Ceklek!
"Keluarga saudari pasien." panggil dokter.
Zahra langsung menghapus air matanya cepat, lalu menghampiri dokter tersebut. "Iyah dok, bagaimana keadaan ibu saya dok?" tanyanya cemas.
Dokter tersebut menghela napas. "Mari ikut keruangan saya sebentar, ada yang ingin saya bicarakan mengenai ibu anda."
Zahra menganggukkan, lalu mereka langsung menuju ruangan tersebut.
"Apa ibu anda pernah mengalami gangguan mental sebelumnya?" tanya dokter tersebut.
Zahra mengangguk. "Pernah dok, dulu ibu saya terkenal gangguan mental ringan."
"Jadi begini. Ibu anda mengalami gangguan mental kembali. Gangguan mental ibu anda itu parah dari sebelumnya, saya berharap anda harus extra sabar menghadapi ibu anda. Karena untuk sembuh, kemungkinan akan lama." jelas dokter panjang lebar.
"Gangguan mental kembali?" perlahan air matanya kembali turun, Zahra menggeleng pelan. pikirannya saat ini begitu kecewa, di satu sisi ibunya begitu membencinya dan di sisi lainnya ibunya kembali terkena gangguan mental, apa ia sanggup menghadapi itu semua?
Zahra menghela napas sabar, lalu bangkit dari duduknya. "Terima kasih atas penjelasannya dok." sambil tersenyum.
"Kalau begitu saya permisi dok." saat hendak pergi, tangannya di cekal. Zahra menoleh.
"Maaf." ucapnya sambil melepaskan tangannya dan Zahra hanya mengangguk. Dokter tersebut mengulur tangannya, "Erwin." sambil tersenyum.
Zahra menerima uluran tangan Erwin, lalu tersenyum. "Zahra."
"Kalau begitu saya permisi." ucapnya.
Erwin mengangguk. "Iyah silahkan."
---o0o---
Zahra membuka pintu kamar rawat ibunya, ia tersenyum saat melihat ibunya yang sedang tertidur.
Perlahan ia mendekati ibunya, senyumannya tidak luntur, tangannya perlahan mengusap kepalanya, matanya terus menatap ibunya dengan penuh kasih sayang.
Ririn meneteskan air matanya, ia terharu saat melihat Zahra yang begitu berbakti pada ibunya. Ia sangat senang sekali bisa berteman baik dengan Zahra. Banyak sekali pelajaran yang dapat ia ambil dari kehidupan Zahra. 'Bahwa seburuk-buruknya orang tua, dia tetap orang tua kita.' itu yang dapat ia ambil.
"Leo pulang yuk, bosen tau di sini terus." rengek Caca pada Leo.
Leo menghela napas kasar, perlahan ia menghampiri Zahra. "Gue balik." pamitnya.
Zahra mengangguk. "Iyah." ucapnya tanpa menatap Leo, ia masih setia memandangi wajah ibunya.
Sejenak Leo menendangi ibunya Zahra, lalu beralih melihat Zahra dari samping, dapat ia lihat, bahwa ada rasa sayang yang amat mendalam pada ibunya. Leo menghela napas, lalu berbalik dan langsung keluar bersama dengan Caca.
---o0o---
"JANGAN TINGGALIN AKU MAS, HAHAHA." Rita terus berteriak tidak jelas, ia terus mengacak-acak apa saja yang ada di sekitarnya.
Ibu-ibu yang melewati rumahnya berhenti di sana. Mereka mendengarkan teriakan Rita dan bahkan terang-terangan mereka menggosip.
"Kasian yah Zahra. Pasti dia kewalahan ngurusin ibunya terkena gangguan mental gitu."
"Iyah bener. Zahra sabar banget ngurusin ibunya. Tapi, ibunya yang tidak tahu berterima kasih, padahal udah di urusin juga."
"Rasain tuh karmanya! akibat jadi wanita penggoda ehh kena mental, hahaha."
Ibu-ibu itu terus bergosip, mereka sangat kesal sekali pada wanita itu.
"Suttt, ada anaknya datang."
Mereka berhati bergosip saat melihat Zahra yang baru datang dari kuliahnya.
