“Ugh ....”
Kedua mata Reina mengerjap pelan menyesuaikan cahaya yang masuk mengenai mata indahnya. Gadis itu memegangi kepalanya yang masih berdenyut nyeri. Sekujur tubuhnya terasa sakit. Apalagi di bagian berharga miliknya yang ngilu juga perih tak terkira. Reina mengedarkan pandangannya dan baru sadar bahwa kini ia tengah berada di sebuah kamar mewah dengan nuansa berwarna gelap. “Aku di mana ini?” lirih Reina hingga menyadari ada sesuatu yang salah. “Aaaa! Apa yang terjadi ... ssshhh! Sakit!” Suara gadis itu memekik ketika mendapati dirinya tak berbusana hanya berbalut selimut saja. Reina berusaha menyusun kepingan puzzle yang berserakan di otaknya. Namun tiba-tiba terdengar sebuah suara dari pintu kamar mandi. Seketika Reina menoleh. Ia tatap sosok pria dewasa memakai jas hitam dengan tatapan datar lurus ke depan. Lelaki dengan rahangnya yang tegas, hidung mancung dan alis yang tebal. Tentu hal itu bisa membuat perempuan manapun akan tertarik pada pesonanya. “Si‒siapa, kamu?” lirih Reina dengan suara yang bergetar. Matanya memanas. Rasanya gadis itu ingin menangis saat itu juga. Reina mencengkeram erat selimut yang menutupi tubuh sampai sebatas dada. Punggungnya beringsut mundur menabrak kepala ranjang besar itu. Sungguh dia takut dengan tatapan di hadapannya tersebut. Tak ada jawaban. Lelaki itu justru mengeluarkan selembar cek dan meletakkannya di atas meja nakas. “Segera gunakan kembali pakaianmu dan ambil uang ini. Saya harus segera pergi.” Lelaki berjas hitam itu melenggang pergi meninggalkan Reina seorang diri tanpa merasa bersalah sama sekali. “Tapi, Pak? Tunggu! Jangan pergi!” Reina merasa tidak terima. Ia butuh penjelasan mengapa bisa berada di tempat itu bersama seorang lelaki yang asing baginya. Teriakan Reina berakhir dengan sebuah kekecewaan saat mendengar pintu kamar ditutup keras. “Ya, Tuhan ... bagaimana mungkin ini bisa terjadi?!” lirihnya merasa hina. Reina mulai mengingat kembali peristiwa yang terjadi tadi malam. Karin—sang sahabat mengajaknya keluar dari acara pesta perusahaan ketika gadis itu merasakan kepalanya pusing setelah menenggak satu gelas minuman yang diberikan sahabatnya tersebut. “Apakah dia menjebakku? Tidak mungkin. Apa salahku?” Dada Reina terasa semakin sesak. Kepalanya menunduk dengan bahu yang berguncang. Kesucian yang ia pertahankan selama ini, kini telah direnggut paksa oleh seorang lelaki yang tidak pernah ia kenali sama sekali. Gadis itu tidak dapat membayangkan jika sang kekasih hati nanti tahu akan perbuatannya. Reina menangis sejadi-jadinya meski semua itu hanya akan berakhir sia-sia. Dan bersamaan dengan itu, ponselnya berdering berkali-kali. Ia tahu betul siapa yang menghubunginya pagi-pagi seperti ini. Pasti ibu tirinya yang berusaha menelepon dan meminta uang untuk biaya pengobatan sang ayah. Gadis itu teringat akan sebuah cek yang diberikan oleh lelaki tadi. Terpaksa Reina harus menerimanya. Tetapi ia berjanji di dalam hati akan mencari lelaki itu dan mengembalikan uang tersebut apapun caranya. Reina segera menghapus air matanya. Gadis itu tertatih-tatih mengambil pakaiannya yang berserakan di mana-mana. Ada bagian tertentu yang robek parah. Beruntung di sana juga ada jaket jeans milik Reina. Ia pun segera memakainya. Reina meninggalkan hotel itu dengan tergesa-gesa. Tidak peduli jika bagian inti tubuhnya