"Orang gila."
"Orang gila."
"Orang gila."
"Orang gila."
"Saya bukan orang gila! hahahaha." ibu itu tertawa sendiri, ia mengacak-acak rambutnya. Membuat anak kecil yang mengelilingi ibu itu tambah senang untuk mengejeknya.
"Orang gila, orang gila."
"Hahaha orang gila."
"Saya bukan gila!" ibu itu marah, dia mengejar-ngejar banyak anak kecil yang mengejeknya, membuat anak kecil itu semakin senang untuk mengejeknya.
"IBU!" Zahra berlari, ia memeluk ibunya untuk melindungi ibunya dari lemparan batu. Lalu menatap anak kecil itu satu persatu, ia sangat marah karena ibunya di sebut perkataan yang menyakitkan hatinya.
"Pergi kalian! jangan ganggu ibu saya!" ucapnya sedikit membentak.
"Huuuu gak asik! yuk kabur keburu ngamuk orang gilanya, hahahaha." lalu lari dengan kencang, karena tidak mau kena amuk.
"HEH ANAK KECIL!" teriaknya tidak terima.
Hati Zahra berdenyut sakit, ia menatap ibunya sedih. Untung saja ia datang, kalau telat sudah di pastikan, pasti banyak luka. Zahra menitihkan air matanya, melihat ibunya yang tidak berdaya, hatinya sakit sekali.
"Ibu tenang yah, ada Zahra di sini." sambil memeluk ibunya erat, ia sangat sedih dengan keadaan ibunya.
Zahra tersenyum lirih, ia menahan air matanya agar tidak jatuh. Zahra harus kuat, ia tidak boleh lemah, lalu membantu ibunya dan menuntun untuk pulang.
Sesampainya di rumah. Zahra menenangkan Rita--ibunya, lalu mendudukkan Rita di kursi makan. Setelah selesai, barulah ia mulai masak, sambil memperhatikan ibunya, takut kenapa-napa.
Makan hari ini cukup sederhana, hanya tempe, tahu dan sayur. Zahra bersyukur, karena hari ini masih bisa makan, untuk dirinya dan juga ibunya.
"Ibu makan dulu yah." ajaknya sambil tersenyum.
Rita hanya menatap Zahra datar, itu sudah biasa untuk Zahra. Dengan perhatian dan kasih sayang, Zahra menyuapi Rita dengan telaten. Ia tersenyum senang, karena baru kali ini Rita tidak memberontak, seperti kemarin-kemarin.
Setalah semuanya selesai mengurus ibunya, barulah ia masuk ke dalam kamarnya, mengerjakan tugas-tugasnya untuk kuliah besok.
Meskipun Zahra orang tidak punya, ia sangat bersyukur mendapatkan beasiswa untuk kuliah, itu tidak akan ia sia-siakan menuju masa depannya. Dengan sungguh-sungguh Zahra akan membahagiakan orang tuanya, ibu tersayangnya.
"Ibu Zahra pamit kuliah dulu yah, setelah pulang kuliah Zahra kerja dulu, nanti pulang dari kerja ibu mau nitip apa?" ucapannya lembut sambil tersenyum.
Rita tidak menjawan, sudah berbagai cara untuk Rita mau berbicara dengannya. Namun, itu tidak mungkin. Mungkin ada saatnya, ia harus sabar menunggu.
"Yasudah kalau ibu tidak mau nitip apa-apa, Zahra pamit yah." Rita menepis tangan Zahra, saat Zahra ingin salim. Membuat Zahra menghela napas sabar.
"Zahra pamit, assalamu'alaikum." lalu pergi ke kampus dengan motor kesayangannya, itu motor hasil jerih payahnya selama bertahun-tahun untuk membeli itu.
"Leo." ucapnya.
Leo berbalik, ahhh ternyata dia. Ia menatap Zahra datar, itu sudah biasa bagi Zahra.
"Leo ke sini mau ketemu Zahra yah? iyakan, hayo ngaku." sambil terkekeh pelan.
Leo menatap Zahra datar. "Gak usah geer!"
"Terus Leo ke sini mau apa?" tanyanya.
"Dia ke sini mau nemuin gue, bukan lo!" sambil mendorong bahu kiri Zahra, untungnya ia tidak jatuh.
Dia Caca, orang yang berbicara tadi. Zahra melihat Leo yang tidak berbicara, dia malah menatap Zahra datar.
