Reina melihat sang kekasih hati datang bersama Karin—sahabatnya. Hal itu membuat hatinya terasa ada yang menusuk. Gadis itu juga penasaran dengan kejadian tadi malam. Apakah benar Karin yang telah menjebaknya dengan memberikan minuman yang mengandung alkohol? Reina ingin tahu apa alasan sang sahabat melakukan hal itu kepadanya.
“Leon? Kalian—” Ucapan Reina terhenti. Leon langsung memotong kalimatnya yang masih menggantung. Bahkan gadis itu bisa melihat raut wajah terkejut pada kekasihnya.“Kami dapat tugas di luar, Sayang. Tetapi Karin tiba-tiba merasa tidak enak badan. Jadi aku membawanya ke sini sebentar untuk mengambil barang penting yang ketinggalan.”Reina manggut-manggut. Namun ia tetap curiga kepada Karin. Gadis itu mengalihkan pandangan kepada sahabatnya.“Karin, ada yang ingin aku tanyakan kepadamu. Ini soal tadi malam—”“Aduh! Kepalaku sakit banget!” Karin merintih kesakitan sambil memegangi kepalanya. Membuat Reina cukup panik. Tangannya terulur hendak memegangi bahu sang sahabat, tetapi Leon lebih dulu menepisnya.“Sudah aku bilang. Karin sedang sakit. Kamu tidak percaya? Keterlaluan kamu Reina.” Leon langsung memapah tubuh Karin menuju ruangan kerja mereka.Dada Reina terasa sesak mendapatkan perlakuan seperti itu dari Leon. Tidak biasanya sang kekasih berbicara dengan nada kasar. “Apakah semua gara-gara aku yang tak pernah ada waktu untuknya? Tega sekali kamu, Leon. Padahal aku juga sedang menabung agar kita bisa segera menikah.”Tubuh Reina terasa lemas. Ia sampai lupa dengan niatnya tadi untuk kembali ke ruang kerja. Seketika gadis itu menepuk keningnya. Jangan sampai sang manajer kecewa dengan hasil kerjanya.Reina segera masuk ke ruang kerjanya semula. Ia melirik sekilas ke arah Karin dan Leon. Kekasihnya tersebut memberikan minuman dan menyuapinya dengan sangat hati-hati. Kemudian memijat kedua bahu sahabatnya dengan penuh kelembutan.Diam-diam Reina merasa iri. Padahal Leon tidak pernah bersikap seperhatian itu kepadanya.“Kamu kenapa Reina?” Ucapan sang manajer membuat Reina terperanjat kaget. Lagi-lagi ia tak sadar jika Pak Burhan sedang mengawasinya. Entah sejak kapan.“Kamu cemburu melihat Leon dekat dengan Karin? Bukankah kalian bertiga memang dekat sejak kamu bergabung di perusahaan ini?” Sang manajer mengingatkan.Tangan Reina menyentuh dadanya. Ia menggeleng perlahan. “Sakit, Pak. Sakit banget!” lirih Reina tak peduli dengan keberadaan Pak Burhan di sebelahnya.Jam kerja telah berakhir. Namun Reina tidak bisa kemana-mana karena tugasnya belum selesai. Lagi-lagi ia harus lembur. Akan tetapi sebelum kembali melanjutkan pekerjaannya, gadis itu berjalan cepat menghampiri Leon dan Karin.“Sorry, aku tidak bisa mengantarkan kamu pulang. Aku harus menemani Karin ke klinik. Aku harus memastikan dia baik-baik saja,” ungkap Leon bahkan sebelum Reina mengeluarkan sepatah kata untuknya.Ucapan Reina seakan tersekat di tenggorokan. Ia urungkan niatnya yang ingin ikut bersama mereka. Memang mustahil karena gadis itu masih memiliki banyak tugas yang menumpuk.