Maura menahan napasnya ketika mobil yang ditumpanginya berhenti tepat di depan teras.
"Mereka semua keluargamu?" tanya Maura dengan perasaan cemas. Dewangga mengangguk. "Bersikaplah seolah-olah kamu mengenal mereka semua. Aku dan Naren akan berusaha membantumu agar tak ada yang tahu bahwa kamu amnesia." "Yang pakai baju putih di samping kiri oma Ambar itu papa Teguh Bagaskara. Di sebelahnya mama Laura. Di samping kanan Oma itu tante Vivian adiknya papa, lalu anak perempuannya Clara, sekaligus adiknya Naren." Maura mengangguk mengerti. Dia turun dan mengikuti langkah Dewangga menuju teras rumah. "Akhirnya setelah beberapa bulan berlalu, kalian mau menginap juga di rumah oma," kata oma Ambar senang. "Lho? Kamu beneran Maura?" tanya Laura sambil melihat penampilannya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Maura tercekat. Apa mereka mengetahui bahwa dia tengah amnesia? Maura pun menoleh pada Dewangga dengan perasaan was-was. Dewangga memberikan anggukan kecil sekilas, meyakinkannya bahwa dia tak boleh ragu. "Kamu cantik sekali, Nak," lanjut Laura sambil tersenyum. "Terima kasih, Tan—eh, Ma," jawab Maura hampir salah bicara. "Kalau bukan Maura siapa lagi, Ma?" tanya Dewangga sambil memberikan kode pada Maura agar mendekat ke arahnya. Maura pun mendekat sambil tersenyum. "Selamat malam, semuanya," sapanya ramah. "Wuahh .... Kamu beneran Maura?" Clara melipat kedua tangannya di dada sambil memperhatikan penampilan Maura, namun Vivian segera menepuk lengannya dan memberi peringatan lewat tatapan mata. "Lihat, Ma. Dia bersikap aneh. Maura biasanya tak akan mengucapkan salam ramah seperti itu. Dia akan bersikap sombong walaupun berada di rumah nenek mertuanya," celetuk Clara sambil menatap sinis Maura yang terlihat cantik dengan sapuan makeup tipis. Maura tertohok mendengar ucapan itu. Seburuk itukah dirinya dulu? Ada rasa marah, sedih, dan sakit hati yang bercampur aduk, namun lebih dominan adalah rasa tak berdaya. Maura membenci itu. "Maura." Dewangga memanggil sambil mengulurkan tangannya dan menggenggam tangan wanita itu. "Tak apa-apa. Abaikan dia," bisiknya perlahan di telinga membuat semua orang terkejut dengan perlakuan Dewangga yang baik terhadap Maura, kecuali oma Ambar yang terlihat sangat senang dan lega. "Cih!" Clara mendecih kesal. Tak hanya Maura yang aneh, Dewangga pun sama anehnya. "Nggak biasanya kamu baik sama wanita ini," kata Clara kesal. "Biasanya kamu mengabaikannya. Ada apa, Kak?" tanya Clara pada Dewangga dengan tatapan menyelidik. "Kalau kamu masih menghargaiku sebagai kakak sepupumu, maka kamu juga harus menghargai Maura sebagai istriku." Clara terpaku. Dewangga jelas-jelas memihak dan membela Maura yang selama ini dibencinya. Mengapa bisa? "Mama apa kabar? Lama nggak ketemu," sapa Maura sambil mengulurkan tangannya dan mencium punggung tangan wanita itu dengan takzim sehingga membuat Laura benar-benar terkejut dan hampir tak bisa berkata-kata. "Ba-baik, Nak," jawab wanita paruh baya yang masih cantik itu. Dia keheranan dengan sikap Maura sehingga langsung menatap suaminya, ingin memastikan bahwa Maura tak salah bertindak. "Pa." Maura pun berganti mencium tangan Teguh, yang hanya bisa mengangguk sambil tersenyum lebar. Pria itu memiliki kemiripan dengan Dewangga hampir di segala sisi. Setelah itu Maura mencium tangan oma Ambar, yang dibalas oma Ambar dengan pelukan sayang. Setelah selesai, giliran Maura mencium tangan Vivian, yang dibalas dengan senyum tipis dan anggukan kecil. "Hai, Clara." Maura menyapa Clara sambil menyodorkan tangannya untuk