Hallo, readers. Buku ini sedang mengikuti lomba. Mohon dukungannya dengan memberikan gems/vote sebanyak-banyaknya ya.... Terima kasih, sebelumnya. :))
Beberapa pesan dari Leon membuat Reina merasa kecewa. Rupanya kekasihnya itu lebih banyak menghabiskan waktunya dengan Karin daripada dia. Meski Leon telah meminta maaf karena tidak bisa menjemputnya saat pulang dari lembur, tetapi Reina belum sepenuhnya bisa memaafkan. “Kamu tega banget, Leon. Tidak peka jika aku sangat membutuhkan kamu. Bagaimana kalau tadi tidak ada Pak Regan?!” omel Reina seorang diri.Karena terlanjur kecewa, Reina mengabaikan pesan dari Leon. Ia sengaja tidak membalas pesan dari kekasihnya tersebut. Akan tetapi lelaki itu justru terus meneleponnya. Membuat Reina harus kembali merasa kalah. Hatinya masih terlalu berat untuk mengabaikan Leon. “Ada apasih, meneleponku? Ini sudah malam, Leon?!” Akhirnya Reina menjawab telepon itu. “Aku benar-benar minta maaf, Sayang. Aku tidak mungkin bisa tidur jika kamu tidak memaafkan aku.” Suara itu terdengar memohon. Leon masih terus-terusan berusaha mengambil hati Reina kembali. Ia tak segan merayu dan mengeluarkan ungkapan-
“Kalau begitu ... aku ke toilet dulu ya, Rei?” Karin pamit kepada Reina. Reina merasa lega. Ini artinya ia ada kesempatan untuk bisa berduaan dengan Leon. Sesungguhnya ada hal yang ingin ia tanyakan. Gadis itu merindukan perhatian sang kekasih yang seperti dulu. Seperti awal-awal mereka jadian dan sebelum leon mengenal Karin. “Leon ... aku mau—” “Em, aku juga kebelet nih! Sampai ketemu lagi di ruang kerja nanti ya,” sahut Leon cepat. Ia belum tahu jika Reina tak lagi bekerja satu ruangan dengannya. Mulai hari ini dan seterusnya Reina akan bekerja sebagai sekretaris Regan. Itu artinya posisi Reina tak lagi setara dengan Leon. Reina mendesah pelan. Kedua matanya tampak berkaca-kaca. Rasanya ia ingin menumpahkan segala kegundahan hatinya. Entah kepada siapa lagi ia harus bercerita. Reina menatap kebergian kekasih dan sahabatnya dengan lemas. Ke toilet pun mereka sangat kompak. Dengan berat hati gadis itu segera berjalan menuju lift. Ia langsung pergi ke ruangan sekretaris. Reina me
“A‒apa?” ucap Reina terbata.Dengan kekasihnya saja Reina tidak pernah melakukan perbuatan seperti itu. Berpelukan saja tidak pernah. Apalagi berciuman. Dan untuk peristiwa malam itu ... tentu saja tidak ada unsur kesengajaan sama sekali. Bahkan Reina mati-matian berusaha melupakan malam terlarang yang penuh kekhilafan. Reina menggelengkan kepalanya. Ia masih diam terpaku di tempatnya. “Tunggu apalagi? Mau hukuman yang lebih dari ini?!” tegas Regan berapi-api. “Ja‒jangan, Pak. Baiklah, saya akan melepaskan pakaian Bapak. Tapi Bapak jangan lihat, ya?” Reina mencoba bernegosiasi. Wajahnya terlihat sangat gugup. Hal itu membuat Regan menahan tawa di bibirnya. Baginya Reina sangat lucu. “Cepatlah!” Regan sudah tidak sabaran. Dengan perlahan Reina mulai melepaskan satu persatu kancing baju milik Regan. Hingga saat terbuka kancing paling bawah, terlihatlah perut kotak-kotak yang sangat dibenci oleh indera penglihatan milik gadis itu. Sebenarnya bukan benci. Lebih tepatnya Reina tidak in
Reina hampir saja pingsan. Beruntung ada yang dengan cepat langsung menangkap tubuhnya. “Reina, kamu tidak apa-apa?” “Pak Regan ....” Setelah mengatakan dua kata itu, Reina benar-benar pingsan. Regan langsung membawa Reina ke dalam ruangan pribadinya. Sementara Karin dan Leon tampak kebingungan. “Leon, bagaimana ini? Reina sudah tahu semuanya. Ini semua gara-gara kamu.” “Tadi kamu bilang apa? Sepertinya kamu tadi ingin mengatakan sesuatu kepadaku,” balas Leon mengalihkan pembicaraan. “Aku hamil, Leon. Aku hamil anak kamu. Kamu harus segera menikahiku.” “Apa? Tidak mungkin, Karin. Kamu pasti bercanda. Bagaimana mungkin. Aku belum jadi dipromosikan. Entah kapan. Sepertinya perasaanku tak enak.” Leon melangkah pergi. Niatnya ingin menyusul kepergian Reina. Ia masih berusaha membujuk kekasihnya tersebut meski kemungkinan besar ia akan diputuskan. “Leon, tunggu! Kamu tidak percaya dengan ucapanku?! Kamu tega sekali Leon. Bagaimana kalau perut ini semakin membesar?! Aku takut akan d