masih terasa sakit. Ia harus menukarkan cek itu dan pulang ke rumah dengan membawa uang tunai untuk ibu tirinya. “Ke mana saja semalam? Mana uangnya, sudah dapat belum?” tanya sang ibu tiri dengan suara lantang. Baru saja tiba di depan pintu rumah, gadis itu langsung mendapat tatapan penuh amarah dari Linda—ibu tirinya. Bahkan wanita paruh baya itu berani menceramahinya. Tak ingin berdebat, Reina kemudian mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Lalu ia berikan kepada ibu tirinya tersebut. “Jangan lupa untuk biaya sekolah adik juga. Jangan sampai dia putus sekolah,” ungkap Reina penuh ketegasan. Wanita paruh baya itu menatap tak suka kepada anak tirinya. “Banyak sekali uangnya. Dapat dari mana?” sentak sang ibu tiri sambil mengibaskan uang itu di depan wajahnya. “Jangan-jangan kamu jual diri, ya?” bisiknya kemudian. “Itu bukan urusan Ibu.” Reina segera masuk ke dalam kamarnya. Tidak mempedulikan sang ibu tiri yang masih menunggu penjelasan darinya. Gadis itu segera membersihkan diri di dalam kamar mandi. Ia membasuh tubuhnya berkali-kali. Reina berusaha meninggalkan jejak laknat dari lelaki yang telah merenggut kesuciannya. Baru keluar dari kamar mandi, Reina mendengar ponselnya berdering berkali-kali. Dengan malas gadis itu mengecek ponselnya. Rupanya beberapa panggilan tak terjawab dan sebuah pesan dari manajer di kantor. [Kamu di mana Reina? Kenapa meja kerjamu kosong, hem? Saya tunggu kedatanganmu secepatnya. Jangan sampai kamu kehilangan pekerjaan selamanya.] Reina menghembuskan nafasnya dengan kasar. “Jangan sampai aku dipecat. Tak biasanya Pak Burhan sampai marah seperti ini.” Beberapa menit telah berlalu. Reina sudah rapi dengan pakaian kerjanya. Cepat-cepat gadis itu memesan ojek online. Ia melangkahkan kakinya dengan cepat saat memasuki area kantor. Reina langsung masuk ke dalam lift menuju lantai 17 di mana terdapat ruangan tempatnya bekerja. Gadis itu terburu-buru keluar dari pintu lift. Reina tak sadar jika di sisi sebelah kiri tak jauh dari tempatnya ada sang CEO tampan bernama Regan Aditya Admaja tengah berunding dengan manajer perusahaan. Regan tak sengaja menangkap sosok Reina yang berjalan tergesa-gesa. “Tunggu, dia siapa? Dia bekerja di sini?” tanya Regan dengan kedua alis yang tertaut tanda ia merasa heran. “Namanya Reina, Pak. Dia karyawan baru di perusahaan ini. Tetapi kemampuannya di atas rata-rata dan selalu bisa diandalkan. Saya tidak tahu mengapa dia bisa datang terlambat hari ini. Biarkan saya memarahinya Pak,” ungkap sang manajer sambil menunduk takut. “Tidak perlu.” Regan mengangkat satu tangannya ke udara. Ia menghadang sang manajer yang hendak mengejar kepergian Reina. “Aku ada tugas baru untukmu,” ucapnya kemudian sambil tersenyum smirk menatap pintu ruang kerja Reina.Selamat datang di novel terbaru aku... Novel ini sedang mengikuti lomba nih, mohon dukungannya ya kakak readers... Dengan memberikan gems/vote sebanyak-banyaknya. Jangan lupa kasih ulasan dan bintang 5 ya... Terima kasih banyak... Salam sayang dari author. Menerima komentar, kritik, dan saran ya... :))