bersalaman. Namun dengan angkuh dan sombong, Clara menepis tangan Maura kasar sehingga mendapat cubitan dari ibunya di perut samping. "Jangan dimasukkan ke hati, ya, Nak," pinta Vivian pada Maura. Maura hanya mengangguk kecil sebagai jawaban. "Kamu nggak mau salaman sama aku, Maura?" tanya Narendra dengan wajah penuh harap campur kecewa ketika wanita itu menggandeng tangan oma Ambar seolah melupakan keberadaannya. Maura menoleh ke pemilik suara dan berkata, "Aku nggak mau!" kemudian membuang wajahnya. Entah mengapa, melihat Narendra dan mengingat betapa cerewetnya pria itu membuatnya sebal. Beberapa orang tertawa. "Ternyata kamu memang masih Maura," kata Laura tertawa kecil. "Mama kira kamu orang lain yang berputar-putar jadi Maura." "Sekarang Maura udah lebih dewasa, Laura," bela oma Ambar dengan bangga. "Kamu, Clara. Sudah seharusnya kamu bersikap dewasa juga. Jangan terus menerus memusuhi Maura. Dia adalah keluarga dan bagian dari kita." Clara hanya mencebik diam-diam, namun segera disadari oleh ibunya yang langsung memberinya tatapan peringatan. "Ayo, masuk. Kita makan malam bersama," ajak Teguh pada semua orang sambil menepuk pundak Dewangga. Dewangga berjalan masuk sambil mengobrol dengan Teguh dan Narendra, sementara Maura mengobrol dengan oma Ambar, Laura, dan Vivian. *** Setelah makan, Dewangga mengajak Maura ke sebuah kamar di lantai atas karena mereka harus membersihkan diri. "Ini kamar yang biasa kita pakai saat kita menginap di sini," ujar pria itu sambil membuka pintunya dengan lebar. Maura masuk dan melihat sekelilingnya. Ada sebuah potret besar di sana yang digantung di dinding, sebuah foto pernikahan. Dalam foto itu Maura tampak tersenyum lebar, sementara Dewangga berwajah muram. Sangat terlihat bahwa hanya dirinya yang bahagia menikah, dan hanya dirinya yang memiliki perasaan cinta. Cinta bertepuk sebelah tangan. Maura diam-diam mendesah perlahan. 'Kasihan diriku yang dulu, mencintai orang yang tak bisa membalas cintanya,' gumamnya dalam hati. "Ada apa, Maura?" tanya Dewangga begitu pria itu melihat Maura terpaku menatap foto pernikahan mereka. Maura menggelengkan kepalanya. "Ini foto pernikahan kita. Di rumah, ada foto seperti ini juga di album foto," ujar Dewangga menjelaskan meski Maura sebenarnya tak ingin tahu. Dia ingat, di rumah Dewangga hanya ada satu foto pernikahan di ruang tengah dengan pose berbeda, namun ekspresi wajah yang sama. Maura semakin paham bahwa kebersamaan mereka tak seharusnya terjadi karena sepertinya mereka tak pernah menghabiskan waktu luang untuk saling berbagi segalanya. Bahkan Maura yakin bahwa selama ini mereka tak pernah berbagi apapun selain berbagi atap yang sama untuk tinggal. Itupun karena terpaksa. "Mau mandi lebih dulu?" tanya Dewangga membuyarkan lamunannya. "Apa boleh?" Maura balik bertanya. "Ya, tentu. Kamar mandinya di sana," tunjuk Dewangga pada sebuah pintu yang tak jauh darinya. "Handuk dan jubah mandi ada di laci bufet dekat wastafel." Maura mengangguk sambil beranjak dan masuk ke kamar mandi. Dengan cepat dia membersihkan diri dan membungkus tubuhnya dengan jubah mandi. Dia tak ingin berlama-lama di sana karena takut Dewangga tengah menunggu giliran. "Sudah selesai?" tanya Dewangga yang memangku sebuah laptop dengan alis sedikit berkerut sambil melihat jam besar di dinding. Seingatnya dulu, paling sebentar Maura mandi selama setengah jam, tapi ini baru lima belas menit dan wanita itu telah selesai. Maura mengangguk. "Pakaianmu ada di sana," tunjuk Dewangga pada sebuah pintu walking closet yang terbuat dari kaca transparan. "Ada