Share

Bab 6. Ketakutan

Reina melihat sang kekasih hati datang bersama Karin—sahabatnya. Hal itu membuat hatinya terasa ada yang menusuk. Gadis itu juga penasaran dengan kejadian tadi malam. Apakah benar Karin yang telah menjebaknya dengan memberikan minuman yang mengandung alkohol? Reina ingin tahu apa alasan sang sahabat melakukan hal itu kepadanya.

“Leon? Kalian—” Ucapan Reina terhenti. Leon langsung memotong kalimatnya yang masih menggantung. Bahkan gadis itu bisa melihat raut wajah terkejut pada kekasihnya.

“Kami dapat tugas di luar, Sayang. Tetapi Karin tiba-tiba merasa tidak enak badan. Jadi aku membawanya ke sini sebentar untuk mengambil barang penting yang ketinggalan.”

Reina manggut-manggut. Namun ia tetap curiga kepada Karin. Gadis itu mengalihkan pandangan kepada sahabatnya.

“Karin, ada yang ingin aku tanyakan kepadamu. Ini soal tadi malam—”

“Aduh! Kepalaku sakit banget!” Karin merintih kesakitan sambil memegangi kepalanya. Membuat Reina cukup panik. Tangannya terulur hendak memegangi bahu sang sahabat, tetapi Leon lebih dulu menepisnya.

“Sudah aku bilang. Karin sedang sakit. Kamu tidak percaya? Keterlaluan kamu Reina.” Leon langsung memapah tubuh Karin menuju ruangan kerja mereka.

Dada Reina terasa sesak mendapatkan perlakuan seperti itu dari Leon. Tidak biasanya sang kekasih berbicara dengan nada kasar. “Apakah semua gara-gara aku yang tak pernah ada waktu untuknya? Tega sekali kamu, Leon. Padahal aku juga sedang menabung agar kita bisa segera menikah.”

Tubuh Reina terasa lemas. Ia sampai lupa dengan niatnya tadi untuk kembali ke ruang kerja. Seketika gadis itu menepuk keningnya. Jangan sampai sang manajer kecewa dengan hasil kerjanya.

Reina segera masuk ke ruang kerjanya semula. Ia melirik sekilas ke arah Karin dan Leon. Kekasihnya tersebut memberikan minuman dan menyuapinya dengan sangat hati-hati. Kemudian memijat kedua bahu sahabatnya dengan penuh kelembutan.

Diam-diam Reina merasa iri. Padahal Leon tidak pernah bersikap seperhatian itu kepadanya.

“Kamu kenapa Reina?” Ucapan sang manajer membuat Reina terperanjat kaget. Lagi-lagi ia tak sadar jika Pak Burhan sedang mengawasinya. Entah sejak kapan.

“Kamu cemburu melihat Leon dekat dengan Karin? Bukankah kalian bertiga memang dekat sejak kamu bergabung di perusahaan ini?” Sang manajer mengingatkan.

Tangan Reina menyentuh dadanya. Ia menggeleng perlahan. “Sakit, Pak. Sakit banget!” lirih Reina tak peduli dengan keberadaan Pak Burhan di sebelahnya.

Jam kerja telah berakhir. Namun Reina tidak bisa kemana-mana karena tugasnya belum selesai. Lagi-lagi ia harus lembur. Akan tetapi sebelum kembali melanjutkan pekerjaannya, gadis itu berjalan cepat menghampiri Leon dan Karin.

“Sorry, aku tidak bisa mengantarkan kamu pulang. Aku harus menemani Karin ke klinik. Aku harus memastikan dia baik-baik saja,” ungkap Leon bahkan sebelum Reina mengeluarkan sepatah kata untuknya.

Ucapan Reina seakan tersekat di tenggorokan. Ia urungkan niatnya yang ingin ikut bersama mereka. Memang mustahil karena gadis itu masih memiliki banyak tugas yang menumpuk.

“Hati-hati kalian,” lirih Reina setelah kekasih dan sahabatnya berjalan semakin jauh meninggalkannya.

Reina segera kembali ke tempat duduknya. Sore ini ia akan lembur seorang diri. Meski begitu masih ada sang manajer yang ikut menemaninya walau berada di ruangan yang berbeda.

Reina ingin cepat menyelesaikan tugasnya dan pulang, tetapi tiba-tiba ia merasakan sakit perut. Terpaksa gadis itu ke toilet sebentar. Untuk beberapa menit lamanya Reina menghabiskan waktunya di dalam toilet perempuan.