Reina tergesa-gesa masuk ke dalam ruangan kerjanya. Ia melihat ke arah pojok ruangan. Mencari kekasih dan sahabatnya di sana. Tetapi sayangnya mereka berdua sedang tidak ada di tempat. Sementara teman-temannya yang lain sedang sibuk di depan layar komputer mereka masing-masing. Beruntung sekali bapak kepala divisi pun tidak ada di sana. Gadis itu langsung berjalan menuju kursi kerjanya yang berada di sebelah kiri. Jemari lentik Reina menyalakan komputer dengan cepat. Segaris senyuman muncul di bibir untuk mengawali harinya yang pasti akan melelahkan. Banyak yang bilang jika kita melakukan aktivitas sederhana itu, maka suasana hati akan membaik. Stres pun akan perlahan reda. Dan tentu saja bisa menaikkan imun tubuh kita. Reina sedang membutuhkannya!Namun belum sempat Reina berhasil mendudukkan bokongnya, rupanya sang manajer sudah berdiri di dekat pintu masuk dan memperhatikannya. Entah sejak kapan, gadis itu tidak mengerti. Ketika Reina sadar, ia langsung berjalan menghampiri lela
Reina memejamkan kedua matanya. Seketika ia menurunkan tangannya yang semula hendak membuka pintu di hadapannya. Gadis itu masih terdiam di tempatnya tanpa menoleh ke arah sang CEO. Dengan cepat ia mengumpulkan seluruh keberaniannya agar bisa menatap Regan kembali tanpa rasa takut. Tanpa diduga Regan melangkah menghampirinya. Meski pelan, Reina bisa merasakan tiap derap langkah kakinya yang mengusik keheningan ruangan bernuansa monokrom itu. “Kenapa hanya diam saja?” Suara berat dari Regan meruntuhkan keberanian Reina. ‘Astaga! Apalagi ini. Apasih maunya?’ batin gadis itu merasa kesal. Namun ia tidak bisa berbuat apa-apa selain memutar tubuhnya agar berhadapan kembali dengan Regan. Di saat Reina sudah berbalik badan, ia sangat terkejut melihat posisi Regan sangat dekat dengannya. Aroma tubuh lelaki itu kembali merusak konsentrasinya. Bagaimana mungkin ia bisa dengan tiba-tiba teringat kembali peristiwa tadi malam? Iya, Reina sangat ingat jika dia dengan berani mengatakan kepada Reg
“Auw! Sakit Pak Regan. Kenapa tega sekali.” Reina mengusap pundak kirinya yang terasa sakit. Mulut Regan sangat tidak sopan. Berani menggigit bahunya secara mendadak. Apakah lelaki ini suka akan semua hal yang dilakukan secara tiba-tiba? “Tadi kamu berharap semua ini hanya mimpi ‘kan? Jadi saya buktikan bahwa semua ini nyata, Reina.” Regan meraba bagian dadanya sambil berucap, “Terima kasih.” CEO tampan itu melanjutkan langkahnya tanpa menunggu Reina yang masih merasa kesal akibat ulahnya beberapa detik yang lalu. “Sampai kapan kamu akan berdiri di situ? Kamu mau perusahaan ini kehilangan seorang klien yang sangat berarti?” ujar Regan sedikit berteriak. “Eh, tidak Pak!” Reina langsung berlarian menghampiri Regan yang berdiri cukup jauh dari tempatnya. Rasanya Reina sudah hampir menyerah. Niatnya menghindar, tetapi justru semakin di dekatkan seperti ini. Bagaimana mungkin? Lift yang awalnya kosong kini jadi penuh dan terasa sesak. Tak hanya itu saja. Regan dengan berani berdiri d
Mendengar pertanyaan dari Reina, CEO tampan itu terdiam. Sepertinya sedang memikirkan sesuatu. Selanjutnya, ia justru berjalan menghampiri gadis itu. Reina cukup ketakutan melihat Regan berjalan mendekatinya. Ia sudah berpikir yang tidak-tidak. Mengingat atasannya itu seringkali melakukan tindakan yang tiba-tiba. “Sebelum pergi, apakah ada yang ingin kamu sampaikan kepadaku?” tanya Regan kemudian. Seolah sengaja menunda-nunda kepergian Reina dari ruangannya. Inilah yang tidak disukai Reina. Lelaki di dekatnya ini tidak langsung to the poin mengatakan tujuannya. Sekarang justru bermain teka-teki dengannya. Reina berpikir keras. ‘Ayolah, Reina. Coba tebak, apa maksud ucapan Regan?’ “Saya rasa tidak ada yang perlu saya sampaikan lagi.” Reina menunduk dan hendak berjalan mundur meninggalkan ruangan itu. “Kamu yakin? Tidak akan menyesal?” imbuh Regan. Reina menegakkan kepalanya. Ia bisa melihat tatapan penuh kelicikan dari bosnya tersebut. “Baiklah, Pak Regan. Saya ingin meminta maa
