Reina melihat sang kekasih hati datang bersama Karin—sahabatnya. Hal itu membuat hatinya terasa ada yang menusuk. Gadis itu juga penasaran dengan kejadian tadi malam. Apakah benar Karin yang telah menjebaknya dengan memberikan minuman yang mengandung alkohol? Reina ingin tahu apa alasan sang sahabat melakukan hal itu kepadanya.
“Leon? Kalian—” Ucapan Reina terhenti. Leon langsung memotong kalimatnya yang masih menggantung. Bahkan gadis itu bisa melihat raut wajah terkejut pada kekasihnya.“Kami dapat tugas di luar, Sayang. Tetapi Karin tiba-tiba merasa tidak enak badan. Jadi aku membawanya ke sini sebentar untuk mengambil barang penting yang ketinggalan.”Reina manggut-manggut. Namun ia tetap curiga kepada Karin. Gadis itu mengalihkan pandangan kepada sahabatnya.“Karin, ada yang ingin aku tanyakan kepadamu. Ini soal tadi malam—”“Aduh! Kepalaku sakit banget!” Karin merintih kesakitan sambil memegangi kepalanya. Membuat Reina cukup panik. Tangannya terulur hendak memegangi bahu sang sahabat, tetapi Leon lebih dulu menepisnya.“Sudah aku bilang. Karin sedang sakit. Kamu tidak percaya? Keterlaluan kamu Reina.” Leon langsung memapah tubuh Karin menuju ruangan kerja mereka.Dada Reina terasa sesak mendapatkan perlakuan seperti itu dari Leon. Tidak biasanya sang kekasih berbicara dengan nada kasar. “Apakah semua gara-gara aku yang tak pernah ada waktu untuknya? Tega sekali kamu, Leon. Padahal aku juga sedang menabung agar kita bisa segera menikah.”Tubuh Reina terasa lemas. Ia sampai lupa dengan niatnya tadi untuk kembali ke ruang kerja. Seketika gadis itu menepuk keningnya. Jangan sampai sang manajer kecewa dengan hasil kerjanya.Reina segera masuk ke ruang kerjanya semula. Ia melirik sekilas ke arah Karin dan Leon. Kekasihnya tersebut memberikan minuman dan menyuapinya dengan sangat hati-hati. Kemudian memijat kedua bahu sahabatnya dengan penuh kelembutan.Diam-diam Reina merasa iri. Padahal Leon tidak pernah bersikap seperhatian itu kepadanya.“Kamu kenapa Reina?” Ucapan sang manajer membuat Reina terperanjat kaget. Lagi-lagi ia tak sadar jika Pak Burhan sedang mengawasinya. Entah sejak kapan.“Kamu cemburu melihat Leon dekat dengan Karin? Bukankah kalian bertiga memang dekat sejak kamu bergabung di perusahaan ini?” Sang manajer mengingatkan.Tangan Reina menyentuh dadanya. Ia menggeleng perlahan. “Sakit, Pak. Sakit banget!” lirih Reina tak peduli dengan keberadaan Pak Burhan di sebelahnya.Jam kerja telah berakhir. Namun Reina tidak bisa kemana-mana karena tugasnya belum selesai. Lagi-lagi ia harus lembur. Akan tetapi sebelum kembali melanjutkan pekerjaannya, gadis itu berjalan cepat menghampiri Leon dan Karin.“Sorry, aku tidak bisa mengantarkan kamu pulang. Aku harus menemani Karin ke klinik. Aku harus memastikan dia baik-baik saja,” ungkap Leon bahkan sebelum Reina mengeluarkan sepatah kata untuknya.Ucapan Reina seakan tersekat di tenggorokan. Ia urungkan niatnya yang ingin ikut bersama mereka. Memang mustahil karena gadis itu masih memiliki banyak tugas yang menumpuk.“Hati-hati kalian,” lirih Reina setelah kekasih dan sahabatnya berjalan semakin jauh meninggalkannya.Reina segera kembali ke tempat duduknya. Sore ini ia akan lembur seorang diri. Meski begitu masih ada sang manajer yang ikut menemaninya walau berada di ruangan yang berbeda.Reina ingin cepat menyelesaikan tugasnya dan pulang, tetapi tiba-tiba ia merasakan sakit perut. Terpaksa gadis itu ke toilet sebentar. Untuk beberapa menit lamanya Reina menghabiskan waktunya di dalam toilet perempuan.Di saat kembali ke ruangannya, Reina melihat ada kotak makanan di meja kerjanya. Gadis itu merasa heran karena ia tidak memesan makanan apapun. Meski lapar, Reina tidak kepikiran untuk makan terlebih dahulu sebelum melanjutkan pekerjaannya kembali.Ada sebuah kertas di atas kotak itu. “Untuk Reina.” Gadis itu membaca tulisan yang tertera. Rupanya makanan itu memang untuk dirinya.