Maura tercekat menatap Dewangga. Tatapannya beralih pada mbok Narti yang masih menangis dengan tubuh gemetar.
Kapan dia berkata ingin memecat wanita paruh baya itu?“Dewangga, aku … aku nggak bermaksud mecat mbok Narti,” ujarnya perlahan sambil menunduk.Mengingat bahwa dia bersikap sangat buruk di masa lalu, pasti Dewangga akan salah paham dan tak akan percaya padanya.Segala penjelasannya akan menjadi sia-sia.“Lalu, apa yang saya dengar barusan?” tanya pria itu masih dengan wajah yang garang.Maura mendesah frustrasi. “Aku nggak tahu kenapa mbok Narti ngomong kayak gitu.”“Mbok, ikut saya,” perintah Dewangga sambil berjalan meninggalkan Maura.Mbok Narti segera mengikuti, sementara Maura diam-diam mengepalkan tangannya di belakang tubuhnya.Dewangga masuk ke ruang kerjanya, diikuti mbok Narti.Pria itu segera duduk di kursinya.“Mbok, bukannya suami Mbok masih di rumah sakit?” tanya pria“Tiga puluh ribu, Mas,” jawab penjual bakso itu yang langsung menatap Maura. “Neng, ini suaminya, ya?” tanya penjual bakso itu, membuat Maura enggan mengakuinya karena takut pria itu akan marah. “Iya, Pak.” Dewangga yang menjawab sambil menyodorkan selembar uang kertas berwarna merah. “Kembaliannya ambil aja.” Penjual bakso itu tersenyum cerah. “Makasih Mas. Duh, yang satu cantik, yang satunya lagi ganteng. Dua-duanya baik pula. Benar-benar pasangan suami istri yang cocok.” Maura terdiam sambil tersenyum kaku, sementara Dewangga menanggapi candaan itu dengan ekspresi santai, seperti ekspresinya saat menjenguk pak Jo di rumah sakit dulu. Penjual bakso itu berpamitan pergi, meninggalkan keduanya. “Ayo, pulang,” kata Dewangga sambil berjalan lebih dulu. Wajahnya yang ramah kembali berubah datar. Maura berjalan dalam diam sambil menatap kerikil, mengikuti Dewangga di belakangnya. “Kenapa kamu malah ada di rumah? Bukannya tadi pagi bilangnya mau ke restoran?” tanya Dewangga sa
Di kantor sore itu, Zefan yang tengah membantu merapikan beberapa berkas kontrak, menatap bosnya setelah membaca sebuah pesan yang masuk. Keduanya sama-sama duduk di sofa setelah selesai berdiskusi singkat.“Malam ini ada acara, kan? Pernikahan anaknya pak Bobby,” katanya membuka suara sekaligus mengingatkan, membuat Dewangga menoleh sekilas. “Setelan jas pesananmu katanya akan tiba di sini sebentar lagi. Gaun dan sepatunya juga.”Dewangga menjawab dengan anggukan.“Dengan siapa kamu akan datang? Apa aku harus menghubungi nyonya Maura buat minta dia bersiap-siap?”Dewangga terdiam sejenak. Dia teringat dengan penolakan Maura padanya saat pria itu mengajaknya membeli hadiah kalau wanita itu libur bekerja nanti. Mungkin Maura juga akan menolak ajakannya datang ke pesta pernikahan itu malam ini.Bukankah memang sebelumnya dia tak pernah mengajak wanita itu menghadiri berbagai acara? Pasti Maura juga bisa menebaknya meski sekarang dia amnesia.“Nggak usah hubungi dia,” ujar pria itu denga
Hari masih cukup pagi ketika seorang wanita bermake-up tebal dengan pakaian mini duduk di sofa di tengah sebuah ruangan.Pandangannya berkeliling melihat jejeran rak penuh buku, melihat foto berbingkai pigura minimalis bercat hitam, dan sebuah meja kerja yang atasnya tertata rapi dengan jarak lebih dari enam meter di depannya.Di meja itu, dia menatap seorang pria yang tengah merapikan setumpuk kertas dengan wajah sedikit tertunduk penuh fokus.Pria itu berwajah tampan, namun tatapan matanya dingin dan muram. Tak ada sambutan hangat apalagi pelukan yang diterimanya kala mereka bertemu sehingga membuat wanita itu semakin bertanya-tanya.'Bukannya aku istrinya? Kenapa dia nggak acuh banget dan gak peduli sama aku?' bisik hati kecilnya."Kebetulan, kamu pulang di saat yang tepat," ujar pria itu memecah keheningan sambil mengangkat wajahnya dan berjalan ke arah sofa, kemudian dia duduk di seberang wanita itu."Saya ingin menanyakan tentang berkas perceraian kita. Apa kamu sudah tanda tanga
