Reina memejamkan kedua matanya. Seketika ia menurunkan tangannya yang semula hendak membuka pintu di hadapannya. Gadis itu masih terdiam di tempatnya tanpa menoleh ke arah sang CEO. Dengan cepat ia mengumpulkan seluruh keberaniannya agar bisa menatap Regan kembali tanpa rasa takut.
Tanpa diduga Regan melangkah menghampirinya. Meski pelan, Reina bisa merasakan tiap derap langkah kakinya yang mengusik keheningan ruangan bernuansa monokrom itu.“Kenapa hanya diam saja?” Suara berat dari Regan meruntuhkan keberanian Reina.‘Astaga! Apalagi ini. Apasih maunya?’ batin gadis itu merasa kesal. Namun ia tidak bisa berbuat apa-apa selain memutar tubuhnya agar berhadapan kembali dengan Regan.Di saat Reina sudah berbalik badan, ia sangat terkejut melihat posisi Regan sangat dekat dengannya. Aroma tubuh lelaki itu kembali merusak konsentrasinya. Bagaimana mungkin ia bisa dengan tiba-tiba teringat kembali peristiwa tadi malam? Iya, Reina sangat ingat jika dia dengan berani mengatakan kepada Regan bahwa dirinya sangat menyukai aroma tubuh lelaki itu.“Kamu mengingat sesuatu?” bisik Regan di dekat telinga Reina. Lelaki itu sedikit merendahkan kepalanya. Hingga terpaan nafasnya sukses membuat tubuh gadis itu meremang seketika.“Ma‒maksud Bapak apa? Saya tidak mengerti.”Reina dengan berani mendongakkan kepalanya. Kali ini ia tidak boleh kalah. Ia yakin jika lelaki di hadapannya itu hanya ingin mengerjainya. ‘Tenang, Reina. Semua akan baik-baik saja.’Baru saja Regan hendak berbicara, tiba-tiba ponselnya berdering dengan sangat kuat. Tentu ia dan Reina cukup terkejut. Gadis itu refleks menjauhkan diri dari Regan. Kemudian dengan gerakan cepat Reina berhasil kabur dari ruangan sang CEO.Reina mengusap dadanya beberapa kali. Kini ia bisa bernafas dengan lega meski ada yang harus segera ia kerjakan. Bahkan nanti siang ia harus bertemu lagi dengan Regan.Tiba-tiba gadis itu teringat kembali uang pemberian Regan yang sudah ia berikan semuanya kepada sang ibu. Bahkan ia berjanji akan mengembalikannya dengan cara apapun.“Harusnya tadi aku tidak mengambilnya. Sekarang baru menyesal ‘kan?” Reina berceloteh seorang diri. Tak lama kemudian telepon di dekatnya berbunyi.“Hallo, ada yang bisa saya bantu? Dengan Reina di sini.” Reina berusaha menjawab dengan intonasi sebaik dan selembut mungkin.“Ehem!”Terdengar bunyi deheman dari balik telepon itu. Seketika Reina merasa malu karena yang menelepon adalah Regan. Gadis itu tidak berani melihat ke ruangan CEO. Tentu lelaki tersebut bisa melihatnya karena dinding pemisah ruangan CEO dengan ruangan sekretaris memang dibuat dari kaca.“Baik, Pak Regan. Saya akan segera mengerjakan tugas dari Bapak.”“Apa kamu merasa tidak ada yang tertinggal?” tanya Regan dengan gaya santainya meski tak terlihat oleh Reina.Gadis itu terdiam sejenak memastikan ucapan dari bos barunya tersebut. Sepertinya tidak ada yang tertinggal. Pasti itu hanya akal-akalan Regan saja. Pikirnya.“Maaf, Pak. Menurut saya tidak ada yang tertinggal.”Reina langsung menutup telepon tersebut tanpa ragu. Bahkan ia tidak takut jika Regan marah atau bahkan memecatnya saat itu juga. Padahal keluarganya saat ini membutuhkan banyak biaya untuk berbagai kebutuhan. Termasuk biaya perawatan sang ayah yang tak kunjung sembuh.