Home / Rumah Tangga / Sebelum Kita Bercerai / Bab 30. Pusaran Rasa

Share

Bab 30. Pusaran Rasa

Author: Clau Sheera
last update Last Updated: 2024-05-26 18:17:43

Maura menahan napasnya ketika mobil yang ditumpanginya berhenti tepat di depan teras.

"Mereka semua keluargamu?" tanya Maura dengan perasaan cemas.

Dewangga mengangguk. "Bersikaplah seolah-olah kamu mengenal mereka semua. Aku dan Naren akan berusaha membantumu agar tak ada yang tahu bahwa kamu amnesia."

"Yang pakai baju putih di samping kiri oma Ambar itu papa Teguh Bagaskara. Di sebelahnya mama Laura. Di samping kanan Oma itu tante Vivian adiknya papa, lalu anak perempuannya Clara, sekaligus adiknya Naren. Kamu bisa ingat, kan?"

Maura mengangguk mengerti. Dia turun dan mengikuti langkah Dewangga menuju teras rumah.

"Akhirnya setelah beberapa bulan berlalu, kalian mau menginap juga di rumah oma," kata oma Ambar senang, menyambut keduanya dengan senyum lebar.

"Lho? Kamu beneran Maura?" tanya Laura sambil melihat penampilannya dari ujung rambut sampai ujung kaki.

Maura tercekat. Apa mereka mengetahui bahwa dia tengah amnesia? Maura pun menoleh pada Dewangga dengan perasaan was-was.

Dewangga memberikan anggukan kecil sekilas, meyakinkannya bahwa dia tak boleh ragu.

"Kamu cantik sekali, Nak," lanjut Laura sambil tersenyum.

"Terima kasih, Tan—eh, Ma," jawab Maura hampir salah bicara.

"Kalau bukan Maura siapa lagi, Ma?" tanya Dewangga sambil memberikan kode pada Maura agar mendekat ke arahnya.

Maura pun mendekat sambil tersenyum. "Selamat malam, semuanya," sapanya ramah.

"Wuahh .... Kamu beneran Maura?" Clara melipat kedua tangannya di dada sambil memperhatikan penampilan Maura, namun Vivian segera menepuk lengannya dan memberi peringatan lewat tatapan mata.

"Lihat, Ma. Dia bersikap aneh. Maura biasanya tak akan mengucapkan salam ramah seperti itu. Dia akan bersikap sombong walaupun berada di rumah nenek mertuanya," celetuk Clara sambil menatap sinis Maura yang terlihat cantik dengan sapuan makeup tipis.

Maura tertohok mendengar ucapan itu. Seburuk itukah dirinya dulu? Ada rasa marah, sedih, dan sakit hati yang bercampur aduk, namun lebih dominan adalah rasa tak berdaya. Maura membenci itu.

"Maura." Dewangga memanggil sambil mengulurkan tangannya dan menggenggam tangan wanita itu. "Tak apa-apa. Abaikan dia," bisiknya perlahan di telinga membuat semua orang terkejut dengan perlakuan Dewangga yang baik terhadap Maura, kecuali oma Ambar yang terlihat sangat senang dan lega.

"Cih!" Clara mendecih kesal. Tak hanya Maura yang aneh, Dewangga pun sama anehnya.

"Nggak biasanya kamu baik sama wanita ini," kata Clara kesal. "Biasanya kamu mengabaikannya. Ada apa, Kak?" tanya Clara pada Dewangga dengan tatapan menyelidik.

"Kalau kamu masih menghargaiku sebagai kakak sepupumu, maka kamu juga harus menghargai Maura sebagai istriku."

Clara terpaku. Dewangga jelas-jelas memihak dan membela Maura yang selama ini dibencinya. Sejak kapan? Mengapa bisa?

"Mama apa kabar? Lama nggak ketemu," sapa Maura sambil mengulurkan tangannya dan mencium punggung tangan wanita itu dengan takzim sehingga membuat Laura benar-benar terkejut dan hampir tak bisa berkata-kata.

"Ba-baik, Nak, baik," jawab wanita paruh baya yang masih cantik itu. Dia keheranan dengan sikap Maura sehingga langsung menatap suaminya, ingin memastikan bahwa Maura tak salah bertindak.

"Pa." Maura pun berganti mencium tangan Teguh, yang hanya bisa mengangguk sambil tersenyum lebar. Pria itu memiliki kemiripan dengan Dewangga hampir di segala sisi, terutama wajahnya.

