Regan memang ya... Tiada hari tanpa mengerjai Reina....
Tiba-tiba Regan muncul kembali dari balik pintu ruangan CEO. Membuat Reina tampak terkejut dan hanya bisa melongo. “Kamu ‘kan bisa buat, lagi.” Regan menjawab dengan santai. Ia menunjukkan gelas yang dibawanya dan berucap, “Terima kasih.” Tanpa rasa bersalah Regan mengatakan kalimat itu dan langsung menutup pintu ruangannya dengan sedikit keras. Sepertinya ia sangat senang karena merasa menang dari Reina. “Pak Regan menyebalkan!” teriak Reina kesal. Kedua matanya melotot seolah hendak ke luar. Sebenarnya gadis itu ingin sekali mendobrak pintu milik sang CEO. Meski mungkin tidak akan berhasil. Tapi ketika ia hendak berdiri, tiba-tiba asisten pribadi Regan masuk ke dalam ruangan CEO. Membuat Reina menaikkan sebelah alisnya. “Pagi-pagi sudah ke sini aja. Mau ngapain ya, dia? Nggak nyapa sama sekali pulak!” Reina geleng-geleng kepala. “Ah, iya. Itu ‘kan bukan urusanku.” Reina akhirnya benar-benar berdiri dari duduknya. Ia berniat untuk membuat minuman coklat lagi. Karena masih ada wa
“Apakah kamu maunya seperti itu?” tanya Regan lagi yang seolah sengaja membuat Reina semakin salah tingkah. “Bapak tidak bercanda ‘kan?” “Ya, saya serius.” Regan menjawab dengan tenang. “Maksud Bapak?” Reina bingung sendiri atas pertanyaannya yang semakin ngawur itu. “Lebih baik sekarang kita makan siang dulu.” Regan melajukan mobilnya lebih kencang. Tiada percakapan lagi di antara mereka hingga tiba di sebuah restoran. Seperti biasanya, Reina membiarkan Regan yang memesan makanan. Setelah beberapa menit lamanya menunggu, pesanan pun datang. Mereka berdua makan dalam keadaan tenang. Sesekali Regan melirik ke arah Reina yang tampak tidak fokus. Sepertinya gadis itu tengah memikirkan sesuatu. Reina selesai makan terlebih dahulu. Ia tetap setia menanti Regan menyelesaikan makannya. “Jadi bagaimana Reina?” tanya Regan setelah ia selesai mengelap mulutnya dengan tisu. “Bagaimana apanya, Pak?” jawab Reina balik bertanya. Meski ia tahu mungkin Regan menanyakan tentang hal tadi, namun
Setelah menanti seorang diri, dua hingga tiga jam lamanya, seorang dokter menemui Reina untuk mengabari hasil pembedahan sore itu. Gadis itu menggengga erat tangannya sendiri. Berusaha menguatkan diri sendiri apapun hasilnya. Tetapi jauh di lubuk hatinya selalu mendo’akan yang terbaik untuk sang ayah. “Operasinya berjalan dengan lancar Nona Reina. Tetapi Beliau masih belum sadar dan perlu banyak istirahat.” Dokter itu menerangkan dengan tenang. “Syukurlah ....” Reina merasa lega. “ Saya sangat senang mendengarnya, Dok. Terima kasih banyak.” Kedua mata Reina sudah berkaca-kaca. Rasanya ingin sekali ia menemui sang ayah dan memeluknya. “Kalau begitu saya permisi dulu,” pamit dokter itu. Reina tersenyum sambil mengangguk. Kemudian ia duduk kembali dan menyandarkan tubuhnya ke dinding rumah sakit itu. “Minum dulu dan makanlah,” ucap seseorang dengan penuh perhatian. Reina menoleh cepat. Seorang lelaki mengulurkan sebotol air minum kepadanya. “Leon? Kamu ke sini?” tanya Reina dengan
