Maura mengatur napasnya sambil berjalan. Dia bersikap seolah-olah tak mendengar apapun.
Seberapa keras Maura mencoba mengingat, nyatanya tak ada ingatan apapun di kepalanya. Yang ada kepalanya malah berdenyut sakit. Kedua asisten rumah tangga itu terdiam ketika mereka mendengar langkah kaki Maura yang berjalan ke arah meja makan. Keduanya segera pergi dari sana dengan wajah gugup. Setelah makan, Maura kembali ke kamar dan membersihkan dirinya dari mulai ujung rambut sampai ujung kaki. Dengan mengenakan jubah mandi, dia duduk di depan meja rias dan memandang wajahnya yang polos tanpa make-up. Dia teringat ucapan Lusi yang mengatakan bahwa Dewangga menyukai wanita cantik. "Apa aku harus berdandan lagi hari ini demi menarik perhatian Dewangga seperti yang Lusi bilang?" gumamnya perlahan sambil menatap lekat wajahnya. Dewangga membencinya, dia ingat itu. Jadi, rasanya percuma jika dia berdandan. Toh, pasti Dewangga tetap akan membencinya karena dia pernah menjebak pria itu di kamar hotel. "Apa benar aku jahat?" Maura teringat dengan ucapan Dewangga dan kedua asisten rumah tangga itu. Sungguh, dia hampir sepenuhnya percaya bahwa dirinya yang dulu cukup jahat sehingga pantas dibenci seperti itu. "Kalau benar dulu aku sejahat itu, kasihan juga Dewangga. Mungkin saat itu dia sudah memiliki kekasih dan harus putus gara-gara nikah sama aku," ucapnya perlahan dengan perasaan sesal. "Apa kekasihnya itu ... Alena?" Maura menggeleng perlahan. Jika dia memang sejahat itu, sungguh Maura ingin sekali memperbaiki setiap kesalahannya. Maura segera masuk ke walking closet-nya untuk menyiapkan pakaian. Dia tercengang dengan isi di dalamnya yang dipenuhi dengan pakaian-pakaian terbuka yang kebanyakan dipenuhi dengan hiasan sequin sehingga terlihat sangat glamor dan mencolok. Nakal. Kata itulah yang paling cocok untuk menggambarkan seperti apa pakaiannya. "Yang ini terlalu ketat." Maura melemparkan satu pakaian yang diambilnya secara acak. "Yang ini punggungnya terlalu terbuka." Satu persatu, pakaian-pakaian itu berpindah ke atas single sofa yang ada di dalam sana, tapi dia masih belum menemukan pakaian yang menurutnya pantas dikenakan untuk mengunjungi orang tua. "Apa selera pakaianku seburuk ini?" gumam Maura kebingungan. Maura menghela napasnya. Dia akui pakaian-pakaian miliknya pasti harganya cukup mahal. Pakaian-pakaian itu jauh dari kata sopan dan mungkin hanya cocok digunakan dalam pesta-pesta tertentu. "Sepertinya dulu aku memang bukan wanita baik-baik," keluhnya. Maura menemukan sweater rajut putih lengan panjang yang sepertinya sudah lama tak dipakai. Dia juga menemukan sebuah celana jeans biru pucat yang sudah ketinggalan zaman. "Aku pakai ini aja," gumamnya sambil mengenakan pakaian itu. *** Maura berdiri di depan sebuah rumah yang cukup besar. Ada banyak pertanyaan di benaknya yang ingin segera dia cari tahu jawabannya. Dia membunyikan bel rumah yang terletak di samping pagar. Seorang penjaga keamanan datang berlari kecil melihat Maura berdiri di luar. "Nona Maura?" sapanya tak percaya sambil menatap wajah Maura yang hanya mengenakan sedikit pewarna bibir. "Udah lama Non nggak ke sini. Silakan masuk. Nyonya pasti senang karena Non datang." Maura tersenyum kecil. Dia datang bukan untuk mengunjungi ibu tirinya, melainkan untuk mengunjungi ayahnya. "Apa papa ada di rumah?" "Ada, Non. Tuan kebetulan hari ini nggak ngantor karena mau ada urusan lain di luar. Mari, saya antar." Maura mengangguk sambil berjalan di belakang petugas keamanan itu sampai ke ruang tamu. "Silakan duduk dulu, Nonam. Tuan sebentar lagi pasti keluar," ujar petugas keamanan itu sambil memberi tahu salah satu asisten rumah tangga bahwa Maura datang untuk bertemu ayahnya. Maura mengangguk lagi. Tapi alih-alih duduk, dia lebih memilih berjalan ke arah dinding yang dipenuhi banyak foto berbingkai minimalis yang terpasang di sana. Dari sekian banyak foto, dia hanya menemukan satu foto dirinya yang berdiri di samping tiga orang lain yaitu Ruslan—ayahnya, Silvia—ibu tirinya, dan Alena. Dan itupun sepertinya foto