Zahra turun dari motornya, ia menyerit heran saat melihat ibu-ibu yang sedang menatap ke arahnya.
"Ehh neng Zahra. Neng tuh ibunya ganggu warga sini aja, teriak-teriak gak jelas lagi." ucap salah satu ibu-ibu itu.
"Maafin ibu Zahra ya bu, Zahra minta maaf udah buat warga sini keganggu. Sekali lagi maaf ya ibu-ibu." maafnya, ia jadi merasa tidak enak pada warga di tempat.
Ibu-ibu itu mengangguk. "Iyah neng. Tapi, jangan sampai ibunya kabur, nanti warga sini pada takut lagi." ucapnya sambil menahan tawa.
Zahra mengangguk. "Iyah bu, sekali lagi maafin atas ketidak nyamanannya."
"Iyah neng, kalau begitu kami pergi dulu." pamitnya, setelah itu pergi dari sana.
Zahra menghela napas sabar, lalu masuk ke dalam rumah.
Matanya melotot kaget, melihat barang-barangnya yang sudah tidak berbentuk lagi. Zahra berjongkok di samping ibunya, sekuat tenaga ia menahan air matanya agar tidak jatuh.
"Ibu." Zahra menyentuh tangan ibunya. Namun, sudah ditepis.
Rita menatap Zahra tajam, sesekali ia tertawa. "Hahaha anak tidak di inginkan, hahaha anak haram." Rita bangkit dari duduknya, lalu ia berjoget-joget di hadapan Zahra, ia terus mengejek Zahra.
Zahra hanya bisa menghela napas sabar, lalu ia membersihkan benda-benda yang berantakan tadi, ia membiarkan ibunya yang terus berjoget-joget sambil mengejeknya.
---o0o---
"Leo kamu udah pulang sayang." ucap wanita paruh baya, dia tersenyum pada Leo sambil meletakkan makanan di meja.
"Iya ma." Leo duduk di kursi, ia melihat banyak makanan di meja makan.
Lidya menghampiri Leo, lalu mengambil piring dan mengambilkan makanan untuk anak kesayangannya. Setelah selesai ia langsung duduk.
"Bagaimana kuliah kamu?" tanyanya sambil memotong makanannya, kemudian memasukkan makanannya ke dalam mulutnya.
Leo menelan makanannya, sejenak ia terdiam. "Kaya biasa." jawabnya seadanya.
"Terus hubungan kamu sama Zahra baik-baik ajakan?" tanyanya sambil menatap Leo.
Leo meletakkan kembali sendoknya saat ingin memasukkan makanannya, lalu menatap Lidya. "Mama gak usah pikirin dia."
Lidya mengkerutkan keningnya. "Loh kenapa? Zahra 'kan pacar kamu."
Leo menatap Lidya datar, paling yang ia tidak suka yaitu mamanya menyebut nama itu. Leo tidak menjawab, ia bangkit dari duduknya, setelah itu pergi menuju kamar.
Lidya menghela napas sabar, ia menggelengkan kepalanya heran, anaknya itu gampang sekali marah.
---o0o---
"Caca sayang." panggil Riko sambil mengetuk pintu kamar.
"Iyah pah sebentar." teriak Caca, lalu langsung membuka pintu kamarnya, "Ada apa pah?" tanya.
"Ada yang mau papah omongin." ucapnya.
Caca mengkerutkan keningnya bingung. "Mau ngomong apa pah?"
"Ikut Papah." ucapnya lalu berbalik meninggalkan Caca, setelah itu di ikuti oleh Caca.
Brakkk!
"Apa ini?!" Riko membanting buku dan beberapa kertas dimeja, ia menatap Caca tanpa ekspresi.
"Jelasin!" ucapnya dingin.
Caca menelan ludahnya susah, melihat raut wajah papahnya yang serius seperti itu, membuatnya semakin takut.
Dengan tangan yang sudah bergemetar, Caca mengambil beberapa kertas.
Dan WOW matanya melotot kaget, melihat jumblah nominal yang lumayan besar dan satu lagi nilai ujian yang bernilai kecil.
Riko menatap Caca tanpa ekspresi. "Jelasin sama papah. Kenapa nilai kamu bisa anjlok gitu, terus jelasin juga kenapa nominal belanja kamu sebesar itu!"