Suhu udara di ruang kerja terasa turun beberapa derajat selsius. Maura merasakan perasaan dingin yang menusuk pori-pori."Jadi, kamu masih mau berlagak amnesia?" tanya Dewangga yang kesabarannya semakin menipis."Aku memang amnesia, Dewangga."Air mata Maura kembali menggenang mengaburkan pandangannya. Dia tak tahu bagaimana caranya meyakinkan pria itu bahwa dirinya tak berbohong.Maura menunduk dalam-dalam sambil menggenggam erat pena hitam. Detik berikutnya air matanya tumpah membasahi pipinya lagi.Dia menyeka wajahnya. Suara sesenggukkan dari tangisnya mulai terdengar amat pelan dan tertahan."Ini berkas pemeriksaan kesehatanku. Harusnya kamu baca walaupun hanya sebentar," kata Maura putus asa sambil menyodorkan berkas kesehatannya yang tadi ditolak pria itu.Dewangga menghela napasnya kasar. Ini pertama kalinya dalam tiga tahun pernikahan mereka, dia melihat Maura menangis seberapapun kerasnya dia membuat wanita itu menderita di rumahnya.Dewangga pun mengambil berkas kesehatan it
Maura mengatur napasnya sambil berjalan. Dia bersikap seolah-olah tak mendengar apapun. Seberapa keras Maura mencoba mengingat, nyatanya tak ada ingatan apapun di kepalanya. Yang ada kepalanya malah berdenyut sakit. Kedua asisten rumah tangga itu terdiam ketika mereka mendengar langkah kaki Maura yang berjalan ke arah meja makan. Keduanya segera pergi dari sana dengan wajah gugup. Setelah makan, Maura kembali ke kamar dan membersihkan dirinya dari mulai ujung rambut sampai ujung kaki. Dengan mengenakan jubah mandi, dia duduk di depan meja rias dan memandang wajahnya yang polos tanpa make-up. Dia teringat ucapan Lusi yang mengatakan bahwa Dewangga menyukai wanita cantik. "Apa aku harus berdandan lagi hari ini demi menarik perhatian Dewangga seperti yang Lusi bilang?" gumamnya perlahan sambil menatap lekat wajahnya. Dewangga membencinya, dia ingat itu. Jadi, rasanya percuma jika dia berdandan. Toh, pasti Dewangga tetap akan membencinya karena dia pernah menjebak pria itu di kamar h
Bibir Maura terkatup rapat sambil menatap Dewangga. Pria itu begitu akrab dan hangat ketika berbicara dengan Alena, tapi akan tampak dingin dan kasar ketika berbicara dengannya. "Aku nggak menuduh kamu selingkuh. Aku hanya merasa ...." Maura menghentikan kalimatnya. Dia tak tahu bagaimana cara mengatakan seluruh perasaannya bahwa dia sangat menyesal atas situasi mereka yang sekarang terjebak sebuah pernikahan yang tak diinginkan. "Intinya, aku ingin meminta maaf atas segala kesalahanku yang dulu. Maaf, aku telah hadir di antara kalian." Maura beranjak dari sana untuk mencuci peralatan makan yang digunakannya. Tapi, Dewangga dan Alena sama-sama terkejut. Apa yang barusan mereka dengar? Sejak kapan seorang Maura bersedia meminta maaf? Dewangga mengepalkan tangannya erat. Kata maaf yang Maura lontarkan tak akan mengubah pendiriannya untuk membuat wanita itu menderita di rumahnya. Dia tak akan berbelas kasih atas penderitaan yang dirasakannya selama tiga tahun terakhir selama mereka