itu diambil saat dirinya masih cukup muda. Mungkin saat usianya sekitar tujuh belas atau delapan belas tahun. Maura tertegun. Dia mengerti bahwa sepertinya dia tak memiliki cukup arti di dalam keluarganya sendiri. Atau mungkin ... dia sendiri yang menolak untuk berfoto bersama mereka? "Maura." Sebuah sapaan yang dalam dan datar terdengar. Maura menoleh ke asal suara. "Kamu udah lama di sini? Ada apa nyari papa?" tanya seorang pria paruh baya yang wajahnya masih terlihat segar dengan tubuh tegap sambil mendekat dengan membawa sebuah tas laptop di tangannya. Maura mengerutkan alisnya. Apakah itu kalimat yang tepat yang diucapkan seorang ayah untuk putrinya yang masih mengalami amnesia? Mengapa pria itu tak terlihat senang saat dirinya datang? Mengapa pria itu tak terlihat mengkhawatirkan dirinya dan tak menanyakan kabarnya lebih dulu? "Saya ... baru datang," jawab Maura canggung. "Maura?" Seorang wanita paruh baya yang masih cantik datang melihatnya dari ujung rambut hingga ujung kaki. "Kamu datang sama siapa, Nak?" "Saya datang sendiri, Tante," jawab Maura. "Kamu terlihat cukup baik," ujar Ruslan sementara Maura hanya tersenyum simpul. "Ada mama Silvia. Mengobrollah dengannya karena papa ada urusan penting di luar," lanjut Ruslan sambil menunjuk istrinya. Maura tertegun. Bagaimana bisa seorang ayah memperlakukan anaknya sedingin itu? Apakah benar mereka memiliki hubungan ayah dan anak? "Papa hati-hati di jalan," kata Silvia sambil tersenyum lebar mengantar kepergian suaminya. "Maura, ayo, duduk. Mama dengar kamu kecelakaan waktu di Perancis," kata Silvia sambil menunjuk sofa agar Maura duduk di sana. "Maaf, ya. Mama dan papa nggak bisa jenguk karena sibuk." "Nggak apa-apa, Tante," jawab Maura yang lebih memilih memanggil wanita itu dengan sebutan 'tante'. Maura bisa menebak bahwa mereka tak dekat sama sekali. Maura juga tahu Silvia hanya berbasa-basi saja. "Kamu mau minum apa? Mama buatin, ya." "Apa aja." Maura tersenyum canggung sambil duduk. "Baiklah. Tunggu sebentar," ujar Silvia sambil beranjak pergi. Maura mengedarkan pandangannya ke seisi ruangan. Tak ada kesan apapun seolah dia tak pernah tinggal di sana. Dia tak yakin dengan berkunjung ke sana akan membantu ingatannya pulih. Semenit, dua menit, hingga hampir tiga puluh menit berlalu. Tapi sosok Silvia atau siapapun masih belum terlihat. Maura merasa dicampakkan. Maura tak lagi mau berpikir terlalu banyak. Sebanyak apapun dia memikirkan semuanya, dia tetap tak akan pernah tahu jawaban dari setiap kebimbangan dan ketidak-tahuannya sampai ingatannya kembali. Dia pun beranjak meninggalkan rumah itu tanpa pamit dengan hati penuh kecewa dan kosong. *** Pukul tujuh tepat, Maura sudah duduk di depan meja makan untuk makan malam. Kali ini dia tak membuat sendiri makanannya, melainkan membeli lauk dari luar yang dipesannya melalui aplikasi ojek online. Dia hanya memesan satu porsi untuk dirinya, karena tahu uang yang dimilikinya saat ini tak banyak. Lusi pernah menceritakan padanya bahwa uang bulanannya dipotong lebih dari setengahnya oleh Dewangga karena dia terlalu boros dan suka berbelanja barang-barang mewah. Maura percaya bahwa dia benar-benar boros saat melihat koleksi pakaian, sepatu, dan tasnya yang sebenarnya tak terlalu berguna. Hanya berguna untuk menaikkan gengsinya saja. Belum lagi ada lebih dari dua puluh botol parfum harga jutaan dan beragam make-up yang beberapa diantaranya belum pernah dipakai dan masih tersegel. Dia benar-benar jago menghambur-hamburkan uang. Maura makan dalam diam sambil memikirkan bagaimana cara mengurangi barang-barangnya. "Apa aku jual aja sebagian?" gumamnya perlahan ketika ide itu terlintas di benaknya. Maura mempercepat makannya. Dia sudah memutuskan untuk menjual sebagian barang-barangnya. Itu artinya, dia harus melakukan sesuatu. "Maura? Apa yang kamu lakukan di sini?" Baru beberapa suap makanan yang Maura telan, sebuah suara bariton mengejutkannya, sampai dia hampir tersedak. Maura menoleh menatap Dewangga yang berdiri tak jauh darinya. Di sampingnya ada Alena, yang merangkul lengan pria itu dan terlihat begitu lengket. Maura tahu, dari cara Alena menyentuh Dewangga, ada sesuatu di antara mereka. "Aku ... lagi makan." Maura hanya menjawab singkat dengan suara perlahan sambil meraih gelas dan meminum isinya, kemudian diam-diam dia menghela napasnya panjang. 