Aku melihatnya, melihat pesan yang dikirim anakku dari tablet pribadinya, benda itu tersambung ke wifi rumah dan WA. Jadi dia memberitahuku apa yang terjadi sebenarnya."Bunda... kami di sini kacau, ayah ga bisa urus kami dengan benar, baju yang seharusnya dipakai di hari Senin, dipakaikan hari ini, baju hari Kamis enggak tahu kemana, bekal juga kacau, Temannya ayah bekalin kami roti Gandum coklat, nasi ayam goreng, permen coklat warna warni dan cake buah, semuanya gula."Aku memang terbiasa untuk mengajarkan anak-anak tentang nutrisi di mana mereka tidak boleh terlalu banyak makan karbohidrat dan gula. Dari kecil aku selalu mengedukasi putra-putriku tentang nutrisi dan gizi yang seimbang, dimana mereka juga harus makan sayur dan serat. Ah, benar benar.(Lalu apa kalian makan?)(Tentu, tapi tak habis, kami lapar, kami tidak sarapan, Tante Dinda kebingungan. Ayah juga bingung.)(Beritahu ayah agar dia berusaha lebih keras lagi mengurus kalian. Bunda sedang ada urusan.)(Lagian kenapa
"Kenapa kau buat percakapan di antara kita menjadi panas? Kenapa kau selalu tidak melewatkan kesempatan untuk bertengkar denganku?""Sejak kau menorehkan luka yang menyakitkan Aku berjuang keras untuk menyembuhkannya. Aku dengan segala kerapuhanku, berjuang dalam badai yang tiba tiba kau timpakan ke dalam kehidupanku. Apa kau sadar, sumber masalah dan kekejaman ini adalah kau?!""Hah...." Pria itu mendengkus kemudian mengalihkan tatapan sambil menopangkan kepalanya di tangan. Dia terlihat menunduk di atas meja kerjanya sementara layar video call masih terus bergulir di antara kami."Aku juga ingin bertanya, Kenapa di Dinda membekali anak dengan coklat dan permen warna-warni. Kenapa Dia memberikan roti Gandum bersamaan dengan cake! Apa wanita itu tidak tahu perhitungan nutrisi!""Dengar Syifa, tidak semua wanita pintar dan teredukasi tentang kesehatan seperti dirimu. Dia memang pintar tapi dia pintar berbisnis, bukan pintar mengelola keluarga.""Karena dia sudah jadi bagian keluarga
Pukul empat tadi, aku dijemput Adrian menuju Sidney Harbour. Di dermaga dengan pemandangan gedung Opera house dan latar belakang jembatan ikonik yang membentang megah, aku dan dia duduk sambil menikmati hangatnya matahari sore.Aku dan dia membeli dua gelas kopi mocca di Starbuck, lalu membagi sandwich berukuran besar di antara kami. Pria itu makan dengan antusias, sementara aku lebih santai menikmati suasana, merasakan angin yang meniup wajahku, menikmati deburan ombak yang menyapa sisi dermaga, kicau burung pelikan yang riuh, serta suasana dermaga yang cukup bersih. Sungguh, vibesnya berbeda daripada keadaan di negaraku."Boleh bertanya, ada hal yang mengherankan saat aku pertama kali berjumpa denganmu, hal itu jadi pertanyaannya dan terus-menerus bergelayut dalam benakku. Aku heran, kenapa kau melakukan perjalanan sendiri?"Aku tersenyum menatap lelaki yang mengenakan jaket kulit dengan syal berwarna coklat itu, dia balas menatapku lekat, aku aneh dengan cara ia melihat, tapi
Aku kembali ke Jakarta setelah 2 hari pertemuan terakhirku dengan Adrian Laksono. Aku kembali menggunakan maskapai yang sama. Katanya Mas Widi akan menjemputku di bandara. Dia bilang dia tidak sabar ingin segera berjumpa dan bicara banyak.Sebenarnya saat dia mengatakan ingin bicara aku sudah terbebani dan membayangkan banyak hal, begitu menumpuknya beban dan terkaan dalam benakku, sekiranya tentang apa yang akan dibicarakan suamiku. Restu keluarga sudah mereka dapatkan, rumah juga sudah mereka miliki, apakah sekarang, mereka akan minta dinikahkan dengan resmi? Ah, semakin dipikir, semakin terbebani dan pusing diri ini.*Pesawatku mendarat dengan mulus di bandara Soekarno Hatta. Seperti biasa aku mengantri mengambil tas, lalu menyusuri lorong besar yang dipenuhi manusia lalu lalang menuju pintu keluar bandara.Katanya Mas Widi sudah menunggu di bagian penjemputan penumpang. Kuharap ia membawa anak anak dengannya. Aku rindu ingin memeluk mereka.*Sungguh jauh api dari panggang, ku