"Ha, ha, ha .... Aku bercanda, Oma," ujar Maura sambil tertawa canggung. "Jangan dianggap serius." Maura mematikan kompor karena masakannya telah matang. Dia segera mencuci tangannya dan menghampiri wanita tua itu sambil melepaskan celemek dan meninggalkan oseng daging sayuran di wajan. "Sini, Oma. Duduk sini," ajaknya sambil meraih lengan wanita tua itu dan membawanya duduk di salah satu kursi dapur. Maura diam-diam melirik ekspresi wajah Dewangga yang mulai kembali datar. Bahkan ekspresi wajah Mia juga terlihat lega. "Dasar, anak nakal. Oma sampai kaget. Oma kira kamu nggak mau kenal lagi sama oma," gerutu Oma Ambar sambil duduk. "He, he, he ...." Maura kembali tertawa. Dia lega karena sepertinya dia tak melakukan kesalahan fatal. "Kamu kelihatan cantik banget hari ini, Maura," puji oma Ambar tulus sambil menatap penampilan wanita itu. "Padahal cuma pakai lipstik doang, ya? Cuma seoles, pula." "Ah, Oma bisa aja." Maura merasa malu, tapi juga senang karena wanita tua itu terlih
"Dia jemput kamu?" tanya Andreas sambil menatap ekspresi wajah Maura yang terlihat kaget. "Kayaknya iya." Maura mengangguk. "Aku pulang duluan, ya, Mas." "Oke." Kini giliran Andreas yang mengangguk. Maura beranjak menenteng tasnya dan meninggalkan sesuatu di meja. "Maura," panggil Andreas ketika Maura hampir mencapai pintu keluar. "Masakan kamu ketinggalan." Maura menoleh. Andreas berjalan cepat sambil menyodorkan rantang susun plastik berukuran sedang milik Maura yang berisi gulai ayam khas Minang yang baru dipelajarinya hari ini. Kelas memasak itu memang memperbolehkan pesertanya membawa pulang masakan yang sudah mereka buat, karena itulah biayanya lumayan mahal bagi Maura. "Terima kasih banyak, Mas," kata Maura sambil menerima rantang susunnya dan tersenyum lebar. "Aku pulang, ya." Maura melambaikan tangan. "Ya, hati-hati di jalan." Dewangga menatap tajam Maura dan Andreas bergantian. Hatinya diliputi rasa tak nyaman, kemudian dia menarik tangan Maura dan pergi begitu saja.
Di kantor sore itu, Zefan yang tengah membantu merapikan beberapa berkas kontrak, menatap bosnya setelah membaca sebuah pesan yang masuk. Keduanya sama-sama duduk di sofa setelah selesai berdiskusi singkat.“Malam ini ada acara, kan? Pernikahan anaknya pak Bobby,” katanya membuka suara sekaligus mengingatkan, membuat Dewangga menoleh sekilas. “Setelan jas pesananmu katanya akan tiba di sini sebentar lagi. Gaun dan sepatunya juga.”Dewangga menjawab dengan anggukan.“Dengan siapa kamu akan datang? Apa aku harus menghubungi nyonya Maura buat minta dia bersiap-siap?”Dewangga terdiam sejenak. Dia teringat dengan penolakan Maura padanya saat pria itu mengajaknya membeli hadiah kalau wanita itu libur bekerja nanti. Mungkin Maura juga akan menolak ajakannya datang ke pesta pernikahan itu malam ini.Bukankah memang sebelumnya dia tak pernah mengajak wanita itu menghadiri berbagai acara? Pasti Maura juga bisa menebaknya meski sekarang dia amnesia.“Nggak usah hubungi dia,” ujar pria itu denga
“Tiga puluh ribu, Mas,” jawab penjual bakso itu yang langsung menatap Maura. “Neng, ini suaminya, ya?” tanya penjual bakso itu, membuat Maura enggan mengakuinya karena takut pria itu akan marah. “Iya, Pak.” Dewangga yang menjawab sambil menyodorkan selembar uang kertas berwarna merah. “Kembaliannya ambil aja.” Penjual bakso itu tersenyum cerah. “Makasih Mas. Duh, yang satu cantik, yang satunya lagi ganteng. Dua-duanya baik pula. Benar-benar pasangan suami istri yang cocok.” Maura terdiam sambil tersenyum kaku, sementara Dewangga menanggapi candaan itu dengan ekspresi santai, seperti ekspresinya saat menjenguk pak Jo di rumah sakit dulu. Penjual bakso itu berpamitan pergi, meninggalkan keduanya. “Ayo, pulang,” kata Dewangga sambil berjalan lebih dulu. Wajahnya yang ramah kembali berubah datar. Maura berjalan dalam diam sambil menatap kerikil, mengikuti Dewangga di belakangnya. “Kenapa kamu malah ada di rumah? Bukannya tadi pagi bilangnya mau ke restoran?” tanya Dewangga sa
