Aku kembali ke Jakarta setelah 2 hari pertemuan terakhirku dengan Adrian Laksono. Aku kembali menggunakan maskapai yang sama. Katanya Mas Widi akan menjemputku di bandara. Dia bilang dia tidak sabar ingin segera berjumpa dan bicara banyak.Sebenarnya saat dia mengatakan ingin bicara aku sudah terbebani dan membayangkan banyak hal, begitu menumpuknya beban dan terkaan dalam benakku, sekiranya tentang apa yang akan dibicarakan suamiku. Restu keluarga sudah mereka dapatkan, rumah juga sudah mereka miliki, apakah sekarang, mereka akan minta dinikahkan dengan resmi? Ah, semakin dipikir, semakin terbebani dan pusing diri ini.*Pesawatku mendarat dengan mulus di bandara Soekarno Hatta. Seperti biasa aku mengantri mengambil tas, lalu menyusuri lorong besar yang dipenuhi manusia lalu lalang menuju pintu keluar bandara.Katanya Mas Widi sudah menunggu di bagian penjemputan penumpang. Kuharap ia membawa anak anak dengannya. Aku rindu ingin memeluk mereka.*Sungguh jauh api dari panggang, ku
Menyadari dan tahu kalau kunci ada padanya, tanpa banyak bertanya lagi, kuhampiri wanita itu dan kurebut kunci yang dia pegang dengan kasar."Terima kasih sudah menjaga kunci rumah kini aku akan mengambilnya lagi."Wanita itu terkejut, ia meringis, tangannya sakit. Dia menatap pada Mas Widi untuk minta dibela, tapi si Lelaki tidak membelanya, selain hanya menggeleng tipis agar dia tidak melawan. Aku yakin wanita itu merasa geram pada Mas Widi karena sejak tadi lelaki itu hanya mengalah padaku, sesekali dia pasti ingin sekali dibela, dia ingin menyaksikan aku dimarahi Mas Widi. Saat pintu rumah sudah terbuka, suamiku masuk dan Dinda ingin mengikutinya tapi aku menghalanginya."Tidak, jangan masuk," ucapku di ambang pintu."Kenapa, apa begini cara menyambut tamu?""Apa kau merasa dirimu sebagai tamu? bukankah 2-3 hari yang lalu kau anggap dirimu sebagai Nyonya rumah yang bebas membersihkan, mengatur, memasak dan menyiapkan segalanya. Apa kau lupa?!""Jadi sekarang aku tidak boleh ma
Setelah membereskan semua bawaan dari luar negeri, aku mulai berbenah dan membereskan rumah menyapu lantai, memvakum karpet dan membersihkan jendela. Aku juga memasukkan pakaian ke dalam mesin laundry, melipat baju anak-anak yang bisa digunakan sehari-hari, penyusun handuk dan sprei ke lemari kemudian merapikan tempat tidur.Aku turun ke dapur membereskan bekas sarapan pagi mereka, lalu menyiapkan makan siang untuk Faris dan Farisa. Setengah jam kemudian kedua anakku pulang sekolah. Melihatku yang ternyata sudah sibuk di dapur, kedua putra putriku menghambur memeluk diri ini dengan gembira. Mereka bersorak bahagia mendapatiku sudah pulang dari Australia. "Bunda, bunda sudah pulang?" tanya Faris."Iya, sudah, sayang.""Apa yang Bunda bawa untuk kami?"Pergilah ke kamar kalian ada banyak kejutan di atas meja belajar.""Apa itu?" Kedua anakku serentak bersorak gembira."Mainan dan benda benda yang kalian inginkan.""Oh, makasih Bunda. Kami senang sekali.""Tak masalah, sama sama Sayang
Nafasku tersengal dari tangisanku tersendak pilu di hadapan lelaki yang baru saja menjatuhkan talak. Dengan entengnya dia menjatuhkan talak dengan kata yang diperhalus jadi; lebih baik mengeliminasi satu daripada merusak dua. Masya Allah, sungguh terpuji budi luhur suamiku ini. Sarkas yang menjijikkan.Aku menangis dengan air mata berurai dan Meski aku sudah menghalau tangisan dan suaraku dengan cara menutup tangan di wajah, tapi tetap saja tangisanku terisak-isak. Lelaki sombong bergelar dokter hebat itu, dia hanya berdiri, tercenung sendiri dengan kata-kata yang baru saja ia ucapkan.Setelah aku agak tenang dan merangkum kekuatanku, serta menyudahi tangisan yang terdengar memalukan itu. Aku segera menarik nafas panjang dan bicara padanya."Baguslah kalau tinggalkan aku, karena sudah sejak lama aku menunggu keputusanmu. Aku menanti dengan sabar kapan harinya kau akan memilih diantara satu, dan pergi pada orang yang kau cintai. Pada akhirnya aku dapatkan jawabanku.""Apa yang harap