“Cepat. Nggak pake lama, Reina. Kamu mau kami mati kelaparan? Hah?!” geram Linda. Mendengar penuturan menyakitkan dari sang ibu, hanya bisa membuat Reina mengelus dada. Kenapa mesti dirinya yang harus melakukan hal itu? Bukankah kakaknya juga bisa memasak? “Baiklah, Bu. Akan segera Reina buatkan.” Reina mengurungkan niatnya menghubungi Jeffan. Ia segera pergi ke dapur untuk memasak. Rasa sakit yang tadi ia rasa, kini seolah sirna begitu saja. Reina tidak sempat menikmatinya. Meski kenyataannya, rasa sakit tercipta bukan untuk dinikmati.Setelah selesai membuatkan menu makan malam di atas meja. Reina segera masuk ke dalam kamar. Pertama kali yang ia lakukan adalah mandi air hangat. Sesudah itu ia duduk di tepi ranjang. Rafa sudah tertidur sangat lelap saat tadi Reina masuk ke dalam kamar. Gadis itu memeriksa email yang masuk melalui ponselnya. Besok ia harus menemani Pak Regan meeting lagi di luar kantor. “Sampai kapan seperti ini?” Entah mengapa Reina memikirkan tentang Leon kemb
“Saya baik-baik saja kok, Pak.” Reina langsung menjauhkan tubuhnya dari Regan. “Nggak usah lebay sih!” Gadis itu berucap dengan sinis. Regan melirik kesal. “Harusnya saya tidak peduli kepada kamu.” CEO tampan itu kembali ke kursi duduknya dan kembali menjalankan mobilnya. Sementara Reina jadi serba salah. ‘Apakah kata-kataku tadi keterlaluan ya?’ Gadis itu tak berani menatap bosnya lagi. Ia lebih memilih melihat ke arah jalanan. Keheningan terjadi kembali hingga akhirnya mobil Regan berhenti di depan sebuah hotel. Reina melongo menyaksikan hotel mewah di depannya. Namun tiba-tiba ia teringat kembali peristiwa panas malam itu. Seketika lengannya merinding begitu saja. “Kok ke sini, Pak? Bukannya—” “Kamu pasti belum baca informasi terbaru. Bapak Ferdinand meminta kita bertemu di tempat ini.” Regan menjelaskan dengan tenang sambil merapikan penampilannya. Reina merasa malu. ‘Harusnya seorang sekretaris kan sudah paham. Kenapa sih aku tidak tahu soal ini. Apa kata dunia, nanti? Ben
“Regan ... oma mau kamu segera menikah. Umur oma sudah tidak lama lagi. Oma pengen lihat kamu bahagia.” “Oma ... jangan berbicara seperti itu. Regan tidak suka!” Reina merasa bersalah. Ia datang di saat yang tidak tepat. Tetapi percuma saja. Semua sudah terlanjur. Karena nenek Regan sudah melihat Reina yang masuk ke ruangan, maka gadis itu pun berjalan mendekat ke arah Regan yang sedang mengobrol. Reina memaksakan diri untuk tersenyum kepada wanita tua di depannya itu sambil sedikit menundukkan kepalanya. Dan ternyata ia juga mendapat balasan senyum yang sangat manis. “Kamu cantik sekali Sayang,” lirih Oma Regina kepada Reina. Wanita tua itu tampak senang sekali melihat Reina. Bibirnya tak berhenti menyunggingkan sebuah senyuman yang menawan. Sementara Reina pun merasa bahagia melihat Oma Regina. Entah mengapa perasaannya jadi nyaman. Ia teringat dengan neneknya dulu yang meninggal saat gadis itu masih kecil. Andai nenek Reina belum meninggal, pasti ia akan mendapatkan kasih say
Reina berjalan menuju pangkalan ojek. Ia memilih untuk naik ojek motor daripada diantarkan oleh Regan. Bukan apa-apa. Reina melakukan hal itu karena ia tidak langsung pulang ke rumah. Melainkan gadis itu rindu dengan mamanya. Ya, dia pergi ke pemakaman. Dan sebelumnya gadis itu membeli bunga untuk ditaburkan di atas makam mamanya. Reina terduduk lemas setelah berhasil menaburkan semua bunga yang ia bawa. Gadis itu memandangi batu nisan di atas pusara yang bertuliskan nama ibunya. “Ma ... Apa kabar? Maaf ya, sudah lama Reina tidak menjenguk Mama.” Gadis itu berucap dengan sedih. Butiran air bening sudah menggenang di pelupuk matanya dan bersiap untuk segera jatuh. Namun Reina masih berusaha untuk menahannya. Ia tidak ingin terlihat lemah. “Reina bingung, Ma. Apakah keputusan Reina ini sudah tepat? Tapi Reina takut hamil, Ma. Reina sudah melakukan kesalahan fatal. Pasti Mama kecewa sama Reina. Maafin Reina ya, Ma? Semoga Mama tenang di atas sana. Reina sangat sayang sama Mama.” Rei