Reina melihat sang kekasih hati datang bersama Karin—sahabatnya. Hal itu membuat hatinya terasa ada yang menusuk. Gadis itu juga penasaran dengan kejadian tadi malam. Apakah benar Karin yang telah menjebaknya dengan memberikan minuman yang mengandung alkohol? Reina ingin tahu apa alasan sang sahabat melakukan hal itu kepadanya. “Leon? Kalian—” Ucapan Reina terhenti. Leon langsung memotong kalimatnya yang masih menggantung. Bahkan gadis itu bisa melihat raut wajah terkejut pada kekasihnya. “Kami dapat tugas di luar, Sayang. Tetapi Karin tiba-tiba merasa tidak enak badan. Jadi aku membawanya ke sini sebentar untuk mengambil barang penting yang ketinggalan.” Reina manggut-manggut. Namun ia tetap curiga kepada Karin. Gadis itu mengalihkan pandangan kepada sahabatnya. “Karin, ada yang ingin aku tanyakan kepadamu. Ini soal tadi malam—” “Aduh! Kepalaku sakit banget!” Karin merintih kesakitan sambil memegangi kepalanya. Membuat Reina cukup panik. Tangannya terulur hendak memegangi bahu sa
“Jangan berteriak, Reina. Ini aku!” tegas seorang lelaki kepada Reina. Reina sangat mengenali suara itu. Tetapi kenapa bahasanya seolah mereka telah akrab? Apakah benar lelaki di dekatnya ini adalah Regan? Belum sempat Reina membalas ucapan itu, lampu-lampu telah menyala. “Lepaskan!” Reina berusaha memberontak. Seketika tangan yang membungkam mulutnya terlepas begitu saja. Gadis itu langsung menatap tajam ke arah lelaki di depannya. Dan benar saja. Dia adalah Regan, atasannya. Lelaki itu hanya diam. Ekspresi wajahnya sangat tenang. Tidak merasa bersalah sama sekali. “Pak Regan kenapa ada di sini? Pak Regan ngikutin saya, ya? Jujur saja!” Reina membuang muka sambil bersedekap dada. Ia sangat percaya diri sekali mengatakan kalimat itu kepada atasannya. Regan geleng-geleng kepala. Tidak habis dengan sikap Reina yang baginya walaupun sangat menyebalkan tetapi gadis itu membuatnya merasa semakin penasaran. “Kebetulan ada yang ketinggalan di ruangan kerjaku. Jadi terpaksa aku harus ke
Dengan muka yang ditekuk dan kusut, ibu tiri Reina terpaksa membukakan pintu rumah yang masih tertutup itu. Walau bagaimanapun ia masih ada rasa belas kasihan terhadap anak tirinya.Terlihat seorang wanita tua berdiri di depan pintu dengan bibir yang menyunggingkan sebuah senyuman. Wanita itu menundukkan kepalanya sejenak. “Ibu cari siapa, ya? Ada perlu apa datang malam-malam seperti ini?” tanya Linda bernada tegas. “Maaf, Bu. Saya diutus oleh Tuan untuk memijat kaki Non Reina yang katanya terkilir. Bolehkah saya masuk?” izin wanita itu terlihat cemas. Linda melirik ke arah Reina. Gadis itu masih tampak kesakitan. Membuatnya tidak tega. Ia juga takut jika besok Reina tidak berangkat ke kantor lagi. Tentu hal itu bisa merepotkannya. Belum lagi dengan gajinya. Pasti akan terpotong dan tidak bisa memberi uang lebih kepadanya. “Ya sudah kalau begitu. Masuk saja. Saya ke belakang dulu.” Setelah mengatakan kalimat itu, ibu tiri Reina segera pergi ke belakang. Perutnya terasa melilit kar