Setelah itu Maura mencium tangan oma Ambar, yang dibalas oma Ambar dengan pelukan sayang. Setelah selesai, giliran Maura mencium tangan Vivian, yang dibalas dengan senyum tipis dan anggukan kecil.

"Hai, Clara." Maura menyapa Clara sambil menyodorkan tangannya untuk bersalaman. Namun dengan angkuh dan sombong, Clara menepis tangan Maura kasar sehingga mendapat cubitan dari ibunya di perut samping.

"Jangan dimasukkan ke hati, ya, Nak," pinta Vivian pada Maura sambil mengelus pundaknya.

Maura hanya mengangguk kecil sebagai jawaban.

"Kamu nggak mau salaman sama aku, Maura?" tanya Narendra dengan wajah penuh harap campur kecewa ketika wanita itu menggandeng tangan oma Ambar seolah melupakan keberadaannya.

Maura menoleh ke pemilik suara dan berkata, "Aku nggak mau!" kemudian membuang wajahnya. Entah mengapa, melihat Narendra dan mengingat betapa cerewetnya pria itu membuatnya sebal.

Beberapa orang tertawa.

"Ternyata kamu memang masih Maura," kata Laura tertawa kecil. "Mama kira kamu orang lain yang berpura-pura jadi Maura."

"Sekarang Maura udah lebih dewasa, Laura," bela oma Ambar dengan bangga. "Kamu, Clara. Sudah seharusnya kamu bersikap dewasa juga. Jangan terus menerus memusuhi Maura. Dia adalah keluarga kita, bagian dari kita."

Clara hanya mencebik diam-diam, namun segera disadari oleh ibunya yang langsung memberinya tatapan peringatan.

"Ayo, masuk. Kita makan malam bersama," ajak Teguh pada semua orang sambil menepuk pundak Dewangga.

Dewangga berjalan masuk sambil mengobrol dengan Teguh dan Narendra, sementara Maura mengobrol dengan oma Ambar, Laura, dan Vivian.

***

Setelah makan, Dewangga mengajak Maura ke sebuah kamar di lantai atas karena mereka harus membersihkan diri.

"Ini kamar yang biasa kita pakai saat kita menginap di sini," ujar pria itu sambil membuka pintunya dengan lebar.

Maura masuk dan melihat sekelilingnya. Ada sebuah potret besar di sana yang digantung di dinding, sebuah foto pernikahan yang tak ditemukannya di rumah kediaman Dewangga.

Dalam foto itu Maura tampak tersenyum lebar, sementara Dewangga berwajah muram. Sangat terlihat bahwa hanya dirinya yang bahagia menikah, dan hanya dirinya yang memiliki perasaan cinta. Cinta yang benar-benar bertepuk sebelah tangan.

Maura diam-diam mendesah perlahan. 'Kasihan diriku yang dulu, mencintai orang yang tak bisa membalas cintanya,' gumamnya dalam hati.

"Ada apa, Maura?" tanya Dewangga begitu pria itu melihat Maura terpaku menatap foto pernikahan mereka.

Maura menggelengkan kepalanya.

"Ini foto pernikahan kita. Di rumah, ada foto seperti ini juga di album foto di ruang kerjaku," ujar Dewangga menjelaskan meski Maura sebenarnya tak ingin tahu.

Maura semakin paham bahwa kebersamaan mereka tak seharusnya terjadi karena sepertinya mereka tak pernah menghabiskan waktu luang untuk saling berbagi segalanya.

Bahkan Maura yakin bahwa selama ini mereka tak pernah berbagi apapun selain berbagi atap yang sama untuk tinggal. Itupun karena terpaksa.

"Mau mandi lebih dulu?" tanya Dewangga membuyarkan lamunannya.

"Apa boleh?" Maura balik bertanya.

"Ya, tentu. Kamar mandinya di sana," tunjuk Dewangga pada sebuah pintu yang tak jauh darinya. "Handuk dan jubah mandi ada di laci bufet dekat wastafel."

Maura mengangguk sambil beranjak dan masuk ke kamar mandi.

Dengan cepat dia membersihkan diri dan membungkus tubuhnya dengan jubah mandi.

Dia tak ingin berlama-lama di sana karena takut Dewangga tengah menunggu giliran.