Di saat kembali ke ruangannya, Reina melihat ada kotak makanan di meja kerjanya. Gadis itu merasa heran karena ia tidak memesan makanan apapun. Meski lapar, Reina tidak kepikiran untuk makan terlebih dahulu sebelum melanjutkan pekerjaannya kembali.

Ada sebuah kertas di atas kotak itu. “Untuk Reina.” Gadis itu membaca tulisan yang tertera. Rupanya makanan itu memang untuk dirinya.

“Siapa yang ngasih makanan ini ya? Baik sekali. Atau jangan-jangan Pak Burhan?” Tanpa sadar tangan kiri Reina mengelus perutnya dengan gerakan melingkar. Nafsu makannya seketika meningkat dalam sekejap saat ia membuka kotak makanan itu.

“Kalau nggak dimakan ya mubazir dong! Masak seorang Reina menolak rezeki?” Reina menoleh ke kanan dan ke kiri. Tentu ia masih memiliki rasa malu. Gadis itu takut jika ada sesiapa yang mengerjainya.

Reina lalu duduk. “Makan saja deh. Aromanya nikmat sekali. Mana tahan.”

Dengan semangat Reina menikmati makanan itu. Memasukkan sedikit demi sedikit ke dalam mulutnya yang tak begitu lebar. Gadis itu teringat dengan kekasihnya. Hanya Leon dan Karin yang mengetahui makanan kesukaannya. “Atau mungkin Leon kasih kejutan, ya? Ternyata dia masih peduli denganku.”

Reina senyum-senyum sendiri. Ia berniat untuk menghubungi Leon kembali setelah pulang bekerja nanti. Kemungkinan kekasihnya tersebut sudah pulang dari rumah Karin.

Setelah makan dan selesai dari toilet lagi, Reina kembali untuk melanjutkan pekerjaannya. Beberapa waktu telah berlalu. Namun Reina merasa jam di dekatnya berjalan begitu lambat. Tanpa disangka malam semakin larut saat gadis itu berhasil menyelesaikan semua tugas-tugasnya.

Reina kembali melihat jam di dekatnya. “Astaga! Sudah jam sembilan malam.” Gadis itu merasa sangat lelah. Ia merentangkan kedua tangannya. Kemudian menggeliatkan tubuhnya. Mencoba melepaskan ketegangan otot pada tubuhnya.

Tanpa sadar Reina menguap. Gadis itu hendak mematikan komputernya, tetapi sebuah pesan masuk ke dalam ponselnya. Rupanya pesan dari Pak Burhan.

[Maaf, Reina. Saya ada kepentingan mendesak. Saya pulang duluan. Tolong tugas-tugas kamu kirim ke email saya saja. Nanti malam akan saya cek dari rumah.]

Reina mendesah kasar. Bibirnya cemberut. Denyut di kepala karena rasa lelahnya, kini semakin bertambah.

“Tega sekali Pak Burhan meninggalkan aku di sini. Dipikir aku berani sendirian?” keluh Reina merasa kesal. Padahal ia sudah berkorban dengan menghabiskan waktunya untuk lembur sampai malam.

Cepat-cepat Reina mengirimkan tugasnya sesuai perintah sang manajer. Perasaan was-was hadir ketika ia menyadari tiada sesiapa lagi di sampingnya. Apalagi gadis itu pernah mendengar jika ruangan kerjanya sedikit angker.

Reina bergedik ngeri. Ia segera mematikan komputer dan mengalungkan tas selempang di bahunya. Gadis itu berjalan cepat menuju lift.

Setelah berada di lantai paling bawah, Reina merasa lega. Ia melihat ada petugas keamanan yang berjalan menuju belakang. Gadis itu merasa tak sendiri lagi.

Namun di saat petugas itu sudah tidak terlihat, tiba-tiba semua lampu mati. Hampir saja Reina berteriak kencang. Ia langsung menutupi seluruh wajah dengan kedua tangannya. Dan sedetik kemudian ia merasakan ada yang menepuk bahunya dari belakang.

Reina merasa ketakutan. Ia hendak berteriak, tetapi mulutnya langsung dibekap oleh telapak tangan besar beraroma khas seperti milik seorang lelaki.

Rich Mama

Huaaa.... kira-kira siapa ya??? ;D

| 17
Comments (9)
goodnovel comment avatar
Abigail Briel
pasti bosnya wkwkkwk
goodnovel comment avatar
Rich Mama
iya mungkin O⁠_⁠o O⁠_⁠o O⁠_⁠o
goodnovel comment avatar
Woro Tidar
hantu kepala hitam
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status