“Aaaaa....!!!”Reina berteriak kencang sambil menutupi wajah dengan kedua tangannya. Ia geleng-geleng kepala sendiri.Seketika Regan menginjak rem setelah mendengar Reina menjerit tiba-tiba. Hingga mobil itu berhenti dan tengah jalan.“Kamu ini kenapa, Reina? Kamu membuat jantungku hampir copot.” Regan merasa geram dengan sekretaris yang sebentar lagi menjadi istrinya tersebut.Reina senyum-senyum cengengesan. Ia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Bisa-bisanya gadis itu membayangkan adegan panas dengan atasannya sendiri. Siapa lagi kalau bukan Regan.“Maaf ya, Pak Regan. Kalau hari ini saya banyak mengoceh. Menuduh Bapak yang tidak-tidak. Reina khilaf.” Akhirnya gadis itu meminta maaf untuk kesekian kalinya. Entah ke berapa bahkan ia sampai lupa. Yang pasti belum terlalu banyak.“Baguslah kalau kamu sadar diri. Kepalaku pusing mendengar kamu ngomel-ngomel terus dari tadi,” jelas Regan seraya memegangi kepalanya.Kemudian dia langsung menatap ke arah Reina sambil tersenyum smirk. “D
Hari pernikahan Xavier dan Karin telah tiba. Udara pagi terasa segar dan cerah, seakan menyambut kebahagiaan yang akan segera berlangsung. Keluarga dan sahabat berkumpul di sebuah taman indah yang telah dihias dengan bunga-bunga warna-warni dan lampu-lampu gemerlapan. Suasana penuh dengan tawa dan senyum. Regan dan Reina tiba lebih awal bersama bayi kembar mereka, Alana dan Bianca, yang tertidur pulas di kereta dorong. Mereka disambut oleh Olivia dan Danny yang sudah tak sabar menantikan momen bahagia itu. “Aku tak percaya Xavier akhirnya menemukan kebahagiaan bersama Karin,” ucap Reina dengan mata berkaca-kaca. “Dia memang pantas mendapatkannya,” jawab Regan sambil tersenyum, merangkul Reina yang terlihat anggun dalam gaun biru muda. “Kita semua pantas bahagia.” Tak lama kemudian, para tamu mulai berdatangan. Leon, mantan pacar Reina dan Karin juga hadir dengan pasangan barunya. Mereka tampak sangat bahagia, saling berpegangan tangan dan tertawa bersama. Leon menghampiri Reg
Tanpa disangka, suatu hari Regan menemukan fakta baru yang mengejutkan. Saat itu, dia sedang bekerja di ruangannya. Berkas-berkas tersebar di atas meja ketika ponselnya berdering. Panggilan itu berasal dari salah satu anak buah kepercayaannya. “Ada apa, Roni?” tanya Regan sambil menyandarkan punggungnya ke kursi. “Ada perkembangan baru, Pak Regan. Kami berhasil melacak beberapa transaksi mencurigakan yang berhubungan dengan Shadow Phoenix. Dan yang mengejutkan, ada keterlibatan Alex Ricardo di dalamnya,” lapor Roni. Regan terdiam sejenak, mencerna informasi tersebut. “Apa kamu yakin? Alex Ricardo? Bukankah dia masih berada di dalam penjara?” “Betul, Pak. Tapi tampaknya dia masih mengendalikan beberapa hal dari dalam penjara. Kami menemukan bukti bahwa beberapa anak buahnya masih menjalankan perintahnya dan menggunakan nama Shadow Phoenix untuk menyamarkan identitas asli mereka,” jelas Roni. Regan merasakan darahnya mendidih. “Teruskan penyelidikannya, Roni. Dan pastikan ki
