Hari masih cukup pagi ketika seorang wanita bermake-up tebal dengan pakaian mini duduk di sofa di tengah sebuah ruangan.
Pandangannya berkeliling melihat jejeran rak penuh buku, melihat foto berbingkai pigura minimalis bercat hitam, dan sebuah meja kerja yang atasnya tertata rapi dengan jarak lebih dari enam meter di depannya.Di meja itu, dia menatap seorang pria yang tengah merapikan setumpuk kertas dengan wajah sedikit tertunduk penuh fokus.Pria itu berwajah tampan, namun tatapan matanya dingin dan muram. Tak ada sambutan hangat apalagi pelukan yang diterimanya kala mereka bertemu sehingga membuat wanita itu semakin bertanya-tanya.'Bukannya aku istrinya? Kenapa dia nggak acuh banget dan gak peduli sama aku?' bisik hati kecilnya."Kebetulan, kamu pulang di saat yang tepat," ujar pria itu memecah keheningan sambil mengangkat wajahnya dan berjalan ke arah sofa, kemudian dia duduk di seberang wanita itu."Saya ingin menanyakan tentang berkas perceraian kita. Apa kamu sudah tanda tangan?""Berkas perceraian?" Wanita di depannya menatap pria itu dengan ekspresi terkejut.Baru dua puluh menit lalu dia sampai di rumah setelah menempuh beberapa jam penerbangan dari Perancis ke Indonesia, suaminya sudah menanyakan surat cerai mereka."Jadi maksudmu kita akan bercerai?" tanya wanita itu dengan mata terbelalak.Pria itu mengerutkan alisnya, tanda tak suka. Wajah tampannya semakin terlihat muram."Jangan berpura-pura lupa, Maura," ujar pria itu dengan nada dingin sambil menautkan jari jemarinya dan menatap tajam pada wanita yang dipanggil Maura itu. "Kamu tak perlu bersandiwara."Maura terperangah dengan apa yang pria itu katakan. Ekspresi pria itu pun menggambarkan rasa tak suka dan kebencian kuat. Terlihat jelas, pria itu tak menaruh sedikitpun rasa percaya padanya seolah dia tak layak dipercaya.Maura menghela napas sambil memainkan kuku jarinya. Wajahnya masih terlihat begitu lelah karena dia belum beristirahat."Aku tak berpura-pura. Aku memang melupakan semuanya, Dewangga. Aku masih amnesia semenjak kecelakaan di Perancis bulan lalu," jawab Maura dengan wajah murung."Bukannya Lusi udah ngasih tahu kamu menenai aku yang kecelakaan? Tapi kenapa kamu gak pernah datang menyusulku ke sana untuk memastikan keadaanku?" tanya Maura sambil menatap pria bernama Dewangga itu untuk mencari sebuah jawaban yang mengganjal hatinya selama hampir sebulan."Maura, di sini tidak ada orang lain selain kita. Kamu masih mau berpura-pura bahwa kamu amnesia? Apa kamu pikir saya mudah dibodohi?" Pria yang bernama Dewangga itu balik bertanya dengan raut wajah yang menggambarkan sebuah amarah tertahan. Matanya yang dingin, bagaikan sebilah pisau yang siap menusuk jantung Maura kapanpun."Aku gak berpura-pura, Dewangga. Aku membawa berkas kesehatan yang menyatakan bahwa aku benar-benar amnesia," jawab Maura sambil meletakkan berkas kesehatannya di meja."Lantas, kamu pikir saya akan percaya dengan isi berkas itu?"Maura menatap wajah Dewangga dengan pandangan rumit. Jelas Maura bingung."Kamu menuduhku memalsukan isi berkas ini, Dewangga?" tanya Maura tak percaya."Kamu selalu punya banyak trik murahan, Maura. Amnesia ini salah satu trik murahanmu, kan, agar aku tak menceraikanmu?" tuduh Dewangga.Maura terhenyak. Pria di depannya benar-benar telah menuduhnya berdusta?Dia mulai memahami beberapa hal yang selama ini menjadi pertanyaan di hatinya. Sepertinya dia dan suaminya tak memiliki hubungan harmonis. Kesalahpahaman apa yang mereka miliki?"Gak apa-apa kalau kamu gak percaya sama aku. Kamu bisa cari