'Ternyata benar, mereka punya hubungan khusus. Mereka terang-terangan berselingkuh di saat istri sahnya masih amnesia dan ada di rumah.' gumam Maura dalam hati sambil kembali mengisi mulutnya dengan makanan. Dewangga mengerutkan alisnya ketika melihat tampilan Maura yang sangat sederhana. Wanita itu berubah sedrastis itu padahal pagi tadi di ruang kerja, dia masih melihat Maura yang mengenakan riasan tebal seperti topeng. Sedangkan Alena tertegun melihat perubahan pada Maura. Tak seharusnya Maura berdandan polos seperti itu. Harusnya wanita itu memakai riasan tebal seperti biasa layaknya badut. Alena menoleh ke samping. Dilihatnya Dewangga menatap Maura dengan pandangan rumit. Hatinya berubah tak tenang. Dia tahu Maura memiliki kecantikan alami sehingga tak memerlukan banyak riasan untuk terlihat menarik. Jangan sampai suatu saat, Dewangga malah jatuh cinta padanya. "Aku datang ke sini untuk makan malam. Dewangga yang mengundangku," ujar Alena sambil tersenyum sementara Dewangga hanya mengerutkan alisnya sambil menatap Alena sejenak. Alena berharap Maura akan marah seperti dulu dan bersikap impulsif dengan cara membuat keributan yang tak perlu. Dia paling senang mempermainkan perasaan Maura dengan cara halus. "Aku mengerti," jawab Maura sambil mengangguk. Reaksinya begitu tenang, sangat melenceng dari dugaan Alena. Dewangga melepaskan tangan Alena dari lengannya, kemudian dia beranjak duduk di kursi diikuti Alena yang duduk persis di sampingnya sambil matanya mengawasi Maura yang menunduk fokus pada makanannya. Beberapa asisten rumah tangga datang menghampiri. "Tuan, saya akan segera menyiapkan makan malamnya." Dewangga mengangguk. Dalam sekejap, meja yang kosong penuh dengan berbagai hidangan yang menggugah selera. Alena berinteraksi dengan Dewangga begitu akrab. Wanita itu membantu Dewangga mengisi piringnya, masih berusaha untuk membuat Maura marah. "Oh, Maura. Apa hanya itu makan malammu?" tanya Alena tersenyum penuh simpatik sambil menatap wadah plastik di depan Maura yang isinya tinggal separuh, juga nasi putih yang tinggal setengahnya. "Mau tambah nasi? Mau kuambilkan beberapa lauk yang lain?" Maura menaikkan bola matanya dan menatap Alena. "Oh, iya. Aku lupa. Bukannya Dewangga melarang siapapun untuk melayanimu lagi, ya?" Maura jelas melihat senyum samar di bibir Alena, tetapi dia tetap memilih untuk tenang. Toh, tanpa asisten rumah tangga pun, dia yakin bisa bertahan di rumah itu. Hanya saja ... apa Dewangga selalu bercerita tentang semuanya pada Alena mengenai yang terjadi di rumah? Termasuk menceritakan tentang dirinya yang tak perlu dilayani lagi oleh siapapun? Melihat hubungan mereka yang tak biasa, mungkin saja Dewangga menceritakan semuanya. "Dewangga, tolong jangan bersikap terlalu kejam pada Maura. Dia masih istrimu, juga saudaraku," pinta Alena dengan suara lembut. "Makan saja, Alena. Kamu tak perlu ikut campur urusan pribadi orang lain," jawab Dewangga yang sedari tadi sudah mulai makan. Alena mengatupkan bibirnya. Dia mengangguk kecil dan mulai makan. Tapi tentu saja dia masih berusaha mengobrol akrab dengan Dewangga dengan cara mengganti topik pembicaraan lain. "Para pegawai berharap bisa berlibur bersama akhir tahun ini," ujar Alena. "Pergi tour bersama ke luar kota selama beberapa hari merupakan ide bagus. Bagaimana menurutmu?" "Kamu atur saja," jawab Dewangga sambil mengisi mulutnya, dan sesekali mencuri pandang pada Maura di seberang meja. "Terima kasih atas kepercayaanmu, Dewangga." Alena tersenyum gembira. Obrolan seputar kegiatan liburan untuk para pegawai terus berlanjut. Maura yang sedari tadi diam, semakin merasa menjadi orang asing yang tak seharusnya ada di sana. Dia pun segera meletakkan sendoknya. "Aku udah selesai," ujar Maura sambil menyeka