***"Kak Lula itu bonekanya Rara! Jangan diambil dong!""Enggak ini punya Kakak, buat Kakak aja!""Kak Lula jangan dong! Mama Kak Lula jahat!"Anak kecil berambut coklat itu berlari ketika seorang perempuan menghampirinya lalu berjongkok untuk mengimbangi tinggi anak tersebut."Kenapa, Sayang?""Kak Lula ambil bonekanya Rara, Ma. Padahal, Kak Lula punya juga."Perempuan itu menghela napas lalu memandang putrinya yang satu lagi. "Lula sayang, itu bonekanya Rara, Nak. Kembaliin ya.""Tapi bonekanya bagus! Lula suka!""Iya, tapi itu bukan punya kamu, Sayang. Itu punya Rara. Kembaliin ya. Ingat lho, Mama kan selalu ajarin buat enggak ambil punya orang lain."Video tersebut terhenti begitu saja tepat setelah Aurora mengucapkan kata tersebut. Ya, duduk di pinggir kasur, Aludra memutuskan untuk menonton video yang dikirim Aludra.Bukan video aneh video tersebut adalah video masa kecilnya dengan Alula yang entah didapat darimana oleh sang kakak. Namun, Aludra cukup paham maksud dari video t
***"Hati-hati di jalan, Mas.""Kamu juga di rumah hati-hati.""Kenapa?"Aludra menaikkan sebelah alisnya ketika ucapan tersebut dilontarkan Arka. Padahal dirinya merasa tak ada bahaya di rumah ataupun semacamnya. Kenapa harus hati-hati.""Apanya yang kenapa?" tanya Arka."Kamu kenapa nyuruh aku hati-hati. Aku kan enggak akan ke mana-mana," kata Aludra. "Seharian ini aku mau di rumah.""Kamu pikir aku enggak perhatiin?" tanya Arka. "Dari tadi pagi kayanya kamu banyak ngelamun. Makanya aku suruh kamu hati-hati. Kali aja batu dimakan karena ngelamun.""Enggak gitu juga, Mas.""Lagian kenapa sih?" tanya Arka. "Ada yang kamu pikirin? Kalau ada, bilang sama aku. Biar aku kasih solusinya. Jangan tertutup sama suami sendiri dan jangan lupa kalau aku suka orang yang jujur.""Enggak ada apa-apa," kata Aludra. Sambil memandang Arka, otaknya kembali memikirkan alasan penguat agar Arka tak curiga apapun. "Aku cuman lagi kepikiran ucapan Mama.""Yang mana?""Katanya kalau pernah pake kontrasepsi,
***"Untuk memperbaiki gizi Arka. Aku yakin selama hidup sama kamu, makananya enggak terlalu terjamin karena kemampuan masak kamu noob banget. Jadi aku sengaja buatin makanan buat dia.""Aku enggak mau suami aku kekurangan gizi karena kamu."Sekali lagi Aludra menghela napas ketika satu-persatu kotak makan susun berisi makanan dia buka.Semuanya dari Alula. Pagi tadi dengan angkuhnya perempuan itu berkunjung ke rumah Aludra sambil membawa makanan yang dia bilang dibuat sendiri spesial untuk Arka.Meskipun tinggal di hotel, Alula bisa memasak sendiri untuk Arka setelah meminta izin dan tentunya membayar lebih pada pihak restoran di hotel dan voila! Tiga menu sekaligus kini tersaji di depan Aludra."Non Aludranya udah pulang ya, Non?"Suara Bi Minah terdengar dari belakang, Aludra menoleh. Sejak kedatangan Alula pukul setengah sembilan tadi, Bi Minah memang sibuk di lantai dua—menyetrika semua cucian yang sudah kering sejak kemarin, sementara Pak Maman sepertinya jalan-jalan di sekitr k
***"Mama kecewa sama kamu, Aludra!""Papa enggak nyangka kamu tega rebut Arka dari Alula. Papa benci sama kamu!""Udah aku bilang kamu itu jahat, Aludra!""Kita semua benci kamu, Aludra! Benci!""Enggak ... aku enggak rebut Mas Arka ... Mama sama Papa enggak, Rara enggak rebut Mas Arka, Ma. Enggak!"Aludra terperanjat dari tidurnya yang nyenyak dengan deru napas yang tak beraturan, sementara keringat kini membasahi wajahnya.Mimpi buruk. Di tengah malam yang sunyi, sebuah mimpi buruk menyambangi bahkan mengganggu tidur Aludra hingga gadis itu mau tak mau terbangun paksa dengan perasaan gelisah—bahkan panik.Semuanya terasa begitu nyata dan semua itu membuat Aludra takut."Mama, Papa," gumam Aludra pelan. Melirik ke arah kiri, dia kembali dibuat terkejut karena Arka tak ada di sampingnya. Padahal, Aludra masih ingat jika tadi dia tidur dalam pelukan pria itu."Capek," ucap Aludra pelan, sambil memegangi dadanya yang tiba-tiba saja terasa sesak ketika mimpi yang baru saja dia alami mel
