Bibir Maura terkatup rapat sambil menatap Dewangga. Pria itu begitu akrab dan hangat ketika berbicara dengan Alena, tapi akan tampak dingin dan kasar ketika berbicara dengannya.
"Aku nggak menuduh kamu selingkuh. Aku hanya merasa ...." Maura menghentikan kalimatnya. Dia tak tahu bagaimana cara mengatakan seluruh perasaannya bahwa dia sangat menyesal atas situasi mereka yang sekarang terjebak sebuah pernikahan yang tak diinginkan. "Intinya, aku ingin meminta maaf atas segala kesalahanku yang dulu. Maaf, aku telah hadir di antara kalian." Maura beranjak dari sana untuk mencuci peralatan makan yang digunakannya. Tapi, Dewangga dan Alena sama-sama terkejut. Apa yang barusan mereka dengar? Sejak kapan seorang Maura bersedia meminta maaf? Dewangga mengepalkan tangannya erat. Kata maaf yang Maura lontarkan tak akan mengubah pendiriannya untuk membuat wanita itu menderita di rumahnya. Dia tak akan berbelas kasih atas penderitaan yang dirasakannya selama tiga tahun terakhir selama mereka hidup bersama. Dewangga menghela napasnya. Dia meraih segelas air mineral dan meminumnya sampai tandas, kemudian menyeka bibirnya dengan serbet. Walaupun hatinya dipenuhi amarah, ada rasa tak nyaman yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Maura yang selalu ribut mencari perhatiannya, maupun Maura yang diam seolah ingin menghindarinya, sungguh membuatnya sangat kesal. "Makanlah sendiri, Alena," ujar Dewangga sambil berdiri. "Kamu juga udahan makan malamnya?" Alena terkejut sambil menyentuh lengan pria itu. "Makanan kamu belum habis." Dewangga menarik tangannya. "Saya sudah selesai." "Makan lagi sedikit, Dewangga. Siang tadi kamu nggak sempat makan karena rapat," bujuk Alena. "Tidak," tolak pria itu. "Satu hal, Alena. Saya tak pernah mengundangmu makan malam. Kamu sendiri yang bersikeras ingin datang untuk melihat Maura. Saya tahu tujuanmu datang ke sini untuk apa. Kamu sudah mencapai tujuanmu karena Maura berpikir kita memiliki hubungan khusus." "Aku minta maaf. Lain kali aku nggak akan ngomong sembarangan lagi, Dewangga," ujar Alena menyesal. "Apa ucapanku tadi akan jadi masalah buatmu?" "Saya tak peduli apa yang Maura pikirkan tentang kita. Tapi, saya tak berharap Oma Ambar berpikiran sama dengannya. Di rumah ini, ada banyak mata dan telinga. Mereka memperhatikan kita," jawab Dewangga sambil beranjak tanpa mau menoleh. Dia berjalan sambil melepaskan dasinya. "Dewangga." Alena cemberut melihat pria itu meninggalkannya. Setengah tujuannya memang tercapai. Tapi, dia tak berhasil membuat Maura marah dan menyerangnya seperti dulu. Dia gagal membuat Dewangga semakin membenci Maura seperti biasa. "Aku yang kurang perhitungan. Sepertinya Maura benar-benar amnesia," gerutu Alena sambil bersiap untuk pergi. *** Pagi menjelang. Sebelum matahari terbit, Maura sudah lebih dulu bangun dan mencuci pakaiannya dengan tangan sampai kulitnya kemerahan. Maura tahu bahwa dia harus bisa melakukan banyak hal sendiri agar ketika dia keluar dari rumah itu dia sudah terbiasa. Dia sadar uang yang dimilikinya tak banyak, serta tak memiliki dukungan keluarga. Sudah seharusnya dia belajar melakukan segalanya sendiri. Setelah selesai mencuci dan menjemur pakaian, dia mengambil beberapa foto pakaiannya dari walking closet serta beberapa barang lain untuk dijual di toko online preloved