Banyak nada sumbang mengomentari keadaan kami, banyak pasang mata melihat miris bagaimana aku terlempar ke teras rumah dalam keadaan menangis dan minta hakku pada tempat ini dan anak-anak. Nihil, aku tidak dapat apa-apa selain ponsel dan kunci motor. Orang-orang yang ada di balik pagar masih saling berbisik dan melihat kami dengan berbagai tatapan yang tidak nyaman kulihat. Aku membenahi jilbabku dan rambutku yang berantakan kemudian bangkit perlahan untuk pergi mengambil motor dan pulang ke rumah orang tuaku.Ah, air mata ini jatuh lagi saat aku menaiki motor. Pedih perasaanku melihat rumah yang indah ini harus ditinggalkan. Dulu kami menabung dengan susah payah untuk membangunnya lalu masuk dengan penuh sukacita dan perayaan, kini aku terusir begitu saja seperti pengemis yang tidak diinginkan. Aku bahkan tidak sempat memeluk anakku dan berpamitan. Aku sebagai seorang ibu dirampas begitu saja dalam satu pukulan tangan.Akhirnya aku membalikkan motor dan pergi meninggalkan tempat itu
Kupeluk dan kukecup berkali-kali putra putriku. Kurangkul mereka dengan penuh kasih sayang lalu ku ajak mereka masuk ke dalam untuk duduk di ruang tamu nenek mereka. Tapi baru saja aku akan bangkit dari posisiku yang memeluk anak-anak dan hendak membawa mereka tiba-tiba aku berpapasan dengan Dinda yang sudah berdiri dengan santai sambil menyilangkan tangannya di dada."Kau mau kemana?""Masuk.""Kemana? Ke rumah mertuaku?" tanya wanita yang memakai anting-anting panjang itu."Aku tahu ini rumah mertuamu, tapi aku ingin bicara pada anakku sambil duduk.""Hmm, seperti apa yang pernah kau katakan padaku, maka, aku akan mengatakannya padamu lagi mbak. Jangan ambil sesuatu dan keadaan lebih dari porsinya. Kau hanya menantu yang ditolak sementara sekarang Aku adalah istri yang sah. Jangan buat aku tersisih di rumah Mertuaku sendiri," ucap Dinda dengan senyum yang penuh kesombongan."Kalau begitu kita bicara di luar saja Nak, di bawah pohon bunga atau di mobil ayah," ucap ayahku menengahi
Kupeluk dan kukecup berkali-kali putra putriku. Kurangkul mereka dengan penuh kasih sayang lalu ku ajak mereka masuk ke dalam untuk duduk di ruang tamu nenek mereka. Tapi baru saja aku akan bangkit dari posisiku yang memeluk anak-anak dan hendak membawa mereka tiba-tiba aku berpapasan dengan Dinda yang sudah berdiri dengan santai sambil menyilangkan tangannya di dada."Kau mau kemana?""Masuk.""Kemana? Ke rumah mertuaku?" tanya wanita yang memakai anting-anting panjang itu."Aku tahu ini rumah mertuamu, tapi aku ingin bicara pada anakku sambil duduk.""Hmm, seperti apa yang pernah kau katakan padaku, maka, aku akan mengatakannya padamu lagi mbak. Jangan ambil sesuatu dan keadaan lebih dari porsinya. Kau hanya menantu yang ditolak sementara sekarang Aku adalah istri yang sah. Jangan buat aku tersisih di rumah Mertuaku sendiri," ucap Dinda dengan senyum yang penuh kesombongan."Kalau begitu kita bicara di luar saja Nak, di bawah pohon bunga atau di mobil ayah," ucap ayahku menengahi
Aku tidak ingin depresi, kerinduan yang tertahan, emosi yang berkecamuk serta dendam membuatku jadi pribadi yang berbeda dari sebelumnya. Aku tidak ingin depresi membuatku mengalami gangguan kejiwaan makin dalam, karenanya, kupilih untuk minta bantuan dokter agar aku bisa bangkit dari semua keterpurukan ini.Aku dengan semua kesadaranku dan yakin betul bahwa kalau tidak mengobati diri sendiri maka aku akan menderita, pergi ke rumah sakit dan hendak melakukan konseling kejiwaan. Aku dapatkan dukungan dari keluarga tapi penting juga untuk mendapatkan obat.Entah mengapa, aku diantar Ayah ke rumah sakit di mana Mas Widi bekerja. Itu adalah rumah sakit pemerintah di mana asuransi kesehatanku ditanggung. Jadi, daripada buang uang pergi ke klinik swasta, serta mempertimbangkan faktor ekonomis, orang tuaku membawaku ke rumah sakit itu."Bagaimana kalau aku bertemu dengan dokter Widi, Ayah?" tanyaku di lokasi parkir."Lihat sekilas lalu abaikan, anggap dia batu atau seonggok batang pohon.
