"Menurutmu apa arti mahkota di sini?"Willy meraih pin kecil yang ada ditangan Ghazi. Maniknya menelisik setiap bagian yang ada di sana. "Mahkota itu lambang kekuasaan, legitimasi, keabadian, kejayaan, kemakmuran dan kehidupan setelah kematian bagi pemakainya. Dan biasanya mahkota itu dipakai oleh seorang Raja atau Ratu." ucap Willy. Pria itu nampak terpegun dengan kalimatnya sendiri. "Bukankah ini berarti ... ""Belum tentu." sahut Ghazi. Melihat ekspresi Willy, Ghazi langsung tahu apa yang pria itu pikirkan. Willy pasti beranggapan, kalau pin itu milik sang ratu atau si pelaku utama yang memimpin para anak buahnya. "Itu memang berlaku dalam sebuah aturan kerajaan. Tapi di dalam dunia hitam, seorang Tuan hanya akan memberi tanda pada anjingnya. Bukan dirinya sendiri."Willy tercenung. Pria itu terdiam memikirkan fakta yang baru saja Ghazi sebutkan. "Jadi maksudmu, pin itu milik antek-anteknya?" Ghazi mengangguk. "Ya, anak buah yang memiliki kuasa besar, sesuai dengan arti mahkota y
"Ayo cepat sembuh Ra, saya nggak suka lihat kamu sakit begini."Ara tersenyum mendengar rengekan Ghazi. Wanita itu mengelus pelan surai sang suami yang berada tepat di atas perutnya. "Saya sudah lebih baik kok Mas." sahut Ara. Saat ini ia sedang duduk bersandar di atas tempat tidur, dengan Ghazi yang berbaring memeluknya. Sudah hampir satu minggu, kondisi kesehatan Ara memang menurun. Memori ingatan yang kembali, membuat wanita itu sempat tertekan dan berimbas pada kesehatan fisiknya. "Saya hari ini bolos saja ya Ra? Saya mau nemenin kamu di rumah." lirih Ghazi. Ia merasa menjadi suami yang tak berguna. Sebab selama Ara sakit, Ghazi belum pernah merawat wanita itu. Badai masalah yang sedang menerjang bisnisnya, membuat Ghazi sangat sibuk dan selalu pulang larut malam.Setiap pagi, Ghazi selalu seperti ini. Memeluk sang istri, sembari memohon agar ia diperbolehkan untuk menemani wanita itu. Tetapi Ara yang mengetahui masalah yang tengah terjadi pun tentu tak membiarkan Ghazi melapas t
Seorang wanita terlihat berjalan menyusuri liuk jalan setapak yang ada di halaman belakang. Setelan hitam yang ia kenakan, seperti membaur dengan gelapnya suasana malam yang tenang. Cahaya bulan yang menawan, turut mengiringi langkahnya yang ringan. "Mau kemana?" Seorang pria bertanya ketika wanita itu telah sampai di dekat gerbang bagian belakang yang menjadi pembatas dunia luar. "Bukan urusanmu." sahutnya tanpa ekspresi. Si pria menghela napas mencoba sabar. Sikap dingin wanita di depannya ini memang terkadang terasa menyebalkan. "Sudah meminta izin?" Wanita itu mengangguk. Ia mengeluarkan tanda pengenal yang kini telah berubah warna menjadi hijau di bagian logonya. Itu berarti, salah satu tuan mereka telah memberi izin untuk bisa keluar dari rumah."Kembalilah sebelum satu jam." ucap si pria membukakan pintu gerbang. Wanita itu hanya diam berlalu keluar, dan masuk ke dalam sebuah taxi yang sudah menunggunya. Kendaraan itu pun melaju pelan, menjauhi rumah besar tempatnya bekerja