Caca memeluk lengan Leo, ia menatap Zahra tajam. "Sayang kita keluar aja yuk, di sini gak aman ada pengganggu!"
Leo mengangguk pelan, lalu melirik Zahra sekilas yang hendak duduk di kursinya.
Zahra sudah tidak asing lagi melihat Leo seperti itu, ia tidak mau ambil pusing lebih baik ia membaca buku.
Ririn melihat Zahra di perlakukan seperti itu tangannya mengepal kuat, emosinya naik, ia tidak terima sahabatnya diperlakukan seperti itu. Kadang ia pun heran, hati Zahra terbuat dari apa? ia terlalu baik, padahal ia selalu di sakiti. Ririn sangat, sangat senang memiliki sahabat seperti Zahra, ia kenal Zahra sudah lama.
Akhirnya kelas sudah selesai. Ini saatnya Zahra pergi untuk kerja, ia bekerja di salah satu restoran yang lumayan tidak jauh dari kampus, hanya memerlukan waktu dua puluh menit baru sampai.
Walaupun hasil gajinya tidak terlalu besar. Tapi, itu cukup untuk Zahra dan ibunya. Jika kurang ia akan bekerja sampingan.
"Sore ka Damar." Zahra menyapa ramah pada atasannya.
"Sore juga Zahra." dibalas juga oleh Damar.
Zahra mengganti pakaiannya, memakai pakaian pelayan. Ia membersihkan meja-meja yang kotor dan juga menghantarkan menu-menu juga.
Ia mengerjakan itu semua dengan senang hati, ini semua demi ibunya. Zahra jadi kangen dengan ibunya, sedang apa dia? apa baik-baik saja? semoga.
"Pelayan." Zahra menengok, ia menghampiri meja yang tadi memanggilnya.
"Iya mau pesan apa?" tanyanya dengan ramah.
"Caca, Le--" Zahra menutup mulutnya rapat, ia sudah mendapatkan tatapan tajam dari Leo.
"Oh, oh, oh. Ternyata lo kerja." ucap Caca sambil memperhatikan Zahra dari atas sampai bawah.
"Gak mampu lo buat bayar kuliah?!" sambil terkekeh pelan.
"Jaga mulut lo!" ucap Fahmi pada Caca tajam.
Ternyata bukan hanya Caca dan Leo, tapi mereka juga bersama Fahmi, Gio dan Riska juga.
Zahra hanya tersenyum, ia hiraukan perkataan Caca yang menyakiti hatinya. "Mau pesan apa?" tanyanya.
"Gue kaya biasa, Ra." ucap Fahmi, lalu di anggukkan olehnya.
"Semuanya samain aja." ucap Gio.
Zahra mencatat pesanan mereka. "Tunggu sebentar yah." lalu pergi dari tempat itu.
Leo memperhatikan Zahra sampai menghilang dari hadapannya. "Ternyata dia kerja."
Fahmi merasa iba pada Zahra. Zahra terlalu baik, ia tidak tega pada Zahra yang tidak dianggap ada oleh temannya itu. Mana ada cewek yang mau di perlakukan seperti itu, tapi dia? dia seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Zahra benar-benar orang yang sangat jauh berbeda dari perempuan lain.
"Gue harap lo cepet sadar." bisik Fahmi pada Leo, membuat Leo menegang, apa maksud Fahmi? ia tidak mengerti.
Zahra pulang jam sebelas malam, itu sudah biasa. Ia mendengar teriakkan dari dalam rumah, ia sangat khawatir.
"Ibu." sambil berlari.
"Aaaaaaa."
Pranggg
Zahra memeluk sang ibu erat, ia menangis dalam diam. Untung ibunya tidak terjadi apa-apa, meskipun dirinya yang kena luka pada keningnya, karena lemparan vas bunga oleh ibunya. Zahra tetap memeluk ibunya, ia menenangkan dalam pelukannya. Rita terus memberontak, ia tidak mau di peluk oleh anaknya.
"Lepas! saya tidak sudi di peluk oleh anda!" ucapnya tidak suka.
"Ibu tenang yah, ada Zahra di sini." sambil terus memeluk Rita erat, ia sangat sayang pada ibunya.
Rita terus memberontak. "Lepas!"
"Sa-sakit Bu, Za-zahra Su-susah na-napasnya." sambil berusaha melepaskan tangan Rita dari lehernya.