"Assalamualaikum," ucapku diambang pintu, kedua orang tuaku yang sedang duduk di ruang tamu kelihatannya gelisah menunggu diri ini yang baru pulang menjelang pukul 05.00 sore."Kok baru pulang jam segini apa yang terjadi di rumah sakit?""Oh, maaf lupa mengabarkan ibu, tadi syifa ketemu teman lama, kabar baiknya saya ditawarkan bekerja jadi asisten pribadinya.""Laki-laki atau perempuan?""Laki laki.""Bisa kah?" Ayah dan bunda saling menatap sementara aku hanya tersenyum. Aku bisa menangkap kekhawatiran di mana anak mereka yang sebentar lagi menjanda akan bekerja jadi asisten untuk seorang buat laki-laki. Aku mengerti mereka khawatir tentang harga diri dan kehormatan. "iyalah, bisa, lagi pula ini kan bekerja, dengan demikian saya bisa dapatkan uang untuk menabung dan menemui anak-anak.""Bunda setuju kau bekerja dengan begitu kau bisa teralihkan dan punya kegiatan. Kamu bisa bertemu orang-orang baru dan mendapatkan pengalaman.""Iya, kurasa begitu bagus Bunda.""Ya sudahlah, pergila
Aku dan orang yang aku perlakukan dengan santai di Australia itu, kini makan siang dan saling berhadapan di sebuah restoran di lantai dasar gedung miliknya. Aku teringat kami membagi sama sepotong roti sandwich dan makan dengan santai sambil menatap gedung-gedung Opera house di Sidney. Sekarang situasinya berbeda sekali, aku canggung, aku bahkan sampai bisa menghitung suapan makananku ke mulut. Berbeda denganku, lelaki yang ada di hadapanku terlihat lebih santai dan lebih sering tersenyum. Dia menceritakan banyak hal tentang pekerjaannya kendala dan suka dukanya, sementara aku dan pikiranku lebih banyak menghafal dan merasa tertantang dengan tugas-tugas yang baru di hari esok."Aku suka pakaianmu kau nampak elegan dan berkelas.""Terima kasih.""Kupikir kau akan datang dengan baju panjang dan jilbab tapi ternyata kau sangat pandai mengatur penampilanmu sehingga kau terlihat seperti seorang pebisnis.""Kebetulan ini baju lama saya.""Maukah beli baju baru?""Nanti saja Pak, kalau
Secara tidak kuduga, tiba-tiba lelaki berjaket panjang itu menarikkku dari kerumunan, aku terkesiap dan kebingungan sementara dia menyeretku menjauh."Lepaskan aku Mas, kalau istrimu lewat dia akan salah paham melihat kita. Apa kau lupa, kau sudah menjatuhkan talak pada diriku dan artinya ....""Aku masih berhak menyentuhmu Karena yang ku jatuhkan masih talak 1 dan itu pun belum resmi di pengadilan. Kenapa kau menghindariku!" Dia berusaha menatap mataku dengan tajam sementara aku seakan tidak kuasa melawan tatapan matanya.Aku berusaha merangkum kekuatanku Dan dengan segera aku pun membalas tatapan matanya."Bukannya kau yang melemparku? Bukannya kau bilang kau sudah dapat istri yang lebih baik yang akan memberimu kesuksesan? Bukannya kau pula yang meninggikan jarak diantara kita dan melarangku untuk bertemu dengan anak-anak? Bukannya kau juga yang melarangku untuk menginjak kediaman kami? Kenapa kau bertanya?""Kemarahanku hanya kemarahan sesaat, aku minta maaf.""Kenapa minta maaf d