sudut bibirnya menggunakan serbet. "Aku pergi duluan." Maura beranjak sambil merapikan bekas makannya. Namun baru beberapa langkah dia berjalan, Alena berujar, "Kenapa, Maura? Makananmu belum habis." Maura menoleh. "Aku udah kenyang. Kalian bisa melanjutkan makan malam kalian." "Apa kamu cemburu?" tanya Alena sambil tersenyum setengah mengejek. "Apa aku berhak untuk cemburu?" Maura balik bertanya dengan tenang sambil tersenyum tipis. Ya, Maura merasa dia tak berhak untuk mencemburui siapapun. Kehadirannya di antara Dewangga dan Alena merupakan suatu kesalahan besar yang telah dilakukannya. Wajahnya sedikit murung. "Aku merasa tak seharusnya ada di sini untuk makan malam. Kalian begitu akrab dan dekat seperti pasangan. Aku hanya ... tak ingin mengganggu," lanjut Maura yang hendak beranjak pergi. "Maura!" Dewangga menggebrak meja sehingga membuat Maura maupun Alena terkejut. "Kamu sedang menuduh saya berselingkuh?" tanya pria itu penuh emosi. Entah mengapa, sikap Maura yang tenang seperti itu terasa mengganggu Dewangga. Sangat mengganggu.Bibir Maura terkatup rapat sambil menatap Dewangga. Pria itu begitu akrab dan hangat ketika berbicara dengan Alena, tapi akan tampak dingin dan kasar ketika berbicara dengannya. "Aku nggak menuduh kamu selingkuh. Aku hanya merasa ...." Maura menghentikan kalimatnya. Dia tak tahu bagaimana cara mengatakan seluruh perasaannya bahwa dia sangat menyesal atas situasi mereka yang sekarang terjebak sebuah pernikahan yang tak diinginkan. "Intinya, aku ingin meminta maaf atas segala kesalahanku yang dulu. Maaf, aku telah hadir di antara kalian." Maura beranjak dari sana untuk mencuci peralatan makan yang digunakannya. Tapi, Dewangga dan Alena sama-sama terkejut. Apa yang barusan mereka dengar? Sejak kapan seorang Maura bersedia meminta maaf? Dewangga mengepalkan tangannya erat. Kata maaf yang Maura lontarkan tak akan mengubah pendiriannya untuk membuat wanita itu menderita di rumahnya. Dia tak akan berbelas kasih atas penderitaan yang dirasakannya selama tiga tahun terakhir selama mereka
"Ha, ha, ha .... Aku bercanda, Oma," ujar Maura sambil tertawa canggung. "Jangan dianggap serius." Maura mematikan kompor karena masakannya telah matang. Dia segera mencuci tangannya dan menghampiri wanita tua itu sambil melepaskan celemek dan meninggalkan oseng daging sayuran di wajan. "Sini, Oma. Duduk sini," ajaknya sambil meraih lengan wanita tua itu dan membawanya duduk di salah satu kursi dapur. Maura diam-diam melirik ekspresi wajah Dewangga yang mulai kembali datar. Bahkan ekspresi wajah Mia juga terlihat lega. "Dasar, anak nakal. Oma sampai kaget. Oma kira kamu nggak mau kenal lagi sama oma," gerutu Oma Ambar sambil duduk. "He, he, he ...." Maura kembali tertawa. Dia lega karena sepertinya dia tak melakukan kesalahan fatal. "Kamu kelihatan cantik banget hari ini, Maura," puji oma Ambar tulus sambil menatap penampilan wanita itu. "Padahal cuma pakai lipstik doang, ya? Cuma seoles, pula." "Ah, Oma bisa aja." Maura merasa malu, tapi juga senang karena wanita tua itu terlih
"Dia jemput kamu?" tanya Andreas sambil menatap ekspresi wajah Maura yang terlihat kaget. "Kayaknya iya." Maura mengangguk. "Aku pulang duluan, ya, Mas." "Oke." Kini giliran Andreas yang mengangguk. Maura beranjak menenteng tasnya dan meninggalkan sesuatu di meja. "Maura," panggil Andreas ketika Maura hampir mencapai pintu keluar. "Masakan kamu ketinggalan." Maura menoleh. Andreas berjalan cepat sambil menyodorkan rantang susun plastik berukuran sedang milik Maura yang berisi gulai ayam khas Minang yang baru dipelajarinya hari ini. Kelas memasak itu memang memperbolehkan pesertanya membawa pulang masakan yang sudah mereka buat, karena itulah biayanya lumayan mahal bagi Maura. "Terima kasih banyak, Mas," kata Maura sambil menerima rantang susunnya dan tersenyum lebar. "Aku pulang, ya." Maura melambaikan tangan. "Ya, hati-hati di jalan." Dewangga menatap tajam Maura dan Andreas bergantian. Hatinya diliputi rasa tak nyaman, kemudian dia menarik tangan Maura dan pergi begitu saja.