Tanpa terasa, usia kehamilan Reina sudah memasuki trimester ketiga. Perutnya semakin membesar, membuatnya sulit menemukan posisi tidur yang nyaman. Setiap malam menjadi tantangan baru bagi Reina. Sementara Regan berusaha sebaik mungkin untuk membuat istrinya merasa nyaman dan bisa tidur nyenyak. Malam itu setelah mencoba berbagai posisi tidur dan tidak menemukan yang pas, Reina merasa frustasi. Ia berguling-guling di tempat tidur sambil menghela napas panjang. Regan yang melihatnya merasa kasihan dan ingin membantu. “Ada yang bisa aku lakukan, Sayang?” tanya Regan lembut. Ia duduk di tepi tempat tidur dan mengelus rambut istrinya. Reina menggeleng lemah. “Aku tidak tahu, Pak Regan. Aku sudah mencoba semua posisi tapi tetap saja tidak nyaman. Perutku terlalu besar.” Regan berpikir sejenak, lalu tersenyum. “Bagaimana kalau kita coba sesuatu yang baru? Tunggu sebentar.” Ia keluar dari kamar dan kembali dengan bantal-bantal tambahan. “Ayo, kita coba dengan bantal-banta
Pagi itu di kantor, suasana di ruang CEO terasa lebih sibuk dari biasanya. Regan tengah tenggelam dalam tumpukan dokumen dan panggilan telepon yang tak henti-hentinya. Di luar ruangan, para karyawan tampak sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Sedangkan Reina pergi ke toilet sebentar untuk menyegarkan diri. Saat Reina keluar dari ruangan, pintu lift terbuka dan dua orang masuk ke lantai itu. Claudia dan Xavier melangkah dengan hati-hati menuju kantor CEO. Claudia tampak sedikit gugup, sementara Xavier berusaha tampak tenang meskipun jelas terlihat gelisah. Mereka mengetuk pintu dan menunggu sebentar sebelum mendengar suara Regan dari dalam yang mempersilakan mereka masuk. Ketika pintu terbuka, Claudia dan Xavier masuk dengan hati-hati. Regan yang tadinya duduk di balik mejanya langsung berdiri. Ekspresi wajahnya berubah dari fokus keheranan. “Mama Claudia? Xavier? Apa yang membawa kalian berdua datang ke sini?” tanya Regan dengan nada sedikit terkejut. Claudia mendekat de
Saat kehamilan Reina menginjak usia lima bulan, Regan memutuskan untuk mengajak Reina jalan-jalan di taman kota. Hari itu cerah, dengan langit biru dan angin sepoi-sepoi yang membuat suasana terasa sejuk. Reina tampak sangat bahagia, mengenakan gaun hamil berwarna pastel yang membuat perutnya yang semakin membesar terlihat menawan. Regan tak henti-hentinya tersenyum, menikmati momen kebersamaan mereka. Mereka berjalan-jalan sambil menikmati pemandangan taman yang indah. Banyak anak-anak bermain di taman bermain, pasangan-pasangan duduk di bangku menikmati suasana, dan para pedagang menjajakan makanan ringan di kios-kios kecil di sepanjang jalan setapak. “Ini hari yang sangat indah, ya?” ungkap Reina sambil menggenggam tangan Regan erat. “Ya, benar-benar indah,” jawab Regan, menatap istrinya dengan penuh cinta. “Aku senang kita bisa meluangkan waktu bersama seperti ini.” Mereka melanjutkan berjalan, berhenti sesekali untuk melihat bunga-bunga yang sedang mekar dan menikmati
Kehamilan Reina telah memasuki usia empat bulan dan perutnya mulai terlihat membesar. Setiap hari Regan semakin takjub melihat perubahan pada tubuh istrinya dan merasa tidak sabar untuk menyambut kehadiran anak mereka. Pagi itu Regan memutuskan untuk membawa Reina ke klinik untuk melakukan USG. “Sayang, hari ini kita akan ke klinik untuk melihat bayi kita,” ucap Regan dengan senyum lebar. Reina tersenyum bahagia, merasa tak sabar untuk melihat perkembangan bayinya. “Aku tidak sabar, Pak Regan. Pasti mereka sudah semakin besar sekarang.” Regan mengangguk. "Aku juga sangat bersemangat. Ayo kita bersiap-siap." Setelah bersiap-siap, mereka berdua berangkat ke klinik dengan penuh semangat. Dalam perjalanan, mereka terus berbicara tentang rencana masa depan dan bagaimana mereka akan merawat anak mereka. Regan menggenggam tangan Reina dengan erat, memberikan rasa tenang dan nyaman. Sesampainya di klinik, mereka disambut oleh dokter dan perawat yang ramah. “Selamat pag