yang baru dibuatnya. Ada banyak pakaian yang tak mau dipakainya lagi. Lagipula saat pindah nanti, dia tak bisa membawa semua barang-barangnya karena akan sangat merepotkan. Maura sangat lapar di tengah-tengah kegiatan yang dilakukannya. Masih ada banyak barang yang belum sempat difoto. Wanita itupun bergegas turun ke lantai bawah menuju dapur. Sesampainya di ruang makan, aroma sup daging tercium di udara sehingga membuat Maura semakin kelaparan. Di meja makan, Dewangga sudah duduk menikmati sarapannya bersama Alena. Ketika melihat mereka berdua, ada rasa tak nyaman menyusup ke hati Maura, terlebih ketika Maura melihat kedekatan mereka. Maura amnesia. Dia tak ingat apapun. Dan dia membutuhkan dukungan seseorang di saat kondisinya yang seperti ini, namun suaminya pasti tak akan mau melakukannya. Alena beruntung bisa diterima dan dicintai Dewangga. Tak sepertinya yang dipandang bagaikan musuh. Tiba-tiba rasanya Maura ingin menangis. Tapi dia harus menahannya. Mungkin amnesianya adalah karma. Karma karena di masa lalu dia begitu jahat. Maura menggeleng perlahan sambil menarik napasnya. Dia masih memiliki pekerjaan yang harus dilakukannya. "Selamat pagi," sapa Maura dengan suara rendah namun cukup nyaring didengar. Dewangga yang mendengar sapaan Maura hanya mengangkat sebelah alisnya, tak berminat menjawab. Lagipula, untuk apa berbasa-basi dengan wanita yang dibencinya? Sedangkan Alena tersenyum melihat Maura dan menjawab sapaannya singkat sebelum mereka mengobrol kembali sambil sarapan. Dewangga melirik Maura yang berjalan ke arah konter dapur tak jauh darinya, kemudian dia juga melihat Maura mengambil beberapa lembar roti tawar yang diolesi selai coklat dan diletakkan di atas piring. Maura juga mengambil susu UHT dari kulkas, yang langsung dituangkan ke dalam gelas tanpa dipanaskan terlebih dahulu. Pria itu terus memperhatikan Maura dan memprediksi bahwa Maura akan duduk bersamanya di meja makan. Namun, ketika Maura berlalu dari sana dengan membawa nampan berisi sepiring roti dan segelas susu dingin, dugaannya salah. "Hanya itu sarapanmu?" tanya Dewangga. Maura berbalik dan menoleh. Wanita itu hanya memberikan anggukan sebagai jawaban, kemudian berlalu dari sana dan kembali ke kamarnya sehingga membuat Dewangga mengerutkan alisnya. Seingatnya, Maura tak pernah mau sarapan roti. Wanita itu juga tak bisa meminum susu dingin di pagi hari. Sarapannya harus berupa sup hangat. Tapi sekarang wanita itu tak rewel dengan makanannya? "Baguslah dia tak menggangguku," gumam pria itu perlahan. Alena yang menyadari perhatian Dewangga teralihkan pada Maura, hanya bisa mengepalkan tangannya kuat sambil tersenyum masam. Dewangga mendadak kehilangan selera makannya. Rasanya ada yang mengganjal di hatinya. Dulu, Maura selalu mencari perhatiannya. Selalu ribut dan melakukan berbagai trik untuk mengganggunya, dan selalu ingin makan di sampingnya. Maura yang dulu benar-benar tak terkendali. Harusnya dia merasa senang dan lega karena Maura berubah. Tapi ternyata sikap wanita itu membuatnya semakin terusik. Entah mengapa Dewangga lebih memilih Maura kembali seperti dulu. Setidaknya dia masih memiliki alasan kuat untuk tetap membencinya. Sementara itu di dalam kamar, Maura menghabiskan rotinya dengan cepat. Yang tersisa hanya setengah gelas susu dingin yang belum sanggup