"Maura, kamu nggak apa-apa, Nak?? Maura? Maura?" Panggilan lembut beberapa kali membuat Maura membuka matanya perlahan. Dia menatap langit-langit kamar dan mulai teringat bahwa sebelum terjatuh dia berada di sisi ranjang Dewangga. Di sampingnya, oma Ambar duduk menggenggam tangannya dengan wajah khawatir. Kemudian Maura merasakan pijatan lembut dan hangat di kakinya. Mia ada di ujung ranjang sambil mengoleskan minyak dan memijat kakinya, sementara Yanti datang membawa teh hangat. "Syukurlah kamu udah sadar." Kekhawatiran di wajah oma Ambar sedikit berkurang. "Kamu kenapa? Bagian mana yang sakit?" "Oma?" Maura mencoba bangkit untuk duduk, kepalanya masih sedikit pusing ditambah sakit akibat benturan. "Jangan bergerak terlalu banyak. Kamu minum dulu tehnya. Dewangga lagi menghubungi dokter," kata oma Ambar sambil menyodorkan teh yang dibawa Yanti. Maura menoleh ke tempat lain, kemudian meminum setengah cangkir. Di dekat jendela, Dewangga masih berbicara dengan seseorang di telepo
Lontaran pertanyaan dari Alena membuat Maura gugup. Mungkin dia telah melakukan kesalahan di masa lalu. Tapi sekarang, jangan sampai dia membuat Dewangga dan Alena bertengkar karenanya. "Maaf, Alena. Aku bisa jelasin," kata Maura tak enak hati sambil berdiri. Wanita itu benar-benar mengira Dewangga dan Alena memiliki hubungan khusus. "Duduk, Maura. Kakimu harus istirahat," ujar Dewangga menekan pundak Maura sehingga wanita itu kembali duduk. "Diam di sini. Tak ada yang perlu dijelaskan," lanjut pria itu dengan tegas. Dia mengerti dengan jelas maksud perkataan Maura yang mengira dirinya ada hubungan khusus dengan Alena. "Tapi Dewang—" "Saya yang membawa Maura ke sini." Dewangga memotong ucapan Maura sambil berdiri tegak, sekaligus menjawab pertanyaan Zefan dan Alena. Zefan maupun Alena semakin terkejut. Keduanya saling melempar pandang, sementara Maura semakin tak enak hati. "Maura, kamu tunggu di sini. Aku akan memastikan pertemuan ini tak akan lebih dari satu jam," kata Dewang
Maura menoleh menatap Zefan, mempertanyakan apa yang Dewangga katakan. "Oh, itu ... jadwalnya udah ditetapkan, Nyonya. Jam empat sore nanti Nyonya harus udah tiba di sana," kata Zefan. "Kenapa kamu gak tanya dulu ke saya? Saya belum menyetujui apapun," protes Maura. "Sore ini saya ada kelas memasak." "Maaf, Nyonya. Saya yang salah. Saya nggak tahu kalau nyonya udah ada rencana. Tapi ... gak mudah bikin janji sama psikolog ini, Nyonya." Zefan menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Dia sudah terbiasa menjadi kambing hitam bosnya, tetapi kejadian hari ini sedikit membuatnya kesal karena dia belum siap. "Saya gak mau pergi ke psikolog hari ini," tolak Maura. "Jadwalnya ganti aja jadi besok pagi. Saya mau ikut kelas memasak." "Tidak bisa. Kakimu terkilir. Pastikan kondisi kakimu baik dulu baru ikut kelas memasak lagi," ujar Dewangga tegas, kemudian tatapannya berubah mengancam. "Jangan membuat oma selalu mencemaskanmu, Maura." Maura menarik napasnya. Ya, oma Ambar pasti akan semakin m