“Hati-hati kalian,” lirih Reina setelah kekasih dan sahabatnya berjalan semakin jauh meninggalkannya.Reina segera kembali ke tempat duduknya. Sore ini ia akan lembur seorang diri. Meski begitu masih ada sang manajer yang ikut menemaninya walau berada di ruangan yang berbeda.Reina ingin cepat menyelesaikan tugasnya dan pulang, tetapi tiba-tiba ia merasakan sakit perut. Terpaksa gadis itu ke toilet sebentar. Untuk beberapa menit lamanya Reina menghabiskan waktunya di dalam toilet perempuan.Di saat kembali ke ruangannya, Reina melihat ada kotak makanan di meja kerjanya. Gadis itu merasa heran karena ia tidak memesan makanan apapun. Meski lapar, Reina tidak kepikiran untuk makan terlebih dahulu sebelum melanjutkan pekerjaannya kembali.Ada sebuah kertas di atas kotak itu. “Untuk Reina.” Gadis itu membaca tulisan yang tertera. Rupanya makanan itu memang untuk dirinya.“Siapa yang ngasih makanan ini ya? Baik sekali. Atau jangan-jangan Pak Burhan?” Tanpa sadar tangan kiri Reina mengelus perutnya dengan gerakan melingkar. Nafsu makannya seketika meningkat dalam sekejap saat ia membuka kotak makanan itu.“Kalau nggak dimakan ya mubazir dong! Masak seorang Reina menolak rezeki?” Reina menoleh ke kanan dan ke kiri. Tentu ia masih memiliki rasa malu. Gadis itu takut jika ada sesiapa yang mengerjainya.Reina lalu duduk. “Makan saja deh. Aromanya nikmat sekali. Mana tahan.”Dengan semangat Reina menikmati makanan itu. Memasukkan sedikit demi sedikit ke dalam mulutnya yang tak begitu lebar. Gadis itu teringat dengan kekasihnya. Hanya Leon dan Karin yang mengetahui makanan kesukaannya. “Atau mungkin Leon kasih kejutan, ya? Ternyata dia masih peduli denganku.”Reina senyum-senyum sendiri. Ia berniat untuk menghubungi Leon kembali setelah pulang bekerja nanti. Kemungkinan kekasihnya tersebut sudah pulang dari rumah Karin.Setelah makan dan selesai dari toilet lagi, Reina kembali untuk melanjutkan pekerjaannya. Beberapa waktu telah berlalu. Namun Reina merasa jam di dekatnya berjalan begitu lambat. Tanpa disangka malam semakin larut saat gadis itu berhasil menyelesaikan semua tugas-tugasnya.Reina kembali melihat jam di dekatnya. “Astaga! Sudah jam sembilan malam.” Gadis itu merasa sangat lelah. Ia merentangkan kedua tangannya. Kemudian menggeliatkan tubuhnya. Mencoba melepaskan ketegangan otot pada tubuhnya.Tanpa sadar Reina menguap. Gadis itu hendak mematikan komputernya, tetapi sebuah pesan masuk ke dalam ponselnya. Rupanya pesan dari Pak Burhan.[Maaf, Reina. Saya ada kepentingan mendesak. Saya pulang duluan. Tolong tugas-tugas kamu kirim ke email saya saja. Nanti malam akan saya cek dari rumah.]Reina mendesah kasar. Bibirnya cemberut. Denyut di kepala karena rasa lelahnya, kini semakin bertambah.“Tega sekali Pak Burhan meninggalkan aku di sini. Dipikir aku berani sendirian?” keluh Reina merasa kesal. Padahal ia sudah berkorban dengan menghabiskan waktunya untuk lembur sampai malam.Cepat-cepat Reina mengirimkan tugasnya sesuai perintah sang manajer. Perasaan was-was hadir ketika ia menyadari tiada sesiapa lagi di sampingnya. Apalagi gadis itu pernah mendengar jika ruangan kerjanya sedikit angker.Reina bergedik ngeri. Ia segera mematikan komputer dan mengalungkan tas selempang di bahunya. Gadis itu berjalan cepat menuju lift.Setelah berada di lantai paling bawah, Reina merasa lega. Ia melihat ada petugas keamanan yang berjalan menuju belakang. Gadis itu merasa tak sendiri lagi.Namun di saat petugas itu sudah tidak terlihat, tiba-tiba semua lampu mati. Hampir saja Reina berteriak kencang. Ia langsung menutupi seluruh wajah dengan kedua tangannya. Dan sedetik kemudian ia merasakan ada yang menepuk bahunya dari belakang.Reina merasa ketakutan. Ia hendak berteriak, tetapi mulutnya langsung dibekap oleh telapak tangan besar beraroma khas seperti milik seorang lelaki.Huaaa.... kira-kira siapa ya??? ;D