Beberapa pesan dari Leon membuat Reina merasa kecewa. Rupanya kekasihnya itu lebih banyak menghabiskan waktunya dengan Karin daripada dia. Meski Leon telah meminta maaf karena tidak bisa menjemputnya saat pulang dari lembur, tetapi Reina belum sepenuhnya bisa memaafkan. “Kamu tega banget, Leon. Tidak peka jika aku sangat membutuhkan kamu. Bagaimana kalau tadi tidak ada Pak Regan?!” omel Reina seorang diri.Karena terlanjur kecewa, Reina mengabaikan pesan dari Leon. Ia sengaja tidak membalas pesan dari kekasihnya tersebut. Akan tetapi lelaki itu justru terus meneleponnya. Membuat Reina harus kembali merasa kalah. Hatinya masih terlalu berat untuk mengabaikan Leon. “Ada apasih, meneleponku? Ini sudah malam, Leon?!” Akhirnya Reina menjawab telepon itu. “Aku benar-benar minta maaf, Sayang. Aku tidak mungkin bisa tidur jika kamu tidak memaafkan aku.” Suara itu terdengar memohon. Leon masih terus-terusan berusaha mengambil hati Reina kembali. Ia tak segan merayu dan mengeluarkan ungkapan-
Hari pernikahan Xavier dan Karin telah tiba. Udara pagi terasa segar dan cerah, seakan menyambut kebahagiaan yang akan segera berlangsung. Keluarga dan sahabat berkumpul di sebuah taman indah yang telah dihias dengan bunga-bunga warna-warni dan lampu-lampu gemerlapan. Suasana penuh dengan tawa dan senyum. Regan dan Reina tiba lebih awal bersama bayi kembar mereka, Alana dan Bianca, yang tertidur pulas di kereta dorong. Mereka disambut oleh Olivia dan Danny yang sudah tak sabar menantikan momen bahagia itu. “Aku tak percaya Xavier akhirnya menemukan kebahagiaan bersama Karin,” ucap Reina dengan mata berkaca-kaca. “Dia memang pantas mendapatkannya,” jawab Regan sambil tersenyum, merangkul Reina yang terlihat anggun dalam gaun biru muda. “Kita semua pantas bahagia.” Tak lama kemudian, para tamu mulai berdatangan. Leon, mantan pacar Reina dan Karin juga hadir dengan pasangan barunya. Mereka tampak sangat bahagia, saling berpegangan tangan dan tertawa bersama. Leon menghampiri Reg
Tanpa disangka, suatu hari Regan menemukan fakta baru yang mengejutkan. Saat itu, dia sedang bekerja di ruangannya. Berkas-berkas tersebar di atas meja ketika ponselnya berdering. Panggilan itu berasal dari salah satu anak buah kepercayaannya. “Ada apa, Roni?” tanya Regan sambil menyandarkan punggungnya ke kursi. “Ada perkembangan baru, Pak Regan. Kami berhasil melacak beberapa transaksi mencurigakan yang berhubungan dengan Shadow Phoenix. Dan yang mengejutkan, ada keterlibatan Alex Ricardo di dalamnya,” lapor Roni. Regan terdiam sejenak, mencerna informasi tersebut. “Apa kamu yakin? Alex Ricardo? Bukankah dia masih berada di dalam penjara?” “Betul, Pak. Tapi tampaknya dia masih mengendalikan beberapa hal dari dalam penjara. Kami menemukan bukti bahwa beberapa anak buahnya masih menjalankan perintahnya dan menggunakan nama Shadow Phoenix untuk menyamarkan identitas asli mereka,” jelas Roni. Regan merasakan darahnya mendidih. “Teruskan penyelidikannya, Roni. Dan pastikan ki
