"Motor siapa ini Ra?"Ara yang sedang berkaca disalah satu spion sepeda motor pun menoleh. Senyum manis seketika mengembang di bibirnya, saat melihat Ghazi yang sudah rapi dengan pakaian yang sebelumnya telah ia siapkan. "Ayo kita ke pasar pakai ini Mas." ucap Ara menepuk pelan jok motor matic yang ada di sampingnya.Hari ini Ara ingin menghabiskan waktunya bersama Ghazi. Pagi-pagi sekali wanita itu meminta Carol untuk mencarikannya sebuah sepeda motor, dan hanya butuh sepuluh menit, Carol sudah kembali membawa apa yang Ara minta."Kamu serius? Saya sudah lama nggak naik motor loh Ra," sahut Ghazi terlihat ragu.Ara mengibaskan tangannya ke udara. "Ah, pasti bisa kok. Kamu naik sepeda saja bisa, masa naik motor nggak bisa?" Ghazi nampak menggaruk pelipisnya pelan. Keraguan tercetak jelas di wajahnya yang tampan. "Naik mobil saja ya Ra?" Ara menggeleng. "Saya maunya pakai ini Mas. Ayolah sekali-kali ... " Wanita itu mengatupkan kedua tangannya di depan dada.Kalau sudah melihat sang
"Menurutmu apa arti mahkota di sini?"Willy meraih pin kecil yang ada ditangan Ghazi. Maniknya menelisik setiap bagian yang ada di sana. "Mahkota itu lambang kekuasaan, legitimasi, keabadian, kejayaan, kemakmuran dan kehidupan setelah kematian bagi pemakainya. Dan biasanya mahkota itu dipakai oleh seorang Raja atau Ratu." ucap Willy. Pria itu nampak terpegun dengan kalimatnya sendiri. "Bukankah ini berarti ... ""Belum tentu." sahut Ghazi. Melihat ekspresi Willy, Ghazi langsung tahu apa yang pria itu pikirkan. Willy pasti beranggapan, kalau pin itu milik sang ratu atau si pelaku utama yang memimpin para anak buahnya. "Itu memang berlaku dalam sebuah aturan kerajaan. Tapi di dalam dunia hitam, seorang Tuan hanya akan memberi tanda pada anjingnya. Bukan dirinya sendiri."Willy tercenung. Pria itu terdiam memikirkan fakta yang baru saja Ghazi sebutkan. "Jadi maksudmu, pin itu milik antek-anteknya?" Ghazi mengangguk. "Ya, anak buah yang memiliki kuasa besar, sesuai dengan arti mahkota y
"Ayo cepat sembuh Ra, saya nggak suka lihat kamu sakit begini."Ara tersenyum mendengar rengekan Ghazi. Wanita itu mengelus pelan surai sang suami yang berada tepat di atas perutnya. "Saya sudah lebih baik kok Mas." sahut Ara. Saat ini ia sedang duduk bersandar di atas tempat tidur, dengan Ghazi yang berbaring memeluknya. Sudah hampir satu minggu, kondisi kesehatan Ara memang menurun. Memori ingatan yang kembali, membuat wanita itu sempat tertekan dan berimbas pada kesehatan fisiknya. "Saya hari ini bolos saja ya Ra? Saya mau nemenin kamu di rumah." lirih Ghazi. Ia merasa menjadi suami yang tak berguna. Sebab selama Ara sakit, Ghazi belum pernah merawat wanita itu. Badai masalah yang sedang menerjang bisnisnya, membuat Ghazi sangat sibuk dan selalu pulang larut malam.Setiap pagi, Ghazi selalu seperti ini. Memeluk sang istri, sembari memohon agar ia diperbolehkan untuk menemani wanita itu. Tetapi Ara yang mengetahui masalah yang tengah terjadi pun tentu tak membiarkan Ghazi melapas t
Seorang wanita terlihat berjalan menyusuri liuk jalan setapak yang ada di halaman belakang. Setelan hitam yang ia kenakan, seperti membaur dengan gelapnya suasana malam yang tenang. Cahaya bulan yang menawan, turut mengiringi langkahnya yang ringan. "Mau kemana?" Seorang pria bertanya ketika wanita itu telah sampai di dekat gerbang bagian belakang yang menjadi pembatas dunia luar. "Bukan urusanmu." sahutnya tanpa ekspresi. Si pria menghela napas mencoba sabar. Sikap dingin wanita di depannya ini memang terkadang terasa menyebalkan. "Sudah meminta izin?" Wanita itu mengangguk. Ia mengeluarkan tanda pengenal yang kini telah berubah warna menjadi hijau di bagian logonya. Itu berarti, salah satu tuan mereka telah memberi izin untuk bisa keluar dari rumah."Kembalilah sebelum satu jam." ucap si pria membukakan pintu gerbang. Wanita itu hanya diam berlalu keluar, dan masuk ke dalam sebuah taxi yang sudah menunggunya. Kendaraan itu pun melaju pelan, menjauhi rumah besar tempatnya bekerja
