Zahra terbangun dari tidurnya, ia melihat disekelilingnya, setelah itu ia memegang keningnya, lalu jalan menuju cermin. Alangkah bahagianya ia, saat ia melihat luka yang ada di keningnya yang sudah di tutupi oleh hansaplats.
Hatinya sangat senang, ia sudah tahu siapa yang mengobati lukanya. Baru kali ini Zahra senang atas perlakuan ibunya yang mengobati keningnya, itu sangat berarti untuk Zahra. Dengan perasaan senangnya dan senyumannya terukir sempurna, ia segera mencari keberadaan ibunya.
Zahra tersenyum senang saat melihat ibunya sedang menonton televisi. Zahra langsung menghampiri ibunya sedikit berlari dan....
Hap!
Zahra memeluk ibunya dari samping, membuat Rita kaget. Zahra masih setia memeluk Rita, ia sangat senang.
Rita menatap Zahra tajam. Namun, Zahra tidak peduli, bahkan ia membunyikan wajahnya pada perut Rita dan itu membuat Rita semakin kesal.
"Lepas!" ucapnya dingin tanpa menatap Zahra.
Zahra sedikit mendongak menatap ibunya, kemudian kembali pada posisi semula. "Nggak mau Bu. Ini sangat nyaman."
"Saya bilang lepas! anda masih tidak mengerti juga?!" ucapnya dengan wajah datarnya, lalu berdiri dan itu membuat Zahra melepaskan pelukannya.
Zahra menatap ibunya dengan sendu, baru saja ia merasakan bahagia.
Rita menatap Zahra datar. "Saya mengobati anda bukan berarti saya menyayangi anda!" lalu pergi meninggalkan Zahra.
Tes
Satu tetasan air mata jatuh dari sang pemilik. Zahra meneteskan air matanya, ia sakit sekali mendengar ucapan ibunya barusan. Semakin lama, semakin terus mengalir. Zahra tidak kuat, ia berlari masuk kedalam kamar.
Di dalam kamar Zahra menangis dalam diam, sakit rasanya tidak di anggap oleh ibu kandungnya sendiri. Sekuat apapun ia menahan perih pada hatinya, itu akan sakit jika lama-lama menahannya.
Baru saja tersenyum dan sekarang? mengapa harus menangis lagi?
Zahra bangkit, ia melangkah menuju meja belajarnya. Ia mengambil sesuatu di dalam laci meja sana, setelah mendapatkannya ia duduk di kursi. Zahra meletakkan buku yang berwarna hitam di meja belajar, mungkin itu buku diary-nya. Ia membuka buku itu, ada halaman kosong di sana. Zahra mulai menulis apa yang terjadi barusan pada buku itu. Menulis sambil meneteskan air matanya, itu sangat sakit.
Bahagia sesaat itu sangat menyenangkan. Tapi, air mata ini kenapa harus kembali saat mendengar kata-kata yang dulu pernah di ucapkan?
Tuhan aku ingin merasakan hangatnya kasih sayang, apa aku bisa mendapatkan itu semua?
Zahra berhenti menulis sejenak, air matanya terus mengalir dengan deras. Lalu ia kembali melanjutkan curhatannya pada buku itu.
Aku ingin nyerah....
Zahra menutup bukunya, ia memperhatikan buku itu sejenak, lalu kembali memasukkan buku itu pada tempat semula. Rasanya lega sudah menceritakan pada buku diary itu, bebannya hilang sebagian.
---o0o---
Hari ini Zahra bangun lebih pagi, karena sebelum berangkat kuliah ia harus mempersiapkan jualannya untuk di bawa ke kampus, selain itu ia juga harus merawat ibunya terlebih dahulu. Setelah semuanya selesai, Zahra langsung menghampiri ibunya yang berada di kamar.
Tok tok tok
"Ibu ayo buka pintunya, Zahra udah siapin sarapan untuk ibu." ucapnya dengan lembut sambil mengetuk pintu, ia tidak mau membuat ibunya marah.
Tidak ada jawaban.
Zahra kembali mengetuk pintu. "Ibu ayo kita sarapan sama-sama." ajaknya lagi.