"Ma-maaf pah." ucapnya sambil menunduk takut.
Riko menghela napas kasar, ia memijat keningnya pusing. "Kamu mau buat papah bangkrut? kamu pake belanja apa aja itu uang Caca, ko bisa nominalnya sampai segede itu?!" sungguh ia bingung harus menghukum Caca seperti apa lagi.
Riko menghela napas kasar. "Mobil kamu papah sita!" ucapnya tegas, setelah mengatakan itu Riko langsung menuju kamarnya.
Jelas Caca melotot kaget. "Pah gak bisa gitu dong pah!" ucapnya tidak terima.
"PAH!" teriaknya lagi, namun diabaikan oleh Riko, biarkanlah itu hukuman untuk Caca.
"Happy birthday." Zahra tersenyum lebar, ia masih setia memberikan kadonya pada Caca. Namun sayangnya, Caca hanya diam, menatap Zahra dan kado itu datar.Zahra masih setia memegangi kadonya, ia terus tersenyum pada Caca tulus dari hatinya."Buat gue?" tanya Caca. Caca melihat kado itu tidak suka. Zahra tersenyum, lalu mengangguk. "Iyah." Caca memutar bola mata malas, ia mengambil kado pemberian Zahra jijik. Caca menatap Zahra remeh, ia memegangi kado itu sangat tidak suka. "Ini? buat gue?" lalu membuang kado tersebut tepat di hadapan Zahra,"Sorry, gak level!"
"Orang gila.""Orang gila.""Orang gila.""Orang gila.""Saya bukan orang gila! hahahaha." ibu itu tertawa sendiri, ia mengacak-acak rambutnya. Membuat anak kecil yang mengelilingi ibu itu tambah senang untuk mengejeknya."Orang gila, orang gila.""Hahaha orang gila.""Saya bukan gila!" ibu itu marah, dia mengejar-ngejar banyak anak kecil yang mengejeknya, membuat anak kecil itu semakin senang untuk mengejeknya.
Zahra terbangun dari tidurnya, ia melihat disekelilingnya, setelah itu ia memegang keningnya, lalu jalan menuju cermin. Alangkah bahagianya ia, saat ia melihat luka yang ada di keningnya yang sudah di tutupi oleh hansaplats.Hatinya sangat senang, ia sudah tahu siapa yang mengobati lukanya. Baru kali ini Zahra senang atas perlakuan ibunya yang mengobati keningnya, itu sangat berarti untuk Zahra. Dengan perasaan senangnya dan senyumannya terukir sempurna, ia segera mencari keberadaan ibunya.Zahra tersenyum senang saat melihat ibunya sedang menonton televisi. Zahra langsung menghampiri ibunya sedikit berlari dan....Hap!Zahra memeluk ibunya dari samping, membuat Rita kaget. Zahra masih setia memeluk Rita, ia sangat senang.Rita menatap Zahra tajam. Namun, Zahra tidak peduli, bahkan ia membunyikan wajahnya pada perut Rita dan itu membuat Rita semakin kesal.&nbs
"Leo?" gumam Zahra pelan saat melihat Leo yang tidak jauh dari hadapannya.Dengan buru-buru ia menghampiri Leo. "Leo." ucapnya saat sudah di hadapan Leo.Leo menaikan satu alisnya, ia menunggu kelanjutan Zahra."Zahra ikut pulang bareng Leo yah." ucapnya sambil tersenyum lebar.Leo menatap Zahra datar enggan untuk menjawab, lalu pergi dari hadapan Zahra."Ehh Leo, Leo. Tunggu." ucapnya sambil menahan pergelangan tangan Leo. Leo berbalik, ia menatap Zahra malas.Zahra langsung melepaskan tangan Leo. "Zahra ikut yah." mohonnya."Gak!" ucapnya datar."Kenapa?" tanyanya."Karena gue males." ucapnya, membuat Zahra menghela napas kasar, selalu saja begitu.Leo pergi dari hadapan Zahra. Namun, kembali menghampiri Zahra, membuat Zahra kembali tersenyum lebar."Ayo." ucapnya datar, lalu berbalik da