Merasa bahwa ini sudah di luar nalar dan tidak kumengerti, maka aku segera menegaskan kepada dokter Okan agar tidak bermain-main denganku."Tolong jangan main-main dokter Okan. Apa kau bercanda, hidup saya sudah sangat banyak beban. Kenapa Anda malah datang menambahkannya?""Saya tidak hendak menambahkan bebanmu, Saya justru ingin minta pertolonganmu.""Kamu pikir saya bersedia? Saya terlalu pusing dengan masalah hidup saya sendiri, bagaimana saya bisa meluruskan orang yang sedang sakit sementara saya tidak bisa menata perasaan dan mental saya sendiri."Aku memarahi lelaki itu tapi dia tetap tenang dan duduk di posisinya. "Saya akan pergi sekarang, saya tidak memaksa mbak Syifa untuk segera dengan hati terbuka menerima pertemanan dengan saya, tapi saya sangat berharap, sembari ingin sekali menghilangkan rasa dosa dan bersalah dari diri saya." Dokter Okan berdiri sementara aku masih meremas rambutku karena pusing dan bingung dengan begitu banyaknya kejadian hari ini. Kedua orang tua
Kudengar pembicaraan saat berkunjung terakhir kali ke kantor polisi, berdasarkan pasal 354 dan 353 KUHP tentang penganiayaan berat dan penganiayaan berencana, maka Dinda terancam dituntut dengan hukuman empat tahun penjara dan denda. Usut punya usut, wanita itu sejak awal memang sudah merencanakan untuk mencelakakan orang lain, ditambah dengan keterangan saksi dan laporan pria yang ditangkap kemarin, bahwa dia memang dibayar oleh Dinda agar menusuk diriku dan mencelakakan diri ini.*Jangan tanya seberapa besar keluarganya berusaha untuk menyelamatkan wanita itu dari tuntutan penjara. Berulang kali staff dari keluarganya mencoba menemuiku dan meyakinkan diri ini untuk tidak memberikan kesaksian, aku juga diiming-imingi uang dan rumah baru juga pekerjaan yang layak tapi aku menolaknya.Pada akhirnya lelaki yang sudah lelah membujuk diriku itu kemudian berkata,"Mengingat betapa baiknya hubungan Anda di masa lalu dengan Nyonya Dinda. Saya rasa Anda harus mulai bermurah hati kepadanya.
Saat polisi menggiring Dinda keluar dari rumah sakit banyak orang-orang yang memperhatikan peristiwa itu. Mereka berkerumun dan membicarakan peristiwa yang bagaikan drama itu. Berulang kali Dinda mencoba melepaskan diri dan menjerit serta berteriak. Dia bilang dia tidak bisa ditangkap karena keluarganya akan segera melindunginya tapi itu tidak urung membuat polisi terus membawa wanita itu ke atas mobil patroli dan meluncur pergi. Kuhela napas pelan setelah keadaan mulai mereda, orang-orang kembali ke ruangan dan posisi mereka, pun Syifa yang sudah dibaringkan di tempat tidur dan ditenangkan oleh suaminya."Maafkan aku, andai aku tidak datang kemari untuk menjenguk Syifa mungkin Dinda juga tidak akan datang dan melakukan itu.""Jangan salahkan dirimu," ujar Syifa.Usai menyelimuti Syifa Adrian mendekatiku Dia memberi isyarat agar kami berdua bicara ke suatu tempat. "Ayo kita bicara fisiknya sambil mengarahkanku dan membukakan pintu untukku. Kami berjalan perlahan ke arah balkon da
Dua hari kemudian.Aku sengaja membeli bunga lili dan lavender juga sedikit mawar merah untuk kurangkai di sebuah buket lalu kubawakan untuk Syifa yang keadaannya sudah mulai membaik di rumah sakit.Kutemui wanita yang sudah mulai pulih itu dan sudah bisa duduk serta tersenyum di tempat tidurnya."Apa kabarmu?" tanyaku. Aku menyalaminya dan dia menyambutku dengan senyum hangat, kondisi dirinya yang sedang hamil 6 bulan membuatnya nampak sulit bergerak dan sedikit gemuk."Aku baik. Aku semakin