tahu sendiri apa aku amnesia beneran atau bohongan," jawab Maura lirih.Maura menunduk menyembunyikan matanya yang berkaca-kaca. Dia tak berharap air matanya jatuh."Kamu tahu? Akan ada konsekuensi yang harus kamu terima kalau kamu berani menipu saya lagi," ujar Dewangga dengan rahang mengeras.Lagi?Maura terbelalak. Ucapan pria itu memantik rasa ingin tahu Maura. Wanita itu mengangkat wajahnya menatap Dewangga."Menipu kamu lagi? Jadi maksudmu, sebelumnya aku pernah menipu kamu?""Ya."Maura menelan ludahnya. Dia menatap sepasang manik mata yang sedingin es menghujam tepat ke ulu hatinya."A-aku pernah menipu apa?" tanya Maura gelisah.Dia melupakan segalanya. Dia tak ingat lagi kesalahan apa yang pernah dibuatnya di masa lalu.Wajah Dewangga terlihat marah. Tangannya terkepal kuat ketika mengingat kejadian beberapa tahun silam."Kamu ingin mengungkit kenangan buruk saya, Maura? Apa kamu berani membuat suasana hati saya berantakan?"Maura terdiam menatap pria itu. Dia butuh jawaban tetapi juga tak ingin membuat pria di depannya meledak karena emosi."Aku ...."Wanita itu menghela napas berat. Hidupnya sudah terasa cukup sulit semenjak dia terbangun dan tak mengenal siapapun.Dia merasa masa lalunya bagaikan mimpi panjang yang tak bisa diingatnya dalam sadar.Masih beruntung saat dia mengalami kecelakaan di Perancis, ada Lusi yang pergi bersamanya sehingga ada seseorang yang menjaga dan memberi tahunya banyak hal."Boleh aku tahu, kenapa kita menikah kalau akhirnya kita akan bercerai?" Maura mengganti pertanyaannya dengan hati-hati.Dewangga mengerutkan alisnya sambil menarik napas berat. Kentara sekali dia tak suka dengan pertanyaan itu. Emosinya semakin tergambar jelas."Maura, kamu benar-benar ingin mengungkit masa lalu saya yang buruk," jawab Dewangga dingin.Maura merasa pertanyaan yang diajukannya salah. Tapi, pertanyaan itu sudah terlontar dan tak bisa ditarik lagi. Dia memang sangat penasaran.Sungguh, Maura ingin tahu lebih banyak mengenai kehidupan yang pernah dijalaninya dahulu. Ada ratusan pertanyaan yang ingin diketahui jawabannya.Dia berharap suaminya menantikan kepulangannya dan berbagi cerita indah mereka. Namun kini harapan itu tak akan pernah terwujud."Tiga tahun lalu sebelum kita menikah, kamu menjebak saya di kamar hotel saat saya menghadiri sebuah pesta," ujar Dewangga dengan rahang mengeras sambil menatap Maura tajam.Andaikan tatapan bisa membunuh seseorang, mungkin Maura sudah terluka parah saat itu."Menjebak?" Maura terkejut, tak percaya."Ya. Entah cara apa yang kamu pakai, tiba-tiba saja kita berada di dalam satu kamar yang sama tanpa pakaian," lanjut Dewangga dengan tatapan jijik.Mulut Maura terbuka. Dia menatap pria itu dengan mata terbelalak lebar."Saat itu kamu mencampurkan obat bius ke dalam minuman saya, Maura," jawab Dewangga dengan pandangan merendahkan. "Oma Ambar yang memergoki kita memaksa saya untuk menikahimu dengan dalih menjaga nama baik dua keluarga.""Gak mungkin!" ujar Maura setengah berteriak sambil menggeleng. Dia tak percaya ada kejadian seburuk itu. "Aku gak mungkin ngelakuin hal rendahan seperti itu!""Ya. Kamu memang sudah melakukan hal rendahan, Maura," tuduh Dewangga kejam. "Kamu masih tetap mau mengelak seperti biasa?"Maura mematung dengan raut wajah kebingungan. Dia mencoba mengingat masa lalu, tetapi kepalanya berdenyut dan berdengung hebat sehingga membuat wajah lelahnya memucat.Sungguh, Maura merasa sangat menderita dan tak berdaya dengan kondisinya yang sekarang.Haruskah dia menerima tuduhan itu? Apa benar dia