Rita membuka matanya, ia kesal sekali mendengar suara Zahra di luar kamarnya. Menggangu saja!
Dengan kesal Rita membuka pintu kamarnya, ia menatap Zahra datar. "Apa?!"
Zahra tersenyum. "Ayo Bu kita makan. Zahra udah siapin semuanya." ucapnya, lalu meraih tangan kiri Rita. Rita menepis tangan Zahra kasar, ia tidak suka.
"Gak usah pegang-pegang!" sewotnya, setelah itu pergi meninggalkan Zahra.
Zahra menghela napas sabar, lalu ia mengikuti Rita dari belakang.
Di sana mereka berdua sedang makan. Mereka makan dalam diam, tidak ada bincangan yang memulai pertama. Setelah semuanya selesai barulah Zahra merapihkan dan mencuci piring bekas makan tadi.
Setelah semuanya selesai. Zahra membawa jualannya dan menghampiri ibunya yang sedang duduk di sofa.
"Zahra pamit kuliah dulu ya Bu. Nanti Zahra pulang malem." pamitnya, setelah itu pergi menuju kampus.
---o0o---
"Bu Zahra titip lagi ya, nanti pulang kuliah Zahra ambil." ucapnya pada ibu kantin.
"Iya neng. Nanti bikinnya yang lebih banyak lagi ya neng, anak-anak pada suka sama masakan neng Zahra." ucap ibu kantin itu.
Zahra tersenyum senang. "Alhamdulillah. Nanti besok Zahra bawa lagi yang lebih banyak." ucapnya senang.
Ibu kantin itu mengangguk, ia akrab sekali dengan Zahra. Tidak aneh lagi jika Zahra menitipkan jualnya padanya.
"Kalau gitu Zahra pamit masuk kelas dulu ya Bu." pamitnya, setelah mendapatkan anggukan barulah ia pergi.
Zahra pergi menuju kelas, sepanjang perjalanan ia terus tersenyum.
"Zahra!" ia berbalik saat ada yang memanggil namanya, ia tersenyum lebar saat tahu siapa yang memanggilnya.
"Ririn." ucapnya sambil tersenyum lebar.
Ririn tersenyum lebar, ia langsung sedikit berlari ke arah Zahra. "Dari mana aja Ra?" tanyanya.
"Dari kantin, biasa." jawabnya, lalu merangkul Ririn dan kembali jalan menuju kelas.
Saat sampai di kelas, sudah banyak orang yang sedang berkumpul, membaca buku dan lain sebagainya. Itu adalah kesempatan untuk Zahra, dengan semangat ia menghampiri mereka dan di ikuti oleh Ririn.
"Temen-temen ada yang mau beli gak? enak tau." ucapnya dengan ramah pada teman-temannya.
"Ini apa Ra?" tanya salah satu temannya sambil memperhatikan kue jualan Zahra.
"Ini tuh kue cubit. Enak tau, ayo cobain dulu, kalau enak kalian boleh beli." ucapnya.
Mereka mulai mencoba, enak. Itu yang mereka rasakan.
"Gue mau Ra satu."
"Gue juga."
"Iya gue juga."
"Gue dua ya Ra."
"Gue satu Ra."
"Iya, iya. Sabar ya satu-satu." sambil membungkus kue cubit dan memberikan pada mereka.
Ririn tidak hanya diam, ia juga ikut membantu Zahra, membuat Zahra sangat senang pada Ririn.
"Alhamdulillah abis Ra." ucap Ririn senang.
"Iya Alhamdulillah Rin. Pokoknya mulai besok harus lebih banyak lagi nih bikinnya." ucapnya senang, lalu merapikan tempatnya yang sudah ludes habis, tak bersisa.
"Wah wah wah. Ada orang gak mampu di sini." Caca mendekat, ia menatap Zahra dan barang jualannya.
"Kasian banget pasti gak mampu buat bayar kuliah yah? hahahaha." ejek Caca bersama Riska, mereka berdua menertawakan Zahra.
Ririn mengepalkan tangannya kuat. Ia menatap Caca dan Riska satu persatu, ia tidak rela sahabatnya di ejek seperti itu.
"Jaga ucapan lo!" ucapnya tajam saat sudah di hadapan Caca.