Menyadari dan tahu kalau kunci ada padanya, tanpa banyak bertanya lagi, kuhampiri wanita itu dan kurebut kunci yang dia pegang dengan kasar."Terima kasih sudah menjaga kunci rumah kini aku akan mengambilnya lagi."Wanita itu terkejut, ia meringis, tangannya sakit. Dia menatap pada Mas Widi untuk minta dibela, tapi si Lelaki tidak membelanya, selain hanya menggeleng tipis agar dia tidak melawan. Aku yakin wanita itu merasa geram pada Mas Widi karena sejak tadi lelaki itu hanya mengalah padaku, sesekali dia pasti ingin sekali dibela, dia ingin menyaksikan aku dimarahi Mas Widi. Saat pintu rumah sudah terbuka, suamiku masuk dan Dinda ingin mengikutinya tapi aku menghalanginya."Tidak, jangan masuk," ucapku di ambang pintu."Kenapa, apa begini cara menyambut tamu?""Apa kau merasa dirimu sebagai tamu? bukankah 2-3 hari yang lalu kau anggap dirimu sebagai Nyonya rumah yang bebas membersihkan, mengatur, memasak dan menyiapkan segalanya. Apa kau lupa?!""Jadi sekarang aku tidak boleh ma
Setelah membereskan semua bawaan dari luar negeri, aku mulai berbenah dan membereskan rumah menyapu lantai, memvakum karpet dan membersihkan jendela. Aku juga memasukkan pakaian ke dalam mesin laundry, melipat baju anak-anak yang bisa digunakan sehari-hari, penyusun handuk dan sprei ke lemari kemudian merapikan tempat tidur.Aku turun ke dapur membereskan bekas sarapan pagi mereka, lalu menyiapkan makan siang untuk Faris dan Farisa. Setengah jam kemudian kedua anakku pulang sekolah. Melihatku yang ternyata sudah sibuk di dapur, kedua putra putriku menghambur memeluk diri ini dengan gembira. Mereka bersorak bahagia mendapatiku sudah pulang dari Australia. "Bunda, bunda sudah pulang?" tanya Faris."Iya, sudah, sayang.""Apa yang Bunda bawa untuk kami?"Pergilah ke kamar kalian ada banyak kejutan di atas meja belajar.""Apa itu?" Kedua anakku serentak bersorak gembira."Mainan dan benda benda yang kalian inginkan.""Oh, makasih Bunda. Kami senang sekali.""Tak masalah, sama sama Sayang
Nafasku tersengal dari tangisanku tersendak pilu di hadapan lelaki yang baru saja menjatuhkan talak. Dengan entengnya dia menjatuhkan talak dengan kata yang diperhalus jadi; lebih baik mengeliminasi satu daripada merusak dua. Masya Allah, sungguh terpuji budi luhur suamiku ini. Sarkas yang menjijikkan.Aku menangis dengan air mata berurai dan Meski aku sudah menghalau tangisan dan suaraku dengan cara menutup tangan di wajah, tapi tetap saja tangisanku terisak-isak. Lelaki sombong bergelar dokter hebat itu, dia hanya berdiri, tercenung sendiri dengan kata-kata yang baru saja ia ucapkan.Setelah aku agak tenang dan merangkum kekuatanku, serta menyudahi tangisan yang terdengar memalukan itu. Aku segera menarik nafas panjang dan bicara padanya."Baguslah kalau tinggalkan aku, karena sudah sejak lama aku menunggu keputusanmu. Aku menanti dengan sabar kapan harinya kau akan memilih diantara satu, dan pergi pada orang yang kau cintai. Pada akhirnya aku dapatkan jawabanku.""Apa yang harap
Banyak nada sumbang mengomentari keadaan kami, banyak pasang mata melihat miris bagaimana aku terlempar ke teras rumah dalam keadaan menangis dan minta hakku pada tempat ini dan anak-anak. Nihil, aku tidak dapat apa-apa selain ponsel dan kunci motor. Orang-orang yang ada di balik pagar masih saling berbisik dan melihat kami dengan berbagai tatapan yang tidak nyaman kulihat. Aku membenahi jilbabku dan rambutku yang berantakan kemudian bangkit perlahan untuk pergi mengambil motor dan pulang ke rumah orang tuaku.Ah, air mata ini jatuh lagi saat aku menaiki motor. Pedih perasaanku melihat rumah yang indah ini harus ditinggalkan. Dulu kami menabung dengan susah payah untuk membangunnya lalu masuk dengan penuh sukacita dan perayaan, kini aku terusir begitu saja seperti pengemis yang tidak diinginkan. Aku bahkan tidak sempat memeluk anakku dan berpamitan. Aku sebagai seorang ibu dirampas begitu saja dalam satu pukulan tangan.Akhirnya aku membalikkan motor dan pergi meninggalkan tempat itu