“Auw! Sakit Pak Regan. Kenapa tega sekali.”
Reina mengusap pundak kirinya yang terasa sakit. Mulut Regan sangat tidak sopan. Berani menggigit bahunya secara mendadak. Apakah lelaki ini suka akan semua hal yang dilakukan secara tiba-tiba?“Tadi kamu berharap semua ini hanya mimpi ‘kan? Jadi saya buktikan bahwa semua ini nyata, Reina.” Regan meraba bagian dadanya sambil berucap, “Terima kasih.”CEO tampan itu melanjutkan langkahnya tanpa menunggu Reina yang masih merasa kesal akibat ulahnya beberapa detik yang lalu.“Sampai kapan kamu akan berdiri di situ? Kamu mau perusahaan ini kehilangan seorang klien yang sangat berarti?” ujar Regan sedikit berteriak.“Eh, tidak Pak!” Reina langsung berlarian menghampiri Regan yang berdiri cukup jauh dari tempatnya.Rasanya Reina sudah hampir menyerah. Niatnya menghindar, tetapi justru semakin di dekatkan seperti ini. Bagaimana mungkin? Lift yang awalnya kosong kini jadi penuh dan terasa sesak.Tak hanya itu saja. Regan dengan berani berdiri di depannya. Tatapan matanya kembali seperti tadi saat Reina sibuk merapikan dasinya. Meski gadis itu tidak membalas tatapannya, tetapi ia bisa merasakan ada sesuatu hal yang aneh dari tatapan mata Regan.Saat ini posisi Reina sedang terdesak. Bahkan kedua tangan sang CEO itu berada di sebelah kanan dan kiri Reina seolah mengunci tubuhnya. Hampir saja bibir gadis itu menyentuh bibir Regan. Beruntung lift segera terbuka. Dan semua karyawan berhamburan keluar dari dalam lift untuk mencari makan siang.“Ini semua salah kamu,” ucap Regan.“Kok saya, Pak?” Reina semakin bertambah kesal. Bisa-bisanya lelaki itu malah menyalahkannya.“Tadi jalan kamu lambat ‘kan?” Regan mengingatkan.Reina terdiam seketika. Langkahnya memang tidak secepat Regan. Satu langkahnya sama dengan dua langkah kaki CEO tampan itu.“Iya, Pak. Saya minta maaf.”Hanya ucapan maaf yang bisa Reina berikan. Memangnya apa lagi? Mau memberi uang pun ia tidak punya sama sekali. Tinggal satu lembar berwarna merah yang harus bisa ia gunakan sampai akhir bulan. Lagi pula Regan sudah kaya raya. Tidak mungkin tega memeras gadis itu.“Lain kali kalau berbuat kesalahan lagi, saya tidak mau jika hanya ungkapan maaf.”Regan bergegas masuk ke dalam mobilnya. Di sana ada seorang sopir yang sudah menunggu sejak tadi.“Hah? Apalagi ini maksudnya?” Perasaan Reina jadi tidak enak. Ia curiga jika atasannya itu merencanakan sesuatu yang akan merugikan untuk Reina.Tin ! Tin !Terdengar suara klakson berkali-kali. Tentu saja Regan yang menyuruh sopirnya untuk membunyikan klakson itu di telinga Reina.Reina kembali diliputi rasa bersalah. Ia langsung berlari masuk ke dalam mobil.Di sepanjang perjalanan mereka hanya saling diam. Reina takut jika salah berucap. Ia tidak mau meminta maaf lagi. Gadis itu masih teringat ucapan Regan beberapa waktu yang lalu. Reina tidak mau jika dimanfaatkan.Sementara Regan pun sibuk dengan ponselnya. Sepertinya ada masalah di kehidupan pribadinya di mana semua orang banyak yang tidak tahu. Karena selama ini CEO tampan itu terkenal sebagai lelaki yang tertutup. Tidak pernah digosipkan dekat dengan perempuan manapun. Bahkan ada yang mengatakan bahwa dirinya tidak suka dengan wanita.