Share

Bab 5. KELAS MEMASAK

Penulis: Clau Sheera
last update Terakhir Diperbarui: 2023-08-09 13:00:58

"Ha, ha, ha .... Aku bercanda, Oma," ujar Maura sambil tertawa canggung. "Jangan dianggap serius."

Maura mematikan kompor karena masakannya telah matang. Dia segera mencuci tangannya dan menghampiri wanita tua itu sambil melepaskan celemek dan meninggalkan oseng daging sayuran di wajan.

"Sini, Oma. Duduk sini," ajaknya sambil meraih lengan wanita tua itu dan membawanya duduk di salah satu kursi dapur.

Maura diam-diam melirik ekspresi wajah Dewangga yang mulai kembali datar. Bahkan ekspresi wajah Mia juga terlihat lega.

"Dasar, anak nakal. Oma sampai kaget. Kirain oma kamu betulan gak kenal lagi sama oma, udah pikun di usia muda," gerutu Oma Ambar sambil duduk.

"He, he, he ...." Maura kembali tertawa. Dia lega karena sepertinya dia tak melakukan kesalahan fatal.

"Kamu kelihatan cantik banget hari ini, Maura," puji oma Ambar tulus. "Padahal cuma pakai lipstik doang, ya?"

"Ah, Oma bisa aja." Maura merasa malu.

"Tapi beneran, kok. Kamu lebih cantik begini. Jadi nanti nggak usah pakai makeup tebal lagi, ya," pinta Oma Ambar senang.

"Alena jauh lebih cantik, Oma," kata Maura sambil melirik Dewangga.

"Ya, dia memang cantik. Tapi oma lebih senang lihat kecantikan kamu," ujar oma Ambar sambil mengusap rambut Maura.

"Oma datang sama siapa ke sini?" tanya Maura mengganti topik pembicaraan, sebelum hidungnya terbang. "Gimana kabar Oma?"

"Oma baik. Oma datang sama Yanti, diantar sopir taksi online," jawab wanita tua itu sambil menunjuk seorang wanita muda berpenampilan sederhana yang menenteng sebuah tas milik oma Ambar yang berdiri di samping Mia.

Dari seragamnya, Maura tahu orang yang bernama Yanti itu pasti perawat yang merawat oma Ambar.

"Aku kira Oma datang ke sini sama Dewangga."

"Enggak. Dewangga tuh, tiba-tiba aja pulang dari kantor pas tahu oma mau ke sini." Oma Ambar menunjuk Dewangga yang baru duduk dengan dagunya. "Tapi, kok, tumben kamu gak manggil Dewangga dengan sebutan mas?"

"Eh?" Maura sedikit terkejut dan melirik pria itu.

"Kenapa memangnya, Oma?" tanya Dewangga sambil melepaskan jas dan meletakkannya di sandaran kursi. "Cuma masalah panggilan saja dan tak ada yang salah sebenarnya."

"Ya, emang gak salah. Tapi bukannya lebih baik kalau istrimu memanggilmu dengan sebutan mas?"

"He, he, he ... iya, Oma. Aku yang salah," ujar Maura mengalah. Mana dia tahu sebelumnya dia memanggil apa pada Dewangga. "Oh, iya, Mia. Ajak Yanti makan camilan di belakang, ya."

"Baik, Nyonya," jawab Mia sambil mengajak Yanti pergi.

"Kamu, tuh, ya. Udah datang dari Perancis kemarin kenapa gak langsung ke rumah oma? Udah gak mau ketemu lagi sama oma?" tanya oma Ambar sambil menepuk punggung tangan Maura perlahan.

"Bukan begitu, Oma. Kemarin aku sampai di sini pagi-pagi benget dan langsung tidur karena capek," jawab Maura sambil duduk di kursi sebelah oma Ambar. "Siangnya ... aku pergi ke rumah papa."

Oma Ambar dan Dewangga serempak menatapnya.

"Lho? Ngapain kamu ke rumah papamu? Bukannya kalian gak pernah akur?" tanya oma Ambar khawatir.

Tak pernah akur? Maura baru kali ini tahu kenyataan itu. Pantas, rasanya dia tak terlalu disambut di rumah itu. Tapi kenapa?

"Gak ngapa-ngapain, Oma. Aku cuma penasaran dengan kabar mereka. Jadi aku datang berkunjung sebentar," jawab Maura sambil melirik Dewangga sekilas. "Bagaimanapun juga, papa tetap papaku."

"Oh, bagus itu. Gak ketemu beberapa bulan aja ternyata kamu udah mulai berpikiran dewasa," puji oma Ambar senang. "Oh, iya. Kamu masak apa? Kok oma baru tahu kalau kamu bisa masak?"