"Sudah selesai?" tanya Dewangga yang memangku sebuah laptop dengan alis sedikit berkerut sambil melihat jam besar di dinding. Seingatnya dulu, paling sebentar Maura mandi selama setengah jam, tapi ini baru lima belas menit dan wanita itu telah selesai.

Maura mengangguk.

"Pakaianmu ada di sana," tunjuk Dewangga pada sebuah pintu walking closet yang terbuat dari kaca transparan. "Ada di bagian paling kanan."

Maura mengangguk lagi sambil beranjak.

Ada cukup banyak pakaian di walking closet itu yang dua pertiganya didominasi oleh pakaian Dewangga. Maura memilih-milih pakaian perempuan yang sepertinya miliknya.

Tak mungkin juga kalau Dewangga menaruh pakaian perempuan lain di rumah itu.

Wajahnya merona malu ketika menemukan berbagai model lingerie yang digantung di sana.

"Aku yang dulu benar-benar tak tertolong," keluhnya pada diri sendiri ketika melihat koleksi lingerie-nya yang sungguh terbuka di mana-mana.

Pantas Dewangga membencinya. Sepertinya dia memaksakan cintanya pada pria itu seolah dirinya sudah tak memiliki kewarasan dan akal sehat. Dia juga sudah tak memiliki harga diri lagi.

Maura sempat kebingungan harus memakai pakaian apa. Kebanyakan pakaian-pakaian itu terlalu terbuka.

Akhirnya dia mengeluarkan sebuah midi dress putih yang terbuat dari katun dan memakainya di sana setelah memastikan bahwa Dewangga tak ada di sofa.

Maura keluar dari walking closet sambil memeluk sebuah selimut putih yang diambilnya dari dalam sana. Matanya berkeliling melihat seluruh ruangan itu, kemudian telinganya mendengar samar suara gemericik air dari kamar mandi. Pasti Dewangga sedang membersihkan dirinya.

Wanita itu duduk di sofa menunggu Dewangga selesai. Matanya tertuju pada sebuah laptop yang tergeletak di meja dalam keadaan tertutup, sementara tangannya menyimpan selimut di samping.

Entah keberanian dari mana, entah apa yang menuntun hatinya. Tangan Maura terulur membuka laptop itu. Dia begitu penasaran dengan apa yang tadi dikerjakan oleh Dewangga.

Dia pikir, dia akan melihat tampilan home screen yang rapi, namun ternyata langsung melihat sebuah dokumen yang membuatnya tertegun dengan perasaan sakit luar biasa.

Itu dokumen perceraian mereka.

Maura meraup napas dalam-dalam karena mendadak dadanya sesak. Sebutir air mata jatuh di pipinya.

Maura mengalihkan tatapannya pada pintu kamar mandi yang masih tertutup rapat, kemudian dia menutup dan meletakkan laptop itu di tempat semula.

Wanita itu membaringkan tubuhnya yang lelah di atas sofa sambil menutupinya dengan selimut, memunggungi meja dan memejamkan matanya.

Maura belum tertidur saat dia mendengar pintu kamar mandi terbuka dan langkah kaki yang mendekat ke arahnya.

Tercium aroma sabun yang lembut, sabun yang sama yang dipakainya tadi. Tapi rasanya kalau Dewangga yang memakainya jadi terasa lebih wangi.

"Maura, Maura," panggil Dewangga sambil mengguncang pelan bahu wanita itu. "Kalau mau tidur, tidur di kasur."

Maura tak bergeming dan berpura-pura sudah tertidur. Dia mendengar suara langkah kaki yang menjauh.

Maura semakin merapatkan matanya. Dia lelah. Dia ingin tidur. Dia ingin melupakan rasa sakitnya, rasa lelahnya, sesak di dadanya, dan semua perasaannya yang tak seharusnya ada.

Bahunya berguncang menahan isak tangis yang tiba-tiba datang tanpa bisa ditahannya.

Namun tiba-tiba tubuhnya melayang di udara bersama dengan selimut yang dipakainya.

Maura terkejut ketika Dewangga mengangkat tubuhnya. Seketika pandangan mata mereka bertemu.

"Kamu menangis, Maura?" tanya Dewangga yang masih menahan tubuh Maura dalam pangkuannya.

