"Leo?" gumam Zahra pelan saat melihat Leo yang tidak jauh dari hadapannya.
Dengan buru-buru ia menghampiri Leo. "Leo." ucapnya saat sudah di hadapan Leo.
Leo menaikan satu alisnya, ia menunggu kelanjutan Zahra.
"Zahra ikut pulang bareng Leo yah." ucapnya sambil tersenyum lebar.
Leo menatap Zahra datar enggan untuk menjawab, lalu pergi dari hadapan Zahra.
"Ehh Leo, Leo. Tunggu." ucapnya sambil menahan pergelangan tangan Leo. Leo berbalik, ia menatap Zahra malas.
Zahra langsung melepaskan tangan Leo. "Zahra ikut yah." mohonnya.
"Gak!" ucapnya datar.
"Kenapa?" tanyanya.
"Karena gue males." ucapnya, membuat Zahra menghela napas kasar, selalu saja begitu.
Leo pergi dari hadapan Zahra. Namun, kembali menghampiri Zahra, membuat Zahra kembali tersenyum lebar.
"Ayo." ucapnya datar, lalu berbalik dan kembali jalan. Zahra tersenyum senang, ia sangat senang. Dengan riang ia mengikuti Leo dari belakang.
Saat di parkiran mobil, Zahra tersenyum manis, saat Leo dengan sweetnya membukakan pintu mobil depan, dengan perasaan senang ia masuk. Namun, belum sepenuhnya masuk tangannya sudah ditarik oleh Leo.
"Tempat lo bukan di sini." ucapnya datar. Lalu detik kemudian ia tersenyum manis. Zahra mengikuti arah pandang Leo saat Leo tersenyum seperti itu dan ternyata...
"Caca?" gumamnya pelan.
"Ayo masuk." ucap Leo manis mempersilahkan Caca masuk, sebelum masuk, Caca menatap Zahra tidak suka.
Leo pun langsung masuk mobil dan Zahra ikut masuk di belakang.
Selama di perjalanan Zahra hanya diam, melihat pemandangan di depan matanya, membuat ia menyesal ikut pulang bareng Leo. Ia kira Leo tidak akan mengajak Caca bareng, ternyata dugaannya salah.
"Sebenarnya pacarnya itu siapa? aku atau Caca?" tanyanya dalam hati. Jujur ia sakit melihat mereka yang bermesraan di hadapannya, sakit rasanya.
"Kita ngapain ke sini Leo?" tanya Zahra pada Leo. Ia heran kenapa Leo mengajak dirinya ke sini?
Leo tidak menjawab, ia meraih tangan Caca dan menggenggam tangan Caca lembut. Setelah itu pergi dari hadapan Zahra.
Zahra menghela napas kasar, lalu ia mengikuti mereka berdua dari belakang.
Selama di dalam mall, Zahra hanya mengikuti mereka berdua dari belakang, sampai di tempat permainan time zone pun ia hanya melihat mereka yang sedang senangnya tertawa bahagia. Ingin rasanya ia melabrak Caca. Tapi, tidak bisa. Dulu ia pernah melabrak Caca karena dia seenaknya jalan dengan Leo, ia melabrak Caca bukan kaya cewek lainnya, ia melabraknya dengan ucapan halusnya. Namun, ternyata salah, ia kira Caca akan melepaskan Leo, dugaannya salah. Dia semakin menjadi-jadi.
Zahra hanya memperhatikan mereka, ia tidak mau Leo marah. Dulu Leo memarahi Zahra abis-abisan hanya karena Zahra melabrak Caca. Zahra rasa ia tidak salah, itu harusnya salah Caca. Tapi, Leo tidak melihat itu. Ia mempercayai Caca.
"Hei ada aku di sini." ingin rasanya Zahra mengucapkan itu. Tapi, sayangnya ia hanya mengucapkannya di dalam hati.
Leo duduk di sebelah Zahra, ia melihat Zahra yang sepertinya sedang melamun.
"Leo kita nonton bioskop yuk." ajak Caca pada Leo, membuat Zahra tersadar dari lamunannya.