"Aku gak bisa masak, Oma, masih belajar. Ini aku baru aja nyoba bikin oseng sayuran yang dikasih potongan daging. Resepnya aku lihat dari internet," jawab Maura sambil meraih tiga cangkir kosong yang terletak tak jauh darinya dan mengisinya dengan teh hangat. "Minum dulu, Oma."

Oma Ambar mencicipi teh yang Maura sodorkan. "Oma jadi penasaran sama masakanmu. Pengen nyobain."

Maura yang sedang menyodorkan satu cangkir teh lain untuk Dewangga hampir menumpahkan isinya. "Jangan, Oma. Masakanku masih belum layak dimakan."

"Kok belum layak dimakan? Emangnya masakan kamu dikasih apaan selain daging, sayuran, dan bumbu?" tanya oma Ambar tersenyum.

Maura menggeleng sambil menyeringai. "Itu 'kan, karena aku baru banget belajarnya, Oma. Masakannya belum tentu enak."

"Pokoknya oma mau nyobain, titik," ujar wanita tua itu semakin penasaran.

Maura membuang napasnya. "Tapi Oma harus janji, jangan ngejek masakanku."

"Iya, iya. Oma janji." Wanita tua itu tersenyum lebar. "Sini, oma pengen nyobain sekarang."

Maura beranjak mengambil sebuah mangkuk kecil dan memindahkan sebagian isi wajan ke dalamnya. Dia menyerahkan mangkuk itu ke tangan oma Ambar.

"Hmm ... ini enak, Maura. Bumbunya pas," ujar oma Ambar senang saat dia mencicipi masakan Maura. "Oma pengen makan ini buat makan siang, ya."

"Seenak itu, Oma?" tanya Maura tak percaya.

"Iya," kata oma Ambar senang.

Maura mencicipi masakannya yang memang terasa enak. Ya, tentu saja enak karena ada bantuan dari Mia. Andai saja dia memasaknya sendirian, belum tentu seenak itu.

"Ternyata kamu berbakat," puji oma Ambar.

"Ah, nggak juga, Oma. Ini karena tadi Mi—"

Maura tak berani mengatakan yang sejujurnya bahwa Mia membantunya. Dia takut Mia akan terkena masalah karena di sana ada Dewangga yang ikut duduk walaupun pria itu tak berminat ikut dalam obrolan mereka dan hanya tertarik menikmati tehnya.

"Maksudku, ini karena cuma kebetulan aja, Oma. Lain kali belum tentu rasanya kayak gini."

"Ah, pokoknya kamu hebat. Kalau kamu pengen belajar masak, oma ada teman yang sekarang lagi buka kelas memasak. Ibu Dewi namanya. Kamu mau ikutan kelasnya?"

"Nantinya masak apa, Oma?" tanya Maura penasaran.

"Ya, macam-macam. Tapi, hampir semuanya masakan Indonesia. Kebetulan kan kamu sama Dewangga pecinta masakan Indonesia. Kelasnya juga cuma sebentar, sebulan doang."

"Mau, Oma," jawab Maura antusias. "Kapan diadakannya?"

"Mungkin ... beberapa hari lagi. Nanti oma tanyakan lagi sama bu Dewinya, ya."

Maura mengangguk senang. Tapi, kemudian senyumnya pudar saat ingat bahwa tabungannya hanya tersisa sedikit.

"Oma, mungkin nanti aja aku ikut kelasnya. Soalnya aku sama sekali gak bisa masak. Aku latihan aja dulu dari resep di internet dan dari video biar gak terlalu malu-maluin," ujar Maura yang tak ingin berterus terang mengenai keuangannya sekarang.

"Lho? Ya gak apa-apa, Namanya juga belajar. Sebenarnya memasak itu bisa dipelajari dari resep di internet atau video, tapi kalau banyak teman, kan, jadi lebih seru memasaknya. Biar kamu semangat belajar, biar banyak teman juga," ujar oma Ambar sambil mengusap lengan Maura.

Maura mengangguk ragu.

"Pokoknya kamu gak usah khawatir gak bisa. Nanti minta Dewangga yang bayarin kursus kamu, ya," kata oma Ambar sambil menggenggam tangan Maura hangat.

Maura tersenyum canggung. Dia tak yakin Dewangga mau membayarkan biaya kursusnya, tapi mendapatkan perlakuan penuh kasih dari oma Ambar membuat hatinya menghangat.

"Ya, Oma. Terima kasih atas segala-galanya."

"Ah, apa sih, kok kamu bilangnya gitu? Oma, kan, udah sering bilang sama kamu. Apapun yang mau kamu lakuin, oma pasti bakal dukung kamu. Sekarang kamu lagi pengen belajar masak, tentu oma juga dukung, yang penting kamu bahagia."

Maura memeluk oma Ambar dengan penuh kasih sayang. Matanya hampir basah karena terharu. Inilah yang dia perlukan dua hari ini. Dia sama sekali tak menyangka ternyata masih ada seseorang yang begitu peduli dan mendukungnya.