Reina berdiri di dekat jendela kamar, menatap ke luar dengan pandangan kosong. Matanya menyapu pemandangan yang indah, tetapi pikirannya jauh dari sana. Di luar, matahari mulai terbenam, menyinari langit dengan warna-warna keemasan, tetapi dalam hati Reina, ada kegelapan yang sulit hilang. Regan, yang baru saja selesai menutup laptopnya setelah bekerja seharian dari rumah mulai memperhatikan istrinya. Ia berjalan mendekat dan dengan lembut meletakkan tangannya di bahu Reina. “Ada apa, Sayang?” tanyanya dengan suara penuh perhatian. Reina tersentak dari lamunannya dan menoleh ke arah Regan. “Aku masih memikirkan Kak Amel,” jawabnya dengan suara lirih. “Aku merasa bersalah dan cemas tentang apa yang terjadi padanya.” “Sayang, kamu sudah melakukan yang terbaik. Kadang-kadang, kita tidak bisa mengendalikan semua yang terjadi di sekitar kita. Apa yang terjadi pada Amel adalah akibat dari pilihannya sendiri.” “Tapi, aku tetap merasa harus melakukan sesuatu,” lanjut Reina dengan nad
Linda dan Amel tampak berjalan menuju mereka. Kehadiran dua orang itu seakan membawa aura negatif. Amel, dengan tatapan jahat, mulai merencanakan sesuatu yang licik terhadap Reina. Linda dan Amel berpura-pura bergabung dengan kebersamaan keluarga Danny, tapi Amel dengan hati-hati mendekati Reina yang sedang berjalan di atas bebatuan. Amel mengatur langkahnya agar Reina terpeleset di atas batu licin. Namun, rencana jahat itu berbalik. Saat Amel mendorong Reina, dirinya sendiri yang kehilangan keseimbangan. Amel terjatuh keras di atas batu tajam. Semua orang terkejut dan bergegas menghampiri. Linda berteriak panik, “Amel! Apa yang terjadi?!” Regan, yang melihat situasi tersebut, segera memanggil bantuan. Amel tampak mengalami pendarahan hebat. Regan memeluk Reina erat-erat, memastikan dia baik-baik saja. “Kamu tidak apa-apa, Sayang?” tanyanya dengan penuh kekhawatiran. Reina mengangguk. “Aku baik-baik saja, Pak Regan. Tapi Kak Amel ... dia tampak sangat parah.” Ambulans segera
Liburan keluarga besar ke pantai adalah momen yang ditunggu-tunggu oleh seluruh anggota keluarga. Reina dan Regan memang telah merencanakan hal itu jauh-jauh hari. Hanya saja baru terealisasi saat ini. Dengan persiapan yang matang, mereka berangkat dari rumah dengan semangat tinggi. Olivia, Bi Nita, Danny, Rafa, Alya, dan Bi Siti bergabung dalam perjalanan tersebut, ikut memastikan tidak ada yang tertinggal. Mereka membawa perbekalan lengkap, termasuk makanan, minuman, mainan pantai, dan berbagai kebutuhan lainnya. Sesampainya di pantai, suasana langsung berubah menjadi ceria. Mereka menata tempat dengan menyiapkan tenda, menggelar tikar, dan menata makanan piknik. Rafa dan Alya segera berlari ke air, bermain dengan ombak dan tertawa riang. Danny dan Bi Siti membantu Olivia dan Bi Nita menyiapkan makanan. Regan dan Reina berkeliling, memastikan semuanya tertata dengan baik. “Ayah, jangan terlalu jauh, ya!” teriak Reina sambil melambai ke arah Danny yang sedang membawa ko