membaik.""Bagaimana dengan lukanya.""Memang nyeri, tapi aku baik baik saja," balasnya."Kau memang kuat.""Alhamdulillah.""Tapi kenapa kau mau melakukan itu untuk melindungiku. Andai kau biarkan saja lelaki itu menyerangku agar kau tidak mengalami hal seperti ini?""Tidak, Mas, aku merasa berguna menyelamatkanmu.""Tapi kau juga punya bayi di dalam perutmu bagaimana kalau bayi itu sampai meninggal gara-gara aku? Aku yakin suamimu tidak akan memaafkanku.""Tidak, Adrian tidak menyalahkanmu, dia
Aku bisa menangkap kemarahan pria itu, pria yang punya perusahaan multinasional dan cukup terkenal itu dia tidak akan melepaskan pelaku penusukan terhadap istrinya juga dalang dibaliknya.Tidak akan butuh waktu lama untuk tahu dan menangkap pelaku penusukan. Cukup memeriksa CCTV Rumah Sakit lalu memeriksa plat motor yang digunakan pelaku untuk melarikan diri dan tak lama kemudian polisi tidak akan kesulitan untuk melacak keberadaan pria tersebut, lalu menangkap dan mengintrogasinya kemudian mengungkap siapa pelaku di balik semua ini.Seperti yang kuduga, 10 menit kemudian Adrian didatangi oleh beberapa orang polisi Dia terlihat berbicara dengan serius dan mengantarkan petugas itu ke ruangan istrinya, polisi melihat keadaan Syifa dari balik kaca ruang perawatan dan terlihat mengerti apa yang diperintahkan oleh Adrian."Kami akan memeriksa kamera pengawas dan kami berjanji akan menemukan pelakunya secepatnya.""Istriku tidak pernah punya musuh bertengkar atau menyakiti orang lain saya
Aku dinaikkan kembali ke kursi roda lalu didorong dan dibawa masuk ke ruang tunggu. Bunda menangis dan pergi melihat mantan menantunya yang kini sedang kalang kabut ditolongi oleh dokter. Adrian juga nampak panik, terlihat berlari ke arah apotek untuk mencari kantung darah dan beberapa alat yang diperlukan. "Dorong ayah masuk ke UGD," ujarku pada anak anak."Dokter bilang nggak boleh masuk," ujar putriku dengan mata sembab."Kita harus liat keadaan Bunda.""Bunda ga sadar, dia dipasangi selang oksigen," ujar anak sulungku. Dengan didorong oleh mereka berdua kami tertatih masuk ke ruang UGD dan melihat betapa kalang kabutnya dokter yang ada di sana. Lantai lantai jadi kotor berserakan dengan kain kasa yang sudah berwarna darah, bahkan dari ranjangnya, Syifa juga mengalirkan dan cairan itu menetes dari brankar, membuat lantai jadi becek dengan warna merah yang membuat kepalaku pusing."Dokter gimana keadaannya?""Kami sedang memberikan pertolongan. Dia mengeluarkan darah yang begitu b
"Bu, berangkat dulu.""Apa kau akan sepanjang hari di gym?""Iya.""Baiklah, kalau begitu. Ibu mau menjenguk ayahmu di pusat perawatan lansia.""Iya, apa ibu akan butuh uang?""Ibu masih punya simpanan.""Baiklah kalau begitu Ibu hati-hati juga."Setelah mencium tangan halus dan mengecup kening ibuku tercinta, aku segera mungkin berangkat menggunakan motor menuju ke gym yang berada 20 KM jauh dari rumah.Berkendara sambil menikmati suasana kota dan sejuknya udara pagi, sambil menatap pohon rindang yang ada di sebelah kanan kiri jalan, membuatku sedikit menikmati perjalanan. Telah sedikit saja aku bisa terjebak macet ditambah cuaca mulai panas maka hati akan mudah runyam. Aku mengemudikan motor sambil mendengarkan alunan musik pelan di headset yang ku pasang di telinga.Karena ingin mempersingkat waktu aku mengambil jalan pintas, memotong melewati blok-blok bangunan dan jalan yang sepi. Hingga tiba di sebuah Jalan yang berada di belakang barisan ruko-ruko besar. Aku menyadari sebuah mo
