Reina tergesa-gesa masuk ke dalam ruangan kerjanya. Ia melihat ke arah pojok ruangan. Mencari kekasih dan sahabatnya di sana. Tetapi sayangnya mereka berdua sedang tidak ada di tempat.
Sementara teman-temannya yang lain sedang sibuk di depan layar komputer mereka masing-masing. Beruntung sekali bapak kepala divisi pun tidak ada di sana. Gadis itu langsung berjalan menuju kursi kerjanya yang berada di sebelah kiri.Jemari lentik Reina menyalakan komputer dengan cepat. Segaris senyuman muncul di bibir untuk mengawali harinya yang pasti akan melelahkan. Banyak yang bilang jika kita melakukan aktivitas sederhana itu, maka suasana hati akan membaik. Stres pun akan perlahan reda. Dan tentu saja bisa menaikkan imun tubuh kita.Reina sedang membutuhkannya!Namun belum sempat Reina berhasil mendudukkan bokongnya, rupanya sang manajer sudah berdiri di dekat pintu masuk dan memperhatikannya. Entah sejak kapan, gadis itu tidak mengerti.Ketika Reina sadar, ia langsung berjalan menghampiri lelaki itu untuk meminta maaf. “Eh, Pak Burhan. Maaf, Pak. Saya datang terlambat hari ini.”“Hmm ... ada tugas penting untukmu,” ujar manajer itu tampak serius.“Tu–tugas?” balas Reina merasa heran.“Sekretaris Pak Regan tidak masuk hari ini. Beliau meminta salah seorang dari kalian di sini untuk membantunya. Jadi saya memilih kamu, Reina. Kamu tahu ‘kan ruangan CEO ada di mana?” tegas pak manajer.“Tahu, Pak. Tetapi kenapa harus saya?” Reina menunjuk wajahnya sendiri dengan jari telunjuk mungilnya. Seketika ia merasa gugup karena belum pernah bertemu langsung dengan atasan yang paling disegani oleh seluruh karyawan di perusahaan itu.“Karena saya percaya sama kamu, Reina. Hanya kamu yang bisa diandalkan di sini. Pergilah sekarang!” perintah sang manajer.Manajer itu tidak mengatakan jika hal tersebut adalah perintah langsung dari sang CEO. Bahkan ia sendiri penasaran mengapa Regan meminta Reina yang menggantikan tugas Rindu.Reina mengangguk pasrah. Entah mengapa tiba-tiba perasaannya jadi tidak enak. Ia pun segera pamit untuk pergi ke ruangan sang CEO.Gadis itu berjalan pelan melewati meja sekretaris. Ia menghirup udara sepenuh dada dan ia hembuskan secara perlahan. Seperti itu sebanyak tiga kali. Kemudian setelah merasa cukup tenang, Reina memberanikan diri untuk mengetuk pintu ruangan CEO.“Masuk!” Terdengar suara perintah dari dalam.Sejenak gadis itu terdiam di depan pintu. Mengapa ia seperti mengenali suara itu? Tapi di mana?Reina tidak bisa berpikir dengan cepat. Ia juga tidak mau CEO tersebut menunggunya terlalu lama.Gadis itu segera masuk ke dalam ruangan. Tetapi Reina hanya bisa melihat seorang lelaki yang duduk membelakanginya. Hal itu justru membuatnya merasa penasaran. Meski tak dapat dipungkiri jika di dalam hatinya merasa was-was. Takut jika bos besar di perusahaannya galak dan menakutkan.“Permisi, Pak. Apakah benar Bapak membutuhkan karyawan untuk menggantikan tugas sekretaris yang tidak masuk hari ini?” tanya Reina lirih dan ragu-ragu.CEO itu memutar kursi kebesarannya dengan santai hingga sekarang posisinya berhadapan dengan Reina. Kemudian ia berkata, “Iya ... benar sekali.”Kedua mata Reina melotot seketika. Namun ia segera menatap ke arah bawah. Di saat itu pula jantungnya berdetak dengan sangat kuat. Ia bahkan kesulitan untuk menelan salivanya sendiri. Gadis itu tidak pernah menyangka jika seseorang yang berada di