Rita tidak peduli, ia terus mencekik leher Zahra, yang ia inginkan dia mati. Pergi untuk selamanya dan tidak ada yang menganggu kehidupannya.
Zahra tidak tahan, ia kehilangan untuk bernapas, bahkan keningnya pun terus mengeluarkan darah, akibat lemparan vas bunga tadi. Rita terus mencekik, ia menatap Zahra marah.
"Kamu harus MATI!" ucapnya sambil melotot tajam.
Zahra tidak tahan, ia melemas. Zahra menatap ibunya dengan senyuman tulus dari hatinya. "I-ibu Za-zahra sa-sayang i-ibu, selamanya."
Zahra terbangun dari tidurnya, ia melihat disekelilingnya, setelah itu ia memegang keningnya, lalu jalan menuju cermin. Alangkah bahagianya ia, saat ia melihat luka yang ada di keningnya yang sudah di tutupi oleh hansaplats.Hatinya sangat senang, ia sudah tahu siapa yang mengobati lukanya. Baru kali ini Zahra senang atas perlakuan ibunya yang mengobati keningnya, itu sangat berarti untuk Zahra. Dengan perasaan senangnya dan senyumannya terukir sempurna, ia segera mencari keberadaan ibunya.Zahra tersenyum senang saat melihat ibunya sedang menonton televisi. Zahra langsung menghampiri ibunya sedikit berlari dan....Hap!Zahra memeluk ibunya dari samping, membuat Rita kaget. Zahra masih setia memeluk Rita, ia sangat senang.Rita menatap Zahra tajam. Namun, Zahra tidak peduli, bahkan ia membunyikan wajahnya pada perut Rita dan itu membuat Rita semakin kesal.&nbs
"Leo?" gumam Zahra pelan saat melihat Leo yang tidak jauh dari hadapannya.Dengan buru-buru ia menghampiri Leo. "Leo." ucapnya saat sudah di hadapan Leo.Leo menaikan satu alisnya, ia menunggu kelanjutan Zahra."Zahra ikut pulang bareng Leo yah." ucapnya sambil tersenyum lebar.Leo menatap Zahra datar enggan untuk menjawab, lalu pergi dari hadapan Zahra."Ehh Leo, Leo. Tunggu." ucapnya sambil menahan pergelangan tangan Leo. Leo berbalik, ia menatap Zahra malas.Zahra langsung melepaskan tangan Leo. "Zahra ikut yah." mohonnya."Gak!" ucapnya datar."Kenapa?" tanyanya."Karena gue males." ucapnya, membuat Zahra menghela napas kasar, selalu saja begitu.Leo pergi dari hadapan Zahra. Namun, kembali menghampiri Zahra, membuat Zahra kembali tersenyum lebar."Ayo." ucapnya datar, lalu berbalik da
"Ririn." panggil Leo membuat Ririn langsung berbalik."Zahra mana?" tanyanya langsung to the point.Ririn memutar bola mata malas, lalu menghela napas kasar. "Lo kan pacarnya, kenapa nanyanya sama gue?" Ririn sengaja berkata seperti itu, agar Leo sadar.Leo hanya menatap Ririn datar, lalu pergi dari hadapan Ririn. Melihat Leo seperti itu membuat Ririn mendumel kesal, Ririn heran pada Zahra yang sampai sekarang bertahan dengan Leo, apa yang ia pertahankan? jika sikap Leo-nya aja seperti itu, ia benar-benar tidak habis pikir.Ririn mengacuhkan bahunya, setelah itu kembali jalan menuju kelas.Leo duduk di kursi kantin, ia mengaduk-aduk minumannya tidak selera. Entah kenapa ia merasa ada yang hilang, ia pun bingung dengan dirinya sendiri. Yang selalu memikirkan.....Zahra.Leo menghela napas kasar, ia menyederhanakan punggungnya pada kursi. I
"Ibu saya kenapa dok? kenapa dengan ibu saya?" air matanya terus keluar dengan deras, perasaannya tidak enak.Ririn mengusap-usap punggung Zahra. "Tenang Ra." ia pun sama ikut sedih. Tapi, ia tidak menunjukkan ekspresinya."Ibu anda kekurangan banyak darah, sehingga perlu memerlukan banyak darah. Tapi, di rumah sakit ini untuk stok golongan darah o sedang tidak ada." jelas dokter.Zahra menghapus air matanya kasar. "Saya dok, saya. Golongan darah saya o dok.""Baik kalau begitu ikut saya, saya periksa dulu." ucapnya.Zahra mengangguk, ia langsung mengikuti dokter tersebut.Zahra tersenyum melihat ibunya yang berada di sampingnya, untungnya golongan darahnya sama, sehingga ia dapat membantu ibunya."Cepat sembuh bu."---o0o---Zahra setia menemani ibunya yang masih belum siu