Related chapters

  • Sebelum Kita Bercerai   Bab 31. Ruang Makan

    Maura menyeka matanya dengan kasar, kemudian mendorong dada Dewangga padahal wanita itu masih ada dalam gendongannya. “Kamu akan jatuh kalau mendorongku seperti itu, Maura,” peringat Dewangga sambil menatap Maura tajam. "Turunkan aku, Dewangga," pinta Maura. Bukannya menurunkan wanita itu, Dewangga malah berjalan ke arah tempat tidur dan menurunkan Maura dengan lembut di atas kasur. “Kalau mau tidur, tidur di sini,” kata Dewangga tak mempedulikan ucapannya, kemudian pria itu duduk di samping Maura yang tengah berbaring menatapnya. “Katakan padaku, mengapa kamu menangis?” “Nggak kenapa-napa,” jawab Maura sambil berbaring memunggungi pria itu dan memejamkan matanya. Dewangga menatap bahu Maura yang terlihat kecil. Dia mengerutkan alisnya. Apa Maura sekurus ini dulu? Bobot tubuhnya pun terasa ringan. Kemudian dia segera memperbaiki posisi selimut yang dipakai wanita itu. “Kalau kamu tak mau kita tidur di ranjang yang sama, cukup katakan sejujurnya saja,” gumam Dewangga perlahan, t

    Last Updated : 2024-06-13
  • Sebelum Kita Bercerai   Bab 32. SINDIRAN UNTUK MAURA

    “Oma melihat Dewangga tidur di ruang kerja semalam,” ujar Laura sambil menatap mata Maura. "Oma udah minta Dewangga pindah ke kamar, tapi kayaknya dia tetap di ruang kerja, deh.""Oh?" Maura semakin terkejut. "Kalau itu, aku ....""Selamat pagi, Maura. Selamat pagi semuanya." Oma Ambar datang bersama Vivian dan Clara.“Selamat pagi.”"Dewangga belum datang, ya?""Belum, Oma." Narendra yang menjawab.“Kamu datang pagi sekali,” ejek Clara sambil tersenyum pada Maura dan duduk di samping ibunya, dekat dengan Narendra setelah oma Ambar dan yang lainnya duduk. "Biasanya kami semua yang sering menunggumu datang. Tapi hari ini kamu mau menunggu kami. Benar-benar ajaib."Vivian menatap Clara, memintanya untuk menjaga mulutnya, membuat Clara merasa kesal.“Apa tidurmu nyenyak, Nak?” tanya oma Ambar pada Maura dengan lembut.Maura mengangguk tersenyum, membuat wanita tua itu lega.“Oma cuma perhatian sama dia aja, deh. Rasanya nggak adil,” gerutu Clara."Clara, hati-hati dengan mulutmu," ujar N

    Last Updated : 2025-02-24
  • Sebelum Kita Bercerai   Bab 33. PESAN DARI ALENA

    “Clara, tolong jaga bicaramu,” pinta Dewangga dengan tatapan tajam. Clara mendengus. “Biasanya juga aku kayak gini, kok. Biasanya juga dia selalu membalas kata-kataku. Kenapa sekarang jadi Kakak yang belain dia? Selama ini dia kan yang paling pintar membela dirinya sendiri. Kenapa hari ini tiba-tiba jadi diam? Kayak bukan Maura aja,” gerutu Clara. “Clara ….” Narendra meninggikan suaranya setengah oktaf. “Sebaiknya kamu tutup mulut.” “Lho, yang aku bilang itu bener, kok. Dia itu arogan, sombong, dan nyebelin hanya karena bisa memenangkan hati oma. Hanya karena dia tahu oma sayang banget sama dia, bahkan om Teguh, tante Laura dan mama harus mikir dua kali kalau mau nyinggung dia. Kakak lupa dengan penderitaan kak Angga selama menikah dengannya?” lanjut Clara seolah belum puas mengatakan isi hatinya. “Semua orang tahu kalau kak Angga tertekan menikah dengannya. Semua orang nggak buta, kecuali kak Naren yang otaknya ada masalah.” “Clara!” Dewangga juga menaikkan suaranya, sementara N

    Last Updated : 2025-02-25
  • Sebelum Kita Bercerai   Bab 34. Prasangka Dewangga

    Maura menarik napasnya panjang, menetralisir rasa sesak dan kecewa di dadanya.“Kamu juga pasti tahu sendiri alasan kenapa selama ini kamu nggak pernah ngajak aku buat beli hadiah. Iya, kan?” Maura balik bertanya sambil menatap Dewangga. “Karena aku nggak tahu selera mama Laura, atau selera siapapun di rumah keluargamu terlebih aku yang sekarang. Jadi sebaiknya kamu ajak orang lain aja, supaya nggak salah beli barang.”Maura tersenyum sendiri sambil menunduk menatap jari-jari tangannya yang gemetar, menertawakan dirinya.Mengapa dia harus kecewa? Dia sendiri yang bukan orang baik sehingga semua orang membencinya. Tentu saja dia harus menerima segala konsekuensinya sekarang.Atmosfer di dalam mobil terasa lebih berat. Dewangga melonggarkan dasinya dan tiba-tiba saja menghentikan mobilnya di tepi jalan.“Keluar!” titahnya dengan nada dingin, membuat Maura terkejut.“Dewangga, ini masih jauh dari restoran, lho,” ujarnya protes.

