Kupeluk dan kukecup berkali-kali putra putriku. Kurangkul mereka dengan penuh kasih sayang lalu ku ajak mereka masuk ke dalam untuk duduk di ruang tamu nenek mereka. Tapi baru saja aku akan bangkit dari posisiku yang memeluk anak-anak dan hendak membawa mereka tiba-tiba aku berpapasan dengan Dinda yang sudah berdiri dengan santai sambil menyilangkan tangannya di dada."Kau mau kemana?""Masuk.""Kemana? Ke rumah mertuaku?" tanya wanita yang memakai anting-anting panjang itu."Aku tahu ini rumah mertuamu, tapi aku ingin bicara pada anakku sambil duduk.""Hmm, seperti apa yang pernah kau katakan padaku, maka, aku akan mengatakannya padamu lagi mbak. Jangan ambil sesuatu dan keadaan lebih dari porsinya. Kau hanya menantu yang ditolak sementara sekarang Aku adalah istri yang sah. Jangan buat aku tersisih di rumah Mertuaku sendiri," ucap Dinda dengan senyum yang penuh kesombongan."Kalau begitu kita bicara di luar saja Nak, di bawah pohon bunga atau di mobil ayah," ucap ayahku menengahi
Aku tidak ingin depresi, kerinduan yang tertahan, emosi yang berkecamuk serta dendam membuatku jadi pribadi yang berbeda dari sebelumnya. Aku tidak ingin depresi membuatku mengalami gangguan kejiwaan makin dalam, karenanya, kupilih untuk minta bantuan dokter agar aku bisa bangkit dari semua keterpurukan ini.Aku dengan semua kesadaranku dan yakin betul bahwa kalau tidak mengobati diri sendiri maka aku akan menderita, pergi ke rumah sakit dan hendak melakukan konseling kejiwaan. Aku dapatkan dukungan dari keluarga tapi penting juga untuk mendapatkan obat.Entah mengapa, aku diantar Ayah ke rumah sakit di mana Mas Widi bekerja. Itu adalah rumah sakit pemerintah di mana asuransi kesehatanku ditanggung. Jadi, daripada buang uang pergi ke klinik swasta, serta mempertimbangkan faktor ekonomis, orang tuaku membawaku ke rumah sakit itu."Bagaimana kalau aku bertemu dengan dokter Widi, Ayah?" tanyaku di lokasi parkir."Lihat sekilas lalu abaikan, anggap dia batu atau seonggok batang pohon.
"Assalamualaikum," ucapku diambang pintu, kedua orang tuaku yang sedang duduk di ruang tamu kelihatannya gelisah menunggu diri ini yang baru pulang menjelang pukul 05.00 sore."Kok baru pulang jam segini apa yang terjadi di rumah sakit?""Oh, maaf lupa mengabarkan ibu, tadi syifa ketemu teman lama, kabar baiknya saya ditawarkan bekerja jadi asisten pribadinya.""Laki-laki atau perempuan?""Laki laki.""Bisa kah?" Ayah dan bunda saling menatap sementara aku hanya tersenyum. Aku bisa menangkap kekhawatiran di mana anak mereka yang sebentar lagi menjanda akan bekerja jadi asisten untuk seorang buat laki-laki. Aku mengerti mereka khawatir tentang harga diri dan kehormatan. "iyalah, bisa, lagi pula ini kan bekerja, dengan demikian saya bisa dapatkan uang untuk menabung dan menemui anak-anak.""Bunda setuju kau bekerja dengan begitu kau bisa teralihkan dan punya kegiatan. Kamu bisa bertemu orang-orang baru dan mendapatkan pengalaman.""Iya, kurasa begitu bagus Bunda.""Ya sudahlah, pergila
Aku dan orang yang aku perlakukan dengan santai di Australia itu, kini makan siang dan saling berhadapan di sebuah restoran di lantai dasar gedung miliknya. Aku teringat kami membagi sama sepotong roti sandwich dan makan dengan santai sambil menatap gedung-gedung Opera house di Sidney. Sekarang situasinya berbeda sekali, aku canggung, aku bahkan sampai bisa menghitung suapan makananku ke mulut. Berbeda denganku, lelaki yang ada di hadapanku terlihat lebih santai dan lebih sering tersenyum. Dia menceritakan banyak hal tentang pekerjaannya kendala dan suka dukanya, sementara aku dan pikiranku lebih banyak menghafal dan merasa tertantang dengan tugas-tugas yang baru di hari esok."Aku suka pakaianmu kau nampak elegan dan berkelas.""Terima kasih.""Kupikir kau akan datang dengan baju panjang dan jilbab tapi ternyata kau sangat pandai mengatur penampilanmu sehingga kau terlihat seperti seorang pebisnis.""Kebetulan ini baju lama saya.""Maukah beli baju baru?""Nanti saja Pak, kalau