Ceklek! "Keluarga saudari pasien." panggil dokter. Zahra langsung menghapus air matanya cepat, lalu menghampiri dokter tersebut. "Iyah dok, bagaimana keadaan ibu saya dok?" tanyanya cemas. Dokter tersebut menghela napas. "Mari ikut keruangan saya sebentar, ada yang ingin saya bicarakan mengenai ibu anda." Zahra menganggukkan, lalu mereka langsung menuju ruangan tersebut. "Apa ibu anda pernah mengalami gangguan mental sebelumnya?" tanya dokter tersebut. Zahra mengangguk. "Pernah dok, dulu ibu saya terkenal gangguan mental ringan." "Jadi begini. Ibu anda mengalami gangguan mental kembali. Gangguan mental ibu anda itu parah dari sebelumnya, saya berharap anda harus extra sabar menghadapi ibu anda. Karena untuk sembuh, kemungkinan akan lama." jelas dokter panjang lebar. "Gangguan mental kembali?" perlahan air ma
"Happy birthday." Zahra tersenyum lebar, ia masih setia memberikan kadonya pada Caca. Namun sayangnya, Caca hanya diam, menatap Zahra dan kado itu datar.Zahra masih setia memegangi kadonya, ia terus tersenyum pada Caca tulus dari hatinya."Buat gue?" tanya Caca. Caca melihat kado itu tidak suka. Zahra tersenyum, lalu mengangguk. "Iyah." Caca memutar bola mata malas, ia mengambil kado pemberian Zahra jijik. Caca menatap Zahra remeh, ia memegangi kado itu sangat tidak suka. "Ini? buat gue?" lalu membuang kado tersebut tepat di hadapan Zahra,"Sorry, gak level!"
Ceklek! "Keluarga saudari pasien." panggil dokter. Zahra langsung menghapus air matanya cepat, lalu menghampiri dokter tersebut. "Iyah dok, bagaimana keadaan ibu saya dok?" tanyanya cemas. Dokter tersebut menghela napas. "Mari ikut keruangan saya sebentar, ada yang ingin saya bicarakan mengenai ibu anda." Zahra menganggukkan, lalu mereka langsung menuju ruangan tersebut. "Apa ibu anda pernah mengalami gangguan mental sebelumnya?" tanya dokter tersebut. Zahra mengangguk. "Pernah dok, dulu ibu saya terkenal gangguan mental ringan." "Jadi begini. Ibu anda mengalami gangguan mental kembali. Gangguan mental ibu anda itu parah dari sebelumnya, saya berharap anda harus extra sabar menghadapi ibu anda. Karena untuk sembuh, kemungkinan akan lama." jelas dokter panjang lebar. "Gangguan mental kembali?" perlahan air ma
"Ibu saya kenapa dok? kenapa dengan ibu saya?" air matanya terus keluar dengan deras, perasaannya tidak enak.Ririn mengusap-usap punggung Zahra. "Tenang Ra." ia pun sama ikut sedih. Tapi, ia tidak menunjukkan ekspresinya."Ibu anda kekurangan banyak darah, sehingga perlu memerlukan banyak darah. Tapi, di rumah sakit ini untuk stok golongan darah o sedang tidak ada." jelas dokter.Zahra menghapus air matanya kasar. "Saya dok, saya. Golongan darah saya o dok.""Baik kalau begitu ikut saya, saya periksa dulu." ucapnya.Zahra mengangguk, ia langsung mengikuti dokter tersebut.Zahra tersenyum melihat ibunya yang berada di sampingnya, untungnya golongan darahnya sama, sehingga ia dapat membantu ibunya."Cepat sembuh bu."---o0o---Zahra setia menemani ibunya yang masih belum siu