“Sudah sampai Pak Regan,” ucap sang sopir memberitahu.Mobil itu berhenti di depan sebuah restoran mewah. Tempat Regan dan klien penting perusahaannya akan bertemu.Rupanya klien tersebut adalah seorang lelaki yang umurnya diperkirakan lebih tua dari Regan. Badannya sedikit gemuk dengan kepala yang sedikit botak di tengahnya dan kumis seperti ikan Lele.Dari pandangan pertama, Reina sudah merasa risih akan tatapan lelaki itu. Sepanjang makan siang berjalan, klien tersebut sering mencuri pandang ke arah Reina. Bahkan lelaki itu sampai sengaja menjatuhkan sendoknya dan cukup lama sembunyi di bawah meja.Regan merasa ada yang tidak beres. Ia paham jika Reina merasa tidak nyaman. Seharusnya pakaian gadis itu lebih tertutup lagi. Lelaki tampan itu tahu jika kliennya tertarik kepada Reina.Setelah makan siang selesai, meeting pun berjalan selama beberapa jam lamanya. Reina mencatat semua hal yang penting dan istilah baru yang tak begitu ia pahami. Ia fokus memperhatikan klien yang tampak berbicara dengan serius.“Baiklah. Untuk selanjutnya nanti Bapak bisa komunikasi dengan sekretaris saya,” jelas Regan mencoba untuk tetap ramah.“Oh, baiklah. Dengan senang hati.”Lelaki berkumis Lele itu mengalihkan pandangannya kepada Reina sambil senyum-senyum nakal. “Berapa nomor ponsel kamu?” tanyanya tiba-tiba.Lelaki itu mengulurkan ponselnya kepada Reina. Berharap gadis itu menuliskan nomornya.“Nanti sekretaris saya akan menghubungi kamu. Tetapi hari ini dia tidak bisa datang.”Reina terdiam. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Tetapi ternyata Regan tak tinggal diam. Ia segera menepis tangan lelaki itu.“Namanya Reina. Dia bukan sekretaris saya. Dia adalah calon istri saya.” Regan mengucapkan kalimat itu dengan penuh keyakinan sambil merangkul pundak Reina.Seketika Reina melongo dibuatnya.“Ya, karena sekretaris saya cuti tiba-tiba. Jadi saya minta tolong kepada Reina menemani saya di sini.” Regan menatap wajah Reina. “Benarkan, Sayang?”‘What? Apa yang dia katakan?’ batin Reina masih tidak percaya. Gadis itu masih terdiam hingga merasakan bahu Regan menyenggol lengannya.“Ah, iya benar. Saya tidak mau melihat kekasih saya kesusahan. Jadi saya mencatat hal yang penting dan bertindak layaknya sebagai sekretaris untuk kekasih saya.” Reina menjelaskan hal itu sambil memaksakan diri untuk tersenyum. Ia bisa melihat ekspresi wajah Regan yang sepertinya sedang menahan diri untuk tidak tertawa.Klien tersebut menatap tak suka ke arah Reina. Sepertinya dia benar-benar kecewa.“Baiklah, kalau begitu. Nanti saya akan menghubungi nomor telepon kantor Anda jika tidak berubah pikiran.”Reina merasa tidak enak hati mendengarkan ucapan klien itu. Gadis itu tidak mau jika sang klien membatalkan kerjasamanya dengan perusahaan Regan. Walau bagaimanapun, kesuksesan perusahaan adalah kesejahteraan bagi karyawannya juga.Mereka pun saling berjabat tangan.Regan segera mengajak Reina masuk kembali ke dalam mobilnya. Sementara Reina berusaha melepaskan tangan Regan yang justru sudah bertengger di pinggangnya entah sejak kapan.“Lepas, Pak Regan! Jangan macam-macam!” ancam Reina dan segera masuk ke dalam mobil.Setelah tiba di kantor kembali, Regan meminta Reina untuk ikut ke dalam ruangannya.“Kamu sudah mencatat semuanya tadi?” tanya Regan berbasa-basi.“Iya, Pak. Tentu saja.” Reina meletakkan catatannya di atas meja Regan. Setelah ini ia tidak mau berurusan lagi dengan pria menyebalkan itu. Ia yakin jika Rindu besok sudah bekerja kembali sebagai sekretaris yang asli. Bukan abal-abal seperti dirinya.“Bolehkah sekarang saya kembali ke ruangan saya?” tanya Reina berniat untuk pamit meninggalkan ruangan Regan dan bekerja kembali di bagian divisi pemasaran.Boleh nggak nih????