Secara tidak kuduga, tiba-tiba lelaki berjaket panjang itu menarikkku dari kerumunan, aku terkesiap dan kebingungan sementara dia menyeretku menjauh."Lepaskan aku Mas, kalau istrimu lewat dia akan salah paham melihat kita. Apa kau lupa, kau sudah menjatuhkan talak pada diriku dan artinya ....""Aku masih berhak menyentuhmu Karena yang ku jatuhkan masih talak 1 dan itu pun belum resmi di pengadilan. Kenapa kau menghindariku!" Dia berusaha menatap mataku dengan tajam sementara aku seakan tidak kuasa melawan tatapan matanya.Aku berusaha merangkum kekuatanku Dan dengan segera aku pun membalas tatapan matanya."Bukannya kau yang melemparku? Bukannya kau bilang kau sudah dapat istri yang lebih baik yang akan memberimu kesuksesan? Bukannya kau pula yang meninggikan jarak diantara kita dan melarangku untuk bertemu dengan anak-anak? Bukannya kau juga yang melarangku untuk menginjak kediaman kami? Kenapa kau bertanya?""Kemarahanku hanya kemarahan sesaat, aku minta maaf.""Kenapa minta maaf d
Merasa bahwa ini sudah di luar nalar dan tidak kumengerti, maka aku segera menegaskan kepada dokter Okan agar tidak bermain-main denganku."Tolong jangan main-main dokter Okan. Apa kau bercanda, hidup saya sudah sangat banyak beban. Kenapa Anda malah datang menambahkannya?""Saya tidak hendak menambahkan bebanmu, Saya justru ingin minta pertolonganmu.""Kamu pikir saya bersedia? Saya terlalu pusing dengan masalah hidup saya sendiri, bagaimana saya bisa meluruskan orang yang sedang sakit sementara saya tidak bisa menata perasaan dan mental saya sendiri."Aku memarahi lelaki itu tapi dia tetap tenang dan duduk di posisinya. "Saya akan pergi sekarang, saya tidak memaksa mbak Syifa untuk segera dengan hati terbuka menerima pertemanan dengan saya, tapi saya sangat berharap, sembari ingin sekali menghilangkan rasa dosa dan bersalah dari diri saya." Dokter Okan berdiri sementara aku masih meremas rambutku karena pusing dan bingung dengan begitu banyaknya kejadian hari ini. Kedua orang tua
Minggu subuh.Aku dan Bunda sengaja menyempatkan diri untuk salat subuh ke mesjid dekat dengan komplek rumah kami. Kupikir sesekali salat berjamaah akan membuat hati ini sedikit tenang, ditambah bertemu dan saling menyapa dengan para tetangga akan membawa ketenangan tersendiri dalam hatiku.Usai dari masjid aku dan bunda sengaja jalan jalan mengitari komplek untuk sekalian menikmati cuaca pagi, subuh masih setengah gelap, cahaya merah baru saja terlihat di ufuk timur, aku dan bunda berjalan santai sambil mengobrol ringan tentang pekerjaan dan kegiatan sehari hariku. Banyak yang kami ceritakan termasuk tentang keanehan sikap Mas Widi dan kedatangan dokter okan yang mengherankan. Tiba tiba dua dokter itu datang ke rumah dan hendak memperbaiki hubungan denganku? aku agak terkejut dengan situasi itu. Aku dan Bunda nyaris mencapai pintu depan pagar rumah kami, saat tiba tiba aku melihat mobil merah milik dokter Okan berhenti, lelaki itu turun dari mobilnya dan menyapa ibuku dengan mem
Tin tin....Bunyi klakson mobil jemputan dari Pak Adrian berbunyi di depan rumah, aku yang sudah menunggu dengan rapi segera mencium tangan Bunda dan berpamitan. Bunda mengantarku ke gerbang, saat beliau dan Bosku berpapasan, Adrian membuka pintu lalu segera datang menyalami Bunda."Bu, izin berangkat," ucapnya."Iya, Nak, terima kasih sudah mengajak anak Bunda bekerja. Mohon bimbingan dan pengertiannya ya," ucap Ibu."Siap, saya akan bersikap baik.""Terima kasih," ucap Bunda dengan senyum hangat, ada raut lega di wajahnya saat melepasku menjauh, dari balik kaca spion Bunda melambai samar ke arah mobil bosku."Nah, bagaimana kabarmu?""Baik.""Maaf karena aku membuatku bekerja di hari Minggu.""Jangan sungkan, Anda atasanku, Pak." Aku melirik supirnya yang duduk di depan kami, Adrian hanya menggeleng dengan isyarat aku tak perlu sungkan. "Bersikaplah santai, kita akan ketemu klien dan membicarakan penawaran bisnis, usahakan kau tetap tenang, gaya bicaramu penuh percaya diri dan key