Caca mengibaskan rambutnya kebelakang. "Emang fakta!"
Ririn menatap Caca tidak suka, ia tidak terima. "Jangan hina sahabat gue. Jaga mulut lo yang gak bermutu itu!" ucapnya dengan emosi yang tidak stabil.
Melihat keadaan yang semakin memburuk, Zahra langsung menarik tangan Ririn mundur. "Jangan Rin." larangnya.
Ririn menatap Zahra, lalu memegang kedua bahu Zahra. "Gue harus bales tuh orang Ra, gue gak terima sahabat gue sendiri di hina kaya gini." lalu menatap Caca dan Riska tajam.
"Awas lo!" ucapnya, lalu pergi ke tempat duduk, kerena bel sudah berbunyi.
"Leo?" gumam Zahra pelan saat melihat Leo yang tidak jauh dari hadapannya.Dengan buru-buru ia menghampiri Leo. "Leo." ucapnya saat sudah di hadapan Leo.Leo menaikan satu alisnya, ia menunggu kelanjutan Zahra."Zahra ikut pulang bareng Leo yah." ucapnya sambil tersenyum lebar.Leo menatap Zahra datar enggan untuk menjawab, lalu pergi dari hadapan Zahra."Ehh Leo, Leo. Tunggu." ucapnya sambil menahan pergelangan tangan Leo. Leo berbalik, ia menatap Zahra malas.Zahra langsung melepaskan tangan Leo. "Zahra ikut yah." mohonnya."Gak!" ucapnya datar."Kenapa?" tanyanya."Karena gue males." ucapnya, membuat Zahra menghela napas kasar, selalu saja begitu.Leo pergi dari hadapan Zahra. Namun, kembali menghampiri Zahra, membuat Zahra kembali tersenyum lebar."Ayo." ucapnya datar, lalu berbalik da
"Ririn." panggil Leo membuat Ririn langsung berbalik."Zahra mana?" tanyanya langsung to the point.Ririn memutar bola mata malas, lalu menghela napas kasar. "Lo kan pacarnya, kenapa nanyanya sama gue?" Ririn sengaja berkata seperti itu, agar Leo sadar.Leo hanya menatap Ririn datar, lalu pergi dari hadapan Ririn. Melihat Leo seperti itu membuat Ririn mendumel kesal, Ririn heran pada Zahra yang sampai sekarang bertahan dengan Leo, apa yang ia pertahankan? jika sikap Leo-nya aja seperti itu, ia benar-benar tidak habis pikir.Ririn mengacuhkan bahunya, setelah itu kembali jalan menuju kelas.Leo duduk di kursi kantin, ia mengaduk-aduk minumannya tidak selera. Entah kenapa ia merasa ada yang hilang, ia pun bingung dengan dirinya sendiri. Yang selalu memikirkan.....Zahra.Leo menghela napas kasar, ia menyederhanakan punggungnya pada kursi. I
"Ibu saya kenapa dok? kenapa dengan ibu saya?" air matanya terus keluar dengan deras, perasaannya tidak enak.Ririn mengusap-usap punggung Zahra. "Tenang Ra." ia pun sama ikut sedih. Tapi, ia tidak menunjukkan ekspresinya."Ibu anda kekurangan banyak darah, sehingga perlu memerlukan banyak darah. Tapi, di rumah sakit ini untuk stok golongan darah o sedang tidak ada." jelas dokter.Zahra menghapus air matanya kasar. "Saya dok, saya. Golongan darah saya o dok.""Baik kalau begitu ikut saya, saya periksa dulu." ucapnya.Zahra mengangguk, ia langsung mengikuti dokter tersebut.Zahra tersenyum melihat ibunya yang berada di sampingnya, untungnya golongan darahnya sama, sehingga ia dapat membantu ibunya."Cepat sembuh bu."---o0o---Zahra setia menemani ibunya yang masih belum siu