"Ririn." panggil Leo membuat Ririn langsung berbalik."Zahra mana?" tanyanya langsung to the point.Ririn memutar bola mata malas, lalu menghela napas kasar. "Lo kan pacarnya, kenapa nanyanya sama gue?" Ririn sengaja berkata seperti itu, agar Leo sadar.Leo hanya menatap Ririn datar, lalu pergi dari hadapan Ririn. Melihat Leo seperti itu membuat Ririn mendumel kesal, Ririn heran pada Zahra yang sampai sekarang bertahan dengan Leo, apa yang ia pertahankan? jika sikap Leo-nya aja seperti itu, ia benar-benar tidak habis pikir.Ririn mengacuhkan bahunya, setelah itu kembali jalan menuju kelas.Leo duduk di kursi kantin, ia mengaduk-aduk minumannya tidak selera. Entah kenapa ia merasa ada yang hilang, ia pun bingung dengan dirinya sendiri. Yang selalu memikirkan.....Zahra.Leo menghela napas kasar, ia menyederhanakan punggungnya pada kursi. I
"Leo?" gumam Zahra pelan saat melihat Leo yang tidak jauh dari hadapannya.Dengan buru-buru ia menghampiri Leo. "Leo." ucapnya saat sudah di hadapan Leo.Leo menaikan satu alisnya, ia menunggu kelanjutan Zahra."Zahra ikut pulang bareng Leo yah." ucapnya sambil tersenyum lebar.Leo menatap Zahra datar enggan untuk menjawab, lalu pergi dari hadapan Zahra."Ehh Leo, Leo. Tunggu." ucapnya sambil menahan pergelangan tangan Leo. Leo berbalik, ia menatap Zahra malas.Zahra langsung melepaskan tangan Leo. "Zahra ikut yah." mohonnya."Gak!" ucapnya datar."Kenapa?" tanyanya."Karena gue males." ucapnya, membuat Zahra menghela napas kasar, selalu saja begitu.Leo pergi dari hadapan Zahra. Namun, kembali menghampiri Zahra, membuat Zahra kembali tersenyum lebar."Ayo." ucapnya datar, lalu berbalik da
Zahra terbangun dari tidurnya, ia melihat disekelilingnya, setelah itu ia memegang keningnya, lalu jalan menuju cermin. Alangkah bahagianya ia, saat ia melihat luka yang ada di keningnya yang sudah di tutupi oleh hansaplats.Hatinya sangat senang, ia sudah tahu siapa yang mengobati lukanya. Baru kali ini Zahra senang atas perlakuan ibunya yang mengobati keningnya, itu sangat berarti untuk Zahra. Dengan perasaan senangnya dan senyumannya terukir sempurna, ia segera mencari keberadaan ibunya.Zahra tersenyum senang saat melihat ibunya sedang menonton televisi. Zahra langsung menghampiri ibunya sedikit berlari dan....Hap!Zahra memeluk ibunya dari samping, membuat Rita kaget. Zahra masih setia memeluk Rita, ia sangat senang.Rita menatap Zahra tajam. Namun, Zahra tidak peduli, bahkan ia membunyikan wajahnya pada perut Rita dan itu membuat Rita semakin kesal.&nbs
"Orang gila.""Orang gila.""Orang gila.""Orang gila.""Saya bukan orang gila! hahahaha." ibu itu tertawa sendiri, ia mengacak-acak rambutnya. Membuat anak kecil yang mengelilingi ibu itu tambah senang untuk mengejeknya."Orang gila, orang gila.""Hahaha orang gila.""Saya bukan gila!" ibu itu marah, dia mengejar-ngejar banyak anak kecil yang mengejeknya, membuat anak kecil itu semakin senang untuk mengejeknya.
"Happy birthday." Zahra tersenyum lebar, ia masih setia memberikan kadonya pada Caca. Namun sayangnya, Caca hanya diam, menatap Zahra dan kado itu datar.Zahra masih setia memegangi kadonya, ia terus tersenyum pada Caca tulus dari hatinya."Buat gue?" tanya Caca. Caca melihat kado itu tidak suka. Zahra tersenyum, lalu mengangguk. "Iyah." Caca memutar bola mata malas, ia mengambil kado pemberian Zahra jijik. Caca menatap Zahra remeh, ia memegangi kado itu sangat tidak suka. "Ini? buat gue?" lalu membuang kado tersebut tepat di hadapan Zahra,"Sorry, gak level!"