Leo mengangguk pelan, setelah itu ia bangkit dari duduknya. "Ayo." ajaknya pada Zahra.
Zahra menatap Leo tidak percaya. "A-ayo." ucapnya gugup. Setalah itu ia jalan di belakang mereka berdua.
---o0o---
"Emangnya kenapa?" tanyanya.
Leo menghela napas berat. "Ini tempat Caca, lo duduk di sana. Biar Caca yang di tengah." ucapnya.
Zahra menghela napas sabar, lalu duduk di kursi yang diperintahkan oleh Leo.
Selama menonton ia sama sekali tidak takut pada film horor itu. Zahra menoleh ke samping, ia melihat Leo dan Caca yang sedang berpelukan. Caca menyembunyikan wajahnya pada dada bidang Leo, ia ketakutan saat menonton film horor itu.
Zahra kembali menonton film, ia memfokuskan pada film itu. Sebenarnya ia sakit sekali melihat pemandangan seperti tadi. Namun, ia tepis. Itu sudah biasa, baginya.
Lama kelamaan Zahra bosan, akhirnya filmnya sudah selesai. Lalu menoleh ke samping, alangkah terkejutnya ia saat melihat mereka yang sudah tidak ada di tempat duduknya. Zahra mencari di sekelilingnya. Namun, hasilnya nihil. Mereka sudah pergi.
Zahra mengambil ponselnya di tas selempang miliknya, ia membuka aplikasi chat saat ada notif berbunyi.
Leo
Lo balik sendiriGue mau anter Caca.Zahra menghapus air matanya secara kasar, ia tidak boleh menangis. Lalu kembali memasukkan ponselnya ke dalam tas, setelah itu pergi dari tempat itu.
Zahra menengok ke kanan ke kiri, ia mencari taksi atau kendaraan umum lainnya, sudah satu jam ia menunggu kendaraan. Namun, tidak ada yang melintas satu pun.
Hari semakin gelap, cuaca kini semakin mendung. Zahra berlari mencari tempat untuk berteduh, karena hujan turun deras.
"Aduh mana yah?" cemasnya sambil memeluk dirinya sendiri.
Zahra menggigil, ia tidak tahan pada cuaca dingin. Zahra tidak tahu lagi harus apa, ia tidak bisa pulang dalam cuaca seperti itu. Di satu sisi ia memikirkan ibunya, ia takut terjadi apa-apa dan di satu sisi lagi ia tidak tahu harus menaik apa untuk pulang.
Zahra mengambil ponselnya, lalu menekan nama kontak yang ingin ia hubungi.
"Hallo Leo. Kamu bisa jemput aku gak?" ucapnya sambil menengok ke kanan ke kiri.
"Belum pulang?"
"Belum. Kamu maukan jemput aku?" Zahra berharap Leo mau menjemput dirinya.
Di sana Leo menghela napas kasar.
"Yaudah gak jadi Leo. Aku udah tau jawabannya apa." ucapnya, lalu mematikan sambungan teleponnya dan kembali memasukkan ponselnya.
Zahra menghela napas sabar. Lalu ia meletakkan tasnya di atas kepala dan langsung lari menerobos hujan yang begitu deras. Zahra terus berlari, ia tidak tahan dengan semua ini. Air matanya tidak bisa di bendung lagi, ia menangis sambil berlari, yang di sertai hujan begitu deras, sama seperti keadaan dirinya saat ini.
"Kenapa semua orang jahat?"
---o0o---
Byurrr
"Bangun manusia malas!"
"Ibu." ucap Zahra kaget sambil bangun dari tidurannya.
Rita menatap Zahra datar. "Dasar manusia malas!" ucapnya, lalu pergi dari kamar Zahra.
Zahra mengusap wajahnya yang basah akibat ibunya menyiram wajahnya menggunakan air. Akibat sore tadi, ia tertidur pulas, karena ia merasa tidak enak badan.
Semenjak hujan-hujanan kemarin, Zahra kesiangan berangkat kuliah. Ia merasa tidak enak badan, lebih baik izin.
"Hallo Rin. Aku izin gak masuk hari ini." ucapnya pada Ririn di sambungan telepon.
"...."