dihabiskannya karena perutnya mendadak terasa sedikit tak nyaman. Selesai makan, wanita itu segera memotret barang-barang yang ingin dijualnya, dan mengambil video setiap produk dengan durasi pendek. *** Sekitar pukul sebelas siang, Maura telah selesai memotret sebagian barang-barang yang ingin dijualnya. Bahkan dia juga telah selesai mengunggahnya di aplikasi belanja khusus preloved. Dia pun keluar kamar berjalan-jalan sejenak untuk meregangkan tubuhnya. Ketika dia tiba di depan pintu ruang kerja Dewangga yang tertutup rapat, dia ingat bahwa ada berkas yang harus ditandatanganinya. "Dewangga, kamu ada di dalam?" tanya Maura sambil mengetuk dan membuka pintu itu. Maura melihat tak ada siapapun di sana. "Benar. Dia nggak mungkin ada di sini," gumamnya perlahan ketika dia teringat dengan Alena yang datang menjemput pria itu pagi-pagi. Maura berjalan ke arah meja kerja. Dia ingat kemarin Dewangga meletakkan berkas perceraian mereka di laci. Kebetulan, semalam dia telah berlatih tanda tangannya lagi. Dia pun mencari berkas itu dan menandatanganinya tanpa berpikir panjang kemudian meletakkan berkas itu di atas meja agar ketika Dewangga masuk ke sana, pria itu bisa segera melihat dan mengeceknya. Maura melihat jam di dinding. Dia teringat dengan waktu makan siang yang sebentar lagi datang. "Aku belajar masak aja dulu, ah. Lihat resepnya dari internet," gumamnya sambil beranjak ke dapur membawa ponselnya yang layarnya retak sewaktu dia mengalami kecelakaan di Perancis. Di dapur, Maura menyiapkan bahan-bahan yang diperlukannya sambil melihat panduan resep. Dia ingin sekali membuat oseng sayuran yang dicampur potongan daging ayam. "Nyonya mau bikin apa?" Sebuah suara membuat Maura yang tengah fokus teralihkan. "Kamu Mia, kan?" tanya Maura memastikan. "Ya, Nyonya." "Saya mau bikin oseng sayuran dan daging ayam," ujar Maura sambil kembali mengiris wortel. "Wortelnya kupas dulu, Nyonya, jangan langsung dipotong," kata Mia sambil meraih wortel lain dan mengupasnya menggunakan pisau pengupas. "Oh?" Maura sedikit tercekat. "Saya pikir karena kulitnya tipis banget, jadi gak perlu dikupas lagi." "Gak dikupas juga sebenarnya gak apa-apa, Nyonya, asal dibersihkan dengan baik. Tapi 'kan wortel tumbuhnya di dalam tanah. Terkadang dipermukaannya ada lipatan kecil yang masih ada tanahnya dan sulit dibasuh dengan air." Maura mengangguk mengerti. "Terima kasih, Mia. Biar saya yang ngerjain." "Nggak apa-apa, Nyonya. Saya bantuin Nyonya masak aja, ya." Mia tersenyum. Ini kali pertama dia mendengar Maura berterima kasih sepanjang dua tahun dia bekerja di sana. "Eh, jangan," tolak Maura terkejut. "Kalau Dewangga tahu, mungkin dia akan marah." "Nggak apa-apa, Nyonya. Lagipula tuan nggak ada di rumah." "Iya juga." Maura kembali mengangguk. Tak ada salahnya jika dia menerima bantuan dari orang lain. Pasti masakannya tak akan gagal dibuat. "Tapi, saya bener-bener mau belajar masak. Kamu cukup kasih tahu aja kalau ada yang salah atau kurang, ya." "Baik, Nyonya," jawab Mia. "Saya bantu siapin bahannya aja." Keduanya memasak sambil diiringi dengan obrolan kecil. Tepat ketika masakan itu hampir selesai, terdengar deru mesin mobil di halaman samping. "Nyonya, ada yang datang," kata Mia sambil mencuci tangannya dan melirik jendela di sebelah meja makan. Dia baru saja selesai mencuci