“Jangan berteriak, Reina. Ini aku!” tegas seorang lelaki kepada Reina. Reina sangat mengenali suara itu. Tetapi kenapa bahasanya seolah mereka telah akrab? Apakah benar lelaki di dekatnya ini adalah Regan? Belum sempat Reina membalas ucapan itu, lampu-lampu telah menyala. “Lepaskan!” Reina berusaha memberontak. Seketika tangan yang membungkam mulutnya terlepas begitu saja. Gadis itu langsung menatap tajam ke arah lelaki di depannya. Dan benar saja. Dia adalah Regan, atasannya. Lelaki itu hanya diam. Ekspresi wajahnya sangat tenang. Tidak merasa bersalah sama sekali. “Pak Regan kenapa ada di sini? Pak Regan ngikutin saya, ya? Jujur saja!” Reina membuang muka sambil bersedekap dada. Ia sangat percaya diri sekali mengatakan kalimat itu kepada atasannya. Regan geleng-geleng kepala. Tidak habis dengan sikap Reina yang baginya walaupun sangat menyebalkan tetapi gadis itu membuatnya merasa semakin penasaran. “Kebetulan ada yang ketinggalan di ruangan kerjaku. Jadi terpaksa aku harus ke
Dengan muka yang ditekuk dan kusut, ibu tiri Reina terpaksa membukakan pintu rumah yang masih tertutup itu. Walau bagaimanapun ia masih ada rasa belas kasihan terhadap anak tirinya.Terlihat seorang wanita tua berdiri di depan pintu dengan bibir yang menyunggingkan sebuah senyuman. Wanita itu menundukkan kepalanya sejenak. “Ibu cari siapa, ya? Ada perlu apa datang malam-malam seperti ini?” tanya Linda bernada tegas. “Maaf, Bu. Saya diutus oleh Tuan untuk memijat kaki Non Reina yang katanya terkilir. Bolehkah saya masuk?” izin wanita itu terlihat cemas. Linda melirik ke arah Reina. Gadis itu masih tampak kesakitan. Membuatnya tidak tega. Ia juga takut jika besok Reina tidak berangkat ke kantor lagi. Tentu hal itu bisa merepotkannya. Belum lagi dengan gajinya. Pasti akan terpotong dan tidak bisa memberi uang lebih kepadanya. “Ya sudah kalau begitu. Masuk saja. Saya ke belakang dulu.” Setelah mengatakan kalimat itu, ibu tiri Reina segera pergi ke belakang. Perutnya terasa melilit kar
Beberapa pesan dari Leon membuat Reina merasa kecewa. Rupanya kekasihnya itu lebih banyak menghabiskan waktunya dengan Karin daripada dia. Meski Leon telah meminta maaf karena tidak bisa menjemputnya saat pulang dari lembur, tetapi Reina belum sepenuhnya bisa memaafkan. “Kamu tega banget, Leon. Tidak peka jika aku sangat membutuhkan kamu. Bagaimana kalau tadi tidak ada Pak Regan?!” omel Reina seorang diri.Karena terlanjur kecewa, Reina mengabaikan pesan dari Leon. Ia sengaja tidak membalas pesan dari kekasihnya tersebut. Akan tetapi lelaki itu justru terus meneleponnya. Membuat Reina harus kembali merasa kalah. Hatinya masih terlalu berat untuk mengabaikan Leon. “Ada apasih, meneleponku? Ini sudah malam, Leon?!” Akhirnya Reina menjawab telepon itu. “Aku benar-benar minta maaf, Sayang. Aku tidak mungkin bisa tidur jika kamu tidak memaafkan aku.” Suara itu terdengar memohon. Leon masih terus-terusan berusaha mengambil hati Reina kembali. Ia tak segan merayu dan mengeluarkan ungkapan-