Aku tidak menyangka bahwa penolakanku tempo hari adalah petaka.**Aku merasa bersalah kepada dinda tapi menimbang bahwa sudah begitu jauh masalah yang terjadi karena kami nekat bersama, akhirnya aku memutuskan untuk mengalah dan mengakhiri semua ini.Ya, aku memutuskan untuk batal rujuk dan mengejarnya lagi. Meski tadinya aku melihat cinta untuknya akan memperbaiki hidupku dan memperlancar jaringan bisnis, serta menaikkan pamorku sebagai dokter yang berprestasi, tapi nyatanya semua itu gagal.Aku beruntung karena aku hanya dipenjara selama beberapa bulan, aku berhasil bebas dengan jaminan darinya, Sebenarnya aku merasa sangat berhutang Budi dan bersalah karena merugikan keuangan Dinda, aku ingin menebusnya tapi entah kenapa saat itu aku bodoh sekali. Seharusnya aku tidak menciptakan konflik antara aku dan istri kedua dengan cara terus-menerus menemui mantan istri pertama.Sebenarnya aku tidak akan membuat episode depresi Dinda jadi kumat andai aku tidak terus meluahkan waktu untuk m
Selepas kepergianku dari rumah mantan ibu mertua aku lanjutkan perjalanan menuju pusat kebugaran di mana mas Widi bekerja sebagai pelatih. Dulu dia hanya cleaning service tapi karena bentuk tubuhnya yang atletis dan wajahnya yang lumayan menarik serta keahliannya dalam memakai alat olahraga membuat pemilik gym merekrut dia sebagai pelatih.Kudengar berkat kehadiran mas Widi sebagai pelatih banyak wanita yang kemudian bergabung ke pusat kebugaran untuk mengecilkan tubuh mereka dan mendapatkan bentuk yang ideal. Aku aku percaya mereka bukan hanya ingin langsing tapi juga ingin mendapatkan perhatian mantan suamiku.Tidak, suamiku, seharusnya dia masih suamiku. Ketidakwarasanku membuat aku kehilangan suami dan seharusnya itu tidak terjadi."Halo nyonya, kenapa baru datang sekarang? sudah sebulan anda tidak mengunjungi pusat kebugaran," ucapnya yang sudah kenal padaku dan menyambutku dengan Ramah."Apa anda akan berlatih hari ini?""Tidak, Aku ingin bertemu dengan mas Widi.""Oh baik nyo
Terik matahari di siang ini cukup menyengat, angin yang bertiup terasa membawa panas saat aku tiba di rumah mantan ibu mertua. Kudorong pintu gerbang yang selalu tidak terkunci, kuarahkan pandanganku pada pintu utama yang diberi ornamen dari rotan yang dijalin dan bertuliskan selamat datang, dinding sebelah kiri yang difungsikan sebagai pagar ditumbuhi oleh mawar rambat beraneka warna, terasa begitu kontras dengan warna langit yang biru dan asrinya rumah itu. "Assalamualaikum."Aku mengetuk pintu dan sekitar semenit kemudian seseorang membukakannya. Saat mata kami bertemu wanita itu nampak terkejut, ia berkali-kali memastikan tanggapan matanya sampai aku menyapanya."Apa kabar Ibu?""Kau dinda kan?""Iya, boleh saya masuk.""Oh, ayo," ucapnya ramah. Dipersilahkannya aku duduk di kursi tamu, sementara di atas meja ada vas bunga yang diisi dengan bunga-bunga segar. Dari dulu, ibu mertua katanya sangat pandai merangkai bunga."Bunganya bagus," ucapku canggung, wanita itu tersenyum t