peralatan dapur yang tadi digunakan. "Maaf, Nyonya. Saya permisi dulu, mau buka pintu." Maura mengangguk. "Ya, Mia. Terima kasih udah bantuin. Sebentar lagi juga matang, kok." Mia mengangguk sambil berlalu pergi sementara Maura mengaduk-aduk wajan agar masakannya matang merata dan mencicipinya. Wanita itu tersenyum. "Kamu lagi apa di sana? Kamu lagi masak?" Sebuah suara yang belum pernah terdengar menyapa sehingga Maura menoleh. Dilihatnya seorang wanita berdiri tak jauh darinya sambil tersenyum menatapnya. Maura mengerutkan alisnya. Dia tak mengenal siapa wanita itu. "Nenek cari siapa?" tanya Maura heran. "Lho? Kok, nenek? Kamu kenapa, Maura? Kamu udah nggak kenal lagi sama oma?" Wanita tua itu tampak sangat terkejut dan memandang Maura aneh. Tepat saat itu, Dewangga muncul di sana dengan wajah keras dan menggelap. Sementara Mia yang datang setelahnya menatap Maura dengan pandangan ngeri. Dari ekspresi Dewangga maupun Mia, Maura tahu dia telah melakukan kesalahan besar. Tapi sungguh, dia lupa siapa wanita itu. Apa jangan-jangan ... wanita tua itu oma Ambar? Oma kesayangan Dewangga yang katanya memiliki penyakit jantung yang pernah Lusi ceritakan? Maura tertegun sejenak dan tak tahu harus bagaimana. Dia menatap Mia meminta pertolongan, namun Mia menggeleng kecil dan tak tahu harus berbuat apa."Ha, ha, ha .... Aku bercanda, Oma," ujar Maura sambil tertawa canggung. "Jangan dianggap serius." Maura mematikan kompor karena masakannya telah matang. Dia segera mencuci tangannya dan menghampiri wanita tua itu sambil melepaskan celemek dan meninggalkan oseng daging sayuran di wajan. "Sini, Oma. Duduk sini," ajaknya sambil meraih lengan wanita tua itu dan membawanya duduk di salah satu kursi dapur. Maura diam-diam melirik ekspresi wajah Dewangga yang mulai kembali datar. Bahkan ekspresi wajah Mia juga terlihat lega. "Dasar, anak nakal. Oma sampai kaget. Oma kira kamu nggak mau kenal lagi sama oma," gerutu Oma Ambar sambil duduk. "He, he, he ...." Maura kembali tertawa. Dia lega karena sepertinya dia tak melakukan kesalahan fatal. "Kamu kelihatan cantik banget hari ini, Maura," puji oma Ambar tulus sambil menatap penampilan wanita itu. "Padahal cuma pakai lipstik doang, ya? Cuma seoles, pula." "Ah, Oma bisa aja." Maura merasa malu, tapi juga senang karena wanita tua itu terlih
"Dia jemput kamu?" tanya Andreas sambil menatap ekspresi wajah Maura yang terlihat kaget. "Kayaknya iya." Maura mengangguk. "Aku pulang duluan, ya, Mas." "Oke." Kini giliran Andreas yang mengangguk. Maura beranjak menenteng tasnya dan meninggalkan sesuatu di meja. "Maura," panggil Andreas ketika Maura hampir mencapai pintu keluar. "Masakan kamu ketinggalan." Maura menoleh. Andreas berjalan cepat sambil menyodorkan rantang susun plastik berukuran sedang milik Maura yang berisi gulai ayam khas Minang yang baru dipelajarinya hari ini. Kelas memasak itu memang memperbolehkan pesertanya membawa pulang masakan yang sudah mereka buat, karena itulah biayanya lumayan mahal bagi Maura. "Terima kasih banyak, Mas," kata Maura sambil menerima rantang susunnya dan tersenyum lebar. "Aku pulang, ya." Maura melambaikan tangan. "Ya, hati-hati di jalan." Dewangga menatap tajam Maura dan Andreas bergantian. Hatinya diliputi rasa tak nyaman, kemudian dia menarik tangan Maura dan pergi begitu saja.