“Siapa yang ngasih makanan ini ya? Baik sekali. Atau jangan-jangan Pak Burhan?” Tanpa sadar tangan kiri Reina mengelus perutnya dengan gerakan melingkar. Nafsu makannya seketika meningkat dalam sekejap saat ia membuka kotak makanan itu.“Kalau nggak dimakan ya mubazir dong! Masak seorang Reina menolak rezeki?” Reina menoleh ke kanan dan ke kiri. Tentu ia masih memiliki rasa malu. Gadis itu takut jika ada sesiapa yang mengerjainya.Reina lalu duduk. “Makan saja deh. Aromanya nikmat sekali. Mana tahan.”Dengan semangat Reina menikmati makanan itu. Memasukkan sedikit demi sedikit ke dalam mulutnya yang tak begitu lebar. Gadis itu teringat dengan kekasihnya. Hanya Leon dan Karin yang mengetahui makanan kesukaannya. “Atau mungkin Leon kasih kejutan, ya? Ternyata dia masih peduli denganku.”Reina senyum-senyum sendiri. Ia berniat untuk menghubungi Leon kembali setelah pulang bekerja nanti. Kemungkinan kekasihnya tersebut sudah pulang dari rumah Karin.Setelah makan dan selesai dari toilet lagi, Reina kembali untuk melanjutkan pekerjaannya. Beberapa waktu telah berlalu. Namun Reina merasa jam di dekatnya berjalan begitu lambat. Tanpa disangka malam semakin larut saat gadis itu berhasil menyelesaikan semua tugas-tugasnya.Reina kembali melihat jam di dekatnya. “Astaga! Sudah jam sembilan malam.” Gadis itu merasa sangat lelah. Ia merentangkan kedua tangannya. Kemudian menggeliatkan tubuhnya. Mencoba melepaskan ketegangan otot pada tubuhnya.Tanpa sadar Reina menguap. Gadis itu hendak mematikan komputernya, tetapi sebuah pesan masuk ke dalam ponselnya. Rupanya pesan dari Pak Burhan.[Maaf, Reina. Saya ada kepentingan mendesak. Saya pulang duluan. Tolong tugas-tugas kamu kirim ke email saya saja. Nanti malam akan saya cek dari rumah.]Reina mendesah kasar. Bibirnya cemberut. Denyut di kepala karena rasa lelahnya, kini semakin bertambah.“Tega sekali Pak Burhan meninggalkan aku di sini. Dipikir aku berani sendirian?” keluh Reina merasa kesal. Padahal ia sudah berkorban dengan menghabiskan waktunya untuk lembur sampai malam.Cepat-cepat Reina mengirimkan tugasnya sesuai perintah sang manajer. Perasaan was-was hadir ketika ia menyadari tiada sesiapa lagi di sampingnya. Apalagi gadis itu pernah mendengar jika ruangan kerjanya sedikit angker.Reina bergedik ngeri. Ia segera mematikan komputer dan mengalungkan tas selempang di bahunya. Gadis itu berjalan cepat menuju lift.Setelah berada di lantai paling bawah, Reina merasa lega. Ia melihat ada petugas keamanan yang berjalan menuju belakang. Gadis itu merasa tak sendiri lagi.Namun di saat petugas itu sudah tidak terlihat, tiba-tiba semua lampu mati. Hampir saja Reina berteriak kencang. Ia langsung menutupi seluruh wajah dengan kedua tangannya. Dan sedetik kemudian ia merasakan ada yang menepuk bahunya dari belakang.Reina merasa ketakutan. Ia hendak berteriak, tetapi mulutnya langsung dibekap oleh telapak tangan besar beraroma khas seperti milik seorang lelaki.Huaaa.... kira-kira siapa ya??? ;D
“Jangan berteriak, Reina. Ini aku!” tegas seorang lelaki kepada Reina. Reina sangat mengenali suara itu. Tetapi kenapa bahasanya seolah mereka telah akrab? Apakah benar lelaki di dekatnya ini adalah Regan? Belum sempat Reina membalas ucapan itu, lampu-lampu telah menyala. “Lepaskan!” Reina berusaha memberontak. Seketika tangan yang membungkam mulutnya terlepas begitu saja. Gadis itu langsung menatap tajam ke arah lelaki di depannya. Dan benar saja. Dia adalah Regan, atasannya. Lelaki itu hanya diam. Ekspresi wajahnya sangat tenang. Tidak merasa bersalah sama sekali. “Pak Regan kenapa ada di sini? Pak Regan ngikutin saya, ya? Jujur saja!” Reina membuang muka sambil bersedekap dada. Ia sangat percaya diri sekali mengatakan kalimat itu kepada atasannya. Regan geleng-geleng kepala. Tidak habis dengan sikap Reina yang baginya walaupun sangat menyebalkan tetapi gadis itu membuatnya merasa semakin penasaran. “Kebetulan ada yang ketinggalan di ruangan kerjaku. Jadi terpaksa aku harus ke