Ceklek! "Keluarga saudari pasien." panggil dokter. Zahra langsung menghapus air matanya cepat, lalu menghampiri dokter tersebut. "Iyah dok, bagaimana keadaan ibu saya dok?" tanyanya cemas. Dokter tersebut menghela napas. "Mari ikut keruangan saya sebentar, ada yang ingin saya bicarakan mengenai ibu anda." Zahra menganggukkan, lalu mereka langsung menuju ruangan tersebut. "Apa ibu anda pernah mengalami gangguan mental sebelumnya?" tanya dokter tersebut. Zahra mengangguk. "Pernah dok, dulu ibu saya terkenal gangguan mental ringan." "Jadi begini. Ibu anda mengalami gangguan mental kembali. Gangguan mental ibu anda itu parah dari sebelumnya, saya berharap anda harus extra sabar menghadapi ibu anda. Karena untuk sembuh, kemungkinan akan lama." jelas dokter panjang lebar. "Gangguan mental kembali?" perlahan air ma
"Happy birthday." Zahra tersenyum lebar, ia masih setia memberikan kadonya pada Caca. Namun sayangnya, Caca hanya diam, menatap Zahra dan kado itu datar.Zahra masih setia memegangi kadonya, ia terus tersenyum pada Caca tulus dari hatinya."Buat gue?" tanya Caca. Caca melihat kado itu tidak suka. Zahra tersenyum, lalu mengangguk. "Iyah." Caca memutar bola mata malas, ia mengambil kado pemberian Zahra jijik. Caca menatap Zahra remeh, ia memegangi kado itu sangat tidak suka. "Ini? buat gue?" lalu membuang kado tersebut tepat di hadapan Zahra,"Sorry, gak level!"
"Orang gila.""Orang gila.""Orang gila.""Orang gila.""Saya bukan orang gila! hahahaha." ibu itu tertawa sendiri, ia mengacak-acak rambutnya. Membuat anak kecil yang mengelilingi ibu itu tambah senang untuk mengejeknya."Orang gila, orang gila.""Hahaha orang gila.""Saya bukan gila!" ibu itu marah, dia mengejar-ngejar banyak anak kecil yang mengejeknya, membuat anak kecil itu semakin senang untuk mengejeknya.
Ceklek! "Keluarga saudari pasien." panggil dokter. Zahra langsung menghapus air matanya cepat, lalu menghampiri dokter tersebut. "Iyah dok, bagaimana keadaan ibu saya dok?" tanyanya cemas. Dokter tersebut menghela napas. "Mari ikut keruangan saya sebentar, ada yang ingin saya bicarakan mengenai ibu anda." Zahra menganggukkan, lalu mereka langsung menuju ruangan tersebut. "Apa ibu anda pernah mengalami gangguan mental sebelumnya?" tanya dokter tersebut. Zahra mengangguk. "Pernah dok, dulu ibu saya terkenal gangguan mental ringan." "Jadi begini. Ibu anda mengalami gangguan mental kembali. Gangguan mental ibu anda itu parah dari sebelumnya, saya berharap anda harus extra sabar menghadapi ibu anda. Karena untuk sembuh, kemungkinan akan lama." jelas dokter panjang lebar. "Gangguan mental kembali?" perlahan air ma
"Ibu saya kenapa dok? kenapa dengan ibu saya?" air matanya terus keluar dengan deras, perasaannya tidak enak.Ririn mengusap-usap punggung Zahra. "Tenang Ra." ia pun sama ikut sedih. Tapi, ia tidak menunjukkan ekspresinya."Ibu anda kekurangan banyak darah, sehingga perlu memerlukan banyak darah. Tapi, di rumah sakit ini untuk stok golongan darah o sedang tidak ada." jelas dokter.Zahra menghapus air matanya kasar. "Saya dok, saya. Golongan darah saya o dok.""Baik kalau begitu ikut saya, saya periksa dulu." ucapnya.Zahra mengangguk, ia langsung mengikuti dokter tersebut.Zahra tersenyum melihat ibunya yang berada di sampingnya, untungnya golongan darahnya sama, sehingga ia dapat membantu ibunya."Cepat sembuh bu."---o0o---Zahra setia menemani ibunya yang masih belum siu