serendah dan selicik itu?"Sampai kapanpun, saya tak akan pernah lupa dengan kejadian itu, Maura," lanjut Dewangga sambil mengepalkan tangannya menahan amarah. "Jadi, jangan harap kamu bisa bahagia dalam pernikahan ini karena saya akan membuat kamu menderita."Napas Maura tercekat. Dia merasakan atmosfer di sekitarnya penuh tekanan. Dia berusaha tenang dan tak memaksakan diri mengingat terlalu keras agar kepalanya tak sakit.Dia menunduk menatap karpet coklat yang dipijaknya. Air matanya mulai menggenang kembali, tetapi dia menahannya agar tak jatuh."Kalau begitu ... supaya suasana hatimu gak semakin buruk, aku pamit ke kamar. Aku belum istirahat sama sekali, Dewangga," pinta Maura yang sudah ingin pergi dari sana semenjak memasuki ruangan itu sambil mengurut kepalanya."Aku cuma bisa ninggalin berkas kesehatanku di sini. Kamu harus membuka dan membacanya.""Ambil lagi. Saya tak butuh berkas itu," ujar Dewangga tak berminat. "Yang saya mau, berkas perceraian kita sudah ditandatangani.""Kalau itu ... aku gak ingat apa aku udah tanda tangan atau belum. Aku juga gak ingat di mana aku menyimpan berkasnya," jawab Maura dengan suara bergetar.Dewangga mengangkat kelopak matanya sambil memiringkan kepalanya. Dia memandang wajah pucat Maura dengan tajam."Aku akan mencarinya nanti," ujar Maura tertekan."Tidak perlu," jawab Dewangga sambil berdiri dan berjalan dengan tenang ke arah meja kerjanya."Mungkin berkas itu sudah kamu robek dan buang. Jadi, saya sudah menyiapkan berkas lain," lanjut pria itu sambil membawa sebuah map hitam dan meletakkannya dengan kasar di meja, tepat di depan Maura."Ini berkas perceraian kita. Inti dari isi berkas ini adalah kita berpisah secara baik-baik dan suka rela," ujar Dewangga dengan nada bicara yang lebih tenang. "Kamu bisa meninggalkan rumah ini paling lambat seminggu setelah berkas itu ditandatangani.""Satu lagi. Tanpa ada harta gono gini. Kita tak memiliki anak."Maura terdiam menatap deretan tinta hitam di atas kertas itu. Dalam waktu seminggu, dia harus pergi. Tapi, dia sama sekali tak memiliki tempat tujuan. Apa yang harus dilakukannya?"Saya beri kamu waktu setengah jam untuk membaca berkas itu," lanjut Dewangga berjalan kembali menuju meja kerjanya dan duduk di kursi, kemudian dia menatap ke luar jendela sambil menyalakan sebatang rokok.Maura menggapai berkas itu dengan tangan bergetar. Berbagai pikiran bergulat di benaknya.Kali ini Maura menatap Dewangga yang tak acuh dengan mata yang benar-benar basah. Dia tak bisa lagi menahan air matanya. Sungguh, Maura sangat tertekan.Maura menyeka pipinya. Tanpa sadar dia menghela napas panjang dan berat sehingga mengalihkan perhatian Dewangga dari pikirannya.Mata Maura terpaku pada sekumpulan teks di atas kertas, namun fokusnya tak ke sana."Maura, kamu sudah selesai membaca?"Dewangga berdiri menjulang di dekat Maura tanpa wanita itu sadari."Aku ...." Maura mendongak."Kalau kamu sudah selesai membaca, segera tandatangani berkasnya," ujar Dewangga sambil meletakkan sebuah pena bertinta hitam di meja dengan sama kasarnya seperti ketika pria itu meletakkan berkas perceraian mereka.Maura kembali menarik napasnya panjang sambil meraih pena itu. Dia tertegun menatap namanya di sana.Beragam pikiran dan pertimbangan muncul silih berganti bagaikan benang kusut."Maura, apa yang kamu tunggu? Ayo, tanda tangan," desak Dewangga sambil duduk di depan wanita itu dengan tak sabar.Maura mengangkat wajahnya dan menatap Dewangga tepat ke maniknya yang gelap.Semenjak mereka bertemu beberapa waktu lalu, pria