"Terima kasih banyak, Oma. Oma memang yang terbaik."

***

Maura berdiri di depan kitchen set yang dibuat khusus memanjang di tengah ruangan.

Kitchen set itu terdiri dari empat baris yang masing-masing baris memiliki tiga set lengkap untuk digunakan oleh masing-masing peserta.

Total pesertanya ada dua belas orang termasuk dirinya yang mendapatkan tempat di baris paling tengah sebelah kanan. Sedangkan chef pembimbing yang ada di sana berjumlah empat orang.

"Lengkuasnya kira-kira cukup pakai tiga sentimeter aja, ya, dimemarkan, gak perlu diulek bareng bumbu halus," ujar seorang chef wanita berumur tiga puluh tahunan yang mengaku sebagai asisten utama Bu Dewi sambil berjalan memperhatikan para peserta yang sibuk membuat bumbu.

Maura menunduk melihat mejanya. Ada beberapa jenis rimpang-rimpangan di sana yang membuatnya kebingungan.

Di matanya, semua rimpang itu terlihat sama. Yang mana lengkuas? Maura bingung.

Walaupun dia melihat ke sebelah kirinya, dia masih tak yakin.

"Kenapa? Ada yang masih bingung?" tanya seorang chef pria paling muda sambil mendekati Maura.

Maura menyeringai lebar dan mengangguk. "Yang mana lengkuas, Chef?" tanyanya polos.

Pria itu mengerutkan alisnya, namun bibirnya tetap tersenyum. "Kamu belum ngerti nama-nama bumbu dasar?"

Maura menggeleng sebagai jawabannya. "Saya belum bisa membedakan rimpang-rimpangan kayak gini. Semuanya kayak sama."

"Yang ini lengkuas," ujar pria itu sambil meraih dan meletakkan sebongkah besar lengkuas di atas talenan. "Kulit luarnya halus cenderung licin dan beruas. Ketika dipotong, luar maupun dalamnya lebih keras dari rimpang lainnya dan aromanya khas dengan bagian dalam berwarna putih, juga memiliki serat yang kasar ketika digeprek."

"Oh ...." Maura mengangguk mengerti sambil memotong lengkuas sepanjang tiga sentimeter. "Terima kasih, Chef."

"Sebelumnya kamu gak pernah masak?" tanya pria itu memastikan.

Maura mengangguk. "Saya masih belajar."

"Baiklah. Lanjutkan membuat bumbunya. Kalau ada yang masih bingung, jangan ragu buat tanya dan minta bantuan," ujar pria itu yang tak ingin mengganggu Maura lagi, namun dia terus menerus memantau dan paling banyak membantu Maura selama kelas memasak berlangsung.

Kelas memasak berakhir sekitar pukul setengah enam sore saat gerimis mulai turun. Maura dan peserta lainnya sibuk beres-beres dan bersiap untuk pulang.

"Terima kasih banyak atas bantuannya, Chef ...?" Maura berujar ragu.

Pria itu tersenyum lebar memamerkan satu lesung pipinya di sebelah kiri.

"Andreas. Panggil aja saya Andreas. Saya kurang nyaman dipanggil chef karena saya merasa belum benar-benar ahli."

"Saya Maura, Chef, eh, Mas Andreas," ujar Maura sambil mengulurkan tangannya.

Andreas menyambut tangan Maura hangat. "Senang berkenalan denganmu, Maura."

Maura tersenyum. "Ya, saya juga."

"Kamu mau belajar mengenai rimpang-rimpangan sebentar sebelum pulang? Free." tanya pria itu.

Maura melihat arloji di tangannya. Sebagian orang di ruangan itu telah pergi dan hanya tinggal empat orang di sana termasuk dirinya dan Andreas.

"Apa saya nggak bakal menyita waktunya mas Andreas?" tanya Maura tak yakin.

"Oh, enggak, dong. Saya kebetulan lagi santai."

"Oke, kalau begitu." Maura mengangguk.

Dengan cepat Andreas menjelaskan perbedaan antara lengkuas, jahe, kunyit, dan kencur yang bagi Maura terlihat mirip.

"Aromanya beda-beda, 'kan?" tanya Andreas.

Maura mengangguk sambil tersenyum senang. Dia mulai nyaman berbicara dengan Andreas.

"Iya. Kalau udah dijelasin kayak gini aku jadi lebih ngerti dan bisa bedain," jawab Maura sambil mencium aroma beberapa rimpang itu bergantian.

Andreas mengeluarkan kartu namanya. "Ini nomor saya. Kalau ada yang ingin ditanyakan, kamu bisa telepon atau chat saya."

Mata Maura berbinar senang. Dia segera menerima kartu nama itu.