“Menyebalkan sekali. Aku akan balas dendam kepadamu, Pak Regan! Lihat saja nanti.” Reina kemudian duduk dan berusaha menyelesaikan tugasnya dengan baik.Sementara Regan justru semakin penasaran dengan sosok Reina. Ia memikirkan ide yang bagus untuk karyawan barunya itu.CEO tampan itu menarik sebelah kanan sudut bibirnya. Ia yakin Reina tidak akan menolak karena membutuhkan banyak uang. Regan memang sudah memberikan tugas kepada manajer bagian pemasaran untuk menyelidiki semua tentang Reina.Reina adalah seorang gadis biasa yang tinggal di sebuah rumah kecil dan sederhana. Namun satu yang tak bisa Regan pungkiri. Ada rasa yang berbeda saat ia mengingat kembali peritiwa malam itu.Regan kembali ke tempat duduknya. Tiba-tiba ia teringat kenangan di masa kecilnya. “Ke mana dia sekarang? Apakah mungkin aku bisa kembali bertemu dengannya?”***Tepat pukul satu siang hari, Reina telah berhasil menyelesaikan tugasnya. Ia menunggu kabar dari Regan dengan tetap duduk di tempatnya.Namun beberapa saat kemudian seorang lelaki menemuinya. Dia merupakan asisten pribadi Pak Regan.“Selamat siang Ibu Reina. Segera hubungi Pak Regan jika sudah berhasil menyelesaikan tugas Anda. Ini nomor yang bisa dihubungi.”Lelaki itu memberikan catatan di sebuah kertas.“Apa?” Mulut Reina menganga membaca pesan itu. “Jadi aku harus menghubungi lelaki itu?”Seketika gadis itu merasa kesal. Bukankah ini artinya ia akan terus berinteraksi dengan CEO menyebalkan itu? Padahal jelas-jelas ia hanya menggantikan pekerjaan sang sekretaris sehari saja. Tidak ada pilihan lain. Reina segera mengirimkan sebuah pesan kepada Pak Regan.Beberapa menit berlalu. Pesan itu tidak terbalas. Reina menjadi resah.Gadis itu menghela nafas berat. Ia berdiri dari tempat duduknya lalu mengambil dokumen yang telah ia kerjakan dan ia pelajari. Setelah itu Reina bergegas menemui sang CEO di ruangannya.Tangan itu hendak mengetuk pintu. Tetapi ternyata sosok Regan sudah muncul setelah pintu ruangan di depannya terbuka.“Kenapa hanya berdiri dan diam saja?” tanya Regan sedikit meninggikan suaranya. Bertindak seolah sedang memarahi bawahannya yang melakukan kesalahan fatal.“I‒itu karena. Jadi begini, Pak.”“Sudahlah. Sebaiknya kita segera berangkat.” Regan berjalan di depan Reina. Namun saat berbelok arah, tiba-tiba lelaki itu menghentikan langkahnya. Membuat Reina yang masih melangkahkan kakinya seketika menabrak punggung tegap Regan.“Aduh!” Reina mengusap cepat kepalanya. “Mengapa berhentinya dadakan sih, Pak?” gerutu Rania kesal.Gadis itu tidak menyadari jika Regan sedang memandanginya dengan tatapan yang sangat tajam.“Kamu memarahi saya?” ujar Regan bernada tegas.“Eh, tidak, Pak. Bukan begitu. Saya minta maaf. Saya yang salah karena berjalan tanpa memperhatikan keadaan atau situasi yang ada.”Reina berbicara panjang lepar. Berharap Regan tidak akan mempermasalahkan soal itu.“Kalau begitu, tolong benarkan letak dasi saya. Tiba-tiba saya lupa cara merapikannya.” Lelaki tampan itu berucap dengan sangat enteng.