di bagian paling kanan." Maura mengangguk lagi sambil beranjak. Ada cukup banyak pakaian di walking closet itu yang dua pertiganya didominasi oleh pakaian Dewangga. Maura memilih-milih pakaian perempuan yang sepertinya miliknya. Tak mungkin juga kalau Dewangga menaruh pakaian perempuan lain di rumah itu. Wajahnya merona malu ketika menemukan berbagai model lingerie yang digantung di sana. "Aku yang dulu benar-benar tak tertolong," keluhnya pada diri sendiri ketika melihat koleksi lingerie-nya yang sungguh terbuka di mana-mana. Pantas Dewangga membencinya. Sepertinya dia memaksakan cintanya pada pria itu seolah dirinya sudah tak memiliki kewarasan dan akal sehat. Dia juga sudah tak memiliki harga diri lagi. Maura sempat kebingungan harus memakai pakaian apa. Kebanyakan pakaian-pakaian itu terlalu terbuka. Akhirnya dia mengeluarkan sebuah midi dress putih yang terbuat dari katun dan memakainya di sana setelah memastikan bahwa Dewangga tak ada di sofa. Maura keluar dari walking closet sambil memeluk sebuah selimut putih yang diambilnya dari dalam sana. Matanya berkeliling melihat seluruh ruangan itu, kemudian telinganya mendengar samar suara gemericik air dari kamar mandi. Pasti Dewangga sedang membersihkan dirinya. Wanita itu duduk di sofa menunggu Dewangga selesai. Matanya tertuju pada sebuah laptop yang tergeletak di meja dalam keadaan tertutup, sementara tangannya menyimpan selimut di samping. Entah keberanian dari mana, entah apa yang menuntun hatinya. Tangan Maura terulur membuka laptop itu. Dia begitu penasaran dengan apa yang tadi dikerjakan oleh Dewangga. Dia pikir, dia akan melihat tampilan home screen yang rapi, namun ternyata langsung melihat sebuah dokumen yang membuatnya tertegun dengan perasaan sakit luar biasa. Itu dokumen perceraian mereka. Maura meraup napas dalam-dalam karena mendadak dadanya sesak. Sebutir air mata jatuh di pipinya. Maura mengalihkan tatapannya pada pintu kamar mandi yang masih tertutup rapat, kemudian dia menutup dan meletakkan laptop itu di tempat semula. Wanita itu membaringkan tubuhnya yang lelah di atas sofa sambil menutupinya dengan selimut, memunggungi meja dan memejamkan matanya. Maura belum tertidur saat dia mendengar pintu kamar mandi terbuka dan langkah kaki yang mendekat ke arahnya. Tercium aroma sabun yang lembut, sabun yang sama yang dipakainya tadi. Tapi rasanya kalau Dewangga yang memakainya jadi terasa lebih wangi. "Maura, Maura," panggil Dewangga sambil mengguncang pelan bahu wanita itu. "Kalau mau tidur, tidur di kasur." Maura tak bergeming dan berpura-pura sudah tertidur. Dia mendengar suara langkah kaki yang menjauh. Maura semakin merapatkan matanya. Dia lelah. Dia ingin tidur. Dia ingin melupakan rasa sakitnya, rasa lelahnya, sesak di dadanya, dan semua perasaannya yang tak seharusnya ada. Bahunya berguncang menahan isak tangis yang tiba-tiba datang tanpa bisa ditahannya. Namun tiba-tiba tubuhnya melayang di udara. Maura terkejut ketika Dewangga berdiri mengangkat tubuhnya. Seketika pandangan mata mereka bertemu. "Kamu menangis, Maura?" tanya Dewangga yang masih menahan tubuh Maura dalam pangkuannya.Maura menyeka matanya dengan kasar, kemudian mendorong dada Dewangga padahal wanita itu masih ada dalam gendongannya.“Kamu akan jatuh kalau mendorongku seperti itu, Maura,” peringat Dewangga sambil menatap Maura tajam."Turunkan aku, Dewangga," pinta Maura.Bukannya menurunkan wanita itu, Dewangga malah berjalan ke arah tempat tidur dan menurunkan Maura dengan lembut di atas kasur.