    Last Updated : 2025-02-26
  • Sebelum Kita Bercerai   Bab 35. Tukang Bakso

    Maura tercekat menatap Dewangga. Tatapannya beralih pada mbok Narti yang masih menangis dengan tubuh gemetar.Kapan dia berkata ingin memecat wanita paruh baya itu?“Dewangga, aku … aku nggak bermaksud mecat mbok Narti,” ujarnya perlahan sambil menunduk.Mengingat bahwa dia bersikap sangat buruk di masa lalu, pasti Dewangga akan salah paham dan tak akan percaya padanya.Segala penjelasannya akan menjadi sia-sia.“Lalu, apa yang saya dengar barusan?” tanya pria itu masih dengan wajah yang garang.Maura mendesah frustrasi. “Aku nggak tahu kenapa mbok Narti ngomong kayak gitu.”“Mbok, ikut saya,” perintah Dewangga sambil berjalan meninggalkan Maura.Mbok Narti segera mengikuti, sementara Maura diam-diam mengepalkan tangannya di belakang tubuhnya.Dewangga masuk ke ruang kerjanya, diikuti mbok Narti.Pria itu segera duduk di kursinya.“Mbok, bukannya suami Mbok masih di rumah sakit?” tanya pria

    Last Updated : 2025-02-27
  • Sebelum Kita Bercerai   Bab 36. Ajakan Narendra

    “Tiga puluh ribu, Mas,” jawab penjual bakso itu yang langsung menatap Maura. “Neng, ini suaminya, ya?” tanya penjual bakso itu, membuat Maura enggan mengakuinya karena takut pria itu akan marah.“Iya, Pak.” Dewangga yang menjawab sambil menyodorkan selembar uang kertas berwarna merah. “Kembaliannya ambil aja.”Penjual bakso itu tersenyum cerah. “Makasih Mas. Duh, yang satu cantik, yang satunya lagi ganteng. Dua-duanya baik pula. Benar-benar pasangan suami istri yang cocok.”Maura terdiam sambil tersenyum kaku, sementara Dewangga menanggapi candaan itu dengan ekspresi santai, seperti ekspresinya saat menjenguk pak Jo di rumah sakit dulu.Penjual bakso itu berpamitan pergi, meninggalkan keduanya.“Ayo, pulang,” kata Dewangga sambil berjalan lebih dulu. Wajahnya yang ramah kembali berubah datar.Maura berjalan dalam diam sambil menatap kerikil, mengikuti Dewangga di belakangnya.“Kenapa kamu malah ada di rumah? Bukannya tadi pagi bilangnya mau ke restoran?” tanya Dewangga sambil menengok

    Last Updated : 2025-02-28
  • Sebelum Kita Bercerai   Bab 37. Partner Narendra

    Di kantor sore itu, Zefan yang tengah membantu merapikan beberapa berkas kontrak, menatap bosnya setelah membaca sebuah pesan yang masuk. Keduanya sama-sama duduk di sofa setelah selesai berdiskusi singkat.“Malam ini ada acara, kan? Pernikahan anaknya pak Bobby,” katanya membuka suara sekaligus mengingatkan, membuat Dewangga menoleh sekilas. “Setelan jas pesananmu katanya akan tiba di sini sebentar lagi. Gaun dan sepatunya juga.”Dewangga menjawab dengan anggukan.“Dengan siapa kamu akan datang? Apa aku harus menghubungi nyonya Maura buat minta dia bersiap-siap?”Dewangga terdiam sejenak. Dia teringat dengan penolakan Maura padanya saat pria itu mengajaknya membeli hadiah kalau wanita itu libur bekerja nanti. Mungkin Maura juga akan menolak ajakannya datang ke pesta pernikahan itu malam ini.Bukankah memang sebelumnya dia tak pernah mengajak wanita itu menghadiri berbagai acara? Pasti Maura juga bisa menebaknya meski sekarang dia amnesia.“Nggak usah hubungi dia,” ujar pria itu denga