“Apa? Maksudnya?” Reina tidak mengerti.“Saya tidak bisa merapikan dasi saya jika tidak bercermin secara langsung di depan kaca yang besar.”“Kan Bapak bisa ke toilet dulu,” sangkal Reina masih berusaha untuk membantah.Regan melihat jam di tangannya. “Tidak ada waktu lagi, Reina. Kita harus segera menemui klien. Kamu mau melawan saya?”“Ba‒baiklah, Bapak Regan yang terhormat. Saya akan melaksanakan tugas dari Bapak.”Reina tidak punya pilihan lain. Ia ingin waktu ini segera berakhir dan besok bekerja lagi seperti biasanya. Bersama teman-teman seperjuangannya.“Cepat, Reina! Kenapa lambat sekali.” Regan langsung protes.“Tapi Bapak terlalu tinggi. Bagaimana saya bisa melakukannya?” tanya Reina dengan polosnya.Tanpa berkata lagi Regan meletakkan kedua tangannya pada bahu Reina. Kemudian memutar tubuh gadis itu dan menyandarkannya ke dinding di dekat mereka.Setelah itu Regan menyandarkan tangan kanannya ke dinding. Ia sedikit menunduk ke arah Reina sambil netranya menatap wajah gadis itu lekat-lekat.Reina berusaha untuk tetap tenang. Meski tangannya sibuk membetulkan dasi milik Regan, tetapi otaknya memikirkan hal lain.“Astaga! Semoga ini hanya mimpi,” lirih Reina tanpa sadar. Tiba-tiba gadis itu merasakan sesuatu pada bagian tubuhnya.Kira-kira mimpi atau kenyataan ya????
“Auw! Sakit Pak Regan. Kenapa tega sekali.” Reina mengusap pundak kirinya yang terasa sakit. Mulut Regan sangat tidak sopan. Berani menggigit bahunya secara mendadak. Apakah lelaki ini suka akan semua hal yang dilakukan secara tiba-tiba? “Tadi kamu berharap semua ini hanya mimpi ‘kan? Jadi saya buktikan bahwa semua ini nyata, Reina.” Regan meraba bagian dadanya sambil berucap, “Terima kasih.” CEO tampan itu melanjutkan langkahnya tanpa menunggu Reina yang masih merasa kesal akibat ulahnya beberapa detik yang lalu. “Sampai kapan kamu akan berdiri di situ? Kamu mau perusahaan ini kehilangan seorang klien yang sangat berarti?” ujar Regan sedikit berteriak. “Eh, tidak Pak!” Reina langsung berlarian menghampiri Regan yang berdiri cukup jauh dari tempatnya. Rasanya Reina sudah hampir menyerah. Niatnya menghindar, tetapi justru semakin di dekatkan seperti ini. Bagaimana mungkin? Lift yang awalnya kosong kini jadi penuh dan terasa sesak. Tak hanya itu saja. Regan dengan berani berdiri d
Mendengar pertanyaan dari Reina, CEO tampan itu terdiam. Sepertinya sedang memikirkan sesuatu. Selanjutnya, ia justru berjalan menghampiri gadis itu. Reina cukup ketakutan melihat Regan berjalan mendekatinya. Ia sudah berpikir yang tidak-tidak. Mengingat atasannya itu seringkali melakukan tindakan yang tiba-tiba. “Sebelum pergi, apakah ada yang ingin kamu sampaikan kepadaku?” tanya Regan kemudian. Seolah sengaja menunda-nunda kepergian Reina dari ruangannya. Inilah yang tidak disukai Reina. Lelaki di dekatnya ini tidak langsung to the poin mengatakan tujuannya. Sekarang justru bermain teka-teki dengannya. Reina berpikir keras. ‘Ayolah, Reina. Coba tebak, apa maksud ucapan Regan?’ “Saya rasa tidak ada yang perlu saya sampaikan lagi.” Reina menunduk dan hendak berjalan mundur meninggalkan ruangan itu. “Kamu yakin? Tidak akan menyesal?” imbuh Regan. Reina menegakkan kepalanya. Ia bisa melihat tatapan penuh kelicikan dari bosnya tersebut. “Baiklah, Pak Regan. Saya ingin meminta maa