Mendengar pertanyaan dari Reina, CEO tampan itu terdiam. Sepertinya sedang memikirkan sesuatu. Selanjutnya, ia justru berjalan menghampiri gadis itu. Reina cukup ketakutan melihat Regan berjalan mendekatinya. Ia sudah berpikir yang tidak-tidak. Mengingat atasannya itu seringkali melakukan tindakan yang tiba-tiba. “Sebelum pergi, apakah ada yang ingin kamu sampaikan kepadaku?” tanya Regan kemudian. Seolah sengaja menunda-nunda kepergian Reina dari ruangannya. Inilah yang tidak disukai Reina. Lelaki di dekatnya ini tidak langsung to the poin mengatakan tujuannya. Sekarang justru bermain teka-teki dengannya. Reina berpikir keras. ‘Ayolah, Reina. Coba tebak, apa maksud ucapan Regan?’ “Saya rasa tidak ada yang perlu saya sampaikan lagi.” Reina menunduk dan hendak berjalan mundur meninggalkan ruangan itu. “Kamu yakin? Tidak akan menyesal?” imbuh Regan. Reina menegakkan kepalanya. Ia bisa melihat tatapan penuh kelicikan dari bosnya tersebut. “Baiklah, Pak Regan. Saya ingin meminta maa
Reina melihat sang kekasih hati datang bersama Karin—sahabatnya. Hal itu membuat hatinya terasa ada yang menusuk. Gadis itu juga penasaran dengan kejadian tadi malam. Apakah benar Karin yang telah menjebaknya dengan memberikan minuman yang mengandung alkohol? Reina ingin tahu apa alasan sang sahabat melakukan hal itu kepadanya. “Leon? Kalian—” Ucapan Reina terhenti. Leon langsung memotong kalimatnya yang masih menggantung. Bahkan gadis itu bisa melihat raut wajah terkejut pada kekasihnya. “Kami dapat tugas di luar, Sayang. Tetapi Karin tiba-tiba merasa tidak enak badan. Jadi aku membawanya ke sini sebentar untuk mengambil barang penting yang ketinggalan.” Reina manggut-manggut. Namun ia tetap curiga kepada Karin. Gadis itu mengalihkan pandangan kepada sahabatnya. “Karin, ada yang ingin aku tanyakan kepadamu. Ini soal tadi malam—” “Aduh! Kepalaku sakit banget!” Karin merintih kesakitan sambil memegangi kepalanya. Membuat Reina cukup panik. Tangannya terulur hendak memegangi bahu sa
“Jangan berteriak, Reina. Ini aku!” tegas seorang lelaki kepada Reina. Reina sangat mengenali suara itu. Tetapi kenapa bahasanya seolah mereka telah akrab? Apakah benar lelaki di dekatnya ini adalah Regan? Belum sempat Reina membalas ucapan itu, lampu-lampu telah menyala. “Lepaskan!” Reina berusaha memberontak. Seketika tangan yang membungkam mulutnya terlepas begitu saja. Gadis itu langsung menatap tajam ke arah lelaki di depannya. Dan benar saja. Dia adalah Regan, atasannya. Lelaki itu hanya diam. Ekspresi wajahnya sangat tenang. Tidak merasa bersalah sama sekali. “Pak Regan kenapa ada di sini? Pak Regan ngikutin saya, ya? Jujur saja!” Reina membuang muka sambil bersedekap dada. Ia sangat percaya diri sekali mengatakan kalimat itu kepada atasannya. Regan geleng-geleng kepala. Tidak habis dengan sikap Reina yang baginya walaupun sangat menyebalkan tetapi gadis itu membuatnya merasa semakin penasaran. “Kebetulan ada yang ketinggalan di ruangan kerjaku. Jadi terpaksa aku harus ke
Dengan muka yang ditekuk dan kusut, ibu tiri Reina terpaksa membukakan pintu rumah yang masih tertutup itu. Walau bagaimanapun ia masih ada rasa belas kasihan terhadap anak tirinya.Terlihat seorang wanita tua berdiri di depan pintu dengan bibir yang menyunggingkan sebuah senyuman. Wanita itu menundukkan kepalanya sejenak. “Ibu cari siapa, ya? Ada perlu apa datang malam-malam seperti ini?” tanya Linda bernada tegas. “Maaf, Bu. Saya diutus oleh Tuan untuk memijat kaki Non Reina yang katanya terkilir. Bolehkah saya masuk?” izin wanita itu terlihat cemas. Linda melirik ke arah Reina. Gadis itu masih tampak kesakitan. Membuatnya tidak tega. Ia juga takut jika besok Reina tidak berangkat ke kantor lagi. Tentu hal itu bisa merepotkannya. Belum lagi dengan gajinya. Pasti akan terpotong dan tidak bisa memberi uang lebih kepadanya. “Ya sudah kalau begitu. Masuk saja. Saya ke belakang dulu.” Setelah mengatakan kalimat itu, ibu tiri Reina segera pergi ke belakang. Perutnya terasa melilit kar