"Iya aku gak bisa masuk, lagi gak enak badan." ucapnya sambil memijit batang hidungnya. Setelah mendapat izin, ia langsung memutuskan sambungan teleponnya.
Zahra keluar dari kamarnya, ia langsung menuju dapur. Zahra lupa ia harus masak untuk ibunya.
Setelah semuanya selesai, barulah ia menghampiri ibunya. "Ibu makanannya udah siap." ucapnya sedikit lemas.
Rita tidak menjawab, ia langsung pergi dari hadapan Zahra."Andai saja dia tidak lahir, mungkin...."
"Ririn." panggil Leo membuat Ririn langsung berbalik."Zahra mana?" tanyanya langsung to the point.Ririn memutar bola mata malas, lalu menghela napas kasar. "Lo kan pacarnya, kenapa nanyanya sama gue?" Ririn sengaja berkata seperti itu, agar Leo sadar.Leo hanya menatap Ririn datar, lalu pergi dari hadapan Ririn. Melihat Leo seperti itu membuat Ririn mendumel kesal, Ririn heran pada Zahra yang sampai sekarang bertahan dengan Leo, apa yang ia pertahankan? jika sikap Leo-nya aja seperti itu, ia benar-benar tidak habis pikir.Ririn mengacuhkan bahunya, setelah itu kembali jalan menuju kelas.Leo duduk di kursi kantin, ia mengaduk-aduk minumannya tidak selera. Entah kenapa ia merasa ada yang hilang, ia pun bingung dengan dirinya sendiri. Yang selalu memikirkan.....Zahra.Leo menghela napas kasar, ia menyederhanakan punggungnya pada kursi. I
"Ibu saya kenapa dok? kenapa dengan ibu saya?" air matanya terus keluar dengan deras, perasaannya tidak enak.Ririn mengusap-usap punggung Zahra. "Tenang Ra." ia pun sama ikut sedih. Tapi, ia tidak menunjukkan ekspresinya."Ibu anda kekurangan banyak darah, sehingga perlu memerlukan banyak darah. Tapi, di rumah sakit ini untuk stok golongan darah o sedang tidak ada." jelas dokter.Zahra menghapus air matanya kasar. "Saya dok, saya. Golongan darah saya o dok.""Baik kalau begitu ikut saya, saya periksa dulu." ucapnya.Zahra mengangguk, ia langsung mengikuti dokter tersebut.Zahra tersenyum melihat ibunya yang berada di sampingnya, untungnya golongan darahnya sama, sehingga ia dapat membantu ibunya."Cepat sembuh bu."---o0o---Zahra setia menemani ibunya yang masih belum siu
Ceklek! "Keluarga saudari pasien." panggil dokter. Zahra langsung menghapus air matanya cepat, lalu menghampiri dokter tersebut. "Iyah dok, bagaimana keadaan ibu saya dok?" tanyanya cemas. Dokter tersebut menghela napas. "Mari ikut keruangan saya sebentar, ada yang ingin saya bicarakan mengenai ibu anda." Zahra menganggukkan, lalu mereka langsung menuju ruangan tersebut. "Apa ibu anda pernah mengalami gangguan mental sebelumnya?" tanya dokter tersebut. Zahra mengangguk. "Pernah dok, dulu ibu saya terkenal gangguan mental ringan." "Jadi begini. Ibu anda mengalami gangguan mental kembali. Gangguan mental ibu anda itu parah dari sebelumnya, saya berharap anda harus extra sabar menghadapi ibu anda. Karena untuk sembuh, kemungkinan akan lama." jelas dokter panjang lebar. "Gangguan mental kembali?" perlahan air ma
"Happy birthday." Zahra tersenyum lebar, ia masih setia memberikan kadonya pada Caca. Namun sayangnya, Caca hanya diam, menatap Zahra dan kado itu datar.Zahra masih setia memegangi kadonya, ia terus tersenyum pada Caca tulus dari hatinya."Buat gue?" tanya Caca. Caca melihat kado itu tidak suka. Zahra tersenyum, lalu mengangguk. "Iyah." Caca memutar bola mata malas, ia mengambil kado pemberian Zahra jijik. Caca menatap Zahra remeh, ia memegangi kado itu sangat tidak suka. "Ini? buat gue?" lalu membuang kado tersebut tepat di hadapan Zahra,"Sorry, gak level!"