Dengan muka yang ditekuk dan kusut, ibu tiri Reina terpaksa membukakan pintu rumah yang masih tertutup itu. Walau bagaimanapun ia masih ada rasa belas kasihan terhadap anak tirinya.Terlihat seorang wanita tua berdiri di depan pintu dengan bibir yang menyunggingkan sebuah senyuman. Wanita itu menundukkan kepalanya sejenak. “Ibu cari siapa, ya? Ada perlu apa datang malam-malam seperti ini?” tanya Linda bernada tegas. “Maaf, Bu. Saya diutus oleh Tuan untuk memijat kaki Non Reina yang katanya terkilir. Bolehkah saya masuk?” izin wanita itu terlihat cemas. Linda melirik ke arah Reina. Gadis itu masih tampak kesakitan. Membuatnya tidak tega. Ia juga takut jika besok Reina tidak berangkat ke kantor lagi. Tentu hal itu bisa merepotkannya. Belum lagi dengan gajinya. Pasti akan terpotong dan tidak bisa memberi uang lebih kepadanya. “Ya sudah kalau begitu. Masuk saja. Saya ke belakang dulu.” Setelah mengatakan kalimat itu, ibu tiri Reina segera pergi ke belakang. Perutnya terasa melilit kar
Beberapa pesan dari Leon membuat Reina merasa kecewa. Rupanya kekasihnya itu lebih banyak menghabiskan waktunya dengan Karin daripada dia. Meski Leon telah meminta maaf karena tidak bisa menjemputnya saat pulang dari lembur, tetapi Reina belum sepenuhnya bisa memaafkan. “Kamu tega banget, Leon. Tidak peka jika aku sangat membutuhkan kamu. Bagaimana kalau tadi tidak ada Pak Regan?!” omel Reina seorang diri.Karena terlanjur kecewa, Reina mengabaikan pesan dari Leon. Ia sengaja tidak membalas pesan dari kekasihnya tersebut. Akan tetapi lelaki itu justru terus meneleponnya. Membuat Reina harus kembali merasa kalah. Hatinya masih terlalu berat untuk mengabaikan Leon. “Ada apasih, meneleponku? Ini sudah malam, Leon?!” Akhirnya Reina menjawab telepon itu. “Aku benar-benar minta maaf, Sayang. Aku tidak mungkin bisa tidur jika kamu tidak memaafkan aku.” Suara itu terdengar memohon. Leon masih terus-terusan berusaha mengambil hati Reina kembali. Ia tak segan merayu dan mengeluarkan ungkapan-
“Kalau begitu ... aku ke toilet dulu ya, Rei?” Karin pamit kepada Reina. Reina merasa lega. Ini artinya ia ada kesempatan untuk bisa berduaan dengan Leon. Sesungguhnya ada hal yang ingin ia tanyakan. Gadis itu merindukan perhatian sang kekasih yang seperti dulu. Seperti awal-awal mereka jadian dan sebelum leon mengenal Karin. “Leon ... aku mau—” “Em, aku juga kebelet nih! Sampai ketemu lagi di ruang kerja nanti ya,” sahut Leon cepat. Ia belum tahu jika Reina tak lagi bekerja satu ruangan dengannya. Mulai hari ini dan seterusnya Reina akan bekerja sebagai sekretaris Regan. Itu artinya posisi Reina tak lagi setara dengan Leon. Reina mendesah pelan. Kedua matanya tampak berkaca-kaca. Rasanya ia ingin menumpahkan segala kegundahan hatinya. Entah kepada siapa lagi ia harus bercerita. Reina menatap kebergian kekasih dan sahabatnya dengan lemas. Ke toilet pun mereka sangat kompak. Dengan berat hati gadis itu segera berjalan menuju lift. Ia langsung pergi ke ruangan sekretaris. Reina me