itu tak pernah tersenyum padanya. Alisnya selalu berkerut seolah selalu marah.Nada bicaranya pun tak pernah enak didengar. Bahkan, pria itu tak sekalipun menanyakan keadaan kesehatannya hingga saat ini.Dari sikap dan caranya bicara, Maura tahu bahwa Dewangga sangat membencinya.Wanita itu pun mencondongkan tubuhnya ke depan, bersiap untuk memberikan coretan di atas namanya.Namun, baru saja ujung pena itu menyentuh permukaan kertas, dia terdiam."Ada apa, Maura? Apa lagi yang kamu tunggu?" tanya Dewangga tak sabar.Maura mengangkat wajahnya dengan raut yang polos dan jujur. "Dewangga, aku lupa seperti apa tanda tanganku."Dewangga menarik napasnya panjang sambil memejamkan kedua matanya. Tangannya terkepal menahan amarah."Kamu lupa dengan tanda tanganmu sendiri?" tanyanya dengan rahang mengeras.Maura mengangguk takut.Suhu udara di ruang kerja terasa turun beberapa derajat selsius. Maura merasakan perasaan dingin yang menusuk pori-pori."Jadi, kamu masih mau berlagak amnesia?" tanya Dewangga yang kesabarannya semakin menipis."Aku memang amnesia, Dewangga."Air mata Maura kembali menggenang mengaburkan pandangannya. Dia tak tahu bagaimana caranya meyakinkan pria itu bahwa dirinya tak berbohong.Maura menunduk dalam-dalam sambil menggenggam erat pena hitam. Detik berikutnya air matanya tumpah membasahi pipinya lagi.Dia menyeka wajahnya. Suara sesenggukkan dari tangisnya mulai terdengar amat pelan dan tertahan."Ini berkas pemeriksaan kesehatanku. Harusnya kamu baca walaupun hanya sebentar," kata Maura putus asa sambil menyodorkan berkas kesehatannya yang tadi ditolak pria itu.Dewangga menghela napasnya kasar. Ini pertama kalinya dalam tiga tahun pernikahan mereka, dia melihat Maura menangis seberapapun kerasnya dia membuat wanita itu menderita di rumahnya.Dewangga pun mengambil berkas kesehatan it
Maura mengatur napasnya sambil berjalan. Dia bersikap seolah-olah tak mendengar apapun. Seberapa keras Maura mencoba mengingat, nyatanya tak ada ingatan apapun di kepalanya. Yang ada kepalanya malah berdenyut sakit. Kedua asisten rumah tangga itu terdiam ketika mereka mendengar langkah kaki Maura yang berjalan ke arah meja makan. Keduanya segera pergi dari sana dengan wajah gugup. Setelah makan, Maura kembali ke kamar dan membersihkan dirinya dari mulai ujung rambut sampai ujung kaki. Dengan mengenakan jubah mandi, dia duduk di depan meja rias dan memandang wajahnya yang polos tanpa make-up. Dia teringat ucapan Lusi yang mengatakan bahwa Dewangga menyukai wanita cantik. "Apa aku harus berdandan lagi hari ini demi menarik perhatian Dewangga seperti yang Lusi bilang?" gumamnya perlahan sambil menatap lekat wajahnya. Dewangga membencinya, dia ingat itu. Jadi, rasanya percuma jika dia berdandan. Toh, pasti Dewangga tetap akan membencinya karena dia pernah menjebak pria itu di kamar h
Bibir Maura terkatup rapat sambil menatap Dewangga. Pria itu begitu akrab dan hangat ketika berbicara dengan Alena, tapi akan tampak dingin dan kasar ketika berbicara dengannya. "Aku nggak menuduh kamu selingkuh. Aku hanya merasa ...." Maura menghentikan kalimatnya. Dia tak tahu bagaimana cara mengatakan seluruh perasaannya bahwa dia sangat menyesal atas situasi mereka yang sekarang terjebak sebuah pernikahan yang tak diinginkan. "Intinya, aku ingin meminta maaf atas segala kesalahanku yang dulu. Maaf, aku telah hadir di antara kalian." Maura beranjak dari sana untuk mencuci peralatan makan yang digunakannya. Tapi, Dewangga dan Alena sama-sama terkejut. Apa yang barusan mereka dengar? Sejak kapan seorang Maura bersedia meminta maaf? Dewangga mengepalkan tangannya erat. Kata maaf yang Maura lontarkan tak akan mengubah pendiriannya untuk membuat wanita itu menderita di rumahnya. Dia tak akan berbelas kasih atas penderitaan yang dirasakannya selama tiga tahun terakhir selama mereka