“Kalau begitu ... aku ke toilet dulu ya, Rei?” Karin pamit kepada Reina. Reina merasa lega. Ini artinya ia ada kesempatan untuk bisa berduaan dengan Leon. Sesungguhnya ada hal yang ingin ia tanyakan. Gadis itu merindukan perhatian sang kekasih yang seperti dulu. Seperti awal-awal mereka jadian dan sebelum leon mengenal Karin. “Leon ... aku mau—” “Em, aku juga kebelet nih! Sampai ketemu lagi di ruang kerja nanti ya,” sahut Leon cepat. Ia belum tahu jika Reina tak lagi bekerja satu ruangan dengannya. Mulai hari ini dan seterusnya Reina akan bekerja sebagai sekretaris Regan. Itu artinya posisi Reina tak lagi setara dengan Leon. Reina mendesah pelan. Kedua matanya tampak berkaca-kaca. Rasanya ia ingin menumpahkan segala kegundahan hatinya. Entah kepada siapa lagi ia harus bercerita. Reina menatap kebergian kekasih dan sahabatnya dengan lemas. Ke toilet pun mereka sangat kompak. Dengan berat hati gadis itu segera berjalan menuju lift. Ia langsung pergi ke ruangan sekretaris. Reina me
“A‒apa?” ucap Reina terbata.Dengan kekasihnya saja Reina tidak pernah melakukan perbuatan seperti itu. Berpelukan saja tidak pernah. Apalagi berciuman. Dan untuk peristiwa malam itu ... tentu saja tidak ada unsur kesengajaan sama sekali. Bahkan Reina mati-matian berusaha melupakan malam terlarang yang penuh kekhilafan. Reina menggelengkan kepalanya. Ia masih diam terpaku di tempatnya. “Tunggu apalagi? Mau hukuman yang lebih dari ini?!” tegas Regan berapi-api. “Ja‒jangan, Pak. Baiklah, saya akan melepaskan pakaian Bapak. Tapi Bapak jangan lihat, ya?” Reina mencoba bernegosiasi. Wajahnya terlihat sangat gugup. Hal itu membuat Regan menahan tawa di bibirnya. Baginya Reina sangat lucu. “Cepatlah!” Regan sudah tidak sabaran. Dengan perlahan Reina mulai melepaskan satu persatu kancing baju milik Regan. Hingga saat terbuka kancing paling bawah, terlihatlah perut kotak-kotak yang sangat dibenci oleh indera penglihatan milik gadis itu. Sebenarnya bukan benci. Lebih tepatnya Reina tidak in
Reina hampir saja pingsan. Beruntung ada yang dengan cepat langsung menangkap tubuhnya. “Reina, kamu tidak apa-apa?” “Pak Regan ....” Setelah mengatakan dua kata itu, Reina benar-benar pingsan. Regan langsung membawa Reina ke dalam ruangan pribadinya. Sementara Karin dan Leon tampak kebingungan. “Leon, bagaimana ini? Reina sudah tahu semuanya. Ini semua gara-gara kamu.” “Tadi kamu bilang apa? Sepertinya kamu tadi ingin mengatakan sesuatu kepadaku,” balas Leon mengalihkan pembicaraan. “Aku hamil, Leon. Aku hamil anak kamu. Kamu harus segera menikahiku.” “Apa? Tidak mungkin, Karin. Kamu pasti bercanda. Bagaimana mungkin. Aku belum jadi dipromosikan. Entah kapan. Sepertinya perasaanku tak enak.” Leon melangkah pergi. Niatnya ingin menyusul kepergian Reina. Ia masih berusaha membujuk kekasihnya tersebut meski kemungkinan besar ia akan diputuskan. “Leon, tunggu! Kamu tidak percaya dengan ucapanku?! Kamu tega sekali Leon. Bagaimana kalau perut ini semakin membesar?! Aku takut akan d
Karin mendekatkan tubuhnya kepada Leon. Ia tepuk pelan bahu kanan kekasihnya itu. “Kamu tidak perlu mempedulikan Reina lagi. Dia itu cuma gadis murahan. Bahkan dia rela jual diri demi uang,” ungkap Karin bernada serius. “Apa maksud kamu, Karin? Kamu tidak sedang berhalusinasi ‘kan?” Kening Leon berkerut. Bagaimana mungkin selingkuhannya itu bisa berkata seperti itu? Jelas-jelas Reina selalu menolak saat Leon meminta sesuatu yang berharga dari gadis tersebut. “Aku punya buktinya.” Karin mengeluarkan ponselnya. Ia menunjukkan gambar-gambar saat Reina masuk ke dalam kamar hotel berkat jebakannya. Kedua mata Leon meniti dengan seksama. Apakah gambar tersebut benar milik Reina atau hanya editan belaka. “Sekarang kamu percaya ‘kan sama aku? Aku ada sebuah ide yang bagus. Aku yakin kamu pasti puas saat mendengar penjelasanku nanti.” “Katakanlah, secepatnya!” Leon sudah tidak sabaran. Karin tersenyum smirk. Lalu ia membisikkan sesuatu ke telinga Leon. Berharap kekasihnya tersebut bersed