"Orang gila.""Orang gila.""Orang gila.""Orang gila.""Saya bukan orang gila! hahahaha." ibu itu tertawa sendiri, ia mengacak-acak rambutnya. Membuat anak kecil yang mengelilingi ibu itu tambah senang untuk mengejeknya."Orang gila, orang gila.""Hahaha orang gila.""Saya bukan gila!" ibu itu marah, dia mengejar-ngejar banyak anak kecil yang mengejeknya, membuat anak kecil itu semakin senang untuk mengejeknya.
Zahra terbangun dari tidurnya, ia melihat disekelilingnya, setelah itu ia memegang keningnya, lalu jalan menuju cermin. Alangkah bahagianya ia, saat ia melihat luka yang ada di keningnya yang sudah di tutupi oleh hansaplats.Hatinya sangat senang, ia sudah tahu siapa yang mengobati lukanya. Baru kali ini Zahra senang atas perlakuan ibunya yang mengobati keningnya, itu sangat berarti untuk Zahra. Dengan perasaan senangnya dan senyumannya terukir sempurna, ia segera mencari keberadaan ibunya.Zahra tersenyum senang saat melihat ibunya sedang menonton televisi. Zahra langsung menghampiri ibunya sedikit berlari dan....Hap!Zahra memeluk ibunya dari samping, membuat Rita kaget. Zahra masih setia memeluk Rita, ia sangat senang.Rita menatap Zahra tajam. Namun, Zahra tidak peduli, bahkan ia membunyikan wajahnya pada perut Rita dan itu membuat Rita semakin kesal.&nbs
Ceklek! "Keluarga saudari pasien." panggil dokter. Zahra langsung menghapus air matanya cepat, lalu menghampiri dokter tersebut. "Iyah dok, bagaimana keadaan ibu saya dok?" tanyanya cemas. Dokter tersebut menghela napas. "Mari ikut keruangan saya sebentar, ada yang ingin saya bicarakan mengenai ibu anda." Zahra menganggukkan, lalu mereka langsung menuju ruangan tersebut. "Apa ibu anda pernah mengalami gangguan mental sebelumnya?" tanya dokter tersebut. Zahra mengangguk. "Pernah dok, dulu ibu saya terkenal gangguan mental ringan." "Jadi begini. Ibu anda mengalami gangguan mental kembali. Gangguan mental ibu anda itu parah dari sebelumnya, saya berharap anda harus extra sabar menghadapi ibu anda. Karena untuk sembuh, kemungkinan akan lama." jelas dokter panjang lebar. "Gangguan mental kembali?" perlahan air ma
"Ibu saya kenapa dok? kenapa dengan ibu saya?" air matanya terus keluar dengan deras, perasaannya tidak enak.Ririn mengusap-usap punggung Zahra. "Tenang Ra." ia pun sama ikut sedih. Tapi, ia tidak menunjukkan ekspresinya."Ibu anda kekurangan banyak darah, sehingga perlu memerlukan banyak darah. Tapi, di rumah sakit ini untuk stok golongan darah o sedang tidak ada." jelas dokter.Zahra menghapus air matanya kasar. "Saya dok, saya. Golongan darah saya o dok.""Baik kalau begitu ikut saya, saya periksa dulu." ucapnya.Zahra mengangguk, ia langsung mengikuti dokter tersebut.Zahra tersenyum melihat ibunya yang berada di sampingnya, untungnya golongan darahnya sama, sehingga ia dapat membantu ibunya."Cepat sembuh bu."---o0o---Zahra setia menemani ibunya yang masih belum siu