"Aku nggak punya kartu nama, Chef. Eh, Mas," kata Maura sambil meraih pulpen dari dalam tasnya dan selembar kertas struk belanja. "Aku tulis nomorku di sini aja, ya."

Andreas mengangguk sambil tertawa ringan. "Oke, nggak apa-apa."

Setelah selesai menuliskan nomornya, Maura menyerahkan kertas itu pada Andreas.

"Semoga Mas gak nyesel ngasih nomornya ke aku. Nanti mungkin aku bakal tanya-tanya resep ke Mas," kata Maura sambil memasukkan kartu nama Andreas dengan hati-hati ke dalam tasnya.

"Oh, gak masalah. Tanya aja kapanpun kamu butuh. Pasti aku jawab sesegera mungkin."

"Oke." Maura mengangguk senang.

"Udah hampir mau malam, di luar juga hujan deras. Kamu pulangnya dijemput?" tanya Andreas sambil melihat ke luar melalui jendela yang sedikit terbuka.

Maura menggeleng. Lagipula, siapa juga yang akan menjemputnya?

"Palingan aku pulang sendiri," jawab Maura.

"Kalau gitu apa mau aku anta—"

"Maura."

Panggilan dari seorang pria terdengar. Maura segera menoleh, begitu juga dengan Andreas.

Dilihatnya Dewangga berdiri di ambang pintu yang terbuka lebar sambil menggenggam payung hitam basah yang terlipat. Celana kerja dan sepatutnya pun sama basahnya.

Bab terkait

  • Sebelum Kita Bercerai   Bab 6. SEPENGGAL INGATAN

    "Dia jemput kamu?" tanya Andreas sambil menatap ekspresi wajah Maura yang terlihat kaget."Kayaknya iya." Maura mengangguk. "Aku pulang duluan, ya, Mas.""Oke." Kini giliran Andreas yang mengangguk.Maura beranjak menenteng tasnya dan meninggalkan sesuatu di meja."Maura," panggil Andreas ketika Maura hampir mencapai pintu keluar. "Masakan kamu ketinggalan."Maura menoleh. Andreas berjalan cepat sambil menyodorkan rantang susun plastik berukuran sedang milik Maura yang berisi gulai ayam khas Minang yang baru dipelajarinya hari ini.Kelas memasak itu memang memperbolehkan pesertanya membawa pulang masakan yang sudah mereka buat, karena itulah biayanya lumayan mahal bagi Maura."Terima kasih banyak," kata Maura sambil menerima rantang susunnya dan tersenyum lebar. "Sampai jumpa nanti." Maura melambaikan tangan."Ya, hati-hati di jalan."Dewangga menatap tajam Maura dan Andreas bergantian. Hatinya diliputi rasa tak nyaman, kemudian dia menarik tangan Maura dan pergi begitu saja.Andreas m

    Terakhir Diperbarui : 2023-08-20
  • Sebelum Kita Bercerai   Bab 7. KANTOR DEWANGGA

    "Maura, kamu gak apa-apa, Nak?? Maura? Maura?" Panggilan lembut beberapa kali membuat Maura membuka matanya perlahan.Dia menatap langit-langit kamar dan mulai teringat bahwa sebelum terjatuh dia berada di sisi ranjang Dewangga. Di sampingnya, oma Ambar duduk menggenggam tangannya dengan wajah khawatir.Kemudian Maura merasakan pijatan lembut dan hangat di kakinya. Mia ada di ujung ranjang sambil mengoleskan minyak dan memijat kakinya, sementara Yanti datang membawa teh hangat."Syukurlah kamu udah sadar." Kekhawatiran di wajah oma Ambar sedikit berkurang. "Kamu kenapa? Bagian mana yang sakit?""Oma?" Maura mencoba bangkit untuk duduk, kepalanya masih sedikit pusing ditambah sakit akibat benturan."Jangan bergerak terlalu banyak. Kamu minum dulu tehnya. Dewangga lagi menghubungi dokter," kata oma Ambar sambil menyodorkan teh yang dibawa Yanti.Maura menoleh ke tempat lain, kemudian meminum setengah cangkir. Di dekat jendela, Dewangga masih berbicara dengan seseorang di telepon."Saya t

    Terakhir Diperbarui : 2023-09-03
  • Sebelum Kita Bercerai   bab 8. JANJI TEMU

    Lontaran pertanyaan dari Alena membuat Maura gugup.Mungkin dia telah melakukan kesalahan di masa lalu. Tapi sekarang, jangan sampai dia membuat Dewangga dan Alena bertengkar karenanya."Maaf, Alena. Aku bisa jelasin," kata Maura tak enak hati sambil berdiri.Wanita itu benar-benar mengira Dewangga dan Alena memiliki hubungan khusus."Duduk, Maura. Kakimu harus istirahat," ujar Dewangga menekan pundak Maura sehingga wanita itu kembali duduk. "Diam di sini. Tak ada yang perlu dijelaskan," lanjut pria itu dengan tegas. Dia mengerti dengan jelas maksud perkataan Maura yang mengira dirinya ada hubungan khusus dengan Alena."Tapi Dewang—""Saya yang membawa Maura ke sini." Dewangga memotong ucapan Maura sambil berdiri tegak, sekaligus menjawab pertanyaan Zefan dan Alena.Zefan maupun Alena semakin terkejut. Keduanya saling melempar pandang, sementara Maura semakin tak enak hati."Maura, kamu tunggu di sini. Aku akan memastikan pertemuan ini tak akan lebih dari satu jam," kata Dewangga sambi