Tanpa terasa, usia kehamilan Reina sudah memasuki trimester ketiga. Perutnya semakin membesar, membuatnya sulit menemukan posisi tidur yang nyaman. Setiap malam menjadi tantangan baru bagi Reina. Sementara Regan berusaha sebaik mungkin untuk membuat istrinya merasa nyaman dan bisa tidur nyenyak. Malam itu setelah mencoba berbagai posisi tidur dan tidak menemukan yang pas, Reina merasa frustasi. Ia berguling-guling di tempat tidur sambil menghela napas panjang. Regan yang melihatnya merasa kasihan dan ingin membantu. “Ada yang bisa aku lakukan, Sayang?” tanya Regan lembut. Ia duduk di tepi tempat tidur dan mengelus rambut istrinya. Reina menggeleng lemah. “Aku tidak tahu, Pak Regan. Aku sudah mencoba semua posisi tapi tetap saja tidak nyaman. Perutku terlalu besar.” Regan berpikir sejenak, lalu tersenyum. “Bagaimana kalau kita coba sesuatu yang baru? Tunggu sebentar.” Ia keluar dari kamar dan kembali dengan bantal-bantal tambahan. “Ayo, kita coba dengan bantal-banta
Pagi itu di kantor, suasana di ruang CEO terasa lebih sibuk dari biasanya. Regan tengah tenggelam dalam tumpukan dokumen dan panggilan telepon yang tak henti-hentinya. Di luar ruangan, para karyawan tampak sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Sedangkan Reina pergi ke toilet sebentar untuk menyegarkan diri. Saat Reina keluar dari ruangan, pintu lift terbuka dan dua orang masuk ke lantai itu. Claudia dan Xavier melangkah dengan hati-hati menuju kantor CEO. Claudia tampak sedikit gugup, sementara Xavier berusaha tampak tenang meskipun jelas terlihat gelisah. Mereka mengetuk pintu dan menunggu sebentar sebelum mendengar suara Regan dari dalam yang mempersilakan mereka masuk. Ketika pintu terbuka, Claudia dan Xavier masuk dengan hati-hati. Regan yang tadinya duduk di balik mejanya langsung berdiri. Ekspresi wajahnya berubah dari fokus keheranan. “Mama Claudia? Xavier? Apa yang membawa kalian berdua datang ke sini?” tanya Regan dengan nada sedikit terkejut. Claudia mendekat de
Saat kehamilan Reina menginjak usia lima bulan, Regan memutuskan untuk mengajak Reina jalan-jalan di taman kota. Hari itu cerah, dengan langit biru dan angin sepoi-sepoi yang membuat suasana terasa sejuk. Reina tampak sangat bahagia, mengenakan gaun hamil berwarna pastel yang membuat perutnya yang semakin membesar terlihat menawan. Regan tak henti-hentinya tersenyum, menikmati momen kebersamaan mereka. Mereka berjalan-jalan sambil menikmati pemandangan taman yang indah. Banyak anak-anak bermain di taman bermain, pasangan-pasangan duduk di bangku menikmati suasana, dan para pedagang menjajakan makanan ringan di kios-kios kecil di sepanjang jalan setapak. “Ini hari yang sangat indah, ya?” ungkap Reina sambil menggenggam tangan Regan erat. “Ya, benar-benar indah,” jawab Regan, menatap istrinya dengan penuh cinta. “Aku senang kita bisa meluangkan waktu bersama seperti ini.” Mereka melanjutkan berjalan, berhenti sesekali untuk melihat bunga-bunga yang sedang mekar dan menikmati
Kehamilan Reina telah memasuki usia empat bulan dan perutnya mulai terlihat membesar. Setiap hari Regan semakin takjub melihat perubahan pada tubuh istrinya dan merasa tidak sabar untuk menyambut kehadiran anak mereka. Pagi itu Regan memutuskan untuk membawa Reina ke klinik untuk melakukan USG. “Sayang, hari ini kita akan ke klinik untuk melihat bayi kita,” ucap Regan dengan senyum lebar. Reina tersenyum bahagia, merasa tak sabar untuk melihat perkembangan bayinya. “Aku tidak sabar, Pak Regan. Pasti mereka sudah semakin besar sekarang.” Regan mengangguk. "Aku juga sangat bersemangat. Ayo kita bersiap-siap." Setelah bersiap-siap, mereka berdua berangkat ke klinik dengan penuh semangat. Dalam perjalanan, mereka terus berbicara tentang rencana masa depan dan bagaimana mereka akan merawat anak mereka. Regan menggenggam tangan Reina dengan erat, memberikan rasa tenang dan nyaman. Sesampainya di klinik, mereka disambut oleh dokter dan perawat yang ramah. “Selamat pag
