Mungkin karena begitu lama Kami berbicara tiba-tiba Dinda keluar dari mobilnya dan kembali menyambangi ke depan rumah. "Mas, kok lama sih.""Ini sudah kok, kami sudah mau keluar.""Dinda, apa kau sangat tidak tahan untuk segera pulang dan bercinta! Di mana adabmu saat kau bersikap sok berkuasa padahal kau sedang berhadapan dengan istri yang masih sah!?"Wanita itu tertawa sinis sambil mengalihkan tatapannya ke arah lain, dia menggelengkan kepala sambil tertawa yang membuatku makin kesal dan membencinya."Aku hanya ingin kami segera pulang agar anak-anak bisa istirahat sehingga mereka tidak bangun telat besok pagi," jawabnya sambil melihat tangan di dada."Anak anak tahu kapan mereka harus bangun, Kau tidak perlu susah payah memaksakan dirimu jadi ibu untuk mereka.""Apa kau tidak menghargai seberapa besar Aku berusaha untuk melayani kedua anak-anakmu! Aku bahkan tidak lagi keluar dan bersenang-senang bersama sahabatku untuk fokus mengurusi menu makanan dan pilihan pakaian yang akan m
Meski aku sibuk di kantor dan terus-menerus menerima panggilan dari Bos, keluar masuk dan lalu lalang antara ruanganku dan ruangannya tapi pikiran ini masih terus berputar tentang apa yang kubaca pagi tadi.Kalau dipikir lebih jauh, poin gugatan itu seolah menyudutkan diriku, kalau dia punya saksi dan pengacara yang akan membelanya mungkin aku tidak akan bisa mendapatkan hak asuh. Di sana, dia bilang aku tidak pernah fokus mengurus keluarga dan mengabaikan anak-anak.Ah, Mas Widi, kenapa kau tidak pernah berhenti membuat masalah?"Hei, apa yang enggak gua mau kenapa kau termenung padahal sejak tadi Aku memanggilmu?" Pak Adrian menepuk bahuku, aku yang sedang tersenyum di depan komputer langsung tertawa gugup dan berdiri."Ada apa Pak? Maaf tadi saya sedang memikirkan sesuatu?""Memikirkan tentang Dokter itu?""Uhm, sebenarnya tidak begitu penting, hanya surat gugatan perceraian yang sudah datang dan ada sedikit hal yang mengganggu di hati.""Kenapa, apa dia menggugat sesuatu yang tidak
Aku masih berdiri di ujung meja panjang dengan termenung sementara Pak Adrian berada di ujung yang satunya. Dia menghentikan aktivitasnya di atas tuts laptop, dia menunggu jawabanku."Uhm, begini Pak, perbedaan kasta dan kelas di antara kita, saya yang sederhana, status saya yang masih belum jelas membuat isi kepalaku berputar dan bingung. Saya jadi bias antara mana yang nyata dan mana yang bercanda.""Aku sudah bilang ... Atau haruskah aku buktikan," ucapnya yang langsung bangun dari posisinya. Ia berdiri dan berjalan ke arahku sementara aku langsung gemetar dihampiri olehnya.Untuk pertama kali setelah bertahun-tahun, tidak merasakan sensasi berdebar dihampiri seorang pria, aku jadi sangat gugup dan telapak tanganku langsung berkeringat dingin. Aku hanya menelan ludah dan terpaku di posisiku saat dia mendekat."Ayo kita ke rumahmu, aku akan minta izin pada ayah dan ibumu agar kita menikah." Dia menggenggam pergelangan tanganku dan mengajakku keluar. Tentu saja aku menolak, lagipula
Aku kembali ke rumah menjelang pukul 05.00 sore. Begitu padatnya jadwal dan begitu banyak berkas yang harus kuselesaikan membuatku tidak ingin menundanya sampai besok.Aku pulang ke rumah dan langsung meletakkan sepatuku di tempatnya. Biasanya aku sudah kehabisan tenaga dan langsung ingin merebahkan diri di tempat tidur tapi kali ini aku langsung pergi ke dapur menemui Bunda yang seperti biasa, setiap sore pasti membuat kudapan."Bunda.""Ya Nak....""Ada banyak yang terjadi hari ini apa bunda mau mendengarnya?""Tentu, katakan, Bunda bersemangat ingin tahu," ucap Ibuku sambil menyeka adonan dari tangannya.Aku ajak ibu tercintaku itu duduk, lalu perlahan-lahan aku menceritakan semuanya dari A sampai berakhir."Ini mengejutkan," ucapnya begitu aku selesai bercerita. "Ya, sangat tidak terduga.""Jadi dokter Okan dan bosmu adalah sepupu? Tapi keduanya sama-sama sukses dan tampan ya, bunda jadi bingung...." Bunda terlihat menerawang tapi aku langsung menepuk pahanya dan menyadarkann