Alena dengan cepat menguasai perasaannya. Wanita itu tersenyum begitu manis dan memikat, dengan senyuman tulus dan polos andalannya. "Jangan menuduhku sembarangan, Zefan. Menuduh tanpa bukti, sama aja dengan fitnah," kata Alena dengan sikap yang tenang sambil memperbaiki dasi Zefan yang sedikit miring. "Apa kamu punya buktinya?" Zefan mengerutkan alisnya. Dia tahu bahwa Alena mampu menyembunyikan perasaannya yang sebenarnya. Dia juga tahu senyum wanita itu saat ini adalah senyuman palsu. "Aku belum memiliki bukti apapun. Tapi, kalau benar itu perbuatanmu, bukti pasti akan mengarah padamu, Alena," jawab Zefan sambil menyingkirkan tangan wanita itu. "Kalau begitu, cari aja dulu buktinya," kata Alena sambil tersenyum. "Tapi bukti itu tak akan pernah ada karena memang aku tak melakukan apapun." Alena berlalu dari sana dengan tenang seolah tak pernah terjadi apapun, sementara Zefan mematung memikirkan hal yang baru saja Alena katakan. "Semakin menyangkal, semakin besar dugaannya, dan
Meja penuh dengan beragam menu karena Maura memesan makanan lain lagi bersama Andreas. Obrolan mengalir didominasi oleh Maura dan Andreas. Sementara Dewangga hanya sedikit bicara sambil mempertahankan kesabarannya. "Mas Andreas, bagaimana kelas memasak sore tadi? Apa menyenangkan?" tanya Maura penasaran. Andreas mengangguk sambil tersenyum. "Lumayan. Hanya saja ada cerita memilukan dari salah satu peserta." "Cerita memilukan? Apa ada peserta yang sakit?" tanya Maura penasaran sambil mengunyah makanan. Andreas menggeleng. "Ketika seluruh peserta kelas ditanya alasan mereka mengikuti program kelas memasak ini, salah satu peserta—bu Maya—menceritakan bahwa alasan dia ikut kelas memasak karena dia butuh hiburan." "Hiburan?" Maura masih tak mengerti letak memilukannya di mana. "Ya. Saat ini bu Maya sedang menghadapi sidang perceraian dengan suaminya karena suaminya terbukti berselingkuh. Anak mereka hanya ada satu. Kedua belah pihak memperebutkan hak asuh anak, jadi sidangnya cukup a
Di kantor sore itu, Zefan yang tengah membantu merapikan beberapa berkas kontrak, menatap bosnya setelah membaca sebuah pesan yang masuk. Keduanya sama-sama duduk di sofa setelah selesai berdiskusi singkat.“Malam ini ada acara, kan? Pernikahan anaknya pak Bobby,” katanya membuka suara sekaligus mengingatkan, membuat Dewangga menoleh sekilas. “Setelan jas pesananmu katanya akan tiba di sini sebentar lagi. Gaun dan sepatunya juga.”Dewangga menjawab dengan anggukan.“Dengan siapa kamu akan datang? Apa aku harus menghubungi nyonya Maura buat minta dia bersiap-siap?”Dewangga terdiam sejenak. Dia teringat dengan penolakan Maura padanya saat pria itu mengajaknya membeli hadiah kalau wanita itu libur bekerja nanti. Mungkin Maura juga akan menolak ajakannya datang ke pesta pernikahan itu malam ini.Bukankah memang sebelumnya dia tak pernah mengajak wanita itu menghadiri berbagai acara? Pasti Maura juga bisa menebaknya meski sekarang dia amnesia.“Nggak usah hubungi dia,” ujar pria itu denga
“Tiga puluh ribu, Mas,” jawab penjual bakso itu yang langsung menatap Maura. “Neng, ini suaminya, ya?” tanya penjual bakso itu, membuat Maura enggan mengakuinya karena takut pria itu akan marah.“Iya, Pak.” Dewangga yang menjawab sambil menyodorkan selembar uang kertas berwarna merah. “Kembaliannya ambil aja.”Penjual bakso itu tersenyum cerah. “Makasih Mas. Duh, yang satu cantik, yang satunya lagi ganteng. Dua-duanya baik pula. Benar-benar pasangan suami istri yang cocok.”Maura terdiam sambil tersenyum kaku, sementara Dewangga menanggapi candaan itu dengan ekspresi santai, seperti ekspresinya saat menjenguk pak Jo di rumah sakit dulu.Penjual bakso itu berpamitan pergi, meninggalkan keduanya.“Ayo, pulang,” kata Dewangga sambil berjalan lebih dulu. Wajahnya yang ramah kembali berubah datar.Maura berjalan dalam diam sambil menatap kerikil, mengikuti Dewangga di belakangnya.“Kenapa kamu malah ada di rumah? Bukannya tadi pagi bilangnya mau ke restoran?” tanya Dewangga sambil menengok