    Last Updated : 2025-03-02
  • Sebelum Kita Bercerai   Bab 1. PERNIKAHAN DI UJUNG TANDUK

    Hari masih cukup pagi ketika seorang wanita bermake-up tebal dengan pakaian mini duduk di sofa di tengah sebuah ruangan.Pandangannya berkeliling melihat jejeran rak penuh buku, melihat foto berbingkai pigura minimalis bercat hitam, dan sebuah meja kerja yang atasnya tertata rapi dengan jarak lebih dari enam meter di depannya.Di meja itu, dia menatap seorang pria yang tengah merapikan setumpuk kertas dengan wajah sedikit tertunduk penuh fokus.Pria itu berwajah tampan, namun tatapan matanya dingin dan muram. Tak ada sambutan hangat apalagi pelukan yang diterimanya kala mereka bertemu sehingga membuat wanita itu semakin bertanya-tanya.'Bukannya aku istrinya? Kenapa dia nggak acuh banget dan gak peduli sama aku?' bisik hati kecilnya."Kebetulan, kamu pulang di saat yang tepat," ujar pria itu memecah keheningan sambil mengangkat wajahnya dan berjalan ke arah sofa, kemudian dia duduk di seberang wanita itu."Saya ingin menanyakan tentang berkas perceraian kita. Apa kamu sudah tanda tanga

    Last Updated : 2023-07-12

Latest chapter

  • Sebelum Kita Bercerai   Bab 37. Partner Narendra

    Di kantor sore itu, Zefan yang tengah membantu merapikan beberapa berkas kontrak, menatap bosnya setelah membaca sebuah pesan yang masuk. Keduanya sama-sama duduk di sofa setelah selesai berdiskusi singkat.“Malam ini ada acara, kan? Pernikahan anaknya pak Bobby,” katanya membuka suara sekaligus mengingatkan, membuat Dewangga menoleh sekilas. “Setelan jas pesananmu katanya akan tiba di sini sebentar lagi. Gaun dan sepatunya juga.”Dewangga menjawab dengan anggukan.“Dengan siapa kamu akan datang? Apa aku harus menghubungi nyonya Maura buat minta dia bersiap-siap?”Dewangga terdiam sejenak. Dia teringat dengan penolakan Maura padanya saat pria itu mengajaknya membeli hadiah kalau wanita itu libur bekerja nanti. Mungkin Maura juga akan menolak ajakannya datang ke pesta pernikahan itu malam ini.Bukankah memang sebelumnya dia tak pernah mengajak wanita itu menghadiri berbagai acara? Pasti Maura juga bisa menebaknya meski sekarang dia amnesia.“Nggak usah hubungi dia,” ujar pria itu denga

  • Sebelum Kita Bercerai   Bab 36. Ajakan Narendra

    “Tiga puluh ribu, Mas,” jawab penjual bakso itu yang langsung menatap Maura. “Neng, ini suaminya, ya?” tanya penjual bakso itu, membuat Maura enggan mengakuinya karena takut pria itu akan marah.“Iya, Pak.” Dewangga yang menjawab sambil menyodorkan selembar uang kertas berwarna merah. “Kembaliannya ambil aja.”Penjual bakso itu tersenyum cerah. “Makasih Mas. Duh, yang satu cantik, yang satunya lagi ganteng. Dua-duanya baik pula. Benar-benar pasangan suami istri yang cocok.”Maura terdiam sambil tersenyum kaku, sementara Dewangga menanggapi candaan itu dengan ekspresi santai, seperti ekspresinya saat menjenguk pak Jo di rumah sakit dulu.Penjual bakso itu berpamitan pergi, meninggalkan keduanya.“Ayo, pulang,” kata Dewangga sambil berjalan lebih dulu. Wajahnya yang ramah kembali berubah datar.Maura berjalan dalam diam sambil menatap kerikil, mengikuti Dewangga di belakangnya.“Kenapa kamu malah ada di rumah? Bukannya tadi pagi bilangnya mau ke restoran?” tanya Dewangga sambil menengok