hadapannya saat ini adalah lelaki yang ia temui tadi pagi.Seorang lelaki yang menghabiskan malam panas bersamanya. Bahkan Reina sempat terpana akan ketampanannya meski persentasenya sangat kecil.Reina masih terdiam kaku di tempatnya. Ia berharap jika atasannya tersebut tidak mengenalinya. Ya, gadis itu akan berpura-pura bahwa tidak terjadi apa-apa di antara mereka. Lagi pula tadi malam sepertinya mereka sama-sama dalam keadaan mabuk. Hanya saja Reina seperti merasakan bahwa dia lebih bersikap agresif daripada lelaki itu.“Kenapa?” tanya Regan santai.“Tidak apa-apa, Pak. Saya siap membantu pekerjaan Bapak hari ini. Apa yang harus saya kerjakan?” jawab Reina kembali menundukkan kepalanya dan balik bertanya kepada Regan.“Mendekatlah,” ujar Regan tanpa menatap ke arah Reina. Tangan dan netranya disibukkan beberapa dokumen di atas meja kerjanya.‘Hah? Mendekat?’“Oh, iya. Baik Pak.” Reina segera melangkah cepat dan berdiri di samping Regan.Terlihat CEO tampan itu menjelaskan apa saja yang harus dikerjakan oleh Reina hari ini.Regan tampak serius dalam berbicara. Sementara Reina justru merasa sangat gugup. Apalagi di saat lengannya yang tak sengaja bersentuhan dengan lengan CEO tampan itu. Seketika keringat dingin mengalir dari balik seragam kerjanya begitu saja.“Kamu paham, Reina?” tanya Regan setelah menjelaskan beberapa tugas yang harus dikerjakan oleh Reina.‘Jadi dia sudah tahu namaku?’ batin Reina cukup terkejut. Lalu ia teringat dengan pertanyaan Regan.“Iya, Pak. Saya mengerti,” jawab gadis itu yakin.Untuk mengendalikan rasa gugup yang semakin mendera, Reina bergerak mundur. Ia mencoba tetap tenang dan mengatur nafasnya dengan sangat pelan.“Kerjakan semuanya sebelum jam makan siang. Nanti jam dua siang kamu harus menemani saya meeting dengan klien penting di luar kantor.”Reina mengangguk pasti sambil berucap, “Baik ... Pak Regan.”Gadis itu segera memutar tubuhnya dengan cepat. Ia hendak keluar dari ruangan sang CEO. Namun baru saja tangannya menyentuh handel pintu, terdengar suara Regan menyebut namanya kembali.“Reina, tunggu sebentar!”Wah, ngapain tuh Pak Regan???? Panggil2 aja sukanya....
Reina memejamkan kedua matanya. Seketika ia menurunkan tangannya yang semula hendak membuka pintu di hadapannya. Gadis itu masih terdiam di tempatnya tanpa menoleh ke arah sang CEO. Dengan cepat ia mengumpulkan seluruh keberaniannya agar bisa menatap Regan kembali tanpa rasa takut. Tanpa diduga Regan melangkah menghampirinya. Meski pelan, Reina bisa merasakan tiap derap langkah kakinya yang mengusik keheningan ruangan bernuansa monokrom itu. “Kenapa hanya diam saja?” Suara berat dari Regan meruntuhkan keberanian Reina. ‘Astaga! Apalagi ini. Apasih maunya?’ batin gadis itu merasa kesal. Namun ia tidak bisa berbuat apa-apa selain memutar tubuhnya agar berhadapan kembali dengan Regan. Di saat Reina sudah berbalik badan, ia sangat terkejut melihat posisi Regan sangat dekat dengannya. Aroma tubuh lelaki itu kembali merusak konsentrasinya. Bagaimana mungkin ia bisa dengan tiba-tiba teringat kembali peristiwa tadi malam? Iya, Reina sangat ingat jika dia dengan berani mengatakan kepada Reg