"Maura, kamu nggak apa-apa, Nak?? Maura? Maura?" Panggilan lembut beberapa kali membuat Maura membuka matanya perlahan. Dia menatap langit-langit kamar dan mulai teringat bahwa sebelum terjatuh dia berada di sisi ranjang Dewangga. Di sampingnya, oma Ambar duduk menggenggam tangannya dengan wajah khawatir. Kemudian Maura merasakan pijatan lembut dan hangat di kakinya. Mia ada di ujung ranjang sambil mengoleskan minyak dan memijat kakinya, sementara Yanti datang membawa teh hangat. "Syukurlah kamu udah sadar." Kekhawatiran di wajah oma Ambar sedikit berkurang. "Kamu kenapa? Bagian mana yang sakit?" "Oma?" Maura mencoba bangkit untuk duduk, kepalanya masih sedikit pusing ditambah sakit akibat benturan. "Jangan bergerak terlalu banyak. Kamu minum dulu tehnya. Dewangga lagi menghubungi dokter," kata oma Ambar sambil menyodorkan teh yang dibawa Yanti. Maura menoleh ke tempat lain, kemudian meminum setengah cangkir. Di dekat jendela, Dewangga masih berbicara dengan seseorang di telepo
Lontaran pertanyaan dari Alena membuat Maura gugup. Mungkin dia telah melakukan kesalahan di masa lalu. Tapi sekarang, jangan sampai dia membuat Dewangga dan Alena bertengkar karenanya. "Maaf, Alena. Aku bisa jelasin," kata Maura tak enak hati sambil berdiri. Wanita itu benar-benar mengira Dewangga dan Alena memiliki hubungan khusus. "Duduk, Maura. Kakimu harus istirahat," ujar Dewangga menekan pundak Maura sehingga wanita itu kembali duduk. "Diam di sini. Tak ada yang perlu dijelaskan," lanjut pria itu dengan tegas. Dia mengerti dengan jelas maksud perkataan Maura yang mengira dirinya ada hubungan khusus dengan Alena. "Tapi Dewang—" "Saya yang membawa Maura ke sini." Dewangga memotong ucapan Maura sambil berdiri tegak, sekaligus menjawab pertanyaan Zefan dan Alena. Zefan maupun Alena semakin terkejut. Keduanya saling melempar pandang, sementara Maura semakin tak enak hati. "Maura, kamu tunggu di sini. Aku akan memastikan pertemuan ini tak akan lebih dari satu jam," kata Dewang
Maura menoleh menatap Zefan, mempertanyakan apa yang Dewangga katakan. "Oh, itu ... jadwalnya udah ditetapkan, Nyonya. Jam empat sore nanti Nyonya harus udah tiba di sana," kata Zefan. "Kenapa kamu gak tanya dulu ke saya? Saya belum menyetujui apapun," protes Maura. "Sore ini saya ada kelas memasak." "Maaf, Nyonya. Saya yang salah. Saya nggak tahu kalau nyonya udah ada rencana. Tapi ... gak mudah bikin janji sama psikolog ini, Nyonya." Zefan menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Dia sudah terbiasa menjadi kambing hitam bosnya, tetapi kejadian hari ini sedikit membuatnya kesal karena dia belum siap. "Saya gak mau pergi ke psikolog hari ini," tolak Maura. "Jadwalnya ganti aja jadi besok pagi. Saya mau ikut kelas memasak." "Tidak bisa. Kakimu terkilir. Pastikan kondisi kakimu baik dulu baru ikut kelas memasak lagi," ujar Dewangga tegas, kemudian tatapannya berubah mengancam. "Jangan membuat oma selalu mencemaskanmu, Maura." Maura menarik napasnya. Ya, oma Ambar pasti akan semakin m
Alena dengan cepat menguasai perasaannya. Wanita itu tersenyum begitu manis dan memikat, dengan senyuman tulus dan polos andalannya. "Jangan menuduhku sembarangan, Zefan. Menuduh tanpa bukti, sama aja dengan fitnah," kata Alena dengan sikap yang tenang sambil memperbaiki dasi Zefan yang sedikit miring. "Apa kamu punya buktinya?" Zefan mengerutkan alisnya. Dia tahu bahwa Alena mampu menyembunyikan perasaannya yang sebenarnya. Dia juga tahu senyum wanita itu saat ini adalah senyuman palsu. "Aku belum memiliki bukti apapun. Tapi, kalau benar itu perbuatanmu, bukti pasti akan mengarah padamu, Alena," jawab Zefan sambil menyingkirkan tangan wanita itu. "Kalau begitu, cari aja dulu buktinya," kata Alena sambil tersenyum. "Tapi bukti itu tak akan pernah ada karena memang aku tak melakukan apapun." Alena berlalu dari sana dengan tenang seolah tak pernah terjadi apapun, sementara Zefan mematung memikirkan hal yang baru saja Alena katakan. "Semakin menyangkal, semakin besar dugaannya, dan