"Ha, ha, ha .... Aku bercanda, Oma," ujar Maura sambil tertawa canggung. "Jangan dianggap serius." Maura mematikan kompor karena masakannya telah matang. Dia segera mencuci tangannya dan menghampiri wanita tua itu sambil melepaskan celemek dan meninggalkan oseng daging sayuran di wajan. "Sini, Oma. Duduk sini," ajaknya sambil meraih lengan wanita tua itu dan membawanya duduk di salah satu kursi dapur. Maura diam-diam melirik ekspresi wajah Dewangga yang mulai kembali datar. Bahkan ekspresi wajah Mia juga terlihat lega. "Dasar, anak nakal. Oma sampai kaget. Oma kira kamu nggak mau kenal lagi sama oma," gerutu Oma Ambar sambil duduk. "He, he, he ...." Maura kembali tertawa. Dia lega karena sepertinya dia tak melakukan kesalahan fatal. "Kamu kelihatan cantik banget hari ini, Maura," puji oma Ambar tulus sambil menatap penampilan wanita itu. "Padahal cuma pakai lipstik doang, ya? Cuma seoles, pula." "Ah, Oma bisa aja." Maura merasa malu, tapi juga senang karena wanita tua itu terlih
"Dia jemput kamu?" tanya Andreas sambil menatap ekspresi wajah Maura yang terlihat kaget. "Kayaknya iya." Maura mengangguk. "Aku pulang duluan, ya, Mas." "Oke." Kini giliran Andreas yang mengangguk. Maura beranjak menenteng tasnya dan meninggalkan sesuatu di meja. "Maura," panggil Andreas ketika Maura hampir mencapai pintu keluar. "Masakan kamu ketinggalan." Maura menoleh. Andreas berjalan cepat sambil menyodorkan rantang susun plastik berukuran sedang milik Maura yang berisi gulai ayam khas Minang yang baru dipelajarinya hari ini. Kelas memasak itu memang memperbolehkan pesertanya membawa pulang masakan yang sudah mereka buat, karena itulah biayanya lumayan mahal bagi Maura. "Terima kasih banyak, Mas," kata Maura sambil menerima rantang susunnya dan tersenyum lebar. "Aku pulang, ya." Maura melambaikan tangan. "Ya, hati-hati di jalan." Dewangga menatap tajam Maura dan Andreas bergantian. Hatinya diliputi rasa tak nyaman, kemudian dia menarik tangan Maura dan pergi begitu saja.
"Maura, kamu nggak apa-apa, Nak?? Maura? Maura?" Panggilan lembut beberapa kali membuat Maura membuka matanya perlahan. Dia menatap langit-langit kamar dan mulai teringat bahwa sebelum terjatuh dia berada di sisi ranjang Dewangga. Di sampingnya, oma Ambar duduk menggenggam tangannya dengan wajah khawatir. Kemudian Maura merasakan pijatan lembut dan hangat di kakinya. Mia ada di ujung ranjang sambil mengoleskan minyak dan memijat kakinya, sementara Yanti datang membawa teh hangat. "Syukurlah kamu udah sadar." Kekhawatiran di wajah oma Ambar sedikit berkurang. "Kamu kenapa? Bagian mana yang sakit?" "Oma?" Maura mencoba bangkit untuk duduk, kepalanya masih sedikit pusing ditambah sakit akibat benturan. "Jangan bergerak terlalu banyak. Kamu minum dulu tehnya. Dewangga lagi menghubungi dokter," kata oma Ambar sambil menyodorkan teh yang dibawa Yanti. Maura menoleh ke tempat lain, kemudian meminum setengah cangkir. Di dekat jendela, Dewangga masih berbicara dengan seseorang di telepo