Maura tercekat menatap Dewangga. Tatapannya beralih pada mbok Narti yang masih menangis dengan tubuh gemetar.Kapan dia berkata ingin memecat wanita paruh baya itu?“Dewangga, aku … aku nggak bermaksud mecat mbok Narti,” ujarnya perlahan sambil menunduk.Mengingat bahwa dia bersikap sangat buruk di masa lalu, pasti Dewangga akan salah paham dan tak akan percaya padanya.Segala penjelasannya akan menjadi sia-sia.“Lalu, apa yang saya dengar barusan?” tanya pria itu masih dengan wajah yang garang.Maura mendesah frustrasi. “Aku nggak tahu kenapa mbok Narti ngomong kayak gitu.”“Mbok, ikut saya,” perintah Dewangga sambil berjalan meninggalkan Maura.Mbok Narti segera mengikuti, sementara Maura diam-diam mengepalkan tangannya di belakang tubuhnya.Dewangga masuk ke ruang kerjanya, diikuti mbok Narti.Pria itu segera duduk di kursinya.“Mbok, bukannya suami Mbok masih di rumah sakit?” tanya pria
Maura menarik napasnya panjang, menetralisir rasa sesak dan kecewa di dadanya.“Kamu juga pasti tahu sendiri alasan kenapa selama ini kamu nggak pernah ngajak aku buat beli hadiah. Iya, kan?” Maura balik bertanya sambil menatap Dewangga. “Karena aku nggak tahu selera mama Laura, atau selera siapapun di rumah keluargamu terlebih aku yang sekarang. Jadi sebaiknya kamu ajak orang lain aja, supaya nggak salah beli barang.”Maura tersenyum sendiri sambil menunduk menatap jari-jari tangannya yang gemetar, menertawakan dirinya.Mengapa dia harus kecewa? Dia sendiri yang bukan orang baik sehingga semua orang membencinya. Tentu saja dia harus menerima segala konsekuensinya sekarang.Atmosfer di dalam mobil terasa lebih berat. Dewangga melonggarkan dasinya dan tiba-tiba saja menghentikan mobilnya di tepi jalan.“Keluar!” titahnya dengan nada dingin, membuat Maura terkejut.“Dewangga, ini masih jauh dari restoran, lho,” ujarnya protes.
“Clara, tolong jaga bicaramu,” pinta Dewangga dengan tatapan tajam. Clara mendengus. “Biasanya juga aku kayak gini, kok. Biasanya juga dia selalu membalas kata-kataku. Kenapa sekarang jadi Kakak yang belain dia? Selama ini dia kan yang paling pintar membela dirinya sendiri. Kenapa hari ini tiba-tiba jadi diam? Kayak bukan Maura aja,” gerutu Clara. “Clara ….” Narendra meninggikan suaranya setengah oktaf. “Sebaiknya kamu tutup mulut.” “Lho, yang aku bilang itu bener, kok. Dia itu arogan, sombong, dan nyebelin hanya karena bisa memenangkan hati oma. Hanya karena dia tahu oma sayang banget sama dia, bahkan om Teguh, tante Laura dan mama harus mikir dua kali kalau mau nyinggung dia. Kakak lupa dengan penderitaan kak Angga selama menikah dengannya?” lanjut Clara seolah belum puas mengatakan isi hatinya. “Semua orang tahu kalau kak Angga tertekan menikah dengannya. Semua orang nggak buta, kecuali kak Naren yang otaknya ada masalah.” “Clara!” Dewangga juga menaikkan suaranya, sementara N