    Terakhir Diperbarui : 2023-09-25
  • Sebelum Kita Bercerai   Bab 9. PERASAAN ALENA

    Maura menoleh menatap Zefan, mempertanyakan apa yang Dewangga katakan."Oh, itu ... jadwalnya udah ditetapkan, Nyonya. Jam empat sore nanti Nyonya harus udah tiba di sana," kata Zefan."Kenapa kamu gak tanya dulu ke saya? Saya belum menyetujui apapun," protes Maura. "Sore ini saya ada kelas memasak.""Maaf, Nyonya. Saya yang salah. Saya gak tahu kalau nyonya udah ada rencana. Tapi ... gak mudah bikin janji sama psikolog ini, Nyonya." Zefan menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Dia sudah terbiasa menjadi kambing hitam bosnya, tetapi kejadian hari ini sedikit membuatnya kesal karena dia belum siap."Saya gak mau pergi ke psikolog hari ini," tolak Maura. "Jadwalnya ganti aja jadi besok pagi. Saya mau ikut kelas memasak aja.""Tidak bisa. Kakimu terkilir. Pastikan kondisi kakimu baik dulu baru ikut kelas memasak lagi," ujar Dewangga tegas, kemudian tatapannya berubah mengancam. "Jangan membuat oma selalu mencemaskanmu, Maura."Maura menarik napasnya. Ya, oma Ambar pasti akan semakin mencema

    Terakhir Diperbarui : 2023-12-07
  • Sebelum Kita Bercerai   Bab 10. HANYA TEMAN

    Alena dengan cepat menguasai perasaannya. Wanita itu tersenyum begitu manis dan memikat, dengan senyuman tulus dan polos."Jangan menuduhku sembarangan, Zefan. Itu bisa menjadi fitnah," kata Alena dengan sikap yang tenang sambil memperbaiki dasi Zefan yang sedikit miring. "Apa kamu punya buktinya?"Zefan mengerutkan alisnya. Dia tahu bahwa Alena mampu menyembunyikan perasaannya yang sebenarnya. Dia juga tahu senyum wanita itu saat ini adalah senyuman palsu."Aku belum memiliki bukti apapun. Tapi, kalau benar itu perbuatanmu, bukti pasti akan mengarah padamu, Alena," jawab Zefan sambil menyingkirkan tangan wanita itu."Kalau begitu, cari aja dulu buktinya," kata Alena sambil tersenyum. "Tapi bukti itu tak akan pernah ada karena memang aku tak melakukan apapun."Alena berlalu dari sana dengan tenang seolah tak pernah terjadi apapun, sementara Zefan mematung memikirkan hal yang baru saja Alena katakan."Semakin menyangkal, semakin besar dugaannya, dan semakin aku tak percaya," gumam Zefan

    Terakhir Diperbarui : 2023-12-09
  • Sebelum Kita Bercerai   Bab 11. MELEWATI BATAS

    Meja penuh dengan beragam menu karena Maura memesan makanan lain lagi bersama Andreas.Obrolan mengalir didominasi oleh Maura dan Andreas. Sementara Dewangga hanya sedikit bicara sambil mempertahankan kesabarannya."Mas Andreas, bagaimana kelas memasak sore tadi? Apa menyenangkan?" tanya Maura penasaran.Andreas mengangguk sambil tersenyum. "Lumayan. Hanya saja ada cerita memilukan dari salah satu peserta.""Cerita memilukan? Apa ada peserta yang sakit?" tanya Maura penasaran sambil mengunyah makanan.Andreas menggeleng. "Ketika seluruh peserta kelas ditanya alasan mereka mengikuti program kelas memasak ini, salah satu peserta—bu Maya—menceritakan bahwa alasan dia ikut kelas memasak karena dia butuh hiburan.""Hiburan?" Maura masih tak mengerti letak memilukannya di mana."Ya. Saat ini bu Maya sedang menghadapi sidang perceraian dengan suaminya karena suaminya terbukti berselingkuh. Anak mereka hanya ada satu. Kedua belah pihak memperebutkan hak asuh anak, jadi sidangnya cukup alot dan

    Terakhir Diperbarui : 2024-01-14
  • Sebelum Kita Bercerai   Bab 12. Tuduhan Palsu