Lontaran pertanyaan dari Alena membuat Maura gugup. Mungkin dia telah melakukan kesalahan di masa lalu. Tapi sekarang, jangan sampai dia membuat Dewangga dan Alena bertengkar karenanya. "Maaf, Alena. Aku bisa jelasin," kata Maura tak enak hati sambil berdiri. Wanita itu benar-benar mengira Dewangga dan Alena memiliki hubungan khusus. "Duduk, Maura. Kakimu harus istirahat," ujar Dewangga menekan pundak Maura sehingga wanita itu kembali duduk. "Diam di sini. Tak ada yang perlu dijelaskan," lanjut pria itu dengan tegas. Dia mengerti dengan jelas maksud perkataan Maura yang mengira dirinya ada hubungan khusus dengan Alena. "Tapi Dewang—" "Saya yang membawa Maura ke sini." Dewangga memotong ucapan Maura sambil berdiri tegak, sekaligus menjawab pertanyaan Zefan dan Alena. Zefan maupun Alena semakin terkejut. Keduanya saling melempar pandang, sementara Maura semakin tak enak hati. "Maura, kamu tunggu di sini. Aku akan memastikan pertemuan ini tak akan lebih dari satu jam," kata Dewang
Maura menoleh menatap Zefan, mempertanyakan apa yang Dewangga katakan. "Oh, itu ... jadwalnya udah ditetapkan, Nyonya. Jam empat sore nanti Nyonya harus udah tiba di sana," kata Zefan. "Kenapa kamu gak tanya dulu ke saya? Saya belum menyetujui apapun," protes Maura. "Sore ini saya ada kelas memasak." "Maaf, Nyonya. Saya yang salah. Saya nggak tahu kalau nyonya udah ada rencana. Tapi ... gak mudah bikin janji sama psikolog ini, Nyonya." Zefan menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Dia sudah terbiasa menjadi kambing hitam bosnya, tetapi kejadian hari ini sedikit membuatnya kesal karena dia belum siap. "Saya gak mau pergi ke psikolog hari ini," tolak Maura. "Jadwalnya ganti aja jadi besok pagi. Saya mau ikut kelas memasak." "Tidak bisa. Kakimu terkilir. Pastikan kondisi kakimu baik dulu baru ikut kelas memasak lagi," ujar Dewangga tegas, kemudian tatapannya berubah mengancam. "Jangan membuat oma selalu mencemaskanmu, Maura." Maura menarik napasnya. Ya, oma Ambar pasti akan semakin m
Di kantor sore itu, Zefan yang tengah membantu merapikan beberapa berkas kontrak, menatap bosnya setelah membaca sebuah pesan yang masuk. Keduanya sama-sama duduk di sofa setelah selesai berdiskusi singkat.“Malam ini ada acara, kan? Pernikahan anaknya pak Bobby,” katanya membuka suara sekaligus mengingatkan, membuat Dewangga menoleh sekilas. “Setelan jas pesananmu katanya akan tiba di sini sebentar lagi. Gaun dan sepatunya juga.”Dewangga menjawab dengan anggukan.“Dengan siapa kamu akan datang? Apa aku harus menghubungi nyonya Maura buat minta dia bersiap-siap?”Dewangga terdiam sejenak. Dia teringat dengan penolakan Maura padanya saat pria itu mengajaknya membeli hadiah kalau wanita itu libur bekerja nanti. Mungkin Maura juga akan menolak ajakannya datang ke pesta pernikahan itu malam ini.Bukankah memang sebelumnya dia tak pernah mengajak wanita itu menghadiri berbagai acara? Pasti Maura juga bisa menebaknya meski sekarang dia amnesia.“Nggak usah hubungi dia,” ujar pria itu denga
“Tiga puluh ribu, Mas,” jawab penjual bakso itu yang langsung menatap Maura. “Neng, ini suaminya, ya?” tanya penjual bakso itu, membuat Maura enggan mengakuinya karena takut pria itu akan marah. “Iya, Pak.” Dewangga yang menjawab sambil menyodorkan selembar uang kertas berwarna merah. “Kembaliannya ambil aja.” Penjual bakso itu tersenyum cerah. “Makasih Mas. Duh, yang satu cantik, yang satunya lagi ganteng. Dua-duanya baik pula. Benar-benar pasangan suami istri yang cocok.” Maura terdiam sambil tersenyum kaku, sementara Dewangga menanggapi candaan itu dengan ekspresi santai, seperti ekspresinya saat menjenguk pak Jo di rumah sakit dulu. Penjual bakso itu berpamitan pergi, meninggalkan keduanya. “Ayo, pulang,” kata Dewangga sambil berjalan lebih dulu. Wajahnya yang ramah kembali berubah datar. Maura berjalan dalam diam sambil menatap kerikil, mengikuti Dewangga di belakangnya. “Kenapa kamu malah ada di rumah? Bukannya tadi pagi bilangnya mau ke restoran?” tanya Dewangga sa