"Apa masalahmu dengan dia sudah selesai?"Goresan tinta Ghazi seketika terhenti. Ia mendongak, menatap Willy yang saat ini duduk di salah satu sofa yang ada di ruang kerjanya. "Sudah." Willy tersenyum sinis. "Apa aku bilang, istrimu itu nggak selingkuh. Seharusnya kamu nggak perlu berlebihan sampai melukai semua tahanan." ucapnya.Saat kemarin Willy menyusul Ghazi ke basecamp, tempat itu sudah berubah menjadi lautan darah. Para penjaga hanya diam berdiri kaku, tanpa berani menghentikan 'kegilaan' tuan mereka."Ini nggak semudah seperti apa yang kamu pikirkan." ujar Ghazi. Tangannya kembali bergerak menandatangani berkas-berkas yang ada di depannya.Ghazi sadar, kalau kemarin ia terlalu terbawa emosi, sampai-sampai tak bisa mengontrol diri. Bukan tanpa alasan, Ghazi bersikap demikian karena ada trauma yang melekat dalam dirinya. Perselingkuhan, membuat keluarganya hancur berantakan dan ia harus rela kehilangan sang mama. Ghazi hanya takut, hal itu terjadi di dalam rumah tangganya. "Y
"Nona Luis, rumah ini sudah terkepung!"Terkepung? Ulang Ara dalam hati. Otaknya mencoba memahami situasi yang tengah terjadi. Melihat wajah Luisa yang memucat dan Jeni yang gelisah sampai berkeringat, Ara yakin kalau ada hal buruk yang sedang mengancam mereka. "Apa yang harus kita lakukan?"Luisa menoleh ketika suara Ara terdengar. Ia mencengkram kedua bahu wanita itu dan menatapnya lekat. "Dengar Ra, kamu harus pergi dari sini dalam keadan selamat. Apapun yang terjadi, kamu harus bisa bertahan."Ucapan Luisa berhasil memporak-porandakan pikiran Ara. Kalimat itu terdengar tajam seakan memberi isyarat kalau mereka akan segera berperang. "Hanya aku? Gimana sama Kak Luis dan yang lain?"Sebagai seorang nyonya di rumah ini, Ara tentu bertanggung jawab atas keselamatan para pekerjanya. "Jangan pikirkan siapapun Ra. Ayo sekarang kamu pergi sama Jen--""Aku nggak mau." tolak Ara menepis tangan Luisa. Ia tak mungkin pergi meninggalkan wanita itu dan yang lain dalam keadaan bahaya.Luisa be
"Cepat pergi dari sini Nyonya!" Ara mengepalkan tangannya erat. Lagi-lagi Jeni menyuruhnya untuk pergi dan itu membuat Ara muak. "Saya nggak akan pergi ninggalin kamu." desisnya tajam. Dengan perlahan ia membaringkan kepala Ruby ke atas lantai, dan berdiri di samping Jeni. "Saya nggak akan biarin kamu celaka seperti Ruby!" Bugh! Ara memukul kencang salah satu musuh membuatnya tergeletak pingsan.Jeni terkesiap. Ia benar-benar tak menyangka kalau sang nyonya bisa bela diri. Jeni tak tahu saja kalau Ara memang handal dalam hal ini. Bahkan wanita itu sudah mengantongi sabuk hitam karate dan taekwondo. Alasan Ara tak menunjukan keahliannya kepada siapapun adalah karena Zelin selalu melarangnya melakukan tindak kekerasan. "Ini buat Ruby!" Bugh! Duak! Krek! Suara lengan yang Ara patahkan terdengar nyaring. Wanita itu terus menghajar orang-orang yang ada di sana dengan brutal. Tak ada belas kasihan di dalam dirinya yang kini telah terbakar emosi. Luisa berdecak kagum menatap perkelahian
"Tolong kami!"Mercedes hitam milik Ghazi semakin melaju kencang diikuti sepuluh Rubicon di belakangnya. Dua kata yang beberapa saat lalu Luisa sampaikan membuat Ghazi bergegas kembali dengan perasaan tak karuan. Ia tahu ini akan sangat terlambat. Namun Ghazi berharap kalau Ara dan yang lain baik-baik saja--meski hatinya tak berkata demikian. Sebelas kendaraan itu akhirnya berhenti. Ghazi turun diikuti oleh para pengawalnya yang langsung berpencar mencari musuh. Pria itu berlari masuk dan tubuhnya seketika menegang melihat kekacauan di dalam rumah. Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa sampai seburuk ini? Kedua manik Ghazi terus mengedar sampai menemukan Luisa yang terkapar tak berdaya. Ia pun berjalan cepat menghampiri wanita itu."Luis bangun Luis."Luisa yang tengah meringis kesakitan perlahan membuka mata. Melihat Ghazi ada di depannya, wanita itu sontak menangis. "A-Ara Zi, Ara ... "Wajah Ghazi berubah pias. "Di mana Ara?" Luisa hanya sempat menunjuk kearah dapur sebelum jatuh p