"Ririn." panggil Leo membuat Ririn langsung berbalik."Zahra mana?" tanyanya langsung to the point.Ririn memutar bola mata malas, lalu menghela napas kasar. "Lo kan pacarnya, kenapa nanyanya sama gue?" Ririn sengaja berkata seperti itu, agar Leo sadar.Leo hanya menatap Ririn datar, lalu pergi dari hadapan Ririn. Melihat Leo seperti itu membuat Ririn mendumel kesal, Ririn heran pada Zahra yang sampai sekarang bertahan dengan Leo, apa yang ia pertahankan? jika sikap Leo-nya aja seperti itu, ia benar-benar tidak habis pikir.Ririn mengacuhkan bahunya, setelah itu kembali jalan menuju kelas.Leo duduk di kursi kantin, ia mengaduk-aduk minumannya tidak selera. Entah kenapa ia merasa ada yang hilang, ia pun bingung dengan dirinya sendiri. Yang selalu memikirkan.....Zahra.Leo menghela napas kasar, ia menyederhanakan punggungnya pada kursi. I
"Ibu saya kenapa dok? kenapa dengan ibu saya?" air matanya terus keluar dengan deras, perasaannya tidak enak.Ririn mengusap-usap punggung Zahra. "Tenang Ra." ia pun sama ikut sedih. Tapi, ia tidak menunjukkan ekspresinya."Ibu anda kekurangan banyak darah, sehingga perlu memerlukan banyak darah. Tapi, di rumah sakit ini untuk stok golongan darah o sedang tidak ada." jelas dokter.Zahra menghapus air matanya kasar. "Saya dok, saya. Golongan darah saya o dok.""Baik kalau begitu ikut saya, saya periksa dulu." ucapnya.Zahra mengangguk, ia langsung mengikuti dokter tersebut.Zahra tersenyum melihat ibunya yang berada di sampingnya, untungnya golongan darahnya sama, sehingga ia dapat membantu ibunya."Cepat sembuh bu."---o0o---Zahra setia menemani ibunya yang masih belum siu
Ceklek! "Keluarga saudari pasien." panggil dokter. Zahra langsung menghapus air matanya cepat, lalu menghampiri dokter tersebut. "Iyah dok, bagaimana keadaan ibu saya dok?" tanyanya cemas. Dokter tersebut menghela napas. "Mari ikut keruangan saya sebentar, ada yang ingin saya bicarakan mengenai ibu anda." Zahra menganggukkan, lalu mereka langsung menuju ruangan tersebut. "Apa ibu anda pernah mengalami gangguan mental sebelumnya?" tanya dokter tersebut. Zahra mengangguk. "Pernah dok, dulu ibu saya terkenal gangguan mental ringan." "Jadi begini. Ibu anda mengalami gangguan mental kembali. Gangguan mental ibu anda itu parah dari sebelumnya, saya berharap anda harus extra sabar menghadapi ibu anda. Karena untuk sembuh, kemungkinan akan lama." jelas dokter panjang lebar. "Gangguan mental kembali?" perlahan air ma
"Ibu saya kenapa dok? kenapa dengan ibu saya?" air matanya terus keluar dengan deras, perasaannya tidak enak.Ririn mengusap-usap punggung Zahra. "Tenang Ra." ia pun sama ikut sedih. Tapi, ia tidak menunjukkan ekspresinya."Ibu anda kekurangan banyak darah, sehingga perlu memerlukan banyak darah. Tapi, di rumah sakit ini untuk stok golongan darah o sedang tidak ada." jelas dokter.Zahra menghapus air matanya kasar. "Saya dok, saya. Golongan darah saya o dok.""Baik kalau begitu ikut saya, saya periksa dulu." ucapnya.Zahra mengangguk, ia langsung mengikuti dokter tersebut.Zahra tersenyum melihat ibunya yang berada di sampingnya, untungnya golongan darahnya sama, sehingga ia dapat membantu ibunya."Cepat sembuh bu."---o0o---Zahra setia menemani ibunya yang masih belum siu