"Apa masalahmu dengan dia sudah selesai?"Goresan tinta Ghazi seketika terhenti. Ia mendongak, menatap Willy yang saat ini duduk di salah satu sofa yang ada di ruang kerjanya. "Sudah." Willy tersenyum sinis. "Apa aku bilang, istrimu itu nggak selingkuh. Seharusnya kamu nggak perlu berlebihan sampai melukai semua tahanan." ucapnya.Saat kemarin Willy menyusul Ghazi ke basecamp, tempat itu sudah berubah menjadi lautan darah. Para penjaga hanya diam berdiri kaku, tanpa berani menghentikan 'kegilaan' tuan mereka."Ini nggak semudah seperti apa yang kamu pikirkan." ujar Ghazi. Tangannya kembali bergerak menandatangani berkas-berkas yang ada di depannya.Ghazi sadar, kalau kemarin ia terlalu terbawa emosi, sampai-sampai tak bisa mengontrol diri. Bukan tanpa alasan, Ghazi bersikap demikian karena ada trauma yang melekat dalam dirinya. Perselingkuhan, membuat keluarganya hancur berantakan dan ia harus rela kehilangan sang mama. Ghazi hanya takut, hal itu terjadi di dalam rumah tangganya. "Y
"Nona Luis, rumah ini sudah terkepung!"Terkepung? Ulang Ara dalam hati. Otaknya mencoba memahami situasi yang tengah terjadi. Melihat wajah Luisa yang memucat dan Jeni yang gelisah sampai berkeringat, Ara yakin kalau ada hal buruk yang sedang mengancam mereka. "Apa yang harus kita lakukan?"Luisa menoleh ketika suara Ara terdengar. Ia mencengkram kedua bahu wanita itu dan menatapnya lekat. "Dengar Ra, kamu harus pergi dari sini dalam keadan selamat. Apapun yang terjadi, kamu harus bisa bertahan."Ucapan Luisa berhasil memporak-porandakan pikiran Ara. Kalimat itu terdengar tajam seakan memberi isyarat kalau mereka akan segera berperang. "Hanya aku? Gimana sama Kak Luis dan yang lain?"Sebagai seorang nyonya di rumah ini, Ara tentu bertanggung jawab atas keselamatan para pekerjanya. "Jangan pikirkan siapapun Ra. Ayo sekarang kamu pergi sama Jen--""Aku nggak mau." tolak Ara menepis tangan Luisa. Ia tak mungkin pergi meninggalkan wanita itu dan yang lain dalam keadaan bahaya.Luisa be
"Cepat pergi dari sini Nyonya!" Ara mengepalkan tangannya erat. Lagi-lagi Jeni menyuruhnya untuk pergi dan itu membuat Ara muak. "Saya nggak akan pergi ninggalin kamu." desisnya tajam. Dengan perlahan ia membaringkan kepala Ruby ke atas lantai, dan berdiri di samping Jeni. "Saya nggak akan biarin kamu celaka seperti Ruby!" Bugh! Ara memukul kencang salah satu musuh membuatnya tergeletak pingsan.Jeni terkesiap. Ia benar-benar tak menyangka kalau sang nyonya bisa bela diri. Jeni tak tahu saja kalau Ara memang handal dalam hal ini. Bahkan wanita itu sudah mengantongi sabuk hitam karate dan taekwondo. Alasan Ara tak menunjukan keahliannya kepada siapapun adalah karena Zelin selalu melarangnya melakukan tindak kekerasan. "Ini buat Ruby!" Bugh! Duak! Krek! Suara lengan yang Ara patahkan terdengar nyaring. Wanita itu terus menghajar orang-orang yang ada di sana dengan brutal. Tak ada belas kasihan di dalam dirinya yang kini telah terbakar emosi. Luisa berdecak kagum menatap perkelahian
"Tolong kami!"Mercedes hitam milik Ghazi semakin melaju kencang diikuti sepuluh Rubicon di belakangnya. Dua kata yang beberapa saat lalu Luisa sampaikan membuat Ghazi bergegas kembali dengan perasaan tak karuan. Ia tahu ini akan sangat terlambat. Namun Ghazi berharap kalau Ara dan yang lain baik-baik saja--meski hatinya tak berkata demikian. Sebelas kendaraan itu akhirnya berhenti. Ghazi turun diikuti oleh para pengawalnya yang langsung berpencar mencari musuh. Pria itu berlari masuk dan tubuhnya seketika menegang melihat kekacauan di dalam rumah. Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa sampai seburuk ini? Kedua manik Ghazi terus mengedar sampai menemukan Luisa yang terkapar tak berdaya. Ia pun berjalan cepat menghampiri wanita itu."Luis bangun Luis."Luisa yang tengah meringis kesakitan perlahan membuka mata. Melihat Ghazi ada di depannya, wanita itu sontak menangis. "A-Ara Zi, Ara ... "Wajah Ghazi berubah pias. "Di mana Ara?" Luisa hanya sempat menunjuk kearah dapur sebelum jatuh p