Meski aku sibuk di kantor dan terus-menerus menerima panggilan dari Bos, keluar masuk dan lalu lalang antara ruanganku dan ruangannya tapi pikiran ini masih terus berputar tentang apa yang kubaca pagi tadi.Kalau dipikir lebih jauh, poin gugatan itu seolah menyudutkan diriku, kalau dia punya saksi dan pengacara yang akan membelanya mungkin aku tidak akan bisa mendapatkan hak asuh. Di sana, dia bilang aku tidak pernah fokus mengurus keluarga dan mengabaikan anak-anak.Ah, Mas Widi, kenapa kau tidak pernah berhenti membuat masalah?"Hei, apa yang enggak gua mau kenapa kau termenung padahal sejak tadi Aku memanggilmu?" Pak Adrian menepuk bahuku, aku yang sedang tersenyum di depan komputer langsung tertawa gugup dan berdiri."Ada apa Pak? Maaf tadi saya sedang memikirkan sesuatu?""Memikirkan tentang Dokter itu?""Uhm, sebenarnya tidak begitu penting, hanya surat gugatan perceraian yang sudah datang dan ada sedikit hal yang mengganggu di hati.""Kenapa, apa dia menggugat sesuatu yang tidak
Aku masih berdiri di ujung meja panjang dengan termenung sementara Pak Adrian berada di ujung yang satunya. Dia menghentikan aktivitasnya di atas tuts laptop, dia menunggu jawabanku."Uhm, begini Pak, perbedaan kasta dan kelas di antara kita, saya yang sederhana, status saya yang masih belum jelas membuat isi kepalaku berputar dan bingung. Saya jadi bias antara mana yang nyata dan mana yang bercanda.""Aku sudah bilang ... Atau haruskah aku buktikan," ucapnya yang langsung bangun dari posisinya. Ia berdiri dan berjalan ke arahku sementara aku langsung gemetar dihampiri olehnya.Untuk pertama kali setelah bertahun-tahun, tidak merasakan sensasi berdebar dihampiri seorang pria, aku jadi sangat gugup dan telapak tanganku langsung berkeringat dingin. Aku hanya menelan ludah dan terpaku di posisiku saat dia mendekat."Ayo kita ke rumahmu, aku akan minta izin pada ayah dan ibumu agar kita menikah." Dia menggenggam pergelangan tanganku dan mengajakku keluar. Tentu saja aku menolak, lagipula
Aku kembali ke rumah menjelang pukul 05.00 sore. Begitu padatnya jadwal dan begitu banyak berkas yang harus kuselesaikan membuatku tidak ingin menundanya sampai besok.Aku pulang ke rumah dan langsung meletakkan sepatuku di tempatnya. Biasanya aku sudah kehabisan tenaga dan langsung ingin merebahkan diri di tempat tidur tapi kali ini aku langsung pergi ke dapur menemui Bunda yang seperti biasa, setiap sore pasti membuat kudapan."Bunda.""Ya Nak....""Ada banyak yang terjadi hari ini apa bunda mau mendengarnya?""Tentu, katakan, Bunda bersemangat ingin tahu," ucap Ibuku sambil menyeka adonan dari tangannya.Aku ajak ibu tercintaku itu duduk, lalu perlahan-lahan aku menceritakan semuanya dari A sampai berakhir."Ini mengejutkan," ucapnya begitu aku selesai bercerita. "Ya, sangat tidak terduga.""Jadi dokter Okan dan bosmu adalah sepupu? Tapi keduanya sama-sama sukses dan tampan ya, bunda jadi bingung...." Bunda terlihat menerawang tapi aku langsung menepuk pahanya dan menyadarkann