Ting! Denting oven terdengar tanda bahwa kue pastry yang tengah di panggang telah matang. Satu persatu Zelin memindahkannya ke dalam sebuah loyang."Coba lihat ini Dan, aku membuat banyak kue kesukaan putrimu. Dia sekarang sudah besar, sudah menjadi seorang istri. Terimakasih ya, kamu sudah mempercaiku merawatnya." ujar Zelin tersenyum kecil menatap foto mendiang sang suami. Hari ini ia memang berniat mengunjungi Ara. Entah kenapa dari semalam wajah putrinya itu terus terlintas dalam benaknya. Tok, tok, tok."Iya sebentar."Zelin berlalu ke depan ketika pintu rumahnya diketuk. Wanita itu terkesiap melihat Ghazi berdiri dengan penampilan semrawut. Kemeja acak-acakan, rambut berantakan, dan wajahnya kusut dengan mata sedikit memerah. Ada apa dengan menantunya ini? Kemana Ghazi yang selalu rapih? "Loh Zi, kamu di sini? Ayo ma--eh apa yang kamu lakukan?" pekik Zelin saat Ghazi tiba-tiba bersimpuh di depannya. "Hukum aku Ma, aku sudah membuat putri Mama sakit." lirihnya. Ghazi tak tahu
Ghazi berjalan cepat masuk ke dalam rumah. Dokumen yang tertukar, mengharuskannya kembali untuk mengambil yang benar."Di mana dokumen itu?"Ghazi terus mencari. Ia memilah-milah tumpukan kertas yang ada di ruang kerjanya dan prang! Sikunya tak sengaja menyenggol foto Ara yang ada di atas meja. Merunduk, Ghazi membersihkan foto tersebut dari serpihan kaca.Ketika sedang memandangi wajah Ara, dada Ghazi tiba-tiba berdenyut sakit. Perasaannya mendadak tak enak dan bayang-bayang sang istri terus muncul dalam benaknya. Ada apa ini?Baru saja ingin mencoba menghubungi Ara untuk menanyakan kabar wanita itu, Willy lebih dulu menelponnya membuat Ghazi mau tak mau segera kembali ke kantor mengesampingkan kekhawatirannya terhadap sang istri.Waktu terus berlalu, pekerjaan Ghazi akhirnya selesai juga. Pria itu baru sampai di rumah sekitar pukul tujuh malam. Ghazi berharap disambut oleh Ara, namun ternyata hanya ada Biru yang menunggu kedatangannya."Mama ke mana sih Pa? Kok mama nggak pulang-pula
Hujan rintik-rintik mengiringi acara pemakaman Carol. Semua orang di keluarga Addaith ikut hadir termasuk Zelin dan Roan. Dari sekian banyaknya orang, yang paling terpukul atas kematian Carol adalah Ara. Sedari tadi, wanita itu hanya diam dipelukan Ghazi dengan tatapan kosong. Satu persatu, orang-orang mulai meninggalkan pemakaman menyisahkan Ara dan Ghazi serta Giana yang berdiri tak jauh dari mereka. "Amour, ayo kita pulang." Ara menggeleng. "Saya masih mau di sini, Mas. Kamu pulanglah lebih dulu,"Ghazi diam merasa bimbang. Ia tidak mungkin meninggalkan Ara seorang diri dalam keadaan terpuruk seperti ini, namun meeting penting yang harus Ghazi hadiri juga tidak bisa diabaikan begitu saja."Pergilah Zi, kamu ada meeting kan hari ini? Biar Ara tante yang menemani." ucap Giana tersenyum lembut. Melihat sang istri yang hanya diam, Ghazi pun menganggap kalau wanita itu tidak keberatan kalau dirinya pergi. Sedikit menunduk, Ghazi pun berucap, "Amour, saya pergi dulu sebentar ya? Di si