“Kalau mau tidur, tidur di sini,” kata Dewangga tak memedulikan ucapannya, kemudian pria itu duduk di samping Maura yang tengah berbaring menatapnya. “Katakan padaku, mengapa kamu menangis?”“Nggak kenapa-napa,” jawab Maura sambil berbaring memunggungi pria itu.Dewangga menatap bahu Maura yang tengah memejamkan matanya, kemudian dia segera memperbaiki posisi selimut yang dipakai Maura.“Kalau kamu tak mau kita tidur di ranjang yang sama, cukup katakan sejujurnya saja,” gumam Dewangga perlahan, tapi suaranya cukup terdengar jelas.Maura masih memejamkan matanya sambil meremas selimut yang dipakainya. Dia t
Hari masih cukup pagi ketika seorang wanita bermake-up tebal dengan pakaian mini duduk di sofa di tengah sebuah ruangan.Pandangannya berkeliling melihat jejeran rak penuh buku, melihat foto berbingkai pigura minimalis bercat hitam, dan sebuah meja kerja yang atasnya tertata rapi dengan jarak lebih dari enam meter di depannya.Di meja itu, dia menatap seorang pria yang tengah merapikan setumpuk kertas dengan wajah sedikit tertunduk penuh fokus.Pria itu berwajah tampan, namun tatapan matanya dingin dan muram. Tak ada sambutan hangat apalagi pelukan yang diterimanya kala mereka bertemu sehingga membuat wanita itu semakin bertanya-tanya.'Bukannya aku istrinya? Kenapa dia nggak acuh banget dan gak peduli sama aku?' bisik hati kecilnya."Kebetulan, kamu pulang di saat yang tepat," ujar pria itu memecah keheningan sambil mengangkat wajahnya dan berjalan ke arah sofa, kemudian dia duduk di seberang wanita itu."Saya ingin menanyakan tentang berkas perceraian kita. Apa kamu sudah tanda tanga
Suhu udara di ruang kerja terasa turun beberapa derajat selsius. Maura merasakan perasaan dingin yang menusuk pori-pori."Jadi, kamu masih mau berlagak amnesia?" tanya Dewangga yang kesabarannya semakin menipis."Aku memang amnesia, Dewangga."Air mata Maura kembali menggenang mengaburkan pandangannya. Dia tak tahu bagaimana caranya meyakinkan pria itu bahwa dirinya tak berbohong.Maura menunduk dalam-dalam sambil menggenggam erat pena hitam. Detik berikutnya air matanya tumpah membasahi pipinya lagi.Dia menyeka wajahnya. Suara sesenggukkan dari tangisnya mulai terdengar amat pelan dan tertahan."Ini berkas pemeriksaan kesehatanku. Harusnya kamu baca walaupun hanya sebentar," kata Maura putus asa sambil menyodorkan berkas kesehatannya yang tadi ditolak pria itu.Dewangga menghela napasnya kasar. Ini pertama kalinya dalam tiga tahun pernikahan mereka, dia melihat Maura menangis seberapapun kerasnya dia membuat wanita itu menderita di rumahnya.Dewangga pun mengambil berkas kesehatan it
Maura mengatur napasnya sambil berjalan. Dia bersikap seolah-olah tak mendengar apapun.Seberapa keras Maura mencoba mengingat, nyatanya tak ada ingatan apapun di kepalanya. Yang ada kepalanya malah berdenyut sakit.Kedua asisten rumah tangga itu terdiam ketika mereka mendengar langkah kaki Maura yang berjalan ke arah meja makan. Keduanya segera pergi dari sana dengan wajah gugup.Setelah makan, Maura kembali ke kamar dan membersihkan dirinya dari mulai ujung rambut sampai ujung kaki.Dengan mengenakan jubah mandi, dia duduk di depan meja rias dan memandang wajahnya yang polos tanpa make-up. Dia teringat ucapan Lusi yang mengatakan bahwa Dewangga menyukai wanita cantik."Apa aku harus berdandan lagi hari ini demi menarik perhatian Dewangga seperti yang Lusi bilang?" gumamnya perlahan sambil menatap lekat wajahnya.Dewangga membencinya, dia ingat itu. Jadi, rasanya percuma jika dia berdandan. Toh, pasti Dewangga tetap akan membencinya karena dia pernah menjebak pria itu di kamar hotel.