Tring.Ponselku berdenting tak lama setelah kepergian Dinda. Itu adalah panggilan dari dokter jiwa yang sempat menuliskan resep obat untukku. Dia menelponku dan ternyata sudah berkali-kali panggilannya masuk ke ponselku, mungkin karena saat itu aku sedang bertemu dengan Dinda jadi aku tidak mendengarnya."Halo," ucapku pada sambungan telepon yang tidak kusimpan pemiliknya itu."Halo, ini aku dokter Okan.""Iya Dok, ada apa?""Apa kau sudah minum obatmu?""Aku tidak lagi mengonsumsi obat antidepresan, aku sudah membaik.""Sebenarnya aku ingin mengajakmu untuk peresmian klinik dokter Widi di hari Sabtu depan apa kau bisa.""Menurutmu apa ide bagus mengajakku ke arah peresmian itu, Dok. Bukannya kehadiranku akan seperti tamu tidak diundang.""Tidak juga, kau masih terikat dengannya dan juga kau adalah ibu anak-anaknya, akan jadi isu yang tak enak kalau dia tidak mengundangmu.""Yang pasti istri barunya tidak akan suka.""Wanita itu belum resmi jadi istri," balasnya."Tetap saja dia istr
Aku kembali ke rumah dengan berbagai perasaan tidak menyenangkan dan rasa kecewa atas percakapan yang terjadi antara aku dan kak Laura. Kaget dan tidak menyangka juga tiba-tiba dia berkata seperti itu menghakimi dan mengintimidasi diri ini dan secara tersirat seakan memaksaku untuk segera keluar dari rumah orang tua sendiri."Assalamualaikum," kuucapkan salam kepada Ayah dan Bunda yang sedang duduk di kursi ruang tamu, aku masuk dengan lunglai sementara mereka langsung penasaran dengan ekspresiku yang seperti itu."Ada apa?""Dengan tidak bermaksud mengadukan kakakku, dia datang ke kantor, Yah.""Terus?""Dia bilang aku tidak boleh membebani orang tua, aku harus segera menikah agar orang-orang tidak khawatir dengan keadaanku, dan harusnya semua ini tidak terjadi."Ayah dan bunda saling memandang dengan berbagai ekspresi yang makin membuatku pusing."Aku minta maaf kepada kalian Jika benar aku adalah beban yang membuat pikiran kalian tertekan, maafkan aku Yah, Bund.""Jangan pernah ber
Seperti yang kau katakan kalau aku sedang pusing, kepusingan itu membuatku bingung tentang apa yang akan aku lakukan di akhir pekan dan bagaimana aku meredakan semua beban pikiran yang terus berputar di benak ini. (Apa tawaranmu yang kemarin masih berlaku?)(Iya, Apa kau mau pergi ke pesta itu?) Dokter Okan segera membalasku.(Ya, kurasa aku harus turut serta memberikan ucapan selamat kepada dokter Widi mari pergi ke acara itu sebagai teman.)(Tentu, bangga menggandeng dirimu sebagai teman.)(Baiklah jemput aku nanti malam, Dok.)(Tentu, bersiaplah jam delapan nanti.)*Seperti yang dijanjikan pria itu datang menjemputku dengan mobil Alphard mewah. Mobilnya membunyikan klakson di depan rumah sementara aku yang sudah bersiap langsung berpamitan kepada ayah dan ibuku."Mau pergi dengan siapa?""Dengan dokter Okan.""Baiklah, hati hati," ucap bunda lembut.Aku segera mengenakan sepatu dan langsung menemui pria yang sudah berdiri di dekat pintu mobilnya itu. Dia menunggu dan membukakan
Selagi ia berteriak dan berdiri tegang sambil mencengkeram kedua tangannya, Dinda yang menyadari semua itu langsung datang dan menghampiri lelaki itu."Mas, ada apa? Ga enak sama tamu lho Mas." Dia mendekat dan berbisik manja ke telinga Mas Widi, ia melirikku dengan ekor mata seolah aku akan meraung raung melihat dia bermesraan dengan hasil rampasan. "Ah, maaf, aku di luar kendali." Diperingatkan seperti itu membuat bapaknya anak anak langsung menurunkan emosi dan segera mendesahkan napasnya. Dia minta maaf pada Dinda sambil merangkul pinggang wanita itu. Seperti yang aku bilang, aku tidak lagi cemburu, tapi, melihat pemandangan seperti itu membuat bola mata ini memanas. Aku ingin menangis untuk alasan yang tidak kuinginkan, aku tidak lagi mencintai atau mendambakannya tapi kenapa aku masih bersedih? Apa itu yang tidak bisa dimengerti oleh orang yang tiba-tiba ceraikan dan dihempaskan oleh suaminya sendiri?"Sebaiknya kita pergi Dok," ucapku pada Dokter Okan. Aku sudah tidak taha