Maura tercekat menatap Dewangga. Tatapannya beralih pada mbok Narti yang masih menangis dengan tubuh gemetar.Kapan dia berkata ingin memecat wanita paruh baya itu?“Dewangga, aku … aku nggak bermaksud mecat mbok Narti,” ujarnya perlahan sambil menunduk.Mengingat bahwa dia bersikap sangat buruk di masa lalu, pasti Dewangga akan salah paham dan tak akan percaya padanya.Segala penjelasannya akan menjadi sia-sia.“Lalu, apa yang saya dengar barusan?” tanya pria itu masih dengan wajah yang garang.Maura mendesah frustrasi. “Aku nggak tahu kenapa mbok Narti ngomong kayak gitu.”“Mbok, ikut saya,” perintah Dewangga sambil berjalan meninggalkan Maura.Mbok Narti segera mengikuti, sementara Maura diam-diam mengepalkan tangannya di belakang tubuhnya.Dewangga masuk ke ruang kerjanya, diikuti mbok Narti.Pria itu segera duduk di kursinya.“Mbok, bukannya suami Mbok masih di rumah sakit?” tanya pria
Maura menarik napasnya panjang, menetralisir rasa sesak dan kecewa di dadanya.“Kamu juga pasti tahu sendiri alasan kenapa selama ini kamu nggak pernah ngajak aku buat beli hadiah. Iya, kan?” Maura balik bertanya sambil menatap Dewangga. “Karena aku nggak tahu selera mama Laura, atau selera siapapun di rumah keluargamu terlebih aku yang sekarang. Jadi sebaiknya kamu ajak orang lain aja, supaya nggak salah beli barang.”Maura tersenyum sendiri sambil menunduk menatap jari-jari tangannya yang gemetar, menertawakan dirinya.Mengapa dia harus kecewa? Dia sendiri yang bukan orang baik sehingga semua orang membencinya. Tentu saja dia harus menerima segala konsekuensinya sekarang.Atmosfer di dalam mobil terasa lebih berat. Dewangga melonggarkan dasinya dan tiba-tiba saja menghentikan mobilnya di tepi jalan.“Keluar!” titahnya dengan nada dingin, membuat Maura terkejut.“Dewangga, ini masih jauh dari restoran, lho,” ujarnya protes.
“Clara, tolong jaga bicaramu,” pinta Dewangga dengan tatapan tajam. Clara mendengus. “Biasanya juga aku kayak gini, kok. Biasanya juga dia selalu membalas kata-kataku. Kenapa sekarang jadi Kakak yang belain dia? Selama ini dia kan yang paling pintar membela dirinya sendiri. Kenapa hari ini tiba-tiba jadi diam? Kayak bukan Maura aja,” gerutu Clara. “Clara ….” Narendra meninggikan suaranya setengah oktaf. “Sebaiknya kamu tutup mulut.” “Lho, yang aku bilang itu bener, kok. Dia itu arogan, sombong, dan nyebelin hanya karena bisa memenangkan hati oma. Hanya karena dia tahu oma sayang banget sama dia, bahkan om Teguh, tante Laura dan mama harus mikir dua kali kalau mau nyinggung dia. Kakak lupa dengan penderitaan kak Angga selama menikah dengannya?” lanjut Clara seolah belum puas mengatakan isi hatinya. “Semua orang tahu kalau kak Angga tertekan menikah dengannya. Semua orang nggak buta, kecuali kak Naren yang otaknya ada masalah.” “Clara!” Dewangga juga menaikkan suaranya, sementara N