“Te-terima kasih, Pak. Saya ambil ini saja kalau begitu,” balas Reina malu-malu. Sejujurnya ia merasa tidak enak hati. Ingin sekali membayar pakaian itu dengan uangnya sendiri, tetapi apa daya. Dirinya tidak punya dana sebanyak itu. “Ambil semua yang sudah direkomendasikan oleh toko ini.” “Tapi, Pak? Bukannya itu terlalu berlebihan?” Reina menunduk resah. “Tidak apa-apa, Reina. Sebagai seorang sekretaris juga harus menjaga penampilan agar menambah semangat dalam bekerja.” Akhirnya Reina hanya terdiam dan menurut saat karyawan tadi mengambil semua pakaian dan membantu Reina ke tempat kasir. Setelah keluar dari area mall tersebut, mereka berdua sepakat untuk kembali ke kantor. “Hari ini saya ada urusan. Jadi tidak ada tambahan kerja untuk kamu. Kamu bisa pulang lebih cepat.” ‘Hah?!’ Reina terdiam seketika. Harapannya telah sirna untuk mendapatkan uang tambahan. Apalagi hatinya juga masih hancur mengingat perselingkuhan yang telah dilakukan oleh Leon. Bahkan lelaki itu tidak mencob
Hari pernikahan Xavier dan Karin telah tiba. Udara pagi terasa segar dan cerah, seakan menyambut kebahagiaan yang akan segera berlangsung. Keluarga dan sahabat berkumpul di sebuah taman indah yang telah dihias dengan bunga-bunga warna-warni dan lampu-lampu gemerlapan. Suasana penuh dengan tawa dan senyum. Regan dan Reina tiba lebih awal bersama bayi kembar mereka, Alana dan Bianca, yang tertidur pulas di kereta dorong. Mereka disambut oleh Olivia dan Danny yang sudah tak sabar menantikan momen bahagia itu. “Aku tak percaya Xavier akhirnya menemukan kebahagiaan bersama Karin,” ucap Reina dengan mata berkaca-kaca. “Dia memang pantas mendapatkannya,” jawab Regan sambil tersenyum, merangkul Reina yang terlihat anggun dalam gaun biru muda. “Kita semua pantas bahagia.” Tak lama kemudian, para tamu mulai berdatangan. Leon, mantan pacar Reina dan Karin juga hadir dengan pasangan barunya. Mereka tampak sangat bahagia, saling berpegangan tangan dan tertawa bersama. Leon menghampiri Reg
Tanpa disangka, suatu hari Regan menemukan fakta baru yang mengejutkan. Saat itu, dia sedang bekerja di ruangannya. Berkas-berkas tersebar di atas meja ketika ponselnya berdering. Panggilan itu berasal dari salah satu anak buah kepercayaannya. “Ada apa, Roni?” tanya Regan sambil menyandarkan punggungnya ke kursi. “Ada perkembangan baru, Pak Regan. Kami berhasil melacak beberapa transaksi mencurigakan yang berhubungan dengan Shadow Phoenix. Dan yang mengejutkan, ada keterlibatan Alex Ricardo di dalamnya,” lapor Roni. Regan terdiam sejenak, mencerna informasi tersebut. “Apa kamu yakin? Alex Ricardo? Bukankah dia masih berada di dalam penjara?” “Betul, Pak. Tapi tampaknya dia masih mengendalikan beberapa hal dari dalam penjara. Kami menemukan bukti bahwa beberapa anak buahnya masih menjalankan perintahnya dan menggunakan nama Shadow Phoenix untuk menyamarkan identitas asli mereka,” jelas Roni. Regan merasakan darahnya mendidih. “Teruskan penyelidikannya, Roni. Dan pastikan ki