Reina berdiri di dekat jendela kamar, menatap ke luar dengan pandangan kosong. Matanya menyapu pemandangan yang indah, tetapi pikirannya jauh dari sana. Di luar, matahari mulai terbenam, menyinari langit dengan warna-warna keemasan, tetapi dalam hati Reina, ada kegelapan yang sulit hilang. Regan, yang baru saja selesai menutup laptopnya setelah bekerja seharian dari rumah mulai memperhatikan istrinya. Ia berjalan mendekat dan dengan lembut meletakkan tangannya di bahu Reina. “Ada apa, Sayang?” tanyanya dengan suara penuh perhatian. Reina tersentak dari lamunannya dan menoleh ke arah Regan. “Aku masih memikirkan Kak Amel,” jawabnya dengan suara lirih. “Aku merasa bersalah dan cemas tentang apa yang terjadi padanya.” “Sayang, kamu sudah melakukan yang terbaik. Kadang-kadang, kita tidak bisa mengendalikan semua yang terjadi di sekitar kita. Apa yang terjadi pada Amel adalah akibat dari pilihannya sendiri.” “Tapi, aku tetap merasa harus melakukan sesuatu,” lanjut Reina dengan nad
Linda dan Amel tampak berjalan menuju mereka. Kehadiran dua orang itu seakan membawa aura negatif. Amel, dengan tatapan jahat, mulai merencanakan sesuatu yang licik terhadap Reina. Linda dan Amel berpura-pura bergabung dengan kebersamaan keluarga Danny, tapi Amel dengan hati-hati mendekati Reina yang sedang berjalan di atas bebatuan. Amel mengatur langkahnya agar Reina terpeleset di atas batu licin. Namun, rencana jahat itu berbalik. Saat Amel mendorong Reina, dirinya sendiri yang kehilangan keseimbangan. Amel terjatuh keras di atas batu tajam. Semua orang terkejut dan bergegas menghampiri. Linda berteriak panik, “Amel! Apa yang terjadi?!” Regan, yang melihat situasi tersebut, segera memanggil bantuan. Amel tampak mengalami pendarahan hebat. Regan memeluk Reina erat-erat, memastikan dia baik-baik saja. “Kamu tidak apa-apa, Sayang?” tanyanya dengan penuh kekhawatiran. Reina mengangguk. “Aku baik-baik saja, Pak Regan. Tapi Kak Amel ... dia tampak sangat parah.” Ambulans segera
Liburan keluarga besar ke pantai adalah momen yang ditunggu-tunggu oleh seluruh anggota keluarga. Reina dan Regan memang telah merencanakan hal itu jauh-jauh hari. Hanya saja baru terealisasi saat ini. Dengan persiapan yang matang, mereka berangkat dari rumah dengan semangat tinggi. Olivia, Bi Nita, Danny, Rafa, Alya, dan Bi Siti bergabung dalam perjalanan tersebut, ikut memastikan tidak ada yang tertinggal. Mereka membawa perbekalan lengkap, termasuk makanan, minuman, mainan pantai, dan berbagai kebutuhan lainnya. Sesampainya di pantai, suasana langsung berubah menjadi ceria. Mereka menata tempat dengan menyiapkan tenda, menggelar tikar, dan menata makanan piknik. Rafa dan Alya segera berlari ke air, bermain dengan ombak dan tertawa riang. Danny dan Bi Siti membantu Olivia dan Bi Nita menyiapkan makanan. Regan dan Reina berkeliling, memastikan semuanya tertata dengan baik. “Ayah, jangan terlalu jauh, ya!” teriak Reina sambil melambai ke arah Danny yang sedang membawa ko