“Auw! Sakit Pak Regan. Kenapa tega sekali.” Reina mengusap pundak kirinya yang terasa sakit. Mulut Regan sangat tidak sopan. Berani menggigit bahunya secara mendadak. Apakah lelaki ini suka akan semua hal yang dilakukan secara tiba-tiba? “Tadi kamu berharap semua ini hanya mimpi ‘kan? Jadi saya buktikan bahwa semua ini nyata, Reina.” Regan meraba bagian dadanya sambil berucap, “Terima kasih.” CEO tampan itu melanjutkan langkahnya tanpa menunggu Reina yang masih merasa kesal akibat ulahnya beberapa detik yang lalu. “Sampai kapan kamu akan berdiri di situ? Kamu mau perusahaan ini kehilangan seorang klien yang sangat berarti?” ujar Regan sedikit berteriak. “Eh, tidak Pak!” Reina langsung berlarian menghampiri Regan yang berdiri cukup jauh dari tempatnya. Rasanya Reina sudah hampir menyerah. Niatnya menghindar, tetapi justru semakin di dekatkan seperti ini. Bagaimana mungkin? Lift yang awalnya kosong kini jadi penuh dan terasa sesak. Tak hanya itu saja. Regan dengan berani berdiri d
Mendengar pertanyaan dari Reina, CEO tampan itu terdiam. Sepertinya sedang memikirkan sesuatu. Selanjutnya, ia justru berjalan menghampiri gadis itu. Reina cukup ketakutan melihat Regan berjalan mendekatinya. Ia sudah berpikir yang tidak-tidak. Mengingat atasannya itu seringkali melakukan tindakan yang tiba-tiba. “Sebelum pergi, apakah ada yang ingin kamu sampaikan kepadaku?” tanya Regan kemudian. Seolah sengaja menunda-nunda kepergian Reina dari ruangannya. Inilah yang tidak disukai Reina. Lelaki di dekatnya ini tidak langsung to the poin mengatakan tujuannya. Sekarang justru bermain teka-teki dengannya. Reina berpikir keras. ‘Ayolah, Reina. Coba tebak, apa maksud ucapan Regan?’ “Saya rasa tidak ada yang perlu saya sampaikan lagi.” Reina menunduk dan hendak berjalan mundur meninggalkan ruangan itu. “Kamu yakin? Tidak akan menyesal?” imbuh Regan. Reina menegakkan kepalanya. Ia bisa melihat tatapan penuh kelicikan dari bosnya tersebut. “Baiklah, Pak Regan. Saya ingin meminta maa
Reina melihat sang kekasih hati datang bersama Karin—sahabatnya. Hal itu membuat hatinya terasa ada yang menusuk. Gadis itu juga penasaran dengan kejadian tadi malam. Apakah benar Karin yang telah menjebaknya dengan memberikan minuman yang mengandung alkohol? Reina ingin tahu apa alasan sang sahabat melakukan hal itu kepadanya. “Leon? Kalian—” Ucapan Reina terhenti. Leon langsung memotong kalimatnya yang masih menggantung. Bahkan gadis itu bisa melihat raut wajah terkejut pada kekasihnya. “Kami dapat tugas di luar, Sayang. Tetapi Karin tiba-tiba merasa tidak enak badan. Jadi aku membawanya ke sini sebentar untuk mengambil barang penting yang ketinggalan.” Reina manggut-manggut. Namun ia tetap curiga kepada Karin. Gadis itu mengalihkan pandangan kepada sahabatnya. “Karin, ada yang ingin aku tanyakan kepadamu. Ini soal tadi malam—” “Aduh! Kepalaku sakit banget!” Karin merintih kesakitan sambil memegangi kepalanya. Membuat Reina cukup panik. Tangannya terulur hendak memegangi bahu sa
“Jangan berteriak, Reina. Ini aku!” tegas seorang lelaki kepada Reina. Reina sangat mengenali suara itu. Tetapi kenapa bahasanya seolah mereka telah akrab? Apakah benar lelaki di dekatnya ini adalah Regan? Belum sempat Reina membalas ucapan itu, lampu-lampu telah menyala. “Lepaskan!” Reina berusaha memberontak. Seketika tangan yang membungkam mulutnya terlepas begitu saja. Gadis itu langsung menatap tajam ke arah lelaki di depannya. Dan benar saja. Dia adalah Regan, atasannya. Lelaki itu hanya diam. Ekspresi wajahnya sangat tenang. Tidak merasa bersalah sama sekali. “Pak Regan kenapa ada di sini? Pak Regan ngikutin saya, ya? Jujur saja!” Reina membuang muka sambil bersedekap dada. Ia sangat percaya diri sekali mengatakan kalimat itu kepada atasannya. Regan geleng-geleng kepala. Tidak habis dengan sikap Reina yang baginya walaupun sangat menyebalkan tetapi gadis itu membuatnya merasa semakin penasaran. “Kebetulan ada yang ketinggalan di ruangan kerjaku. Jadi terpaksa aku harus ke