Ara melangkah ke sana kemari mencari keberadaan Carol yang tak kunjung ia temukan. Sejak pulang dari rumah Zelin sampai menjelang sore, batang hidung wanita itu tidak terlihat di mana pun. "Kamu di mana sih Carol?" keluh Ara mencoba menghubungi wanita itu. Merasa lelah, Ara yang tengah berada di dalam kamar Carol pun mendudukan diri di tepian ranjang milik wanita itu.Seperti biasa, kamar Carol selalu rapi. Ara terus menelisik sampai matanya melihat secarik kertas di antara tumpukan buku, ia pun meraihnya. [Nyonya, Anda adalah wanita terbaik yang pernah saya temui setelah ibu saya. Saya pamit ya, Nyonya?]Ara tertegun membaca sederet kata yang tertuang di dalam surat tersebut. Jadi ... Carol pergi meninggalkannya? Tetapi kenapa? Ara segera bangkit membuka lemari milik wanita itu. Tak menemukan apa pun di dalam sana, Ara mulai dirundung panik. Wanita itu berlari ke luar sembari memanggil-manggil nama Carol. "Amour, apa yang kamu cari?"Ara berjengit ketika suara Ghazi tiba-tiba terd
"Selamat pagi, Tan." sapa Ara tersenyum ke arah Giana yang sudah duduk di salah satu kursi meja makan. Dengan santai, ia mengecup pipi sang tante membuat wanita itu mendelik tak terima. Menekan rasa kesalnya, Giana memilih berteriak memanggil salah satu pelayan agar membawakan secangkir kopi untuknya. Tetapi bukannya mendapatkan kopi, Giana malah diberi segelas air putih. "Maaf Bu, mengingat umur Anda yang tidak lagi muda, air putih lebih baik untuk kesehatan Anda."Ara nyaris menyemburkan tawanya mendengar perkataan Carol. Entah bagaimana ceritanya wanita itu bisa memegang bagian dapur, yang jelas, Ara cukup terhibur melihat wajah Giana yang kini berubah masam. "Saya tidak memanggil kamu, Carol. Saya memanggil Mira!""Sstt ... jangan marah-marah, Tan. Ini masih pagi loh, Tante mau wajah Tante semakin keriput?" "Kamu," desis Giana hampir melayangkan sendok di tangannya ke arah Ara kalau saja Ghazi tidak berjalan mendekati mereka. "Selamat pagi semua,""Selamat pagi, Mas." sahut A
"Ayo jelaskan semuanya sekarang juga, Carol." desak Ara menancapkan sebilah pisau ke sebuah apel sebelum mencincangnya dengan brutal. Kesabarannya mulai menipis menunggu Carol yang sengaja menyibukkan diri.Carol meringis. Menyadari kalau sang nyonya mulai kesal, ia pun mengalah. Bergerak menaruh sapu di tangannya, kemudian beranjak duduk di samping wanita itu."Apa Anda melihat sebuah villa yang berada di sisi barat hutan, Nyonya? Itu adalah villa milik Giana. Saya bertemu dengannya di sana dan kami bertengkar. Tidak terima karena saya memintanya untuk mengakui semua kesalahannya, dia mendorong saya dari lantai atas. Saya jatuh ke sungai dan seperti yang Anda lihat, saya berhasil selamat."Ara tercengang sampai menjatuhkan pisau di tangannya. Cerita Carol, terdengar seperti kisah thriller yang sangat mengerikan. Kalau memang Giana terbukti melakukan itu semua, Ara bersumpah akan menjaga jarak dengan wanita itu. "Tapi kenapa? Kenapa hanya karena masalah sepele seperti itu dia tega me
"Tetap di sana dan jangan mendekat."Ghazi benar-benar kesal dengan Olivia yang terus menyambanginya. Sejak mendengar dirinya sakit, wanita itu memang selalu mengekorinya seperti anak kucing. Ini semua gara-gara Giana! Wanita tua itu sengaja meminta Olivia untuk menemani Ghazi dengan alasan agar sang ponakan tidak merasa kesepian."Ayolah Zi, aku kan hanya ingin lebih dekat denganmu, masa nggak boleh?" Ghazi meremas pulpen di tangannya. Kenapa Olivia tidak paham juga kalau dirinya tidak mau diganggu? "Dengar Oliv, saya tidak suka melihat kamu di sini. Sebaiknya kamu pergi seka--""Sayang, jangan terlalu kasar pada Olivia. Bukankah beberapa hari ini dia telah merawatmu? Berterimakasihlah padanya dengan bersikap baik." ujar Giana menepuk pelan pundak Ghazi. Wanita itu mengambil duduk tak jauh dari mereka sembari menikmati secangkir teh. "Dengar Zi? Kamu harus bersikap baik padaku. Berhubung hari ini kondisi kamu sudah jauh lebih baik, gimana kalau kita jalan-jalan ke luar?"Ghazi sont