“A‒apa?” ucap Reina terbata.Dengan kekasihnya saja Reina tidak pernah melakukan perbuatan seperti itu. Berpelukan saja tidak pernah. Apalagi berciuman. Dan untuk peristiwa malam itu ... tentu saja tidak ada unsur kesengajaan sama sekali. Bahkan Reina mati-matian berusaha melupakan malam terlarang yang penuh kekhilafan. Reina menggelengkan kepalanya. Ia masih diam terpaku di tempatnya. “Tunggu apalagi? Mau hukuman yang lebih dari ini?!” tegas Regan berapi-api. “Ja‒jangan, Pak. Baiklah, saya akan melepaskan pakaian Bapak. Tapi Bapak jangan lihat, ya?” Reina mencoba bernegosiasi. Wajahnya terlihat sangat gugup. Hal itu membuat Regan menahan tawa di bibirnya. Baginya Reina sangat lucu. “Cepatlah!” Regan sudah tidak sabaran. Dengan perlahan Reina mulai melepaskan satu persatu kancing baju milik Regan. Hingga saat terbuka kancing paling bawah, terlihatlah perut kotak-kotak yang sangat dibenci oleh indera penglihatan milik gadis itu. Sebenarnya bukan benci. Lebih tepatnya Reina tidak in
Reina hampir saja pingsan. Beruntung ada yang dengan cepat langsung menangkap tubuhnya. “Reina, kamu tidak apa-apa?” “Pak Regan ....” Setelah mengatakan dua kata itu, Reina benar-benar pingsan. Regan langsung membawa Reina ke dalam ruangan pribadinya. Sementara Karin dan Leon tampak kebingungan. “Leon, bagaimana ini? Reina sudah tahu semuanya. Ini semua gara-gara kamu.” “Tadi kamu bilang apa? Sepertinya kamu tadi ingin mengatakan sesuatu kepadaku,” balas Leon mengalihkan pembicaraan. “Aku hamil, Leon. Aku hamil anak kamu. Kamu harus segera menikahiku.” “Apa? Tidak mungkin, Karin. Kamu pasti bercanda. Bagaimana mungkin. Aku belum jadi dipromosikan. Entah kapan. Sepertinya perasaanku tak enak.” Leon melangkah pergi. Niatnya ingin menyusul kepergian Reina. Ia masih berusaha membujuk kekasihnya tersebut meski kemungkinan besar ia akan diputuskan. “Leon, tunggu! Kamu tidak percaya dengan ucapanku?! Kamu tega sekali Leon. Bagaimana kalau perut ini semakin membesar?! Aku takut akan d
Karin mendekatkan tubuhnya kepada Leon. Ia tepuk pelan bahu kanan kekasihnya itu. “Kamu tidak perlu mempedulikan Reina lagi. Dia itu cuma gadis murahan. Bahkan dia rela jual diri demi uang,” ungkap Karin bernada serius. “Apa maksud kamu, Karin? Kamu tidak sedang berhalusinasi ‘kan?” Kening Leon berkerut. Bagaimana mungkin selingkuhannya itu bisa berkata seperti itu? Jelas-jelas Reina selalu menolak saat Leon meminta sesuatu yang berharga dari gadis tersebut. “Aku punya buktinya.” Karin mengeluarkan ponselnya. Ia menunjukkan gambar-gambar saat Reina masuk ke dalam kamar hotel berkat jebakannya. Kedua mata Leon meniti dengan seksama. Apakah gambar tersebut benar milik Reina atau hanya editan belaka. “Sekarang kamu percaya ‘kan sama aku? Aku ada sebuah ide yang bagus. Aku yakin kamu pasti puas saat mendengar penjelasanku nanti.” “Katakanlah, secepatnya!” Leon sudah tidak sabaran. Karin tersenyum smirk. Lalu ia membisikkan sesuatu ke telinga Leon. Berharap kekasihnya tersebut bersed
“Te-terima kasih, Pak. Saya ambil ini saja kalau begitu,” balas Reina malu-malu. Sejujurnya ia merasa tidak enak hati. Ingin sekali membayar pakaian itu dengan uangnya sendiri, tetapi apa daya. Dirinya tidak punya dana sebanyak itu. “Ambil semua yang sudah direkomendasikan oleh toko ini.” “Tapi, Pak? Bukannya itu terlalu berlebihan?” Reina menunduk resah. “Tidak apa-apa, Reina. Sebagai seorang sekretaris juga harus menjaga penampilan agar menambah semangat dalam bekerja.” Akhirnya Reina hanya terdiam dan menurut saat karyawan tadi mengambil semua pakaian dan membantu Reina ke tempat kasir. Setelah keluar dari area mall tersebut, mereka berdua sepakat untuk kembali ke kantor. “Hari ini saya ada urusan. Jadi tidak ada tambahan kerja untuk kamu. Kamu bisa pulang lebih cepat.” ‘Hah?!’ Reina terdiam seketika. Harapannya telah sirna untuk mendapatkan uang tambahan. Apalagi hatinya juga masih hancur mengingat perselingkuhan yang telah dilakukan oleh Leon. Bahkan lelaki itu tidak mencob