Tin tin....Bunyi klakson mobil jemputan dari Pak Adrian berbunyi di depan rumah, aku yang sudah menunggu dengan rapi segera mencium tangan Bunda dan berpamitan. Bunda mengantarku ke gerbang, saat beliau dan Bosku berpapasan, Adrian membuka pintu lalu segera datang menyalami Bunda."Bu, izin berangkat," ucapnya."Iya, Nak, terima kasih sudah mengajak anak Bunda bekerja. Mohon bimbingan dan pengertiannya ya," ucap Ibu."Siap, saya akan bersikap baik.""Terima kasih," ucap Bunda dengan senyum hangat, ada raut lega di wajahnya saat melepasku menjauh, dari balik kaca spion Bunda melambai samar ke arah mobil bosku."Nah, bagaimana kabarmu?""Baik.""Maaf karena aku membuatku bekerja di hari Minggu.""Jangan sungkan, Anda atasanku, Pak." Aku melirik supirnya yang duduk di depan kami, Adrian hanya menggeleng dengan isyarat aku tak perlu sungkan. "Bersikaplah santai, kita akan ketemu klien dan membicarakan penawaran bisnis, usahakan kau tetap tenang, gaya bicaramu penuh percaya diri dan key
Dokter Okan!Dia kah sepupunya Adrian? Tidak, Aku butuh lebih dari 5 detik untuk memahami situasi ini.Baik, aku mulai merajut benang-benang kusut yang selama ini tidak mudah kutangkap dan tidak kupahami dalam otakku. Persaudaraan antara dua orang ini ... Seperti rahasia alam yang sulit kugapai dengan akal sehat.Ternyata, benar juga! kalau dilihat lebih dekat mereka punya beberapa kesamaan fitur wajah dan gestur, tinggi badan mereka juga hampir sama serta warna kulitnya yang putih bersih dan terawat, benar-benar menunjukkan kalau mereka bukan orang sembarangan. Baju mereka juga baju mahal dengan edisi terbatas, mobilnya juga mobil yang hanya dimiliki oleh kalangan elit. Oh, kepalaku berdenyut membayangkan betapa kayanya mereka. Masuk akal kalau mereka terlihat berbeda dari orang-orang pada umumnya.Adrian adalah pengusaha tambang sementara dokter Okan adalah salah satu dokter yang terkenal dan merupakan anggota asosiasi pengusaha, serta anggota perkumpulan pekerja sosial yang sukse
Entah keberanian dari mana yang sudah dikumpulkan dinda, ataukah mas Widi lah yang sudah memberinya ruang begitu banyak hingga wanita itu sampai berani untuk memasuki pekarangan rumah orang tuaku.Mereka datang pukul 08.00 malam dengan alasan untuk menjemput anak-anak, kupikir hanya dokter Widi yang datang, tapi ternyata wanita itu tidak melewatkan sedikit pun waktu untuk memamerkan betapa hebatnya dia yang selalu dibawa kemanapun oleh orang yang masih jadi suamiku sampai saat ini.*"Assalamualaikum," ucap Mas Widi, kedua orang tuaku kebetulan sedang salat di kamar mereka."Walaikum salam." Melihat Dinda menyertainya dan menunggu di belakang aku langsung bertanya. "Haruskah kau ajak dia masuk ke tempat ini apa kau benar-benar tidak tahan untuk segera pamer bahkan kepada mertuamu sendiri. Oh, aku lupa, kau mungkin sudah tidak punya kepedulian bahkan untuk menjaga perasaan orang lain.""Bukan begitu, kalau aku tidak mengajaknya masuk mungkin dia akan tersinggung dan merasa aku tidak m
Mungkin karena begitu lama Kami berbicara tiba-tiba Dinda keluar dari mobilnya dan kembali menyambangi ke depan rumah. "Mas, kok lama sih.""Ini sudah kok, kami sudah mau keluar.""Dinda, apa kau sangat tidak tahan untuk segera pulang dan bercinta! Di mana adabmu saat kau bersikap sok berkuasa padahal kau sedang berhadapan dengan istri yang masih sah!?"Wanita itu tertawa sinis sambil mengalihkan tatapannya ke arah lain, dia menggelengkan kepala sambil tertawa yang membuatku makin kesal dan membencinya."Aku hanya ingin kami segera pulang agar anak-anak bisa istirahat sehingga mereka tidak bangun telat besok pagi," jawabnya sambil melihat tangan di dada."Anak anak tahu kapan mereka harus bangun, Kau tidak perlu susah payah memaksakan dirimu jadi ibu untuk mereka.""Apa kau tidak menghargai seberapa besar Aku berusaha untuk melayani kedua anak-anakmu! Aku bahkan tidak lagi keluar dan bersenang-senang bersama sahabatku untuk fokus mengurusi menu makanan dan pilihan pakaian yang akan m
