***"Thank you for everything."Mengukir senyuman tipis, Aludra memandang rumah di depannya ini dengan raut wajah yang sulit diartikan.Empat bulan lebih tinggal di rumah tersebut membuat banyak momen baik itu sedih maupun senang dilalui Aludra bersama Arka. Ada tawa, ada tangis, semuanya tersimpan rapi di dalam pikiran Aludra dan tak akan pernah dia lupakan sampai kapanpun.Hari ini mungkin dia pergi, tapi tak munafik. Di dalam hati Aludra dia berharap bisa kembali ke rumah ini dengan status yang lebih baik."Non, mau berangkat sekarang?"Aludra sedikit tersentak. Dia yang sejak tadi berdiri di tangga depan rumah lantas menoleh ketika Pak Maman yang sejak tadi memanaskan mobil, memanggilnya."Eh, Pak. Udah manasin mobilnya?" tanya Aludra."Udah non," ucap Pak Maman."Oh oke," ucap Aludra. Setelahnya dia menaikki satu-persatu undakkan tangga lalu sampai di dekat Range Rover putih Arka yang sudah keluar dari garasi untuk mengantarnya menemui Alula."Masuk, Non," kata Pak Maman sambil m
***"Masuk."Damar hanya tersenyum tipis ketika seorang perempuan kini membukakan pintu kamar hotel untuknya. Melangkahkan kakinya masuk, dia menghempaskan tubuhnya begitu saja di atas kasur dengan posisi telungkup."Damar itu baru diberesin!"Mengukir senyum, Damar membalikkan badannya lalu tersenyum dengan wajah tanpa dosa."Galak banget sih, Lu? Kan kita mau pulang. Biarin aja berantakan.""Ya tetep aja enggak enak dilihatnya, Damar.""Oke-oke," kata Damar. Dia kemudian beringsut lalu duduk di pinggir kasur—memandang sahabatnya kini yang sudah rapi dan cantik dengan dress yang dia pakai. "Jadi pulang sekarang?""Jadi.""Sadar juga," celetuk Damar."Sadar apa?""Iya, kamu akhirnya sadar juga dan enggak ganggu Aludra lagi," kata Damar. "Gitu dong, biarin Aludra bahagia sesekali. Dia terus yang ngalah.""Dam.""Ya?" Damar menaikkan sebelah alisnya."Kamu sayang banget sama Aludra, ya?""Tanya itu mulu perasaan," protes Damar bosan. "Kan udah aku jawab berulang kali. Cinta, Lu. Aku cin
***"Apa aja yang kamu kembaliin sama Alula?"Aludra menoleh ketika pertanyaan tersebut dilontarkan Damar. Saat ini—setelah menenangkan perasaan sakitnya, Aludra langsung mengajak Damar pulang dan sekarang keduanya sedang beristirahat di rest area kawasan Purwakarta."Maksudnya?""Ya selain Arka dan cincin pernikahan, apa aja yang kamu kasih ke Alula?" tanya Damar."Sim card sama catatan aja," kata Aludra."Catatan?" Damar menaikkan sebelah alisnya, sementara Aludra yang kini menyantap bakso untuk makan siang mengangguk pelan. "Catatan apa?"Masih di sisa-sisa sakit yang dia rasakan, Aludra tersenyum tipis. "Apa yang disukai sama apa yang enggak disukai Mas Arka, terus kegiatan yang harus aku lakuin pas ada Mas Arka dan nama-nama orang yang aku kenal di sana. Selebihnya, nanti Kak Lula hubungin aku kalau ada apa-apa.""Aludra," gumam Damar sambil menggeleng pelan—tak habis pikir dengan sikap baik dan tulusnya perempuan di depannya itu, setelah semua yang dilakukan Alula."Kenapa?""Ha
***"Eh sosis bakar, Alula pasti suka."Di sela-sela kegiatan menyetirnya, Arka mengukir senyuman tipis ketika secara tak sengaja dia melihat kedai