"Ririn." panggil Leo membuat Ririn langsung berbalik."Zahra mana?" tanyanya langsung to the point.Ririn memutar bola mata malas, lalu menghela napas kasar. "Lo kan pacarnya, kenapa nanyanya sama gue?" Ririn sengaja berkata seperti itu, agar Leo sadar.Leo hanya menatap Ririn datar, lalu pergi dari hadapan Ririn. Melihat Leo seperti itu membuat Ririn mendumel kesal, Ririn heran pada Zahra yang sampai sekarang bertahan dengan Leo, apa yang ia pertahankan? jika sikap Leo-nya aja seperti itu, ia benar-benar tidak habis pikir.Ririn mengacuhkan bahunya, setelah itu kembali jalan menuju kelas.Leo duduk di kursi kantin, ia mengaduk-aduk minumannya tidak selera. Entah kenapa ia merasa ada yang hilang, ia pun bingung dengan dirinya sendiri. Yang selalu memikirkan.....Zahra.Leo menghela napas kasar, ia menyederhanakan punggungnya pada kursi. I
"Leo?" gumam Zahra pelan saat melihat Leo yang tidak jauh dari hadapannya.Dengan buru-buru ia menghampiri Leo. "Leo." ucapnya saat sudah di hadapan Leo.Leo menaikan satu alisnya, ia menunggu kelanjutan Zahra."Zahra ikut pulang bareng Leo yah." ucapnya sambil tersenyum lebar.Leo menatap Zahra datar enggan untuk menjawab, lalu pergi dari hadapan Zahra."Ehh Leo, Leo. Tunggu." ucapnya sambil menahan pergelangan tangan Leo. Leo berbalik, ia menatap Zahra malas.Zahra langsung melepaskan tangan Leo. "Zahra ikut yah." mohonnya."Gak!" ucapnya datar."Kenapa?" tanyanya."Karena gue males." ucapnya, membuat Zahra menghela napas kasar, selalu saja begitu.Leo pergi dari hadapan Zahra. Namun, kembali menghampiri Zahra, membuat Zahra kembali tersenyum lebar."Ayo." ucapnya datar, lalu berbalik da
Zahra terbangun dari tidurnya, ia melihat disekelilingnya, setelah itu ia memegang keningnya, lalu jalan menuju cermin. Alangkah bahagianya ia, saat ia melihat luka yang ada di keningnya yang sudah di tutupi oleh hansaplats.Hatinya sangat senang, ia sudah tahu siapa yang mengobati lukanya. Baru kali ini Zahra senang atas perlakuan ibunya yang mengobati keningnya, itu sangat berarti untuk Zahra. Dengan perasaan senangnya dan senyumannya terukir sempurna, ia segera mencari keberadaan ibunya.Zahra tersenyum senang saat melihat ibunya sedang menonton televisi. Zahra langsung menghampiri ibunya sedikit berlari dan....Hap!Zahra memeluk ibunya dari samping, membuat Rita kaget. Zahra masih setia memeluk Rita, ia sangat senang.Rita menatap Zahra tajam. Namun, Zahra tidak peduli, bahkan ia membunyikan wajahnya pada perut Rita dan itu membuat Rita semakin kesal.&nbs
"Orang gila.""Orang gila.""Orang gila.""Orang gila.""Saya bukan orang gila! hahahaha." ibu itu tertawa sendiri, ia mengacak-acak rambutnya. Membuat anak kecil yang mengelilingi ibu itu tambah senang untuk mengejeknya."Orang gila, orang gila.""Hahaha orang gila.""Saya bukan gila!" ibu itu marah, dia mengejar-ngejar banyak anak kecil yang mengejeknya, membuat anak kecil itu semakin senang untuk mengejeknya.
"Happy birthday." Zahra tersenyum lebar, ia masih setia memberikan kadonya pada Caca. Namun sayangnya, Caca hanya diam, menatap Zahra dan kado itu datar.Zahra masih setia memegangi kadonya, ia terus tersenyum pada Caca tulus dari hatinya."Buat gue?" tanya Caca. Caca melihat kado itu tidak suka. Zahra tersenyum, lalu mengangguk. "Iyah." Caca memutar bola mata malas, ia mengambil kado pemberian Zahra jijik. Caca menatap Zahra remeh, ia memegangi kado itu sangat tidak suka. "Ini? buat gue?" lalu membuang kado tersebut tepat di hadapan Zahra,"Sorry, gak level!"