Setelah membereskan semua bawaan dari luar negeri, aku mulai berbenah dan membereskan rumah menyapu lantai, memvakum karpet dan membersihkan jendela. Aku juga memasukkan pakaian ke dalam mesin laundry, melipat baju anak-anak yang bisa digunakan sehari-hari, penyusun handuk dan sprei ke lemari kemudian merapikan tempat tidur.Aku turun ke dapur membereskan bekas sarapan pagi mereka, lalu menyiapkan makan siang untuk Faris dan Farisa. Setengah jam kemudian kedua anakku pulang sekolah. Melihatku yang ternyata sudah sibuk di dapur, kedua putra putriku menghambur memeluk diri ini dengan gembira. Mereka bersorak bahagia mendapatiku sudah pulang dari Australia. "Bunda, bunda sudah pulang?" tanya Faris."Iya, sudah, sayang.""Apa yang Bunda bawa untuk kami?"Pergilah ke kamar kalian ada banyak kejutan di atas meja belajar.""Apa itu?" Kedua anakku serentak bersorak gembira."Mainan dan benda benda yang kalian inginkan.""Oh, makasih Bunda. Kami senang sekali.""Tak masalah, sama sama Sayang
Nafasku tersengal dari tangisanku tersendak pilu di hadapan lelaki yang baru saja menjatuhkan talak. Dengan entengnya dia menjatuhkan talak dengan kata yang diperhalus jadi; lebih baik mengeliminasi satu daripada merusak dua. Masya Allah, sungguh terpuji budi luhur suamiku ini. Sarkas yang menjijikkan.Aku menangis dengan air mata berurai dan Meski aku sudah menghalau tangisan dan suaraku dengan cara menutup tangan di wajah, tapi tetap saja tangisanku terisak-isak. Lelaki sombong bergelar dokter hebat itu, dia hanya berdiri, tercenung sendiri dengan kata-kata yang baru saja ia ucapkan.Setelah aku agak tenang dan merangkum kekuatanku, serta menyudahi tangisan yang terdengar memalukan itu. Aku segera menarik nafas panjang dan bicara padanya."Baguslah kalau tinggalkan aku, karena sudah sejak lama aku menunggu keputusanmu. Aku menanti dengan sabar kapan harinya kau akan memilih diantara satu, dan pergi pada orang yang kau cintai. Pada akhirnya aku dapatkan jawabanku.""Apa yang harap
Banyak nada sumbang mengomentari keadaan kami, banyak pasang mata melihat miris bagaimana aku terlempar ke teras rumah dalam keadaan menangis dan minta hakku pada tempat ini dan anak-anak. Nihil, aku tidak dapat apa-apa selain ponsel dan kunci motor. Orang-orang yang ada di balik pagar masih saling berbisik dan melihat kami dengan berbagai tatapan yang tidak nyaman kulihat. Aku membenahi jilbabku dan rambutku yang berantakan kemudian bangkit perlahan untuk pergi mengambil motor dan pulang ke rumah orang tuaku.Ah, air mata ini jatuh lagi saat aku menaiki motor. Pedih perasaanku melihat rumah yang indah ini harus ditinggalkan. Dulu kami menabung dengan susah payah untuk membangunnya lalu masuk dengan penuh sukacita dan perayaan, kini aku terusir begitu saja seperti pengemis yang tidak diinginkan. Aku bahkan tidak sempat memeluk anakku dan berpamitan. Aku sebagai seorang ibu dirampas begitu saja dalam satu pukulan tangan.Akhirnya aku membalikkan motor dan pergi meninggalkan tempat itu
Kupeluk dan kukecup berkali-kali putra putriku. Kurangkul mereka dengan penuh kasih sayang lalu ku ajak mereka masuk ke dalam untuk duduk di ruang tamu nenek mereka. Tapi baru saja aku akan bangkit dari posisiku yang memeluk anak-anak dan hendak membawa mereka tiba-tiba aku berpapasan dengan Dinda yang sudah berdiri dengan santai sambil menyilangkan tangannya di dada."Kau mau kemana?""Masuk.""Kemana? Ke rumah mertuaku?" tanya wanita yang memakai anting-anting panjang itu."Aku tahu ini rumah mertuamu, tapi aku ingin bicara pada anakku sambil duduk.""Hmm, seperti apa yang pernah kau katakan padaku, maka, aku akan mengatakannya padamu lagi mbak. Jangan ambil sesuatu dan keadaan lebih dari porsinya. Kau hanya menantu yang ditolak sementara sekarang Aku adalah istri yang sah. Jangan buat aku tersisih di rumah Mertuaku sendiri," ucap Dinda dengan senyum yang penuh kesombongan."Kalau begitu kita bicara di luar saja Nak, di bawah pohon bunga atau di mobil ayah," ucap ayahku menengahi