Sepanjang Jalan Dokter Okan terus mempercandai diri ini perihal hubunganku dengan direktur kami. Berkali-kali ia menyesali betapa terlambatnya ia untuk mendekati diriku sementara aku hanya menghela napas sambil berusaha menghindari setiap celotehannya yang tidak berguna."Kau serius mau dengan Adrian, apa kau serius?""Haaah...." Aku hanya mendesah pelan sambil menatap keluar jendela.Sesampainya di rumah aku langsung berterima kasih kepada dokter itu karena sudah mengantarku dengan selamat. Tapi baru saja turun dari mobil tiba-tiba Adrian sudah ada di sana dan langsung menghampiriku."Ya Tuhan, kau baik-baik saja?""Iya, aku baik baik saja.""Aku merasa sangat tegang karena kau berada dalam dua masalah di satu malam ini. Kau pergi dengan kakak sepupuku yang nakal dan kau menghadiri peluncuran klinik baru mantan suamimu yang sudah menyakitimu, aku sangat cemas.""Semuanya berjalan baik-baik saja.""Apa di sana tidak terjadi keributan?""Ada, tapi tidak begitu serius," balasku."Ya Tuh
Kudengar pembicaraan saat berkunjung terakhir kali ke kantor polisi, berdasarkan pasal 354 dan 353 KUHP tentang penganiayaan berat dan penganiayaan berencana, maka Dinda terancam dituntut dengan hukuman empat tahun penjara dan denda. Usut punya usut, wanita itu sejak awal memang sudah merencanakan untuk mencelakakan orang lain, ditambah dengan keterangan saksi dan laporan pria yang ditangkap kemarin, bahwa dia memang dibayar oleh Dinda agar menusuk diriku dan mencelakakan diri ini.*Jangan tanya seberapa besar keluarganya berusaha untuk menyelamatkan wanita itu dari tuntutan penjara. Berulang kali staff dari keluarganya mencoba menemuiku dan meyakinkan diri ini untuk tidak memberikan kesaksian, aku juga diiming-imingi uang dan rumah baru juga pekerjaan yang layak tapi aku menolaknya.Pada akhirnya lelaki yang sudah lelah membujuk diriku itu kemudian berkata,"Mengingat betapa baiknya hubungan Anda di masa lalu dengan Nyonya Dinda. Saya rasa Anda harus mulai bermurah hati kepadanya.
Saat polisi menggiring Dinda keluar dari rumah sakit banyak orang-orang yang memperhatikan peristiwa itu. Mereka berkerumun dan membicarakan peristiwa yang bagaikan drama itu. Berulang kali Dinda mencoba melepaskan diri dan menjerit serta berteriak. Dia bilang dia tidak bisa ditangkap karena keluarganya akan segera melindunginya tapi itu tidak urung membuat polisi terus membawa wanita itu ke atas mobil patroli dan meluncur pergi. Kuhela napas pelan setelah keadaan mulai mereda, orang-orang kembali ke ruangan dan posisi mereka, pun Syifa yang sudah dibaringkan di tempat tidur dan ditenangkan oleh suaminya."Maafkan aku, andai aku tidak datang kemari untuk menjenguk Syifa mungkin Dinda juga tidak akan datang dan melakukan itu.""Jangan salahkan dirimu," ujar Syifa.Usai menyelimuti Syifa Adrian mendekatiku Dia memberi isyarat agar kami berdua bicara ke suatu tempat. "Ayo kita bicara fisiknya sambil mengarahkanku dan membukakan pintu untukku. Kami berjalan perlahan ke arah balkon da