"Ririn." panggil Leo membuat Ririn langsung berbalik."Zahra mana?" tanyanya langsung to the point.Ririn memutar bola mata malas, lalu menghela napas kasar. "Lo kan pacarnya, kenapa nanyanya sama gue?" Ririn sengaja berkata seperti itu, agar Leo sadar.Leo hanya menatap Ririn datar, lalu pergi dari hadapan Ririn. Melihat Leo seperti itu membuat Ririn mendumel kesal, Ririn heran pada Zahra yang sampai sekarang bertahan dengan Leo, apa yang ia pertahankan? jika sikap Leo-nya aja seperti itu, ia benar-benar tidak habis pikir.Ririn mengacuhkan bahunya, setelah itu kembali jalan menuju kelas.Leo duduk di kursi kantin, ia mengaduk-aduk minumannya tidak selera. Entah kenapa ia merasa ada yang hilang, ia pun bingung dengan dirinya sendiri. Yang selalu memikirkan.....Zahra.Leo menghela napas kasar, ia menyederhanakan punggungnya pada kursi. I
"Leo?" gumam Zahra pelan saat melihat Leo yang tidak jauh dari hadapannya.Dengan buru-buru ia menghampiri Leo. "Leo." ucapnya saat sudah di hadapan Leo.Leo menaikan satu alisnya, ia menunggu kelanjutan Zahra."Zahra ikut pulang bareng Leo yah." ucapnya sambil tersenyum lebar.Leo menatap Zahra datar enggan untuk menjawab, lalu pergi dari hadapan Zahra."Ehh Leo, Leo. Tunggu." ucapnya sambil menahan pergelangan tangan Leo. Leo berbalik, ia menatap Zahra malas.Zahra langsung melepaskan tangan Leo. "Zahra ikut yah." mohonnya."Gak!" ucapnya datar."Kenapa?" tanyanya."Karena gue males." ucapnya, membuat Zahra menghela napas kasar, selalu saja begitu.Leo pergi dari hadapan Zahra. Namun, kembali menghampiri Zahra, membuat Zahra kembali tersenyum lebar."Ayo." ucapnya datar, lalu berbalik da
Zahra terbangun dari tidurnya, ia melihat disekelilingnya, setelah itu ia memegang keningnya, lalu jalan menuju cermin. Alangkah bahagianya ia, saat ia melihat luka yang ada di keningnya yang sudah di tutupi oleh hansaplats.Hatinya sangat senang, ia sudah tahu siapa yang mengobati lukanya. Baru kali ini Zahra senang atas perlakuan ibunya yang mengobati keningnya, itu sangat berarti untuk Zahra. Dengan perasaan senangnya dan senyumannya terukir sempurna, ia segera mencari keberadaan ibunya.Zahra tersenyum senang saat melihat ibunya sedang menonton televisi. Zahra langsung menghampiri ibunya sedikit berlari dan....Hap!Zahra memeluk ibunya dari samping, membuat Rita kaget. Zahra masih setia memeluk Rita, ia sangat senang.Rita menatap Zahra tajam. Namun, Zahra tidak peduli, bahkan ia membunyikan wajahnya pada perut Rita dan itu membuat Rita semakin kesal.&nbs
"Orang gila.""Orang gila.""Orang gila.""Orang gila.""Saya bukan orang gila! hahahaha." ibu itu tertawa sendiri, ia mengacak-acak rambutnya. Membuat anak kecil yang mengelilingi ibu itu tambah senang untuk mengejeknya."Orang gila, orang gila.""Hahaha orang gila.""Saya bukan gila!" ibu itu marah, dia mengejar-ngejar banyak anak kecil yang mengejeknya, membuat anak kecil itu semakin senang untuk mengejeknya.
"Happy birthday." Zahra tersenyum lebar, ia masih setia memberikan kadonya pada Caca. Namun sayangnya, Caca hanya diam, menatap Zahra dan kado itu datar.Zahra masih setia memegangi kadonya, ia terus tersenyum pada Caca tulus dari hatinya."Buat gue?" tanya Caca. Caca melihat kado itu tidak suka. Zahra tersenyum, lalu mengangguk. "Iyah." Caca memutar bola mata malas, ia mengambil kado pemberian Zahra jijik. Caca menatap Zahra remeh, ia memegangi kado itu sangat tidak suka. "Ini? buat gue?" lalu membuang kado tersebut tepat di hadapan Zahra,"Sorry, gak level!"