Kupeluk dan kukecup berkali-kali putra putriku. Kurangkul mereka dengan penuh kasih sayang lalu ku ajak mereka masuk ke dalam untuk duduk di ruang tamu nenek mereka. Tapi baru saja aku akan bangkit dari posisiku yang memeluk anak-anak dan hendak membawa mereka tiba-tiba aku berpapasan dengan Dinda yang sudah berdiri dengan santai sambil menyilangkan tangannya di dada."Kau mau kemana?""Masuk.""Kemana? Ke rumah mertuaku?" tanya wanita yang memakai anting-anting panjang itu."Aku tahu ini rumah mertuamu, tapi aku ingin bicara pada anakku sambil duduk.""Hmm, seperti apa yang pernah kau katakan padaku, maka, aku akan mengatakannya padamu lagi mbak. Jangan ambil sesuatu dan keadaan lebih dari porsinya. Kau hanya menantu yang ditolak sementara sekarang Aku adalah istri yang sah. Jangan buat aku tersisih di rumah Mertuaku sendiri," ucap Dinda dengan senyum yang penuh kesombongan."Kalau begitu kita bicara di luar saja Nak, di bawah pohon bunga atau di mobil ayah," ucap ayahku menengahi
Aku tidak ingin depresi, kerinduan yang tertahan, emosi yang berkecamuk serta dendam membuatku jadi pribadi yang berbeda dari sebelumnya. Aku tidak ingin depresi membuatku mengalami gangguan kejiwaan makin dalam, karenanya, kupilih untuk minta bantuan dokter agar aku bisa bangkit dari semua keterpurukan ini.Aku dengan semua kesadaranku dan yakin betul bahwa kalau tidak mengobati diri sendiri maka aku akan menderita, pergi ke rumah sakit dan hendak melakukan konseling kejiwaan. Aku dapatkan dukungan dari keluarga tapi penting juga untuk mendapatkan obat.Entah mengapa, aku diantar Ayah ke rumah sakit di mana Mas Widi bekerja. Itu adalah rumah sakit pemerintah di mana asuransi kesehatanku ditanggung. Jadi, daripada buang uang pergi ke klinik swasta, serta mempertimbangkan faktor ekonomis, orang tuaku membawaku ke rumah sakit itu."Bagaimana kalau aku bertemu dengan dokter Widi, Ayah?" tanyaku di lokasi parkir."Lihat sekilas lalu abaikan, anggap dia batu atau seonggok batang pohon.
"Assalamualaikum," ucapku diambang pintu, kedua orang tuaku yang sedang duduk di ruang tamu kelihatannya gelisah menunggu diri ini yang baru pulang menjelang pukul 05.00 sore."Kok baru pulang jam segini apa yang terjadi di rumah sakit?""Oh, maaf lupa mengabarkan ibu, tadi syifa ketemu teman lama, kabar baiknya saya ditawarkan bekerja jadi asisten pribadinya.""Laki-laki atau perempuan?""Laki laki.""Bisa kah?" Ayah dan bunda saling menatap sementara aku hanya tersenyum. Aku bisa menangkap kekhawatiran di mana anak mereka yang sebentar lagi menjanda akan bekerja jadi asisten untuk seorang buat laki-laki. Aku mengerti mereka khawatir tentang harga diri dan kehormatan. "iyalah, bisa, lagi pula ini kan bekerja, dengan demikian saya bisa dapatkan uang untuk menabung dan menemui anak-anak.""Bunda setuju kau bekerja dengan begitu kau bisa teralihkan dan punya kegiatan. Kamu bisa bertemu orang-orang baru dan mendapatkan pengalaman.""Iya, kurasa begitu bagus Bunda.""Ya sudahlah, pergila
Aku dan orang yang aku perlakukan dengan santai di Australia itu, kini makan siang dan saling berhadapan di sebuah restoran di lantai dasar gedung miliknya. Aku teringat kami membagi sama sepotong roti sandwich dan makan dengan santai sambil menatap gedung-gedung Opera house di Sidney. Sekarang situasinya berbeda sekali, aku canggung, aku bahkan sampai bisa menghitung suapan makananku ke mulut. Berbeda denganku, lelaki yang ada di hadapanku terlihat lebih santai dan lebih sering tersenyum. Dia menceritakan banyak hal tentang pekerjaannya kendala dan suka dukanya, sementara aku dan pikiranku lebih banyak menghafal dan merasa tertantang dengan tugas-tugas yang baru di hari esok."Aku suka pakaianmu kau nampak elegan dan berkelas.""Terima kasih.""Kupikir kau akan datang dengan baju panjang dan jilbab tapi ternyata kau sangat pandai mengatur penampilanmu sehingga kau terlihat seperti seorang pebisnis.""Kebetulan ini baju lama saya.""Maukah beli baju baru?""Nanti saja Pak, kalau