"Ririn." panggil Leo membuat Ririn langsung berbalik."Zahra mana?" tanyanya langsung to the point.Ririn memutar bola mata malas, lalu menghela napas kasar. "Lo kan pacarnya, kenapa nanyanya sama gue?" Ririn sengaja berkata seperti itu, agar Leo sadar.Leo hanya menatap Ririn datar, lalu pergi dari hadapan Ririn. Melihat Leo seperti itu membuat Ririn mendumel kesal, Ririn heran pada Zahra yang sampai sekarang bertahan dengan Leo, apa yang ia pertahankan? jika sikap Leo-nya aja seperti itu, ia benar-benar tidak habis pikir.Ririn mengacuhkan bahunya, setelah itu kembali jalan menuju kelas.Leo duduk di kursi kantin, ia mengaduk-aduk minumannya tidak selera. Entah kenapa ia merasa ada yang hilang, ia pun bingung dengan dirinya sendiri. Yang selalu memikirkan.....Zahra.Leo menghela napas kasar, ia menyederhanakan punggungnya pada kursi. I
"Leo?" gumam Zahra pelan saat melihat Leo yang tidak jauh dari hadapannya.Dengan buru-buru ia menghampiri Leo. "Leo." ucapnya saat sudah di hadapan Leo.Leo menaikan satu alisnya, ia menunggu kelanjutan Zahra."Zahra ikut pulang bareng Leo yah." ucapnya sambil tersenyum lebar.Leo menatap Zahra datar enggan untuk menjawab, lalu pergi dari hadapan Zahra."Ehh Leo, Leo. Tunggu." ucapnya sambil menahan pergelangan tangan Leo. Leo berbalik, ia menatap Zahra malas.Zahra langsung melepaskan tangan Leo. "Zahra ikut yah." mohonnya."Gak!" ucapnya datar."Kenapa?" tanyanya."Karena gue males." ucapnya, membuat Zahra menghela napas kasar, selalu saja begitu.Leo pergi dari hadapan Zahra. Namun, kembali menghampiri Zahra, membuat Zahra kembali tersenyum lebar."Ayo." ucapnya datar, lalu berbalik da
Zahra terbangun dari tidurnya, ia melihat disekelilingnya, setelah itu ia memegang keningnya, lalu jalan menuju cermin. Alangkah bahagianya ia, saat ia melihat luka yang ada di keningnya yang sudah di tutupi oleh hansaplats.Hatinya sangat senang, ia sudah tahu siapa yang mengobati lukanya. Baru kali ini Zahra senang atas perlakuan ibunya yang mengobati keningnya, itu sangat berarti untuk Zahra. Dengan perasaan senangnya dan senyumannya terukir sempurna, ia segera mencari keberadaan ibunya.Zahra tersenyum senang saat melihat ibunya sedang menonton televisi. Zahra langsung menghampiri ibunya sedikit berlari dan....Hap!Zahra memeluk ibunya dari samping, membuat Rita kaget. Zahra masih setia memeluk Rita, ia sangat senang.Rita menatap Zahra tajam. Namun, Zahra tidak peduli, bahkan ia membunyikan wajahnya pada perut Rita dan itu membuat Rita semakin kesal.&nbs
"Orang gila.""Orang gila.""Orang gila.""Orang gila.""Saya bukan orang gila! hahahaha." ibu itu tertawa sendiri, ia mengacak-acak rambutnya. Membuat anak kecil yang mengelilingi ibu itu tambah senang untuk mengejeknya."Orang gila, orang gila.""Hahaha orang gila.""Saya bukan gila!" ibu itu marah, dia mengejar-ngejar banyak anak kecil yang mengejeknya, membuat anak kecil itu semakin senang untuk mengejeknya.
"Happy birthday." Zahra tersenyum lebar, ia masih setia memberikan kadonya pada Caca. Namun sayangnya, Caca hanya diam, menatap Zahra dan kado itu datar.Zahra masih setia memegangi kadonya, ia terus tersenyum pada Caca tulus dari hatinya."Buat gue?" tanya Caca. Caca melihat kado itu tidak suka. Zahra tersenyum, lalu mengangguk. "Iyah." Caca memutar bola mata malas, ia mengambil kado pemberian Zahra jijik. Caca menatap Zahra remeh, ia memegangi kado itu sangat tidak suka. "Ini? buat gue?" lalu membuang kado tersebut tepat di hadapan Zahra,"Sorry, gak level!"