Meski aku sibuk di kantor dan terus-menerus menerima panggilan dari Bos, keluar masuk dan lalu lalang antara ruanganku dan ruangannya tapi pikiran ini masih terus berputar tentang apa yang kubaca pagi tadi.Kalau dipikir lebih jauh, poin gugatan itu seolah menyudutkan diriku, kalau dia punya saksi dan pengacara yang akan membelanya mungkin aku tidak akan bisa mendapatkan hak asuh. Di sana, dia bilang aku tidak pernah fokus mengurus keluarga dan mengabaikan anak-anak.Ah, Mas Widi, kenapa kau tidak pernah berhenti membuat masalah?"Hei, apa yang enggak gua mau kenapa kau termenung padahal sejak tadi Aku memanggilmu?" Pak Adrian menepuk bahuku, aku yang sedang tersenyum di depan komputer langsung tertawa gugup dan berdiri."Ada apa Pak? Maaf tadi saya sedang memikirkan sesuatu?""Memikirkan tentang Dokter itu?""Uhm, sebenarnya tidak begitu penting, hanya surat gugatan perceraian yang sudah datang dan ada sedikit hal yang mengganggu di hati.""Kenapa, apa dia menggugat sesuatu yang tidak
Aku masih berdiri di ujung meja panjang dengan termenung sementara Pak Adrian berada di ujung yang satunya. Dia menghentikan aktivitasnya di atas tuts laptop, dia menunggu jawabanku."Uhm, begini Pak, perbedaan kasta dan kelas di antara kita, saya yang sederhana, status saya yang masih belum jelas membuat isi kepalaku berputar dan bingung. Saya jadi bias antara mana yang nyata dan mana yang bercanda.""Aku sudah bilang ... Atau haruskah aku buktikan," ucapnya yang langsung bangun dari posisinya. Ia berdiri dan berjalan ke arahku sementara aku langsung gemetar dihampiri olehnya.Untuk pertama kali setelah bertahun-tahun, tidak merasakan sensasi berdebar dihampiri seorang pria, aku jadi sangat gugup dan telapak tanganku langsung berkeringat dingin. Aku hanya menelan ludah dan terpaku di posisiku saat dia mendekat."Ayo kita ke rumahmu, aku akan minta izin pada ayah dan ibumu agar kita menikah." Dia menggenggam pergelangan tanganku dan mengajakku keluar. Tentu saja aku menolak, lagipula
Aku kembali ke rumah menjelang pukul 05.00 sore. Begitu padatnya jadwal dan begitu banyak berkas yang harus kuselesaikan membuatku tidak ingin menundanya sampai besok.Aku pulang ke rumah dan langsung meletakkan sepatuku di tempatnya. Biasanya aku sudah kehabisan tenaga dan langsung ingin merebahkan diri di tempat tidur tapi kali ini aku langsung pergi ke dapur menemui Bunda yang seperti biasa, setiap sore pasti membuat kudapan."Bunda.""Ya Nak....""Ada banyak yang terjadi hari ini apa bunda mau mendengarnya?""Tentu, katakan, Bunda bersemangat ingin tahu," ucap Ibuku sambil menyeka adonan dari tangannya.Aku ajak ibu tercintaku itu duduk, lalu perlahan-lahan aku menceritakan semuanya dari A sampai berakhir."Ini mengejutkan," ucapnya begitu aku selesai bercerita. "Ya, sangat tidak terduga.""Jadi dokter Okan dan bosmu adalah sepupu? Tapi keduanya sama-sama sukses dan tampan ya, bunda jadi bingung...." Bunda terlihat menerawang tapi aku langsung menepuk pahanya dan menyadarkann
Tring.Ponselku berdenting tak lama setelah kepergian Dinda. Itu adalah panggilan dari dokter jiwa yang sempat menuliskan resep obat untukku. Dia menelponku dan ternyata sudah berkali-kali panggilannya masuk ke ponselku, mungkin karena saat itu aku sedang bertemu dengan Dinda jadi aku tidak mendengarnya."Halo," ucapku pada sambungan telepon yang tidak kusimpan pemiliknya itu."Halo, ini aku dokter Okan.""Iya Dok, ada apa?""Apa kau sudah minum obatmu?""Aku tidak lagi mengonsumsi obat antidepresan, aku sudah membaik.""Sebenarnya aku ingin mengajakmu untuk peresmian klinik dokter Widi di hari Sabtu depan apa kau bisa.""Menurutmu apa ide bagus mengajakku ke arah peresmian itu, Dok. Bukannya kehadiranku akan seperti tamu tidak diundang.""Tidak juga, kau masih terikat dengannya dan juga kau adalah ibu anak-anaknya, akan jadi isu yang tak enak kalau dia tidak mengundangmu.""Yang pasti istri barunya tidak akan suka.""Wanita itu belum resmi jadi istri," balasnya."Tetap saja dia istr