    "Maaf, Alena. Kamu bisa bersama Dewangga nantinya," kata Maura perlahan dengan perasaan yang semakin bersalah. "Aku ... sudah menanda-tangani surat perceraian itu. Setelah tiga bulan, kalian bisa bersama secara resmi.""Begitukah?" Alena menatap Maura dengan pandangan rumit. Dalam hatinya, wanita itu bersorak karena tiba-tiba dia memiliki sebuah ide. "Mengapa harus menunggu tiga bulan? Mengapa tidak sekarang?""Itu karena aku—""Alena? Mengapa kamu ada di sini?"Di atas tempat tidur, Dewangga telah bangun dan duduk menatap keduanya yang tengah berada di ambang pintu."Hai, Dewangga. Selamat pagi," sapa Alena dengan senyum hangat. "Aku datang buat jemput kamu. Kenapa kamu baru bangun? Ini udah siang.""Kalian ngobrol aja dulu. Aku mau mandi di kamar sebelah," kata Maura sambil terburu-buru pergi dengan menyeret kakinya yang masih terasa sakit."Apa yang kamu katakan padanya?" tanya Dewangga dingin sambil menatap tajam Alena.Alena tersenyum kaku. "Aku nggak bilang apapun.""Benarkah?" D

    Terakhir Diperbarui : 2024-01-16
  • Sebelum Kita Bercerai   Bab 13. Sepotong Ingatan Lain

    Alena memegangi pergelangan kakinya dengan wajah sendu dan berurai air mata."Alena, kamu baik-baik saja? Apanya yang sakit?" tanya Dewangga panik sambil berjongkok di depan wanita itu. "Apa kakimu terkilir?""Sepertinya begitu, Dewangga," jawab Alena sambil mengangguk penuh kasihan. "Pinggangku juga sakit."Maura menyaksikan adegan itu. Hatinya kembali berdenyut, lebih sakit dari sebelumnya."Kalau begitu kita ke rumah sakit sekarang," ajak Dewangga sambil membantu Alena berdiri."Aku gak apa-apa, Dewangga," jawab Alena sambil menggeleng. Dia berdiri dengan pincang sambil berpegangan kuat pada tangan Dewangga. "Maura cuma gak sengaja dorong aku."Maura tercengang. Mengapa Alena berbohong dan menuduhnya? Terlebih wanita itu mengadu pada Dewangga seperti itu.Maura mempertahankan kesabarannya. "Alena, mengapa kam—""Segera minta maaf, Maura," potong Dewangga dengan tatapan dingin yang menghujam.Hati Maura memanas, juga berdarah. Maura menggeleng. "Mengapa aku harus meminta maaf?""Sud

    Terakhir Diperbarui : 2024-01-19

Bab terbaru

  • Sebelum Kita Bercerai   Bab 31. Ruang Makan

    Maura menyeka matanya dengan kasar, kemudian mendorong dada Dewangga padahal wanita itu masih ada dalam gendongannya.“Kamu akan jatuh kalau mendorongku seperti itu, Maura,” peringat Dewangga sambil menatap Maura tajam."Turunkan aku, Dewangga," pinta Maura.Bukannya menurunkan wanita itu, Dewangga malah berjalan ke arah tempat tidur dan menurunkan Maura dengan lembut di atas kasur.“Kalau mau tidur, tidur di sini,” kata Dewangga tak memedulikan ucapannya, kemudian pria itu duduk di samping Maura yang tengah berbaring menatapnya. “Katakan padaku, mengapa kamu menangis?”“Nggak kenapa-napa,” jawab Maura sambil berbaring memunggungi pria itu.Dewangga menatap bahu Maura yang tengah memejamkan matanya, kemudian dia segera memperbaiki posisi selimut yang dipakai Maura.“Kalau kamu tak mau kita tidur di ranjang yang sama, cukup katakan sejujurnya saja,” gumam Dewangga perlahan, tapi suaranya cukup terdengar jelas.Maura masih memejamkan matanya sambil meremas selimut yang dipakainya. Dia t

  • Sebelum Kita Bercerai   Bab 30. Pusaran Rasa

    Maura menahan napasnya ketika mobil yang ditumpanginya berhenti tepat di depan teras. "Mereka semua keluargamu?" tanya Maura dengan perasaan cemas. Dewangga mengangguk. "Bersikaplah seolah-olah kamu mengenal mereka semua. Aku dan Naren akan berusaha membantumu agar tak ada yang tahu bahwa kamu amnesia." "Yang pakai baju putih di samping kiri oma Ambar itu papa Teguh Bagaskara. Di sebelahnya mama Laura. Di samping kanan Oma itu tante Vivian adiknya papa, lalu anak perempuannya Clara, sekaligus adiknya Naren." Maura mengangguk mengerti. Dia turun dan mengikuti langkah Dewangga menuju teras rumah. "Akhirnya setelah beberapa bulan berlalu, kalian mau menginap juga di rumah oma," kata oma Ambar senang. "Lho? Kamu beneran Maura?" tanya Laura sambil melihat penampilannya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Maura tercekat. Apa mereka mengetahui bahwa dia tengah amnesia? Maura pun menoleh pada Dewangga dengan perasaan was-was. Dewangga memberikan anggukan kecil sekilas, meyakinkannya