Maura tercekat menatap Dewangga. Tatapannya beralih pada mbok Narti yang masih menangis dengan tubuh gemetar.Kapan dia berkata ingin memecat wanita paruh baya itu?“Dewangga, aku … aku nggak bermaksud mecat mbok Narti,” ujarnya perlahan sambil menunduk.Mengingat bahwa dia bersikap sangat buruk di masa lalu, pasti Dewangga akan salah paham dan tak akan percaya padanya.Segala penjelasannya akan menjadi sia-sia.“Lalu, apa yang saya dengar barusan?” tanya pria itu masih dengan wajah yang garang.Maura mendesah frustrasi. “Aku nggak tahu kenapa mbok Narti ngomong kayak gitu.”“Mbok, ikut saya,” perintah Dewangga sambil berjalan meninggalkan Maura.Mbok Narti segera mengikuti, sementara Maura diam-diam mengepalkan tangannya di belakang tubuhnya.Dewangga masuk ke ruang kerjanya, diikuti mbok Narti.Pria itu segera duduk di kursinya.“Mbok, bukannya suami Mbok masih di rumah sakit?” tanya pria
Maura menarik napasnya panjang, menetralisir rasa sesak dan kecewa di dadanya.“Kamu juga pasti tahu sendiri alasan kenapa selama ini kamu nggak pernah ngajak aku buat beli hadiah. Iya, kan?” Maura balik bertanya sambil menatap Dewangga. “Karena aku nggak tahu selera mama Laura, atau selera siapapun di rumah keluargamu terlebih aku yang sekarang. Jadi sebaiknya kamu ajak orang lain aja, supaya nggak salah beli barang.”Maura tersenyum sendiri sambil menunduk menatap jari-jari tangannya yang gemetar, menertawakan dirinya.Mengapa dia harus kecewa? Dia sendiri yang bukan orang baik sehingga semua orang membencinya. Tentu saja dia harus menerima segala konsekuensinya sekarang.Atmosfer di dalam mobil terasa lebih berat. Dewangga melonggarkan dasinya dan tiba-tiba saja menghentikan mobilnya di tepi jalan.“Keluar!” titahnya dengan nada dingin, membuat Maura terkejut.“Dewangga, ini masih jauh dari restoran, lho,” ujarnya protes.
“Clara, tolong jaga bicaramu,” pinta Dewangga dengan tatapan tajam. Clara mendengus. “Biasanya juga aku kayak gini, kok. Biasanya juga dia selalu membalas kata-kataku. Kenapa sekarang jadi Kakak yang belain dia? Selama ini dia kan yang paling pintar membela dirinya sendiri. Kenapa hari ini tiba-tiba jadi diam? Kayak bukan Maura aja,” gerutu Clara. “Clara ….” Narendra meninggikan suaranya setengah oktaf. “Sebaiknya kamu tutup mulut.” “Lho, yang aku bilang itu bener, kok. Dia itu arogan, sombong, dan nyebelin hanya karena bisa memenangkan hati oma. Hanya karena dia tahu oma sayang banget sama dia, bahkan om Teguh, tante Laura dan mama harus mikir dua kali kalau mau nyinggung dia. Kakak lupa dengan penderitaan kak Angga selama menikah dengannya?” lanjut Clara seolah belum puas mengatakan isi hatinya. “Semua orang tahu kalau kak Angga tertekan menikah dengannya. Semua orang nggak buta, kecuali kak Naren yang otaknya ada masalah.” “Clara!” Dewangga juga menaikkan suaranya, sementara N
“Oma melihat Dewangga tidur di ruang kerja semalam,” ujar Laura sambil menatap mata Maura. "Oma udah minta Dewangga pindah ke kamar, tapi kayaknya dia tetap di ruang kerja, deh.""Oh?" Maura semakin terkejut. "Kalau itu, aku ....""Selamat pagi, Maura. Selamat pagi semuanya." Oma Ambar datang bersama Vivian dan Clara.“Selamat pagi.”"Dewangga belum datang, ya?""Belum, Oma." Narendra yang menjawab.“Kamu datang pagi sekali,” ejek Clara sambil tersenyum pada Maura dan duduk di samping ibunya, dekat dengan Narendra setelah oma Ambar dan yang lainnya duduk. "Biasanya kami semua yang sering menunggumu datang. Tapi hari ini kamu mau menunggu kami. Benar-benar ajaib."Vivian menatap Clara, memintanya untuk menjaga mulutnya, membuat Clara merasa kesal.“Apa tidurmu nyenyak, Nak?” tanya oma Ambar pada Maura dengan lembut.Maura mengangguk tersenyum, membuat wanita tua itu lega.“Oma cuma perhatian sama dia aja, deh. Rasanya nggak adil,” gerutu Clara."Clara, hati-hati dengan mulutmu," ujar N