Tring.Ponselku berdenting tak lama setelah kepergian Dinda. Itu adalah panggilan dari dokter jiwa yang sempat menuliskan resep obat untukku. Dia menelponku dan ternyata sudah berkali-kali panggilannya masuk ke ponselku, mungkin karena saat itu aku sedang bertemu dengan Dinda jadi aku tidak mendengarnya."Halo," ucapku pada sambungan telepon yang tidak kusimpan pemiliknya itu."Halo, ini aku dokter Okan.""Iya Dok, ada apa?""Apa kau sudah minum obatmu?""Aku tidak lagi mengonsumsi obat antidepresan, aku sudah membaik.""Sebenarnya aku ingin mengajakmu untuk peresmian klinik dokter Widi di hari Sabtu depan apa kau bisa.""Menurutmu apa ide bagus mengajakku ke arah peresmian itu, Dok. Bukannya kehadiranku akan seperti tamu tidak diundang.""Tidak juga, kau masih terikat dengannya dan juga kau adalah ibu anak-anaknya, akan jadi isu yang tak enak kalau dia tidak mengundangmu.""Yang pasti istri barunya tidak akan suka.""Wanita itu belum resmi jadi istri," balasnya."Tetap saja dia istr
Aku kembali ke rumah dengan berbagai perasaan tidak menyenangkan dan rasa kecewa atas percakapan yang terjadi antara aku dan kak Laura. Kaget dan tidak menyangka juga tiba-tiba dia berkata seperti itu menghakimi dan mengintimidasi diri ini dan secara tersirat seakan memaksaku untuk segera keluar dari rumah orang tua sendiri."Assalamualaikum," kuucapkan salam kepada Ayah dan Bunda yang sedang duduk di kursi ruang tamu, aku masuk dengan lunglai sementara mereka langsung penasaran dengan ekspresiku yang seperti itu."Ada apa?""Dengan tidak bermaksud mengadukan kakakku, dia datang ke kantor, Yah.""Terus?""Dia bilang aku tidak boleh membebani orang tua, aku harus segera menikah agar orang-orang tidak khawatir dengan keadaanku, dan harusnya semua ini tidak terjadi."Ayah dan bunda saling memandang dengan berbagai ekspresi yang makin membuatku pusing."Aku minta maaf kepada kalian Jika benar aku adalah beban yang membuat pikiran kalian tertekan, maafkan aku Yah, Bund.""Jangan pernah ber
Seperti yang kau katakan kalau aku sedang pusing, kepusingan itu membuatku bingung tentang apa yang akan aku lakukan di akhir pekan dan bagaimana aku meredakan semua beban pikiran yang terus berputar di benak ini. (Apa tawaranmu yang kemarin masih berlaku?)(Iya, Apa kau mau pergi ke pesta itu?) Dokter Okan segera membalasku.(Ya, kurasa aku harus turut serta memberikan ucapan selamat kepada dokter Widi mari pergi ke acara itu sebagai teman.)(Tentu, bangga menggandeng dirimu sebagai teman.)(Baiklah jemput aku nanti malam, Dok.)(Tentu, bersiaplah jam delapan nanti.)*Seperti yang dijanjikan pria itu datang menjemputku dengan mobil Alphard mewah. Mobilnya membunyikan klakson di depan rumah sementara aku yang sudah bersiap langsung berpamitan kepada ayah dan ibuku."Mau pergi dengan siapa?""Dengan dokter Okan.""Baiklah, hati hati," ucap bunda lembut.Aku segera mengenakan sepatu dan langsung menemui pria yang sudah berdiri di dekat pintu mobilnya itu. Dia menunggu dan membukakan
Selagi ia berteriak dan berdiri tegang sambil mencengkeram kedua tangannya, Dinda yang menyadari semua itu langsung datang dan menghampiri lelaki itu."Mas, ada apa? Ga enak sama tamu lho Mas." Dia mendekat dan berbisik manja ke telinga Mas Widi, ia melirikku dengan ekor mata seolah aku akan meraung raung melihat dia bermesraan dengan hasil rampasan. "Ah, maaf, aku di luar kendali." Diperingatkan seperti itu membuat bapaknya anak anak langsung menurunkan emosi dan segera mendesahkan napasnya. Dia minta maaf pada Dinda sambil merangkul pinggang wanita itu. Seperti yang aku bilang, aku tidak lagi cemburu, tapi, melihat pemandangan seperti itu membuat bola mata ini memanas. Aku ingin menangis untuk alasan yang tidak kuinginkan, aku tidak lagi mencintai atau mendambakannya tapi kenapa aku masih bersedih? Apa itu yang tidak bisa dimengerti oleh orang yang tiba-tiba ceraikan dan dihempaskan oleh suaminya sendiri?"Sebaiknya kita pergi Dok," ucapku pada Dokter Okan. Aku sudah tidak taha