Tanpa terasa, usia kehamilan Reina sudah memasuki trimester ketiga. Perutnya semakin membesar, membuatnya sulit menemukan posisi tidur yang nyaman. Setiap malam menjadi tantangan baru bagi Reina. Sementara Regan berusaha sebaik mungkin untuk membuat istrinya merasa nyaman dan bisa tidur nyenyak. Malam itu setelah mencoba berbagai posisi tidur dan tidak menemukan yang pas, Reina merasa frustasi. Ia berguling-guling di tempat tidur sambil menghela napas panjang. Regan yang melihatnya merasa kasihan dan ingin membantu. “Ada yang bisa aku lakukan, Sayang?” tanya Regan lembut. Ia duduk di tepi tempat tidur dan mengelus rambut istrinya. Reina menggeleng lemah. “Aku tidak tahu, Pak Regan. Aku sudah mencoba semua posisi tapi tetap saja tidak nyaman. Perutku terlalu besar.” Regan berpikir sejenak, lalu tersenyum. “Bagaimana kalau kita coba sesuatu yang baru? Tunggu sebentar.” Ia keluar dari kamar dan kembali dengan bantal-bantal tambahan. “Ayo, kita coba dengan bantal-banta
Pagi itu di kantor, suasana di ruang CEO terasa lebih sibuk dari biasanya. Regan tengah tenggelam dalam tumpukan dokumen dan panggilan telepon yang tak henti-hentinya. Di luar ruangan, para karyawan tampak sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Sedangkan Reina pergi ke toilet sebentar untuk menyegarkan diri. Saat Reina keluar dari ruangan, pintu lift terbuka dan dua orang masuk ke lantai itu. Claudia dan Xavier melangkah dengan hati-hati menuju kantor CEO. Claudia tampak sedikit gugup, sementara Xavier berusaha tampak tenang meskipun jelas terlihat gelisah. Mereka mengetuk pintu dan menunggu sebentar sebelum mendengar suara Regan dari dalam yang mempersilakan mereka masuk. Ketika pintu terbuka, Claudia dan Xavier masuk dengan hati-hati. Regan yang tadinya duduk di balik mejanya langsung berdiri. Ekspresi wajahnya berubah dari fokus keheranan. “Mama Claudia? Xavier? Apa yang membawa kalian berdua datang ke sini?” tanya Regan dengan nada sedikit terkejut. Claudia mendekat de
Saat kehamilan Reina menginjak usia lima bulan, Regan memutuskan untuk mengajak Reina jalan-jalan di taman kota. Hari itu cerah, dengan langit biru dan angin sepoi-sepoi yang membuat suasana terasa sejuk. Reina tampak sangat bahagia, mengenakan gaun hamil berwarna pastel yang membuat perutnya yang semakin membesar terlihat menawan. Regan tak henti-hentinya tersenyum, menikmati momen kebersamaan mereka. Mereka berjalan-jalan sambil menikmati pemandangan taman yang indah. Banyak anak-anak bermain di taman bermain, pasangan-pasangan duduk di bangku menikmati suasana, dan para pedagang menjajakan makanan ringan di kios-kios kecil di sepanjang jalan setapak. “Ini hari yang sangat indah, ya?” ungkap Reina sambil menggenggam tangan Regan erat. “Ya, benar-benar indah,” jawab Regan, menatap istrinya dengan penuh cinta. “Aku senang kita bisa meluangkan waktu bersama seperti ini.” Mereka melanjutkan berjalan, berhenti sesekali untuk melihat bunga-bunga yang sedang mekar dan menikmati
Kehamilan Reina telah memasuki usia empat bulan dan perutnya mulai terlihat membesar. Setiap hari Regan semakin takjub melihat perubahan pada tubuh istrinya dan merasa tidak sabar untuk menyambut kehadiran anak mereka. Pagi itu Regan memutuskan untuk membawa Reina ke klinik untuk melakukan USG. “Sayang, hari ini kita akan ke klinik untuk melihat bayi kita,” ucap Regan dengan senyum lebar. Reina tersenyum bahagia, merasa tak sabar untuk melihat perkembangan bayinya. “Aku tidak sabar, Pak Regan. Pasti mereka sudah semakin besar sekarang.” Regan mengangguk. "Aku juga sangat bersemangat. Ayo kita bersiap-siap." Setelah bersiap-siap, mereka berdua berangkat ke klinik dengan penuh semangat. Dalam perjalanan, mereka terus berbicara tentang rencana masa depan dan bagaimana mereka akan merawat anak mereka. Regan menggenggam tangan Reina dengan erat, memberikan rasa tenang dan nyaman. Sesampainya di klinik, mereka disambut oleh dokter dan perawat yang ramah. “Selamat pag