Maura menyeka matanya dengan kasar, kemudian mendorong dada Dewangga padahal wanita itu masih ada dalam gendongannya. “Kamu akan jatuh kalau mendorongku seperti itu, Maura,” peringat Dewangga sambil menatap Maura tajam. "Turunkan aku, Dewangga," pinta Maura. Bukannya menurunkan wanita itu, Dewangga malah berjalan ke arah tempat tidur dan menurunkan Maura dengan lembut di atas kasur. “Kalau mau tidur, tidur di sini,” kata Dewangga tak mempedulikan ucapannya, kemudian pria itu duduk di samping Maura yang tengah berbaring menatapnya. “Katakan padaku, mengapa kamu menangis?” “Nggak kenapa-napa,” jawab Maura sambil berbaring memunggungi pria itu dan memejamkan matanya. Dewangga menatap bahu Maura yang terlihat kecil. Dia mengerutkan alisnya. Apa Maura sekurus ini dulu? Bobot tubuhnya pun terasa ringan. Kemudian dia segera memperbaiki posisi selimut yang dipakai wanita itu. “Kalau kamu tak mau kita tidur di ranjang yang sama, cukup katakan sejujurnya saja,” gumam Dewangga perlahan, t
Maura menahan napasnya ketika mobil yang ditumpanginya berhenti tepat di depan teras. "Mereka semua keluargamu?" tanya Maura dengan perasaan cemas. Dewangga mengangguk. "Bersikaplah seolah-olah kamu mengenal mereka semua. Aku dan Naren akan berusaha membantumu agar tak ada yang tahu bahwa kamu amnesia." "Yang pakai baju putih di samping kiri oma Ambar itu papa Teguh Bagaskara. Di sebelahnya mama Laura. Di samping kanan Oma itu tante Vivian adiknya papa, lalu anak perempuannya Clara, sekaligus adiknya Naren. Kamu bisa ingat, kan?" Maura mengangguk mengerti. Dia turun dan mengikuti langkah Dewangga menuju teras rumah. "Akhirnya setelah beberapa bulan berlalu, kalian mau menginap juga di rumah oma," kata oma Ambar senang, menyambut keduanya dengan senyum lebar. "Lho? Kamu beneran Maura?" tanya Laura sambil melihat penampilannya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Maura tercekat. Apa mereka mengetahui bahwa dia tengah amnesia? Maura pun menoleh pada Dewangga dengan perasaan was-wa
Maura menatap Dewangga dengan pandangan takut. Ingatannya satu lagi perlahan datang, namun semuanya hanya ingatan buruk. Ingatan kali ini lebih jelas dari ingatan lainnya, seolah baru terjadi kemarin. Maura ingat bagaimana wajah Dewangga yang sangat marah ketika dia menjambak Alena di masa lalu karena diam-diam Alena memprovokasinya, kemudian ketika Maura terpancing amarah, Alena bersikap seolah-olah semua salah Maura. Saat itu Dewangga hampir menamparnya. Alena selalu menjebak Maura seolah Maura selalu menganiayanya, kemudian berpura-pura lemah dan tertindas. Maura yang di masa lalu sangat pemarah karena faktor frustrasi, selalu terpancing dan masuk dalam jebakannya. Maura merasakan sudut hatinya begitu nyeri ketika ingatan itu muncul. Dia menderita dan sedih di waktu yang bersamaan. "Maura? Ada apa?" tanya Dewangga khawatir saat melihat wajah wanita itu pucat pasi. Maura beringsut menjauh dan menatap Dewangga dengan tubuh gemetar. "Jangan mendekat." Dewangga yang melihatnya me