"Apa yang membuatmu datang kemari, Darling?"Carol menatap dingin Giana yang kini duduk di sebuah sofa tunggal. Beberapa saat yang lalu, ia sengaja menghubungi wanita itu untuk bisa bertemu. Dan di sini lah mereka berada, di sebuah Villa yang dikelilingi hutan belantara. "Kenapa Anda mengusirnya?"Giana tersenyum geli mendengar pertanyaan Carol yang terasa menggelitik. "Saya hanya menjalankan ide yang kamu cetuskan, ingat?"Wajah Carol seketika berubah keruh. Tampaknya, Giana memang selalu mengartikan semua hal secara berlebihan. Carol memang memberi saran kepada wanita itu untuk menyerang sikis Ara, tetapi tidak dengan cara kotor seperti ini. "Apa Anda sadar? Cara yang Anda gunakan itu lebih busuk dari pada sebuah bangkai."Giana tertawa sumbang. Lagi-lagi, perkataan Carol terdengar seperti lelucon dikedua telinganya. "Jangan terlalu naif, Darling. Bukankah kamu sendiri terbiasa menggunakan cara seperti itu? Menikam tuanmu sendiri dari belakang, apa itu masih bisa dianggap bersih?"
"Kita mau ke mana Nyonya?" tanya Carol melirik Ara yang duduk di kursi belakang.Saat ini, mereka masih berada di pelataran rumah sakit tempat Ara dirawat semalam. Minuman keras dosis tinggi yang Ara cicipi, membuat lambung wanita itu sedikit bermasalah dan mengharuskannya menetap di sana."Ayo kembali ke rumah, Carol. Kata dokter Mas Ghazi sudah pulang." ucap Ara penuh binar kebahagian. Beberapa saat yang lalu, Ara mencoba menghubungi Luisa dan Giana untuk menanyakan kabar sang suami. Tak kunjung mendapat balasan, Ara pun memilih menelpon pihak rumah sakit dan mereka bilang kalau Ghazi sudah dipulangkan sejak pagi tadi. "Ayo jalan sekarang, Carol."Dua puluh menit, akhirnya Ara sampai di kediaman keluarga Addaith. Wanita itu buru-buru turun kemudian melangkah masuk. Hatinya seketika berbunga-bunga saat melihat Ghazi yang kini duduk bersandar di salah satu sofa ruang keluarga. "Mas Ghazi ka--""Tetap di sana."Pergerakan Ara yang hendak berlari ke arah Ghazi seketika terhenti. Nad
"Silahkan dinikmati, Nona."Ara mengangguk sopan. Deretan makanan serta minuman di depannya sangatlah beragam dan sedikit asing bagi Ara. Apalagi cairan yang ada di gelas-gelas bening itu, Ara tak pernah mencobanya. "Ada apa Nona? Apa Anda tidak menyukai makanannya? Kalau begitu biar sa--""Ah tidak-tidak, ini hanya terlalu banyak. Saya sampai bingung ingin mencoba yang mana." gurau Ara. "Kalau begitu cobalah yang ini, Nona. Ini sangat enak." tawar si wanita meneguk segelas minuman. Tangannya bergerak meraih gelas lain kemudian memberikannya kepada Ara. "Cobalah,"Tak ingin menyinggung perasaan si wanita, Ara pun meraihnya. Ia menatap ragu minuman tersebut. Hati kecilnya berkata kalau Ara sebaiknya mengabaikan. Namun si wanita yang terus menatapnya, membuat Ara mau tak mau mulai mencobanya.Begitu cairan itu masuk ke dalam kerongkongan, rasa panas langsung menjalar ke seluruh tubuh Ara. Kepalanya mulai pening dan matanya berkunang-kunang sebelum semuanya menjadi gelap. Ara jatuh pin