“Oma melihat Dewangga tidur di ruang kerja semalam,” ujar Laura sambil menatap mata Maura. "Oma udah minta Dewangga pindah ke kamar, tapi kayaknya dia tetap di ruang kerja, deh.""Oh?" Maura semakin terkejut. "Kalau itu, aku ....""Selamat pagi, Maura. Selamat pagi semuanya." Oma Ambar datang bersama Vivian dan Clara.“Selamat pagi.”"Dewangga belum datang, ya?""Belum, Oma." Narendra yang menjawab.“Kamu datang pagi sekali,” ejek Clara sambil tersenyum pada Maura dan duduk di samping ibunya, dekat dengan Narendra setelah oma Ambar dan yang lainnya duduk. "Biasanya kami semua yang sering menunggumu datang. Tapi hari ini kamu mau menunggu kami. Benar-benar ajaib."Vivian menatap Clara, memintanya untuk menjaga mulutnya, membuat Clara merasa kesal.“Apa tidurmu nyenyak, Nak?” tanya oma Ambar pada Maura dengan lembut.Maura mengangguk tersenyum, membuat wanita tua itu lega.“Oma cuma perhatian sama dia aja, deh. Rasanya nggak adil,” gerutu Clara."Clara, hati-hati dengan mulutmu," ujar N
Maura menyeka matanya dengan kasar, kemudian mendorong dada Dewangga padahal wanita itu masih ada dalam gendongannya. “Kamu akan jatuh kalau mendorongku seperti itu, Maura,” peringat Dewangga sambil menatap Maura tajam. "Turunkan aku, Dewangga," pinta Maura. Bukannya menurunkan wanita itu, Dewangga malah berjalan ke arah tempat tidur dan menurunkan Maura dengan lembut di atas kasur. “Kalau mau tidur, tidur di sini,” kata Dewangga tak mempedulikan ucapannya, kemudian pria itu duduk di samping Maura yang tengah berbaring menatapnya. “Katakan padaku, mengapa kamu menangis?” “Nggak kenapa-napa,” jawab Maura sambil berbaring memunggungi pria itu dan memejamkan matanya. Dewangga menatap bahu Maura yang terlihat kecil. Dia mengerutkan alisnya. Apa Maura sekurus ini dulu? Bobot tubuhnya pun terasa ringan. Kemudian dia segera memperbaiki posisi selimut yang dipakai wanita itu. “Kalau kamu tak mau kita tidur di ranjang yang sama, cukup katakan sejujurnya saja,” gumam Dewangga perlahan, t
Maura menahan napasnya ketika mobil yang ditumpanginya berhenti tepat di depan teras. "Mereka semua keluargamu?" tanya Maura dengan perasaan cemas. Dewangga mengangguk. "Bersikaplah seolah-olah kamu mengenal mereka semua. Aku dan Naren akan berusaha membantumu agar tak ada yang tahu bahwa kamu amnesia." "Yang pakai baju putih di samping kiri oma Ambar itu papa Teguh Bagaskara. Di sebelahnya mama Laura. Di samping kanan Oma itu tante Vivian adiknya papa, lalu anak perempuannya Clara, sekaligus adiknya Naren. Kamu bisa ingat, kan?" Maura mengangguk mengerti. Dia turun dan mengikuti langkah Dewangga menuju teras rumah. "Akhirnya setelah beberapa bulan berlalu, kalian mau menginap juga di rumah oma," kata oma Ambar senang, menyambut keduanya dengan senyum lebar. "Lho? Kamu beneran Maura?" tanya Laura sambil melihat penampilannya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Maura tercekat. Apa mereka mengetahui bahwa dia tengah amnesia? Maura pun menoleh pada Dewangga dengan perasaan was-wa
Maura menatap Dewangga dengan pandangan takut. Ingatannya satu lagi perlahan datang, namun semuanya hanya ingatan buruk. Ingatan kali ini lebih jelas dari ingatan lainnya, seolah baru terjadi kemarin. Maura ingat bagaimana wajah Dewangga yang sangat marah ketika dia menjambak Alena di masa lalu karena diam-diam Alena memprovokasinya, kemudian ketika Maura terpancing amarah, Alena bersikap seolah-olah semua salah Maura. Saat itu Dewangga hampir menamparnya. Alena selalu menjebak Maura seolah Maura selalu menganiayanya, kemudian berpura-pura lemah dan tertindas. Maura yang di masa lalu sangat pemarah karena faktor frustrasi, selalu terpancing dan masuk dalam jebakannya. Maura merasakan sudut hatinya begitu nyeri ketika ingatan itu muncul. Dia menderita dan sedih di waktu yang bersamaan. "Maura? Ada apa?" tanya Dewangga khawatir saat melihat wajah wanita itu pucat pasi. Maura beringsut menjauh dan menatap Dewangga dengan tubuh gemetar. "Jangan mendekat." Dewangga yang melihatnya me