Bibir Maura terkatup rapat sambil menatap Dewangga. Pria itu begitu akrab dan hangat ketika berbicara dengan Alena, tapi akan tampak dingin dan kasar ketika berbicara dengannya."Aku nggak menuduh kamu selingkuh. Aku hanya merasa ...." Maura menghentikan kalimatnya. Dia tak tahu bagaimana cara mengatakan seluruh perasaannya bahwa dia sangat menyesal atas situasi mereka yang sekarang terjebak sebuah pernikahan yang tak diinginkan. "Intinya, aku ingin meminta maaf atas segala kesalahanku yang dulu. Maaf, aku telah hadir di antara kalian."Maura beranjak dari sana untuk mencuci peralatan makan yang digunakannya. Tapi, Dewangga dan Alena sama-sama terkejut.Apa yang barusan mereka dengar? Seorang Maura bersedia meminta maaf?Dewangga mengepalkan tangannya erat. Kata maaf yang Maura lontarkan tak akan mengubah pendiriannya untuk membuat wanita itu menderita di rumahnya.Dia tak akan berbelas kasih atas penderitaannya selama tiga tahun terakhir yang telah memaksa mereka hidup bersama.Dewang
"Ha, ha, ha .... Aku bercanda, Oma," ujar Maura sambil tertawa canggung. "Jangan dianggap serius."Maura mematikan kompor karena masakannya telah matang. Dia segera mencuci tangannya dan menghampiri wanita tua itu sambil melepaskan celemek dan meninggalkan oseng daging sayuran di wajan."Sini, Oma. Duduk sini," ajaknya sambil meraih lengan wanita tua itu dan membawanya duduk di salah satu kursi dapur.Maura diam-diam melirik ekspresi wajah Dewangga yang mulai kembali datar. Bahkan ekspresi wajah Mia juga terlihat lega."Dasar, anak nakal. Oma sampai kaget. Kirain oma kamu betulan gak kenal lagi sama oma, udah pikun di usia muda," gerutu Oma Ambar sambil duduk."He, he, he ...." Maura kembali tertawa. Dia lega karena sepertinya dia tak melakukan kesalahan fatal."Kamu kelihatan cantik banget hari ini, Maura," puji oma Ambar tulus. "Padahal cuma pakai lipstik doang, ya?""Ah, Oma bisa aja." Maura merasa malu."Tapi beneran, kok. Kamu lebih cantik begini. Jadi nanti nggak usah pakai makeu
"Dia jemput kamu?" tanya Andreas sambil menatap ekspresi wajah Maura yang terlihat kaget."Kayaknya iya." Maura mengangguk. "Aku pulang duluan, ya, Mas.""Oke." Kini giliran Andreas yang mengangguk.Maura beranjak menenteng tasnya dan meninggalkan sesuatu di meja."Maura," panggil Andreas ketika Maura hampir mencapai pintu keluar. "Masakan kamu ketinggalan."Maura menoleh. Andreas berjalan cepat sambil menyodorkan rantang susun plastik berukuran sedang milik Maura yang berisi gulai ayam khas Minang yang baru dipelajarinya hari ini.Kelas memasak itu memang memperbolehkan pesertanya membawa pulang masakan yang sudah mereka buat, karena itulah biayanya lumayan mahal bagi Maura."Terima kasih banyak," kata Maura sambil menerima rantang susunnya dan tersenyum lebar. "Sampai jumpa nanti." Maura melambaikan tangan."Ya, hati-hati di jalan."Dewangga menatap tajam Maura dan Andreas bergantian. Hatinya diliputi rasa tak nyaman, kemudian dia menarik tangan Maura dan pergi begitu saja.Andreas m
"Maura, kamu gak apa-apa, Nak?? Maura? Maura?" Panggilan lembut beberapa kali membuat Maura membuka matanya perlahan.Dia menatap langit-langit kamar dan mulai teringat bahwa sebelum terjatuh dia berada di sisi ranjang Dewangga. Di sampingnya, oma Ambar duduk menggenggam tangannya dengan wajah khawatir.Kemudian Maura merasakan pijatan lembut dan hangat di kakinya. Mia ada di ujung ranjang sambil mengoleskan minyak dan memijat kakinya, sementara Yanti datang membawa teh hangat."Syukurlah kamu udah sadar." Kekhawatiran di wajah oma Ambar sedikit berkurang. "Kamu kenapa? Bagian mana yang sakit?""Oma?" Maura mencoba bangkit untuk duduk, kepalanya masih sedikit pusing ditambah sakit akibat benturan."Jangan bergerak terlalu banyak. Kamu minum dulu tehnya. Dewangga lagi menghubungi dokter," kata oma Ambar sambil menyodorkan teh yang dibawa Yanti.Maura menoleh ke tempat lain, kemudian meminum setengah cangkir. Di dekat jendela, Dewangga masih berbicara dengan seseorang di telepon."Saya t