  • Sebelum Kita Bercerai   Bab 35. Tukang Bakso

    Maura tercekat menatap Dewangga. Tatapannya beralih pada mbok Narti yang masih menangis dengan tubuh gemetar.Kapan dia berkata ingin memecat wanita paruh baya itu?“Dewangga, aku … aku nggak bermaksud mecat mbok Narti,” ujarnya perlahan sambil menunduk.Mengingat bahwa dia bersikap sangat buruk di masa lalu, pasti Dewangga akan salah paham dan tak akan percaya padanya.Segala penjelasannya akan menjadi sia-sia.“Lalu, apa yang saya dengar barusan?” tanya pria itu masih dengan wajah yang garang.Maura mendesah frustrasi. “Aku nggak tahu kenapa mbok Narti ngomong kayak gitu.”“Mbok, ikut saya,” perintah Dewangga sambil berjalan meninggalkan Maura.Mbok Narti segera mengikuti, sementara Maura diam-diam mengepalkan tangannya di belakang tubuhnya.Dewangga masuk ke ruang kerjanya, diikuti mbok Narti.Pria itu segera duduk di kursinya.“Mbok, bukannya suami Mbok masih di rumah sakit?” tanya pria

  • Sebelum Kita Bercerai   Bab 34. Prasangka Dewangga

    Maura menarik napasnya panjang, menetralisir rasa sesak dan kecewa di dadanya.“Kamu juga pasti tahu sendiri alasan kenapa selama ini kamu nggak pernah ngajak aku buat beli hadiah. Iya, kan?” Maura balik bertanya sambil menatap Dewangga. “Karena aku nggak tahu selera mama Laura, atau selera siapapun di rumah keluargamu terlebih aku yang sekarang. Jadi sebaiknya kamu ajak orang lain aja, supaya nggak salah beli barang.”Maura tersenyum sendiri sambil menunduk menatap jari-jari tangannya yang gemetar, menertawakan dirinya.Mengapa dia harus kecewa? Dia sendiri yang bukan orang baik sehingga semua orang membencinya. Tentu saja dia harus menerima segala konsekuensinya sekarang.Atmosfer di dalam mobil terasa lebih berat. Dewangga melonggarkan dasinya dan tiba-tiba saja menghentikan mobilnya di tepi jalan.“Keluar!” titahnya dengan nada dingin, membuat Maura terkejut.“Dewangga, ini masih jauh dari restoran, lho,” ujarnya protes.

  • Sebelum Kita Bercerai   Bab 33. PESAN DARI ALENA

    “Clara, tolong jaga bicaramu,” pinta Dewangga dengan tatapan tajam. Clara mendengus. “Biasanya juga aku kayak gini, kok. Biasanya juga dia selalu membalas kata-kataku. Kenapa sekarang jadi Kakak yang belain dia? Selama ini dia kan yang paling pintar membela dirinya sendiri. Kenapa hari ini tiba-tiba jadi diam? Kayak bukan Maura aja,” gerutu Clara. “Clara ….” Narendra meninggikan suaranya setengah oktaf. “Sebaiknya kamu tutup mulut.” “Lho, yang aku bilang itu bener, kok. Dia itu arogan, sombong, dan nyebelin hanya karena bisa memenangkan hati oma. Hanya karena dia tahu oma sayang banget sama dia, bahkan om Teguh, tante Laura dan mama harus mikir dua kali kalau mau nyinggung dia. Kakak lupa dengan penderitaan kak Angga selama menikah dengannya?” lanjut Clara seolah belum puas mengatakan isi hatinya. “Semua orang tahu kalau kak Angga tertekan menikah dengannya. Semua orang nggak buta, kecuali kak Naren yang otaknya ada masalah.” “Clara!” Dewangga juga menaikkan suaranya, sementara N

  • Sebelum Kita Bercerai   Bab 32. SINDIRAN UNTUK MAURA

    “Oma melihat Dewangga tidur di ruang kerja semalam,” ujar Laura sambil menatap mata Maura. "Oma udah minta Dewangga pindah ke kamar, tapi kayaknya dia tetap di ruang kerja, deh.""Oh?" Maura semakin terkejut. "Kalau itu, aku ....""Selamat pagi, Maura. Selamat pagi semuanya." Oma Ambar datang bersama Vivian dan Clara.“Selamat pagi.”"Dewangga belum datang, ya?""Belum, Oma." Narendra yang menjawab.“Kamu datang pagi sekali,” ejek Clara sambil tersenyum pada Maura dan duduk di samping ibunya, dekat dengan Narendra setelah oma Ambar dan yang lainnya duduk. "Biasanya kami semua yang sering menunggumu datang. Tapi hari ini kamu mau menunggu kami. Benar-benar ajaib."Vivian menatap Clara, memintanya untuk menjaga mulutnya, membuat Clara merasa kesal.“Apa tidurmu nyenyak, Nak?” tanya oma Ambar pada Maura dengan lembut.Maura mengangguk tersenyum, membuat wanita tua itu lega.“Oma cuma perhatian sama dia aja, deh. Rasanya nggak adil,” gerutu Clara."Clara, hati-hati dengan mulutmu," ujar N