***"Asin, kan?""Hihi, dikit."Arka meringis sambil tersenyum sesaat setelah dia menyuapkan sesendok nasi goreng yang baru saja dibuat Aludra pagi ini untuk sarapannya.Terlalu banyak beban pikiran, Aludra melamun pagi ini. Membuat nasi goreng untuk satu porsi, dia justru memasukkan satu sendok garam. Padahal, biasanya hanya perlu setengah atau bahkan seperempat sendok saja.Aludra sudah berniat untuk membuang nasi goreng tak layak tersebut, tapi Arka yang cukup disiplin dalam masalah makanan tentu saja melarang Aludra melakukan semua itu dan pada akhirnya dia memutuskan untuk tetap menyantap nasi goreng asin karya Aludra."Makanya enggak usah dimakan, biar aku buat baru aja ya," kata Aludra. Duduk di depan Arka, dia beranjak lalu berniat mengambil piring nasi goreng tersebut. Namun, dengan segera Arka menggelengkan kepalanya sambil memegangi erat piring nasi gorengnya."Enggak, Lu. Enggak usah," kata Arka. "Ini enggak terlalu asin kok. Nih ya, aku makan lagi."Untuk yang kedua kalin
***"Ini berkasnya, langsung kasih ke Papa aja. Kakak tadi udah chat.""Oh oke, siap."Duduk di ruang tengah, Arka mengambil alih sebuah berkas bermap merah yang diberikan Aksa padanya lalu membaca sekilas isi dari berkas kerjasama perusahaan Dirga juga perusahaan Alexander grup yang dipegang Aksa.Pagi-pagi yang menggagalkan momen kiss diantara Arka dan Aludra tentu saja Aksa. Seolah Tuhan sedang membalikkan keadaan, Aksa yang dulu sering diganggu momen romantisnya oleh Arka, berganti menjadi pengganggu momen romantis yang selalu hampir terjadi diantara Arka dan Aludra."Kenapa enggak datang langsung ke kantor Papa, Kak?" tanya Aludra penasaran."Sibuk banget, Ra. Ini aja lagi hectic banget," kata Aksa. "Ananta aja sering ngomel di rumah karena beberapa hari ini Kakak lembur terus.""Owalah gitu ya," kata Aludra paham."Deuh." Arka tiba-tiba saja memegangi perutnya yang tiba-tiba saja mulas—membuat Aludra juga Aksa kini mengalihkan perhatian padanya."Kenapa, Mas?""Mules," kata Arka
***"Thank you for everything."Mengukir senyuman tipis, Aludra memandang rumah di depannya ini dengan raut wajah yang sulit diartikan.Empat bulan lebih tinggal di rumah tersebut membuat banyak momen baik itu sedih maupun senang dilalui Aludra bersama Arka. Ada tawa, ada tangis, semuanya tersimpan rapi di dalam pikiran Aludra dan tak akan pernah dia lupakan sampai kapanpun.Hari ini mungkin dia pergi, tapi tak munafik. Di dalam hati Aludra dia berharap bisa kembali ke rumah ini dengan status yang lebih baik."Non, mau berangkat sekarang?"Aludra sedikit tersentak. Dia yang sejak tadi berdiri di tangga depan rumah lantas menoleh ketika Pak Maman yang sejak tadi memanaskan mobil, memanggilnya."Eh, Pak. Udah manasin mobilnya?" tanya Aludra."Udah non," ucap Pak Maman."Oh oke," ucap Aludra. Setelahnya dia menaikki satu-persatu undakkan tangga lalu sampai di dekat Range Rover putih Arka yang sudah keluar dari garasi untuk mengantarnya menemui Alula."Masuk, Non," kata Pak Maman sambil m
***"Masuk."Damar hanya tersenyum tipis ketika seorang perempuan kini membukakan pintu kamar hotel untuknya. Melangkahkan kakinya masuk, dia menghempaskan tubuhnya begitu saja di atas kasur dengan posisi telungkup."Damar itu baru diberesin!"Mengukir senyum, Damar membalikkan badannya lalu tersenyum dengan wajah tanpa dosa."Galak banget sih, Lu? Kan kita mau pulang. Biarin aja berantakan.""Ya tetep aja enggak enak dilihatnya, Damar.""Oke-oke," kata Damar. Dia kemudian beringsut lalu duduk di pinggir kasur—memandang sahabatnya kini yang sudah rapi dan cantik dengan dress yang dia pakai. "Jadi pulang sekarang?""Jadi.""Sadar juga," celetuk Damar."Sadar apa?""Iya, kamu akhirnya sadar juga dan enggak ganggu Aludra lagi," kata Damar. "Gitu dong, biarin Aludra bahagia sesekali. Dia terus yang ngalah.""Dam.""Ya?" Damar menaikkan sebelah alisnya."Kamu sayang banget sama Aludra, ya?""Tanya itu mulu perasaan," protes Damar bosan. "Kan udah aku jawab berulang kali. Cinta, Lu. Aku cin