Beberapa pesan dari Leon membuat Reina merasa kecewa. Rupanya kekasihnya itu lebih banyak menghabiskan waktunya dengan Karin daripada dia. Meski Leon telah meminta maaf karena tidak bisa menjemputnya saat pulang dari lembur, tetapi Reina belum sepenuhnya bisa memaafkan. “Kamu tega banget, Leon. Tidak peka jika aku sangat membutuhkan kamu. Bagaimana kalau tadi tidak ada Pak Regan?!” omel Reina seorang diri.Karena terlanjur kecewa, Reina mengabaikan pesan dari Leon. Ia sengaja tidak membalas pesan dari kekasihnya tersebut. Akan tetapi lelaki itu justru terus meneleponnya. Membuat Reina harus kembali merasa kalah. Hatinya masih terlalu berat untuk mengabaikan Leon. “Ada apasih, meneleponku? Ini sudah malam, Leon?!” Akhirnya Reina menjawab telepon itu. “Aku benar-benar minta maaf, Sayang. Aku tidak mungkin bisa tidur jika kamu tidak memaafkan aku.” Suara itu terdengar memohon. Leon masih terus-terusan berusaha mengambil hati Reina kembali. Ia tak segan merayu dan mengeluarkan ungkapan-
“Kalau begitu ... aku ke toilet dulu ya, Rei?” Karin pamit kepada Reina. Reina merasa lega. Ini artinya ia ada kesempatan untuk bisa berduaan dengan Leon. Sesungguhnya ada hal yang ingin ia tanyakan. Gadis itu merindukan perhatian sang kekasih yang seperti dulu. Seperti awal-awal mereka jadian dan sebelum leon mengenal Karin. “Leon ... aku mau—” “Em, aku juga kebelet nih! Sampai ketemu lagi di ruang kerja nanti ya,” sahut Leon cepat. Ia belum tahu jika Reina tak lagi bekerja satu ruangan dengannya. Mulai hari ini dan seterusnya Reina akan bekerja sebagai sekretaris Regan. Itu artinya posisi Reina tak lagi setara dengan Leon. Reina mendesah pelan. Kedua matanya tampak berkaca-kaca. Rasanya ia ingin menumpahkan segala kegundahan hatinya. Entah kepada siapa lagi ia harus bercerita. Reina menatap kebergian kekasih dan sahabatnya dengan lemas. Ke toilet pun mereka sangat kompak. Dengan berat hati gadis itu segera berjalan menuju lift. Ia langsung pergi ke ruangan sekretaris. Reina me
“A‒apa?” ucap Reina terbata.Dengan kekasihnya saja Reina tidak pernah melakukan perbuatan seperti itu. Berpelukan saja tidak pernah. Apalagi berciuman. Dan untuk peristiwa malam itu ... tentu saja tidak ada unsur kesengajaan sama sekali. Bahkan Reina mati-matian berusaha melupakan malam terlarang yang penuh kekhilafan. Reina menggelengkan kepalanya. Ia masih diam terpaku di tempatnya. “Tunggu apalagi? Mau hukuman yang lebih dari ini?!” tegas Regan berapi-api. “Ja‒jangan, Pak. Baiklah, saya akan melepaskan pakaian Bapak. Tapi Bapak jangan lihat, ya?” Reina mencoba bernegosiasi. Wajahnya terlihat sangat gugup. Hal itu membuat Regan menahan tawa di bibirnya. Baginya Reina sangat lucu. “Cepatlah!” Regan sudah tidak sabaran. Dengan perlahan Reina mulai melepaskan satu persatu kancing baju milik Regan. Hingga saat terbuka kancing paling bawah, terlihatlah perut kotak-kotak yang sangat dibenci oleh indera penglihatan milik gadis itu. Sebenarnya bukan benci. Lebih tepatnya Reina tidak in
Reina hampir saja pingsan. Beruntung ada yang dengan cepat langsung menangkap tubuhnya. “Reina, kamu tidak apa-apa?” “Pak Regan ....” Setelah mengatakan dua kata itu, Reina benar-benar pingsan. Regan langsung membawa Reina ke dalam ruangan pribadinya. Sementara Karin dan Leon tampak kebingungan. “Leon, bagaimana ini? Reina sudah tahu semuanya. Ini semua gara-gara kamu.” “Tadi kamu bilang apa? Sepertinya kamu tadi ingin mengatakan sesuatu kepadaku,” balas Leon mengalihkan pembicaraan. “Aku hamil, Leon. Aku hamil anak kamu. Kamu harus segera menikahiku.” “Apa? Tidak mungkin, Karin. Kamu pasti bercanda. Bagaimana mungkin. Aku belum jadi dipromosikan. Entah kapan. Sepertinya perasaanku tak enak.” Leon melangkah pergi. Niatnya ingin menyusul kepergian Reina. Ia masih berusaha membujuk kekasihnya tersebut meski kemungkinan besar ia akan diputuskan. “Leon, tunggu! Kamu tidak percaya dengan ucapanku?! Kamu tega sekali Leon. Bagaimana kalau perut ini semakin membesar?! Aku takut akan d