Banyak nada sumbang mengomentari keadaan kami, banyak pasang mata melihat miris bagaimana aku terlempar ke teras rumah dalam keadaan menangis dan minta hakku pada tempat ini dan anak-anak. Nihil, aku tidak dapat apa-apa selain ponsel dan kunci motor. Orang-orang yang ada di balik pagar masih saling berbisik dan melihat kami dengan berbagai tatapan yang tidak nyaman kulihat. Aku membenahi jilbabku dan rambutku yang berantakan kemudian bangkit perlahan untuk pergi mengambil motor dan pulang ke rumah orang tuaku.Ah, air mata ini jatuh lagi saat aku menaiki motor. Pedih perasaanku melihat rumah yang indah ini harus ditinggalkan. Dulu kami menabung dengan susah payah untuk membangunnya lalu masuk dengan penuh sukacita dan perayaan, kini aku terusir begitu saja seperti pengemis yang tidak diinginkan. Aku bahkan tidak sempat memeluk anakku dan berpamitan. Aku sebagai seorang ibu dirampas begitu saja dalam satu pukulan tangan.Akhirnya aku membalikkan motor dan pergi meninggalkan tempat itu
Kupeluk dan kukecup berkali-kali putra putriku. Kurangkul mereka dengan penuh kasih sayang lalu ku ajak mereka masuk ke dalam untuk duduk di ruang tamu nenek mereka. Tapi baru saja aku akan bangkit dari posisiku yang memeluk anak-anak dan hendak membawa mereka tiba-tiba aku berpapasan dengan Dinda yang sudah berdiri dengan santai sambil menyilangkan tangannya di dada."Kau mau kemana?""Masuk.""Kemana? Ke rumah mertuaku?" tanya wanita yang memakai anting-anting panjang itu."Aku tahu ini rumah mertuamu, tapi aku ingin bicara pada anakku sambil duduk.""Hmm, seperti apa yang pernah kau katakan padaku, maka, aku akan mengatakannya padamu lagi mbak. Jangan ambil sesuatu dan keadaan lebih dari porsinya. Kau hanya menantu yang ditolak sementara sekarang Aku adalah istri yang sah. Jangan buat aku tersisih di rumah Mertuaku sendiri," ucap Dinda dengan senyum yang penuh kesombongan."Kalau begitu kita bicara di luar saja Nak, di bawah pohon bunga atau di mobil ayah," ucap ayahku menengahi
Kupeluk dan kukecup berkali-kali putra putriku. Kurangkul mereka dengan penuh kasih sayang lalu ku ajak mereka masuk ke dalam untuk duduk di ruang tamu nenek mereka. Tapi baru saja aku akan bangkit dari posisiku yang memeluk anak-anak dan hendak membawa mereka tiba-tiba aku berpapasan dengan Dinda yang sudah berdiri dengan santai sambil menyilangkan tangannya di dada."Kau mau kemana?""Masuk.""Kemana? Ke rumah mertuaku?" tanya wanita yang memakai anting-anting panjang itu."Aku tahu ini rumah mertuamu, tapi aku ingin bicara pada anakku sambil duduk.""Hmm, seperti apa yang pernah kau katakan padaku, maka, aku akan mengatakannya padamu lagi mbak. Jangan ambil sesuatu dan keadaan lebih dari porsinya. Kau hanya menantu yang ditolak sementara sekarang Aku adalah istri yang sah. Jangan buat aku tersisih di rumah Mertuaku sendiri," ucap Dinda dengan senyum yang penuh kesombongan."Kalau begitu kita bicara di luar saja Nak, di bawah pohon bunga atau di mobil ayah," ucap ayahku menengahi
Aku tidak ingin depresi, kerinduan yang tertahan, emosi yang berkecamuk serta dendam membuatku jadi pribadi yang berbeda dari sebelumnya. Aku tidak ingin depresi membuatku mengalami gangguan kejiwaan makin dalam, karenanya, kupilih untuk minta bantuan dokter agar aku bisa bangkit dari semua keterpurukan ini.Aku dengan semua kesadaranku dan yakin betul bahwa kalau tidak mengobati diri sendiri maka aku akan menderita, pergi ke rumah sakit dan hendak melakukan konseling kejiwaan. Aku dapatkan dukungan dari keluarga tapi penting juga untuk mendapatkan obat.Entah mengapa, aku diantar Ayah ke rumah sakit di mana Mas Widi bekerja. Itu adalah rumah sakit pemerintah di mana asuransi kesehatanku ditanggung. Jadi, daripada buang uang pergi ke klinik swasta, serta mempertimbangkan faktor ekonomis, orang tuaku membawaku ke rumah sakit itu."Bagaimana kalau aku bertemu dengan dokter Widi, Ayah?" tanyaku di lokasi parkir."Lihat sekilas lalu abaikan, anggap dia batu atau seonggok batang pohon.