Dengan muka yang ditekuk dan kusut, ibu tiri Reina terpaksa membukakan pintu rumah yang masih tertutup itu. Walau bagaimanapun ia masih ada rasa belas kasihan terhadap anak tirinya.Terlihat seorang wanita tua berdiri di depan pintu dengan bibir yang menyunggingkan sebuah senyuman. Wanita itu menundukkan kepalanya sejenak. “Ibu cari siapa, ya? Ada perlu apa datang malam-malam seperti ini?” tanya Linda bernada tegas. “Maaf, Bu. Saya diutus oleh Tuan untuk memijat kaki Non Reina yang katanya terkilir. Bolehkah saya masuk?” izin wanita itu terlihat cemas. Linda melirik ke arah Reina. Gadis itu masih tampak kesakitan. Membuatnya tidak tega. Ia juga takut jika besok Reina tidak berangkat ke kantor lagi. Tentu hal itu bisa merepotkannya. Belum lagi dengan gajinya. Pasti akan terpotong dan tidak bisa memberi uang lebih kepadanya. “Ya sudah kalau begitu. Masuk saja. Saya ke belakang dulu.” Setelah mengatakan kalimat itu, ibu tiri Reina segera pergi ke belakang. Perutnya terasa melilit kar
Beberapa pesan dari Leon membuat Reina merasa kecewa. Rupanya kekasihnya itu lebih banyak menghabiskan waktunya dengan Karin daripada dia. Meski Leon telah meminta maaf karena tidak bisa menjemputnya saat pulang dari lembur, tetapi Reina belum sepenuhnya bisa memaafkan. “Kamu tega banget, Leon. Tidak peka jika aku sangat membutuhkan kamu. Bagaimana kalau tadi tidak ada Pak Regan?!” omel Reina seorang diri.Karena terlanjur kecewa, Reina mengabaikan pesan dari Leon. Ia sengaja tidak membalas pesan dari kekasihnya tersebut. Akan tetapi lelaki itu justru terus meneleponnya. Membuat Reina harus kembali merasa kalah. Hatinya masih terlalu berat untuk mengabaikan Leon. “Ada apasih, meneleponku? Ini sudah malam, Leon?!” Akhirnya Reina menjawab telepon itu. “Aku benar-benar minta maaf, Sayang. Aku tidak mungkin bisa tidur jika kamu tidak memaafkan aku.” Suara itu terdengar memohon. Leon masih terus-terusan berusaha mengambil hati Reina kembali. Ia tak segan merayu dan mengeluarkan ungkapan-
“Kalau begitu ... aku ke toilet dulu ya, Rei?” Karin pamit kepada Reina. Reina merasa lega. Ini artinya ia ada kesempatan untuk bisa berduaan dengan Leon. Sesungguhnya ada hal yang ingin ia tanyakan. Gadis itu merindukan perhatian sang kekasih yang seperti dulu. Seperti awal-awal mereka jadian dan sebelum leon mengenal Karin. “Leon ... aku mau—” “Em, aku juga kebelet nih! Sampai ketemu lagi di ruang kerja nanti ya,” sahut Leon cepat. Ia belum tahu jika Reina tak lagi bekerja satu ruangan dengannya. Mulai hari ini dan seterusnya Reina akan bekerja sebagai sekretaris Regan. Itu artinya posisi Reina tak lagi setara dengan Leon. Reina mendesah pelan. Kedua matanya tampak berkaca-kaca. Rasanya ia ingin menumpahkan segala kegundahan hatinya. Entah kepada siapa lagi ia harus bercerita. Reina menatap kebergian kekasih dan sahabatnya dengan lemas. Ke toilet pun mereka sangat kompak. Dengan berat hati gadis itu segera berjalan menuju lift. Ia langsung pergi ke ruangan sekretaris. Reina me