Dua hari kemudian.Aku sengaja membeli bunga lili dan lavender juga sedikit mawar merah untuk kurangkai di sebuah buket lalu kubawakan untuk Syifa yang keadaannya sudah mulai membaik di rumah sakit.Kutemui wanita yang sudah mulai pulih itu dan sudah bisa duduk serta tersenyum di tempat tidurnya."Apa kabarmu?" tanyaku. Aku menyalaminya dan dia menyambutku dengan senyum hangat, kondisi dirinya yang sedang hamil 6 bulan membuatnya nampak sulit bergerak dan sedikit gemuk."Aku baik. Aku semakin membaik.""Bagaimana dengan lukanya.""Memang nyeri, tapi aku baik baik saja," balasnya."Kau memang kuat.""Alhamdulillah.""Tapi kenapa kau mau melakukan itu untuk melindungiku. Andai kau biarkan saja lelaki itu menyerangku agar kau tidak mengalami hal seperti ini?""Tidak, Mas, aku merasa berguna menyelamatkanmu.""Tapi kau juga punya bayi di dalam perutmu bagaimana kalau bayi itu sampai meninggal gara-gara aku? Aku yakin suamimu tidak akan memaafkanku.""Tidak, Adrian tidak menyalahkanmu, dia
Aku bisa menangkap kemarahan pria itu, pria yang punya perusahaan multinasional dan cukup terkenal itu dia tidak akan melepaskan pelaku penusukan terhadap istrinya juga dalang dibaliknya.Tidak akan butuh waktu lama untuk tahu dan menangkap pelaku penusukan. Cukup memeriksa CCTV Rumah Sakit lalu memeriksa plat motor yang digunakan pelaku untuk melarikan diri dan tak lama kemudian polisi tidak akan kesulitan untuk melacak keberadaan pria tersebut, lalu menangkap dan mengintrogasinya kemudian mengungkap siapa pelaku di balik semua ini.Seperti yang kuduga, 10 menit kemudian Adrian didatangi oleh beberapa orang polisi Dia terlihat berbicara dengan serius dan mengantarkan petugas itu ke ruangan istrinya, polisi melihat keadaan Syifa dari balik kaca ruang perawatan dan terlihat mengerti apa yang diperintahkan oleh Adrian."Kami akan memeriksa kamera pengawas dan kami berjanji akan menemukan pelakunya secepatnya.""Istriku tidak pernah punya musuh bertengkar atau menyakiti orang lain saya
Aku dinaikkan kembali ke kursi roda lalu didorong dan dibawa masuk ke ruang tunggu. Bunda menangis dan pergi melihat mantan menantunya yang kini sedang kalang kabut ditolongi oleh dokter. Adrian juga nampak panik, terlihat berlari ke arah apotek untuk mencari kantung darah dan beberapa alat yang diperlukan. "Dorong ayah masuk ke UGD," ujarku pada anak anak."Dokter bilang nggak boleh masuk," ujar putriku dengan mata sembab."Kita harus liat keadaan Bunda.""Bunda ga sadar, dia dipasangi selang oksigen," ujar anak sulungku. Dengan didorong oleh mereka berdua kami tertatih masuk ke ruang UGD dan melihat betapa kalang kabutnya dokter yang ada di sana. Lantai lantai jadi kotor berserakan dengan kain kasa yang sudah berwarna darah, bahkan dari ranjangnya, Syifa juga mengalirkan dan cairan itu menetes dari brankar, membuat lantai jadi becek dengan warna merah yang membuat kepalaku pusing."Dokter gimana keadaannya?""Kami sedang memberikan pertolongan. Dia mengeluarkan darah yang begitu b
"Bu, berangkat dulu.""Apa kau akan sepanjang hari di gym?""Iya.""Baiklah, kalau begitu. Ibu mau menjenguk ayahmu di pusat perawatan lansia.""Iya, apa ibu akan butuh uang?""Ibu masih punya simpanan.""Baiklah kalau begitu Ibu hati-hati juga."Setelah mencium tangan halus dan mengecup kening ibuku tercinta, aku segera mungkin berangkat menggunakan motor menuju ke gym yang berada 20 KM jauh dari rumah.Berkendara sambil menikmati suasana kota dan sejuknya udara pagi, sambil menatap pohon rindang yang ada di sebelah kanan kiri jalan, membuatku sedikit menikmati perjalanan. Telah sedikit saja aku bisa terjebak macet ditambah cuaca mulai panas maka hati akan mudah runyam. Aku mengemudikan motor sambil mendengarkan alunan musik pelan di headset yang ku pasang di telinga.Karena ingin mempersingkat waktu aku mengambil jalan pintas, memotong melewati blok-blok bangunan dan jalan yang sepi. Hingga tiba di sebuah Jalan yang berada di belakang barisan ruko-ruko besar. Aku menyadari sebuah mo