Reina berdiri di dekat jendela kamar, menatap ke luar dengan pandangan kosong. Matanya menyapu pemandangan yang indah, tetapi pikirannya jauh dari sana. Di luar, matahari mulai terbenam, menyinari langit dengan warna-warna keemasan, tetapi dalam hati Reina, ada kegelapan yang sulit hilang. Regan, yang baru saja selesai menutup laptopnya setelah bekerja seharian dari rumah mulai memperhatikan istrinya. Ia berjalan mendekat dan dengan lembut meletakkan tangannya di bahu Reina. “Ada apa, Sayang?” tanyanya dengan suara penuh perhatian. Reina tersentak dari lamunannya dan menoleh ke arah Regan. “Aku masih memikirkan Kak Amel,” jawabnya dengan suara lirih. “Aku merasa bersalah dan cemas tentang apa yang terjadi padanya.” “Sayang, kamu sudah melakukan yang terbaik. Kadang-kadang, kita tidak bisa mengendalikan semua yang terjadi di sekitar kita. Apa yang terjadi pada Amel adalah akibat dari pilihannya sendiri.” “Tapi, aku tetap merasa harus melakukan sesuatu,” lanjut Reina dengan nad
Linda dan Amel tampak berjalan menuju mereka. Kehadiran dua orang itu seakan membawa aura negatif. Amel, dengan tatapan jahat, mulai merencanakan sesuatu yang licik terhadap Reina. Linda dan Amel berpura-pura bergabung dengan kebersamaan keluarga Danny, tapi Amel dengan hati-hati mendekati Reina yang sedang berjalan di atas bebatuan. Amel mengatur langkahnya agar Reina terpeleset di atas batu licin. Namun, rencana jahat itu berbalik. Saat Amel mendorong Reina, dirinya sendiri yang kehilangan keseimbangan. Amel terjatuh keras di atas batu tajam. Semua orang terkejut dan bergegas menghampiri. Linda berteriak panik, “Amel! Apa yang terjadi?!” Regan, yang melihat situasi tersebut, segera memanggil bantuan. Amel tampak mengalami pendarahan hebat. Regan memeluk Reina erat-erat, memastikan dia baik-baik saja. “Kamu tidak apa-apa, Sayang?” tanyanya dengan penuh kekhawatiran. Reina mengangguk. “Aku baik-baik saja, Pak Regan. Tapi Kak Amel ... dia tampak sangat parah.” Ambulans segera
Liburan keluarga besar ke pantai adalah momen yang ditunggu-tunggu oleh seluruh anggota keluarga. Reina dan Regan memang telah merencanakan hal itu jauh-jauh hari. Hanya saja baru terealisasi saat ini. Dengan persiapan yang matang, mereka berangkat dari rumah dengan semangat tinggi. Olivia, Bi Nita, Danny, Rafa, Alya, dan Bi Siti bergabung dalam perjalanan tersebut, ikut memastikan tidak ada yang tertinggal. Mereka membawa perbekalan lengkap, termasuk makanan, minuman, mainan pantai, dan berbagai kebutuhan lainnya. Sesampainya di pantai, suasana langsung berubah menjadi ceria. Mereka menata tempat dengan menyiapkan tenda, menggelar tikar, dan menata makanan piknik. Rafa dan Alya segera berlari ke air, bermain dengan ombak dan tertawa riang. Danny dan Bi Siti membantu Olivia dan Bi Nita menyiapkan makanan. Regan dan Reina berkeliling, memastikan semuanya tertata dengan baik. “Ayah, jangan terlalu jauh, ya!” teriak Reina sambil melambai ke arah Danny yang sedang membawa ko