Meja penuh dengan beragam menu karena Maura memesan makanan lain lagi bersama Andreas. Obrolan mengalir didominasi oleh Maura dan Andreas. Sementara Dewangga hanya sedikit bicara sambil mempertahankan kesabarannya. "Mas Andreas, bagaimana kelas memasak sore tadi? Apa menyenangkan?" tanya Maura penasaran. Andreas mengangguk sambil tersenyum. "Lumayan. Hanya saja ada cerita memilukan dari salah satu peserta." "Cerita memilukan? Apa ada peserta yang sakit?" tanya Maura penasaran sambil mengunyah makanan. Andreas menggeleng. "Ketika seluruh peserta kelas ditanya alasan mereka mengikuti program kelas memasak ini, salah satu peserta—bu Maya—menceritakan bahwa alasan dia ikut kelas memasak karena dia butuh hiburan." "Hiburan?" Maura masih tak mengerti letak memilukannya di mana. "Ya. Saat ini bu Maya sedang menghadapi sidang perceraian dengan suaminya karena suaminya terbukti berselingkuh. Anak mereka hanya ada satu. Kedua belah pihak memperebutkan hak asuh anak, jadi sidangnya cukup a
"Maaf, Alena. Kamu bisa bersama Dewangga nantinya," kata Maura perlahan dengan perasaan yang semakin bersalah. "Aku ... sudah menanda-tangani surat perceraian itu. Setelah tiga bulan, kalian bisa bersama secara resmi." "Begitukah?" Alena menatap Maura dengan pandangan rumit. Dalam hatinya, wanita itu bersorak karena tiba-tiba dia memiliki sebuah ide. "Mengapa harus menunggu tiga bulan? Mengapa tidak sekarang?" "Itu karena aku—" "Alena? Mengapa kamu ada di sini?" Di atas tempat tidur, Dewangga telah bangun dan duduk menatap keduanya yang tengah berada di ambang pintu. "Hai, Dewangga. Selamat pagi," sapa Alena dengan senyum hangat. "Aku datang buat jemput kamu. Kenapa kamu baru bangun? Ini udah siang." "Kalian ngobrol aja dulu. Aku mau mandi di kamar sebelah," kata Maura sambil terburu-buru pergi dengan menyeret kakinya yang masih terasa sakit. "Apa yang kamu katakan padanya?" tanya Dewangga dingin sambil menatap tajam Alena. Alena tersenyum kaku. "Aku nggak bilang apapun." "Ben
Musik indah mengalun lembut saat Maura dan Narendra masuk ke ballroom hotel, tempat diadakannya acara resepsi pernikahan itu.Keduanya telah mengenakan topeng yang dibagikan di pintu masuk saat memperlihatkan undangan yang dibawa pria itu pada staff yang berjaga di depan karena tamu yang menghadiri pesta itu sangat terbatas.Maura menatap dekorasi pesta yang terlihat mewah dan glamor. Lampu-lampu hias menggantung, ada yang seperti air mancur, ada juga yang seperti bintang-bintang.Aneka makanan dan minuman terhidang di meja yang dilapisi kain satin hitam. Mulai dari makanan ringan, sampai makanan berat.Lalu di ujung panggung pengantin, sepasang penyanyi melantunkan lagu cinta dengan suara yang merdu.“Apa Dewangga udah ada di sini?” bisik Maura sambil mengedarkan pandangannya ke sekeliling, ke wajah orang-orang yang telah mengenakan topeng separuh yang menutupi mata, sama sepertinya.“Entahlah,” jawab Narendra acuh tak acuh. “Kita harus menemui tuan rumah dulu dan kedua mempelai. Aku