Aku tidak menyangka bahwa penolakanku tempo hari adalah petaka.**Aku merasa bersalah kepada dinda tapi menimbang bahwa sudah begitu jauh masalah yang terjadi karena kami nekat bersama, akhirnya aku memutuskan untuk mengalah dan mengakhiri semua ini.Ya, aku memutuskan untuk batal rujuk dan mengejarnya lagi. Meski tadinya aku melihat cinta untuknya akan memperbaiki hidupku dan memperlancar jaringan bisnis, serta menaikkan pamorku sebagai dokter yang berprestasi, tapi nyatanya semua itu gagal.Aku beruntung karena aku hanya dipenjara selama beberapa bulan, aku berhasil bebas dengan jaminan darinya, Sebenarnya aku merasa sangat berhutang Budi dan bersalah karena merugikan keuangan Dinda, aku ingin menebusnya tapi entah kenapa saat itu aku bodoh sekali. Seharusnya aku tidak menciptakan konflik antara aku dan istri kedua dengan cara terus-menerus menemui mantan istri pertama.Sebenarnya aku tidak akan membuat episode depresi Dinda jadi kumat andai aku tidak terus meluahkan waktu untuk m
Selepas kepergianku dari rumah mantan ibu mertua aku lanjutkan perjalanan menuju pusat kebugaran di mana mas Widi bekerja sebagai pelatih. Dulu dia hanya cleaning service tapi karena bentuk tubuhnya yang atletis dan wajahnya yang lumayan menarik serta keahliannya dalam memakai alat olahraga membuat pemilik gym merekrut dia sebagai pelatih.Kudengar berkat kehadiran mas Widi sebagai pelatih banyak wanita yang kemudian bergabung ke pusat kebugaran untuk mengecilkan tubuh mereka dan mendapatkan bentuk yang ideal. Aku aku percaya mereka bukan hanya ingin langsing tapi juga ingin mendapatkan perhatian mantan suamiku.Tidak, suamiku, seharusnya dia masih suamiku. Ketidakwarasanku membuat aku kehilangan suami dan seharusnya itu tidak terjadi."Halo nyonya, kenapa baru datang sekarang? sudah sebulan anda tidak mengunjungi pusat kebugaran," ucapnya yang sudah kenal padaku dan menyambutku dengan Ramah."Apa anda akan berlatih hari ini?""Tidak, Aku ingin bertemu dengan mas Widi.""Oh baik nyo
Terik matahari di siang ini cukup menyengat, angin yang bertiup terasa membawa panas saat aku tiba di rumah mantan ibu mertua. Kudorong pintu gerbang yang selalu tidak terkunci, kuarahkan pandanganku pada pintu utama yang diberi ornamen dari rotan yang dijalin dan bertuliskan selamat datang, dinding sebelah kiri yang difungsikan sebagai pagar ditumbuhi oleh mawar rambat beraneka warna, terasa begitu kontras dengan warna langit yang biru dan asrinya rumah itu. "Assalamualaikum."Aku mengetuk pintu dan sekitar semenit kemudian seseorang membukakannya. Saat mata kami bertemu wanita itu nampak terkejut, ia berkali-kali memastikan tanggapan matanya sampai aku menyapanya."Apa kabar Ibu?""Kau dinda kan?""Iya, boleh saya masuk.""Oh, ayo," ucapnya ramah. Dipersilahkannya aku duduk di kursi tamu, sementara di atas meja ada vas bunga yang diisi dengan bunga-bunga segar. Dari dulu, ibu mertua katanya sangat pandai merangkai bunga."Bunganya bagus," ucapku canggung, wanita itu tersenyum t