Reina melihat sang kekasih hati datang bersama Karin—sahabatnya. Hal itu membuat hatinya terasa ada yang menusuk. Gadis itu juga penasaran dengan kejadian tadi malam. Apakah benar Karin yang telah menjebaknya dengan memberikan minuman yang mengandung alkohol? Reina ingin tahu apa alasan sang sahabat melakukan hal itu kepadanya. “Leon? Kalian—” Ucapan Reina terhenti. Leon langsung memotong kalimatnya yang masih menggantung. Bahkan gadis itu bisa melihat raut wajah terkejut pada kekasihnya. “Kami dapat tugas di luar, Sayang. Tetapi Karin tiba-tiba merasa tidak enak badan. Jadi aku membawanya ke sini sebentar untuk mengambil barang penting yang ketinggalan.” Reina manggut-manggut. Namun ia tetap curiga kepada Karin. Gadis itu mengalihkan pandangan kepada sahabatnya. “Karin, ada yang ingin aku tanyakan kepadamu. Ini soal tadi malam—” “Aduh! Kepalaku sakit banget!” Karin merintih kesakitan sambil memegangi kepalanya. Membuat Reina cukup panik. Tangannya terulur hendak memegangi bahu sa
“Jangan berteriak, Reina. Ini aku!” tegas seorang lelaki kepada Reina. Reina sangat mengenali suara itu. Tetapi kenapa bahasanya seolah mereka telah akrab? Apakah benar lelaki di dekatnya ini adalah Regan? Belum sempat Reina membalas ucapan itu, lampu-lampu telah menyala. “Lepaskan!” Reina berusaha memberontak. Seketika tangan yang membungkam mulutnya terlepas begitu saja. Gadis itu langsung menatap tajam ke arah lelaki di depannya. Dan benar saja. Dia adalah Regan, atasannya. Lelaki itu hanya diam. Ekspresi wajahnya sangat tenang. Tidak merasa bersalah sama sekali. “Pak Regan kenapa ada di sini? Pak Regan ngikutin saya, ya? Jujur saja!” Reina membuang muka sambil bersedekap dada. Ia sangat percaya diri sekali mengatakan kalimat itu kepada atasannya. Regan geleng-geleng kepala. Tidak habis dengan sikap Reina yang baginya walaupun sangat menyebalkan tetapi gadis itu membuatnya merasa semakin penasaran. “Kebetulan ada yang ketinggalan di ruangan kerjaku. Jadi terpaksa aku harus ke
Dengan muka yang ditekuk dan kusut, ibu tiri Reina terpaksa membukakan pintu rumah yang masih tertutup itu. Walau bagaimanapun ia masih ada rasa belas kasihan terhadap anak tirinya.Terlihat seorang wanita tua berdiri di depan pintu dengan bibir yang menyunggingkan sebuah senyuman. Wanita itu menundukkan kepalanya sejenak. “Ibu cari siapa, ya? Ada perlu apa datang malam-malam seperti ini?” tanya Linda bernada tegas. “Maaf, Bu. Saya diutus oleh Tuan untuk memijat kaki Non Reina yang katanya terkilir. Bolehkah saya masuk?” izin wanita itu terlihat cemas. Linda melirik ke arah Reina. Gadis itu masih tampak kesakitan. Membuatnya tidak tega. Ia juga takut jika besok Reina tidak berangkat ke kantor lagi. Tentu hal itu bisa merepotkannya. Belum lagi dengan gajinya. Pasti akan terpotong dan tidak bisa memberi uang lebih kepadanya. “Ya sudah kalau begitu. Masuk saja. Saya ke belakang dulu.” Setelah mengatakan kalimat itu, ibu tiri Reina segera pergi ke belakang. Perutnya terasa melilit kar