“Oma melihat Dewangga tidur di ruang kerja semalam,” ujar Laura sambil menatap mata Maura. "Oma udah minta Dewangga pindah ke kamar, tapi kayaknya dia tetap di ruang kerja, deh.""Oh?" Maura semakin terkejut. "Kalau itu, aku ....""Selamat pagi, Maura. Selamat pagi semuanya." Oma Ambar datang bersama Vivian dan Clara.“Selamat pagi.”"Dewangga belum datang, ya?""Belum, Oma." Narendra yang menjawab.“Kamu datang pagi sekali,” ejek Clara sambil tersenyum pada Maura dan duduk di samping ibunya, dekat dengan Narendra setelah oma Ambar dan yang lainnya duduk. "Biasanya kami semua yang sering menunggumu datang. Tapi hari ini kamu mau menunggu kami. Benar-benar ajaib."Vivian menatap Clara, memintanya untuk menjaga mulutnya, membuat Clara merasa kesal.“Apa tidurmu nyenyak, Nak?” tanya oma Ambar pada Maura dengan lembut.Maura mengangguk tersenyum, membuat wanita tua itu lega.“Oma cuma perhatian sama dia aja, deh. Rasanya nggak adil,” gerutu Clara."Clara, hati-hati dengan mulutmu," ujar N
Maura menyeka matanya dengan kasar, kemudian mendorong dada Dewangga padahal wanita itu masih ada dalam gendongannya. “Kamu akan jatuh kalau mendorongku seperti itu, Maura,” peringat Dewangga sambil menatap Maura tajam. "Turunkan aku, Dewangga," pinta Maura. Bukannya menurunkan wanita itu, Dewangga malah berjalan ke arah tempat tidur dan menurunkan Maura dengan lembut di atas kasur. “Kalau mau tidur, tidur di sini,” kata Dewangga tak mempedulikan ucapannya, kemudian pria itu duduk di samping Maura yang tengah berbaring menatapnya. “Katakan padaku, mengapa kamu menangis?” “Nggak kenapa-napa,” jawab Maura sambil berbaring memunggungi pria itu dan memejamkan matanya. Dewangga menatap bahu Maura yang terlihat kecil. Dia mengerutkan alisnya. Apa Maura sekurus ini dulu? Bobot tubuhnya pun terasa ringan. Kemudian dia segera memperbaiki posisi selimut yang dipakai wanita itu. “Kalau kamu tak mau kita tidur di ranjang yang sama, cukup katakan sejujurnya saja,” gumam Dewangga perlahan, t
Maura menahan napasnya ketika mobil yang ditumpanginya berhenti tepat di depan teras. "Mereka semua keluargamu?" tanya Maura dengan perasaan cemas. Dewangga mengangguk. "Bersikaplah seolah-olah kamu mengenal mereka semua. Aku dan Naren akan berusaha membantumu agar tak ada yang tahu bahwa kamu amnesia." "Yang pakai baju putih di samping kiri oma Ambar itu papa Teguh Bagaskara. Di sebelahnya mama Laura. Di samping kanan Oma itu tante Vivian adiknya papa, lalu anak perempuannya Clara, sekaligus adiknya Naren. Kamu bisa ingat, kan?" Maura mengangguk mengerti. Dia turun dan mengikuti langkah Dewangga menuju teras rumah. "Akhirnya setelah beberapa bulan berlalu, kalian mau menginap juga di rumah oma," kata oma Ambar senang, menyambut keduanya dengan senyum lebar. "Lho? Kamu beneran Maura?" tanya Laura sambil melihat penampilannya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Maura tercekat. Apa mereka mengetahui bahwa dia tengah amnesia? Maura pun menoleh pada Dewangga dengan perasaan was-wa
Maura menatap Dewangga dengan pandangan takut. Ingatannya satu lagi perlahan datang, namun semuanya hanya ingatan buruk. Ingatan kali ini lebih jelas dari ingatan lainnya, seolah baru terjadi kemarin. Maura ingat bagaimana wajah Dewangga yang sangat marah ketika dia menjambak Alena di masa lalu karena diam-diam Alena memprovokasinya, kemudian ketika Maura terpancing amarah, Alena bersikap seolah-olah semua salah Maura. Saat itu Dewangga hampir menamparnya. Alena selalu menjebak Maura seolah Maura selalu menganiayanya, kemudian berpura-pura lemah dan tertindas. Maura yang di masa lalu sangat pemarah karena faktor frustrasi, selalu terpancing dan masuk dalam jebakannya. Maura merasakan sudut hatinya begitu nyeri ketika ingatan itu muncul. Dia menderita dan sedih di waktu yang bersamaan. "Maura? Ada apa?" tanya Dewangga khawatir saat melihat wajah wanita itu pucat pasi. Maura beringsut menjauh dan menatap Dewangga dengan tubuh gemetar. "Jangan mendekat." Dewangga yang melihatnya me