  • Sebelum Kita Bercerai   Bab 29. Rumah Oma Ambar

    Maura menatap Dewangga dengan pandangan takut. Ingatannya satu lagi perlahan datang, namun semuanya hanya ingatan buruk. Ingatan kali ini lebih jelas dari ingatan lainnya, seolah baru terjadi kemarin.Maura ingat bagaimana wajah Dewangga yang sangat marah ketika dia menjambak Alena di masa lalu karena diam-diam Alena memprovokasinya, kemudian ketika Maura terpancing amarah, Alena bersikap seolah-olah semua salah Maura. Saat itu Dewangga hampir menamparnya.Alena selalu menjebak Maura seolah Maura selalu menganiayanya, kemudian berpura-pura lemah dan tertindas. Maura yang di masa lalu sangat pemarah karena faktor frustrasi, selalu terpancing dan masuk dalam jebakannya.Maura merasakan sudut hatinya begitu nyeri ketika ingatan itu muncul. Dia menderita dan sedih di waktu yang bersamaan."Maura? Ada apa?" tanya Dewangga khawatir saat melihat wajah wanita itu pucat pasi.Maura beringsut menjauh dan menatap Dewangga dengan tubuh gemetar. "Jang

  • Sebelum Kita Bercerai   Bab 28. Jangan Mendekat

    Maura meremas sisi pakaiannya. Pikirannya kosong dalam beberapa detik. Detik kemudian jantungnya berdegup lebih kencang, sehingga membuat darahnya berdesir panas dingin. "De-Dewangga." Maura mendorong tubuh pria itu sehingga ciuman mereka terlepas, namun sedetik kemudian pria itu memperdalam lagi ciumannya hingga membuat Maura kehabisan napasnya. "Sudah." Pria itu melepaskan Maura, kemudian menatapnya dengan lekat sambil tersenyum tipis. "Cokelat panasnya enak sekali, Maura. Boleh minta lagi?" Mata Maura mengerjap beberapa kali, masih dalam pelukannya. Tubuhnya sedikit gemetar dan hampir ambruk andai dia tak berpegangan pada tangan Dewangga yang berada di sekitar tubuhnya. "Kamu gila?!" tanya Maura sambil melepaskan diri dari rengkuhan pria itu. Dewangga tersenyum menatap Maura sambil menopang dagunya di atas meja bar. "Kamu mabuk. Sebaiknya segera tidur," gerutu Maura dengan wajah merah padam. "Yang benar yang mana? Aku gila atau mabuk?" tanya Dewangga dengan tawa kecil.

  • Sebelum Kita Bercerai   Bab 27. Kejutan Malam

    Dewangga mulai mengetuk-ngetukkan jarinya di permukaan kaca jam tangan tanda sudah tak sabar lagi. Sebenarnya dia sudah tak memiliki banyak waktu di rumah itu. Tapi, karena ada kejadian tak terduga seperti ini, terpaksa dia harus duduk lebih lama di sana."Dewangga, kamu nggak mungkin kalau nggak percaya sama aku, kan?" tanya Maura penuh harap.Dewangga terdiam dengan wajah datar. Pria itu melirik bu Asih yang masih sibuk membuka laci."Bu Asih, bagaimana? Sudah ketemu?" tanya pria itu sambil menatap punggung bu Asih yang sedang membelakanginya.Bu Asih segera berbalik dan menggeleng. "Ti-tidak ada lagi, Tuan."Dewangga mengangguk sambil berdiri merapikan pakaiannya. Dia tahu bu Asih belum selesai memeriksa semua laci yang ada."Bu Asih, ayo kita keluar," ujarnya tanpa ekspresi, kemudian dia menatap Maura. "Aku tahu sedikit mengenai dirimu, Maura. Aku tak akan mempermasalahkannya. Kamu jangan khawatir. Jadi, istirahatlah."Maura menghela napasnya dengan kecewa sambil menatap punggung