Beberapa pesan dari Leon membuat Reina merasa kecewa. Rupanya kekasihnya itu lebih banyak menghabiskan waktunya dengan Karin daripada dia. Meski Leon telah meminta maaf karena tidak bisa menjemputnya saat pulang dari lembur, tetapi Reina belum sepenuhnya bisa memaafkan. “Kamu tega banget, Leon. Tidak peka jika aku sangat membutuhkan kamu. Bagaimana kalau tadi tidak ada Pak Regan?!” omel Reina seorang diri.Karena terlanjur kecewa, Reina mengabaikan pesan dari Leon. Ia sengaja tidak membalas pesan dari kekasihnya tersebut. Akan tetapi lelaki itu justru terus meneleponnya. Membuat Reina harus kembali merasa kalah. Hatinya masih terlalu berat untuk mengabaikan Leon. “Ada apasih, meneleponku? Ini sudah malam, Leon?!” Akhirnya Reina menjawab telepon itu. “Aku benar-benar minta maaf, Sayang. Aku tidak mungkin bisa tidur jika kamu tidak memaafkan aku.” Suara itu terdengar memohon. Leon masih terus-terusan berusaha mengambil hati Reina kembali. Ia tak segan merayu dan mengeluarkan ungkapan-
“Kalau begitu ... aku ke toilet dulu ya, Rei?” Karin pamit kepada Reina. Reina merasa lega. Ini artinya ia ada kesempatan untuk bisa berduaan dengan Leon. Sesungguhnya ada hal yang ingin ia tanyakan. Gadis itu merindukan perhatian sang kekasih yang seperti dulu. Seperti awal-awal mereka jadian dan sebelum leon mengenal Karin. “Leon ... aku mau—” “Em, aku juga kebelet nih! Sampai ketemu lagi di ruang kerja nanti ya,” sahut Leon cepat. Ia belum tahu jika Reina tak lagi bekerja satu ruangan dengannya. Mulai hari ini dan seterusnya Reina akan bekerja sebagai sekretaris Regan. Itu artinya posisi Reina tak lagi setara dengan Leon. Reina mendesah pelan. Kedua matanya tampak berkaca-kaca. Rasanya ia ingin menumpahkan segala kegundahan hatinya. Entah kepada siapa lagi ia harus bercerita. Reina menatap kebergian kekasih dan sahabatnya dengan lemas. Ke toilet pun mereka sangat kompak. Dengan berat hati gadis itu segera berjalan menuju lift. Ia langsung pergi ke ruangan sekretaris. Reina me
“A‒apa?” ucap Reina terbata.Dengan kekasihnya saja Reina tidak pernah melakukan perbuatan seperti itu. Berpelukan saja tidak pernah. Apalagi berciuman. Dan untuk peristiwa malam itu ... tentu saja tidak ada unsur kesengajaan sama sekali. Bahkan Reina mati-matian berusaha melupakan malam terlarang yang penuh kekhilafan. Reina menggelengkan kepalanya. Ia masih diam terpaku di tempatnya. “Tunggu apalagi? Mau hukuman yang lebih dari ini?!” tegas Regan berapi-api. “Ja‒jangan, Pak. Baiklah, saya akan melepaskan pakaian Bapak. Tapi Bapak jangan lihat, ya?” Reina mencoba bernegosiasi. Wajahnya terlihat sangat gugup. Hal itu membuat Regan menahan tawa di bibirnya. Baginya Reina sangat lucu. “Cepatlah!” Regan sudah tidak sabaran. Dengan perlahan Reina mulai melepaskan satu persatu kancing baju milik Regan. Hingga saat terbuka kancing paling bawah, terlihatlah perut kotak-kotak yang sangat dibenci oleh indera penglihatan milik gadis itu. Sebenarnya bukan benci. Lebih tepatnya Reina tidak in