Di kantor sore itu, Zefan yang tengah membantu merapikan beberapa berkas kontrak, menatap bosnya setelah membaca sebuah pesan yang masuk. Keduanya sama-sama duduk di sofa setelah selesai berdiskusi singkat.“Malam ini ada acara, kan? Pernikahan anaknya pak Bobby,” katanya membuka suara sekaligus mengingatkan, membuat Dewangga menoleh sekilas. “Setelan jas pesananmu katanya akan tiba di sini sebentar lagi. Gaun dan sepatunya juga.”Dewangga menjawab dengan anggukan.“Dengan siapa kamu akan datang? Apa aku harus menghubungi nyonya Maura buat minta dia bersiap-siap?”Dewangga terdiam sejenak. Dia teringat dengan penolakan Maura padanya saat pria itu mengajaknya membeli hadiah kalau wanita itu libur bekerja nanti. Mungkin Maura juga akan menolak ajakannya datang ke pesta pernikahan itu malam ini.Bukankah memang sebelumnya dia tak pernah mengajak wanita itu menghadiri berbagai acara? Pasti Maura juga bisa menebaknya meski sekarang dia amnesia.“Nggak usah hubungi dia,” ujar pria itu denga
“Tiga puluh ribu, Mas,” jawab penjual bakso itu yang langsung menatap Maura. “Neng, ini suaminya, ya?” tanya penjual bakso itu, membuat Maura enggan mengakuinya karena takut pria itu akan marah. “Iya, Pak.” Dewangga yang menjawab sambil menyodorkan selembar uang kertas berwarna merah. “Kembaliannya ambil aja.” Penjual bakso itu tersenyum cerah. “Makasih Mas. Duh, yang satu cantik, yang satunya lagi ganteng. Dua-duanya baik pula. Benar-benar pasangan suami istri yang cocok.” Maura terdiam sambil tersenyum kaku, sementara Dewangga menanggapi candaan itu dengan ekspresi santai, seperti ekspresinya saat menjenguk pak Jo di rumah sakit dulu. Penjual bakso itu berpamitan pergi, meninggalkan keduanya. “Ayo, pulang,” kata Dewangga sambil berjalan lebih dulu. Wajahnya yang ramah kembali berubah datar. Maura berjalan dalam diam sambil menatap kerikil, mengikuti Dewangga di belakangnya. “Kenapa kamu malah ada di rumah? Bukannya tadi pagi bilangnya mau ke restoran?” tanya Dewangga sa
Maura tercekat menatap Dewangga. Tatapannya beralih pada mbok Narti yang masih menangis dengan tubuh gemetar.Kapan dia berkata ingin memecat wanita paruh baya itu?“Dewangga, aku … aku nggak bermaksud mecat mbok Narti,” ujarnya perlahan sambil menunduk.Mengingat bahwa dia bersikap sangat buruk di masa lalu, pasti Dewangga akan salah paham dan tak akan percaya padanya.Segala penjelasannya akan menjadi sia-sia.“Lalu, apa yang saya dengar barusan?” tanya pria itu masih dengan wajah yang garang.Maura mendesah frustrasi. “Aku nggak tahu kenapa mbok Narti ngomong kayak gitu.”“Mbok, ikut saya,” perintah Dewangga sambil berjalan meninggalkan Maura.Mbok Narti segera mengikuti, sementara Maura diam-diam mengepalkan tangannya di belakang tubuhnya.Dewangga masuk ke ruang kerjanya, diikuti mbok Narti.Pria itu segera duduk di kursinya.“Mbok, bukannya suami Mbok masih di rumah sakit?” tanya pria
Maura menarik napasnya panjang, menetralisir rasa sesak dan kecewa di dadanya.“Kamu juga pasti tahu sendiri alasan kenapa selama ini kamu nggak pernah ngajak aku buat beli hadiah. Iya, kan?” Maura balik bertanya sambil menatap Dewangga. “Karena aku nggak tahu selera mama Laura, atau selera siapapun di rumah keluargamu terlebih aku yang sekarang. Jadi sebaiknya kamu ajak orang lain aja, supaya nggak salah beli barang.”Maura tersenyum sendiri sambil menunduk menatap jari-jari tangannya yang gemetar, menertawakan dirinya.Mengapa dia harus kecewa? Dia sendiri yang bukan orang baik sehingga semua orang membencinya. Tentu saja dia harus menerima segala konsekuensinya sekarang.Atmosfer di dalam mobil terasa lebih berat. Dewangga melonggarkan dasinya dan tiba-tiba saja menghentikan mobilnya di tepi jalan.“Keluar!” titahnya dengan nada dingin, membuat Maura terkejut.“Dewangga, ini masih jauh dari restoran, lho,” ujarnya protes.