  • Sebelum Kita Bercerai   Bab 31. Ruang Makan

    Maura menyeka matanya dengan kasar, kemudian mendorong dada Dewangga padahal wanita itu masih ada dalam gendongannya. “Kamu akan jatuh kalau mendorongku seperti itu, Maura,” peringat Dewangga sambil menatap Maura tajam. "Turunkan aku, Dewangga," pinta Maura. Bukannya menurunkan wanita itu, Dewangga malah berjalan ke arah tempat tidur dan menurunkan Maura dengan lembut di atas kasur. “Kalau mau tidur, tidur di sini,” kata Dewangga tak mempedulikan ucapannya, kemudian pria itu duduk di samping Maura yang tengah berbaring menatapnya. “Katakan padaku, mengapa kamu menangis?” “Nggak kenapa-napa,” jawab Maura sambil berbaring memunggungi pria itu dan memejamkan matanya. Dewangga menatap bahu Maura yang terlihat kecil. Dia mengerutkan alisnya. Apa Maura sekurus ini dulu? Bobot tubuhnya pun terasa ringan. Kemudian dia segera memperbaiki posisi selimut yang dipakai wanita itu. “Kalau kamu tak mau kita tidur di ranjang yang sama, cukup katakan sejujurnya saja,” gumam Dewangga perlahan, t

  • Sebelum Kita Bercerai   Bab 30. Pusaran Rasa

    Maura menahan napasnya ketika mobil yang ditumpanginya berhenti tepat di depan teras. "Mereka semua keluargamu?" tanya Maura dengan perasaan cemas. Dewangga mengangguk. "Bersikaplah seolah-olah kamu mengenal mereka semua. Aku dan Naren akan berusaha membantumu agar tak ada yang tahu bahwa kamu amnesia." "Yang pakai baju putih di samping kiri oma Ambar itu papa Teguh Bagaskara. Di sebelahnya mama Laura. Di samping kanan Oma itu tante Vivian adiknya papa, lalu anak perempuannya Clara, sekaligus adiknya Naren. Kamu bisa ingat, kan?" Maura mengangguk mengerti. Dia turun dan mengikuti langkah Dewangga menuju teras rumah. "Akhirnya setelah beberapa bulan berlalu, kalian mau menginap juga di rumah oma," kata oma Ambar senang, menyambut keduanya dengan senyum lebar. "Lho? Kamu beneran Maura?" tanya Laura sambil melihat penampilannya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Maura tercekat. Apa mereka mengetahui bahwa dia tengah amnesia? Maura pun menoleh pada Dewangga dengan perasaan was-wa

  • Sebelum Kita Bercerai   Bab 29. Rumah Oma Ambar

    Maura menatap Dewangga dengan pandangan takut. Ingatannya satu lagi perlahan datang, namun semuanya hanya ingatan buruk. Ingatan kali ini lebih jelas dari ingatan lainnya, seolah baru terjadi kemarin. Maura ingat bagaimana wajah Dewangga yang sangat marah ketika dia menjambak Alena di masa lalu karena diam-diam Alena memprovokasinya, kemudian ketika Maura terpancing amarah, Alena bersikap seolah-olah semua salah Maura. Saat itu Dewangga hampir menamparnya. Alena selalu menjebak Maura seolah Maura selalu menganiayanya, kemudian berpura-pura lemah dan tertindas. Maura yang di masa lalu sangat pemarah karena faktor frustrasi, selalu terpancing dan masuk dalam jebakannya. Maura merasakan sudut hatinya begitu nyeri ketika ingatan itu muncul. Dia menderita dan sedih di waktu yang bersamaan. "Maura? Ada apa?" tanya Dewangga khawatir saat melihat wajah wanita itu pucat pasi. Maura beringsut menjauh dan menatap Dewangga dengan tubuh gemetar. "Jangan mendekat." Dewangga yang melihatnya me

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status