  • Sebelum Kita Bercerai   Bab 26. Pencuri

    Maura terdiam. Waktu tiga bulan akan terus bergulir tanpa terasa. Tak mungkin baginya kalau terus menerus berada di sekitar Dewangga. Mereka harus menjalani kehidupan masing-masing, bahkan mungkin mereka tak akan bertemu lagi setelahnya. "Oma, ini tehnya," kata Zefan sopan sambil meletakkan beberapa cangkir teh di meja. Dia sedikit tertekan dengan situasi di sana. Jika Maura resmi menjadi asisten Dewangga, maka bagaimana dengannya? "Oma—" "Oma, aku nggak mau jadi asistennya mas Dewangga," tolak Maura serius, memotong ucapan Dewangga yang hendak melayangkan protes. "Kenapa?" tanya oma Ambar sambil menatap Maura. "Jadi pramusaji itu capek, lho, Nak." Narendra yang menyaksikan penolakan Maura menelengkan kepalanya. Dia tahu Maura yang dulu sangat mencintai Dewangga seperti orang gila. Cintanya tak pernah main-main dan tak bisa dirobohkan oleh apapun. Tapi Maura yang sekarang menolak berada dekat dengan Dewangga karena sedang amnesia. Sedikit lucu, dan dia belum terbiasa. "Aku tahu

  • Sebelum Kita Bercerai   Bab 25. Permintaan Oma Ambar

    "Jangan berwajah datar seperti itu, Dewangga," ujar pria itu tertawa rendah sambil melepaskan cengkeraman tangan Dewangga darinya. "Apa kamu sudah berubah pikiran?" "Jangan main-main," kata Dewangga memberi peringatan. "Dan jangan mengganggu Maura." "Wah, kamu benaran sudah berubah pikiran, Dewangga." Pria itu menatap Dewangga tak percaya, kemudian pandangannya beralih pada Maura yang menatapnya asing. "Apa Dewangga masih bersikeras ingin menceraikanmu?" Maura mengerutkan alisnya dengan bibir terbuka seolah ingin menjawab, tetapi tak ada satu katapun yang keluar dari mulutnya. "Apa? Ada apa?" Pria itu menatap Maura dengan aneh. "Ada yang aneh denganmu." Dewangga menarik napasnya panjang. "Sebaiknya kamu pulang." "Aku akan pulang," jawab pria itu. "Tapi setelah memastikan sesuatu." "Tak ada yang perlu kamu pastikan, Naren," ujar Dewangga menahan kesal sambil merentangkan tangannya menahan pria itu agar tak semakin mendekati Maura. "Tentu saja ada. Tak hanya kamu yang berubah. Ba

  • Sebelum Kita Bercerai   Bab 24. Pria Asing

    Suasana kantor cukup sibuk dengan kegiatan masing-masing. Maura mengikuti langkah Zefan sambil menenteng tas thermal-nya. Zefan bersikeras menolak titipan Maura meskipun Maura sudah membujuknya. Mau tak mau akhirnya dia ikut dengan pria itu untuk mengantarkan sendiri makanannya. "Bos di ruangannya. Masuk aja, Nyonya," ujar Zefan sambil mendorong pintu dan menunjuk Dewangga yang tengah sibuk berdiskusi di ruang kerjanya bersama dengan beberapa orang termasuk Alena dan Devina. "Silakan, Nyonya duduk dulu di sini." Zefan menunjuk single sofa yang terletak di samping dinding kaca yang menyuguhkan pemandangan kota. Maura mengangguk sembari duduk dan meletakkan tas bekal di pangkuannya. Dia menatap Dewangga yang memakai kemeja navy tanpa jas dan tengah memegang beberapa lembar kertas. Pria itu terlihat begitu serius dengan pekerjaannya. Tak jauh dari pria itu ada Devina juga Alena, dan beberapa orang lain yang Maura tak kenal. Mereka duduk berkumpul di sofa mengitari meja kaca yang penu

  • Sebelum Kita Bercerai   Bab 23. Tidak Menerima Titipan

    Dewangga terdiam memikirkan banyak hal. "Aku tak berpikir sejauh itu. Aku tak memiliki rencana untuk menikah lagi," ucap Dewangga sambil menatap Maura. "Ada banyak pekerjaan yang harus diurus ...." "Pekerjaan akan selalu banyak, Dewangga. Tapi kita hanya hidup sekali," potong Maura. "Memangnya kamu ingin membuat Alena menunggumu lebih lama?" "Alena?" Dewangga mengerutkan alisnya tak suka. "Mengapa Alena? Aku tak ada hubungan dengannya." "Benarkah?" Maura menatap Dewangga dengan terkejut. "Kalian tidak pacaran?" "Pacaran? Untuk apa? Aku tak pernah memiliki perasaan apapun padanya jika itu yang ingin kamu tahu," jawab Dewangga tegas. Maura tertegun sejenak. Dewangga tak mungkin membohonginya, kan? "Tapi tetap saja. Setelah kita berpisah, kita pasti menjalani hidup kita masing-masing. Mungkin kamu akan bertemu seseorang yang mengubah pikiranmu dan ingin segera menikahinya. Aku juga mungkin akan bertemu dengan pria yang baik," lanjut Maura sambil menopang dagunya. "Sampai hari itu t

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status