Karin mendekatkan tubuhnya kepada Leon. Ia tepuk pelan bahu kanan kekasihnya itu. “Kamu tidak perlu mempedulikan Reina lagi. Dia itu cuma gadis murahan. Bahkan dia rela jual diri demi uang,” ungkap Karin bernada serius. “Apa maksud kamu, Karin? Kamu tidak sedang berhalusinasi ‘kan?” Kening Leon berkerut. Bagaimana mungkin selingkuhannya itu bisa berkata seperti itu? Jelas-jelas Reina selalu menolak saat Leon meminta sesuatu yang berharga dari gadis tersebut. “Aku punya buktinya.” Karin mengeluarkan ponselnya. Ia menunjukkan gambar-gambar saat Reina masuk ke dalam kamar hotel berkat jebakannya. Kedua mata Leon meniti dengan seksama. Apakah gambar tersebut benar milik Reina atau hanya editan belaka. “Sekarang kamu percaya ‘kan sama aku? Aku ada sebuah ide yang bagus. Aku yakin kamu pasti puas saat mendengar penjelasanku nanti.” “Katakanlah, secepatnya!” Leon sudah tidak sabaran. Karin tersenyum smirk. Lalu ia membisikkan sesuatu ke telinga Leon. Berharap kekasihnya tersebut bersed
“Te-terima kasih, Pak. Saya ambil ini saja kalau begitu,” balas Reina malu-malu. Sejujurnya ia merasa tidak enak hati. Ingin sekali membayar pakaian itu dengan uangnya sendiri, tetapi apa daya. Dirinya tidak punya dana sebanyak itu. “Ambil semua yang sudah direkomendasikan oleh toko ini.” “Tapi, Pak? Bukannya itu terlalu berlebihan?” Reina menunduk resah. “Tidak apa-apa, Reina. Sebagai seorang sekretaris juga harus menjaga penampilan agar menambah semangat dalam bekerja.” Akhirnya Reina hanya terdiam dan menurut saat karyawan tadi mengambil semua pakaian dan membantu Reina ke tempat kasir. Setelah keluar dari area mall tersebut, mereka berdua sepakat untuk kembali ke kantor. “Hari ini saya ada urusan. Jadi tidak ada tambahan kerja untuk kamu. Kamu bisa pulang lebih cepat.” ‘Hah?!’ Reina terdiam seketika. Harapannya telah sirna untuk mendapatkan uang tambahan. Apalagi hatinya juga masih hancur mengingat perselingkuhan yang telah dilakukan oleh Leon. Bahkan lelaki itu tidak mencob
“Atau jangan-jangan kamu yang menceritakan tentang makanan kesukaan kakak kepada Pak Regan, ya?” tebak Reina kemudian. Rafa hanya senyum-senyum sambil manggut-manggut dan memperlihatkan giginya yang gigis dan tidak rapi itu. Reina geleng-geleng kepala dibuatnya. Kenapa sang adik kesayangan harus menceritakan hal itu kepada bosnya? Apa keuntungannya? “Sepertinya Kakak tampan itu suka sama Kak Reina. Hehehe.” Rafa justru sengaja meledek kakaknya. “Hm ... ya sudahlah. Kakak mau mandi dulu kalau begitu. Nanti baru kamu, ya? Habisnya Rafa resek sih?!” Reina langsung pergi ke dalam kamarnya. Mencari handuk dan bersiap untuk mandi terlebih dahulu. Sementara Rafa masih menyelesaikan makannya yang tinggal sedikit. Sayang sekali jika harus dibuang. Kalaupun tersisa nanti pasti akan diomelin Amel ataupun ibu tirinya. Beberapa waktu telah berlalu. Reina dan Rafa sudah siap dengan pakaian barunya. Mereka berjalan menuju perempatan jalan raya untuk mencegat kendaraan umum yang lewat. “Nggak
Tiba-tiba Regan muncul kembali dari balik pintu ruangan CEO. Membuat Reina tampak terkejut dan hanya bisa melongo. “Kamu ‘kan bisa buat, lagi.” Regan menjawab dengan santai. Ia menunjukkan gelas yang dibawanya dan berucap, “Terima kasih.” Tanpa rasa bersalah Regan mengatakan kalimat itu dan langsung menutup pintu ruangannya dengan sedikit keras. Sepertinya ia sangat senang karena merasa menang dari Reina. “Pak Regan menyebalkan!” teriak Reina kesal. Kedua matanya melotot seolah hendak ke luar. Sebenarnya gadis itu ingin sekali mendobrak pintu milik sang CEO. Meski mungkin tidak akan berhasil. Tapi ketika ia hendak berdiri, tiba-tiba asisten pribadi Regan masuk ke dalam ruangan CEO. Membuat Reina menaikkan sebelah alisnya. “Pagi-pagi sudah ke sini aja. Mau ngapain ya, dia? Nggak nyapa sama sekali pulak!” Reina geleng-geleng kepala. “Ah, iya. Itu ‘kan bukan urusanku.” Reina akhirnya benar-benar berdiri dari duduknya. Ia berniat untuk membuat minuman coklat lagi. Karena masih ada wa