usahakan kau tetap tenang, gaya bicaramu penuh percaya diri dan key
Dokter Okan!Dia kah sepupunya Adrian? Tidak, Aku butuh lebih dari 5 detik untuk memahami situasi ini.Baik, aku mulai merajut benang-benang kusut yang selama ini tidak mudah kutangkap dan tidak kupahami dalam otakku. Persaudaraan antara dua orang ini ... Seperti rahasia alam yang sulit kugapai dengan akal sehat.Ternyata, benar juga! kalau dilihat lebih dekat mereka punya beberapa kesamaan fitur wajah dan gestur, tinggi badan mereka juga hampir sama serta warna kulitnya yang putih bersih dan terawat, benar-benar menunjukkan kalau mereka bukan orang sembarangan. Baju mereka juga baju mahal dengan edisi terbatas, mobilnya juga mobil yang hanya dimiliki oleh kalangan elit. Oh, kepalaku berdenyut membayangkan betapa kayanya mereka. Masuk akal kalau mereka terlihat berbeda dari orang-orang pada umumnya.Adrian adalah pengusaha tambang sementara dokter Okan adalah salah satu dokter yang terkenal dan merupakan anggota asosiasi pengusaha, serta anggota perkumpulan pekerja sosial yang sukse
Entah keberanian dari mana yang sudah dikumpulkan dinda, ataukah mas Widi lah yang sudah memberinya ruang begitu banyak hingga wanita itu sampai berani untuk memasuki pekarangan rumah orang tuaku.Mereka datang pukul 08.00 malam dengan alasan untuk menjemput anak-anak, kupikir hanya dokter Widi yang datang, tapi ternyata wanita itu tidak melewatkan sedikit pun waktu untuk memamerkan betapa hebatnya dia yang selalu dibawa kemanapun oleh orang yang masih jadi suamiku sampai saat ini.*"Assalamualaikum," ucap Mas Widi, kedua orang tuaku kebetulan sedang salat di kamar mereka."Walaikum salam." Melihat Dinda menyertainya dan menunggu di belakang aku langsung bertanya. "Haruskah kau ajak dia masuk ke tempat ini apa kau benar-benar tidak tahan untuk segera pamer bahkan kepada mertuamu sendiri. Oh, aku lupa, kau mungkin sudah tidak punya kepedulian bahkan untuk menjaga perasaan orang lain.""Bukan begitu, kalau aku tidak mengajaknya masuk mungkin dia akan tersinggung dan merasa aku tidak m
Mungkin karena begitu lama Kami berbicara tiba-tiba Dinda keluar dari mobilnya dan kembali menyambangi ke depan rumah. "Mas, kok lama sih.""Ini sudah kok, kami sudah mau keluar.""Dinda, apa kau sangat tidak tahan untuk segera pulang dan bercinta! Di mana adabmu saat kau bersikap sok berkuasa padahal kau sedang berhadapan dengan istri yang masih sah!?"Wanita itu tertawa sinis sambil mengalihkan tatapannya ke arah lain, dia menggelengkan kepala sambil tertawa yang membuatku makin kesal dan membencinya."Aku hanya ingin kami segera pulang agar anak-anak bisa istirahat sehingga mereka tidak bangun telat besok pagi," jawabnya sambil melihat tangan di dada."Anak anak tahu kapan mereka harus bangun, Kau tidak perlu susah payah memaksakan dirimu jadi ibu untuk mereka.""Apa kau tidak menghargai seberapa besar Aku berusaha untuk melayani kedua anak-anakmu! Aku bahkan tidak lagi keluar dan bersenang-senang bersama sahabatku untuk fokus mengurusi menu makanan dan pilihan pakaian yang akan m
Meski aku sibuk di kantor dan terus-menerus menerima panggilan dari Bos, keluar masuk dan lalu lalang antara ruanganku dan ruangannya tapi pikiran ini masih terus berputar tentang apa yang kubaca pagi tadi.Kalau dipikir lebih jauh, poin gugatan itu seolah menyudutkan diriku, kalau dia punya saksi dan pengacara yang akan membelanya mungkin aku tidak akan bisa mendapatkan hak asuh. Di sana, dia bilang aku tidak pernah fokus mengurus keluarga dan mengabaikan anak-anak.Ah, Mas Widi, kenapa kau tidak pernah berhenti membuat masalah?"Hei, apa yang enggak gua mau kenapa kau termenung padahal sejak tadi Aku memanggilmu?" Pak Adrian menepuk bahuku, aku yang sedang tersenyum di depan komputer langsung tertawa gugup dan berdiri."Ada apa Pak? Maaf tadi saya sedang memikirkan sesuatu?""Memikirkan tentang Dokter itu?""Uhm, sebenarnya tidak begitu penting, hanya surat gugatan perceraian yang sudah datang dan ada sedikit hal yang mengganggu di hati.""Kenapa, apa dia menggugat sesuatu yang tidak
Aku masih berdiri di ujung meja panjang dengan termenung sementara Pak Adrian berada di ujung yang satunya. Dia menghentikan aktivitasnya di atas tuts laptop, dia menunggu jawabanku."Uhm, begini Pak, perbedaan kasta dan kelas di antara kita, saya yang sederhana, status saya yang masih belum jelas membuat isi kepalaku berputar dan bingung. Saya jadi bias antara mana yang nyata dan mana yang bercanda.""Aku sudah bilang ... Atau haruskah aku buktikan," ucapnya yang langsung bangun dari posisinya. Ia berdiri dan berjalan ke arahku sementara aku langsung gemetar dihampiri olehnya.Untuk pertama kali setelah bertahun-tahun, tidak merasakan sensasi berdebar dihampiri seorang pria, aku jadi sangat gugup dan telapak tanganku langsung berkeringat dingin. Aku hanya menelan ludah dan terpaku di posisiku saat dia mendekat."Ayo kita ke rumahmu, aku akan minta izin pada ayah dan ibumu agar kita menikah." Dia menggenggam pergelangan tanganku dan mengajakku keluar. Tentu saja aku menolak, lagipula