“Clara, tolong jaga bicaramu,” pinta Dewangga dengan tatapan tajam. Clara mendengus. “Biasanya juga aku kayak gini, kok. Biasanya juga dia selalu membalas kata-kataku. Kenapa sekarang jadi Kakak yang belain dia? Selama ini dia kan yang paling pintar membela dirinya sendiri. Kenapa hari ini tiba-tiba jadi diam? Kayak bukan Maura aja,” gerutu Clara. “Clara ….” Narendra meninggikan suaranya setengah oktaf. “Sebaiknya kamu tutup mulut.” “Lho, yang aku bilang itu bener, kok. Dia itu arogan, sombong, dan nyebelin hanya karena bisa memenangkan hati oma. Hanya karena dia tahu oma sayang banget sama dia, bahkan om Teguh, tante Laura dan mama harus mikir dua kali kalau mau nyinggung dia. Kakak lupa dengan penderitaan kak Angga selama menikah dengannya?” lanjut Clara seolah belum puas mengatakan isi hatinya. “Semua orang tahu kalau kak Angga tertekan menikah dengannya. Semua orang nggak buta, kecuali kak Naren yang otaknya ada masalah.” “Clara!” Dewangga juga menaikkan suaranya, sementara N
“Oma melihat Dewangga tidur di ruang kerja semalam,” ujar Laura sambil menatap mata Maura. "Oma udah minta Dewangga pindah ke kamar, tapi kayaknya dia tetap di ruang kerja, deh.""Oh?" Maura semakin terkejut. "Kalau itu, aku ....""Selamat pagi, Maura. Selamat pagi semuanya." Oma Ambar datang bersama Vivian dan Clara.“Selamat pagi.”"Dewangga belum datang, ya?""Belum, Oma." Narendra yang menjawab.“Kamu datang pagi sekali,” ejek Clara sambil tersenyum pada Maura dan duduk di samping ibunya, dekat dengan Narendra setelah oma Ambar dan yang lainnya duduk. "Biasanya kami semua yang sering menunggumu datang. Tapi hari ini kamu mau menunggu kami. Benar-benar ajaib."Vivian menatap Clara, memintanya untuk menjaga mulutnya, membuat Clara merasa kesal.“Apa tidurmu nyenyak, Nak?” tanya oma Ambar pada Maura dengan lembut.Maura mengangguk tersenyum, membuat wanita tua itu lega.“Oma cuma perhatian sama dia aja, deh. Rasanya nggak adil,” gerutu Clara."Clara, hati-hati dengan mulutmu," ujar N
Maura menyeka matanya dengan kasar, kemudian mendorong dada Dewangga padahal wanita itu masih ada dalam gendongannya. “Kamu akan jatuh kalau mendorongku seperti itu, Maura,” peringat Dewangga sambil menatap Maura tajam. "Turunkan aku, Dewangga," pinta Maura. Bukannya menurunkan wanita itu, Dewangga malah berjalan ke arah tempat tidur dan menurunkan Maura dengan lembut di atas kasur. “Kalau mau tidur, tidur di sini,” kata Dewangga tak mempedulikan ucapannya, kemudian pria itu duduk di samping Maura yang tengah berbaring menatapnya. “Katakan padaku, mengapa kamu menangis?” “Nggak kenapa-napa,” jawab Maura sambil berbaring memunggungi pria itu dan memejamkan matanya. Dewangga menatap bahu Maura yang terlihat kecil. Dia mengerutkan alisnya. Apa Maura sekurus ini dulu? Bobot tubuhnya pun terasa ringan. Kemudian dia segera memperbaiki posisi selimut yang dipakai wanita itu. “Kalau kamu tak mau kita tidur di ranjang yang sama, cukup katakan sejujurnya saja,” gumam Dewangga perlahan, t
Maura menahan napasnya ketika mobil yang ditumpanginya berhenti tepat di depan teras. "Mereka semua keluargamu?" tanya Maura dengan perasaan cemas. Dewangga mengangguk. "Bersikaplah seolah-olah kamu mengenal mereka semua. Aku dan Naren akan berusaha membantumu agar tak ada yang tahu bahwa kamu amnesia." "Yang pakai baju putih di samping kiri oma Ambar itu papa Teguh Bagaskara. Di sebelahnya mama Laura. Di samping kanan Oma itu tante Vivian adiknya papa, lalu anak perempuannya Clara, sekaligus adiknya Naren. Kamu bisa ingat, kan?" Maura mengangguk mengerti. Dia turun dan mengikuti langkah Dewangga menuju teras rumah. "Akhirnya setelah beberapa bulan berlalu, kalian mau menginap juga di rumah oma," kata oma Ambar senang, menyambut keduanya dengan senyum lebar. "Lho? Kamu beneran Maura?" tanya Laura sambil melihat penampilannya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Maura tercekat. Apa mereka mengetahui bahwa dia tengah amnesia? Maura pun menoleh pada Dewangga dengan perasaan was-wa