sosis bakar di pinggir jalan dan tentu saja ingatannya langsung tertuju pada Aludra yang sangat menyukai makanan tersebut.Arka yang hari ini baru pulang kantor pukul tujuh malam akhirnya memutuskan untuk meminggirkan mobil sebentar lalu turun untuk memesan sosis bakar untuk Aludra yang nyatanya kini sudah sampai di Jakarta bersama Damar."Dua yang agak gede ya, Mas.""Oh siap."Duduk menunggu di sebuah bangku yang tersedia, sosis pesanan Arka jadi dalam waktu sepuluh menit saja. Sesuai selera Aludra, sosis tersebut polos tanpa mayonaise apalagi saos karena memang Aludra tak suka pedas."Lulu pasti seneng aku bawain sosis," gumam Arka sambil mengukir senyumannya ketika mobil yang dia kendarai mulai melaju menyusuri jalanan pulang menuju komplek perumahan.Pukul setengah delapan, mobil Arka sampai di depan garasi. Seperti biasa, dia menekan
***"Enggak masuk dulu?""Enggak kayanya, Ra. Aku harus langsung pulang, banyak kerjaan yang ketunda soalnya. Diomelin Papa nanti.""Oh ya udah, hati-hati di jalan kalau mau pulang.""Pasti, kamu istirahat ya.""Iya."Setelah melambaikan tangan, mobil sedan hitam yang dikendarai Damar melaju meninggalkan Aludra yang masih berdiri di depan gerbang besar rumahnya.Seminggu sudah Aludra kembali ke kehidupan lamanya sebagai Aludra, seminggu pula dia tak bertemu atau bahkan berkomunikasi dengan Arka.Lupa? Tentu saja tidak. Melupakan Arka—atau lebih tepatnya melupakan perasaannya pada Arka nyatanya tak semudah membalikkan telapak tangan karena setiap malam—tepatnya sebelum tidur, Aludra selalu dilanda kerinduan yang mendalam ketika melihat bagian kasurnya kosong.Padahal biasanya setiap Aludra membaringkan tubuh di kasur, selalu ada Arka di sampingnya.Ah, apa kabar pria itu? Apa Arka sudah lebih nyaman bersama Alula yang asli, sekarang? Jawabannya pasti. Dari segi apapun, Alula selalu leb
***"Mas Arka, aku kangen kamu."Arka refleks membuka matanya ketika suara itu terdengar lembut di telinganya. Memandang langit-langit kamar, Arka mengerjapkan matanya beberapa kali lalu teringat akan sesuatu."Alula," gumam Arka pelan. Menoleh ke sebelah kiri, dia cukup terkejut ketika tak mendapati sang istri di sana. Padahal, tadi mereka sama-sama pergi tidur tepat pukul sembilan. "Lu."Beringsut, Arka mengubah posisinya menjadi duduk lalu mengedarkan pandangan untuk mencari keberadaan Alula yang sepertinya tak ada di kamar."Alula, kamu di mana?" tanya Arka saat dia akhirnya beranjak. Berjalan menuju kamar mandi, dia membuka pintu lalu melongokan kepalanya. Namun, Alula juga tak ada di dalam di sana—membuat Arka sedikit panik karenanya."Alula ke mana sih?" tanya Arka.Tak kunjung menemukan Alula di kamar, Arka akhirnya membuka pintu lalu keluar. Berjalan menuruni tangga, dia melangkahkan kaki menuju dapur setelah melihat lampu menyala di ruangan tersebut."Lu, kamu di mana?" pang
***"Alula, kenapa semakin hari aku semakin merasa berbeda?"Sepuluh menit berlalu, Arka tetap nyaman dengan posisinya. Berdiri di bawah guyuran shower, dia membiarkan rambut bahkan tubuhnya dibasahi air yang bahkan terasa sangat dingin di permukaan kulitnya.Ada yang berbeda. Entah ini hanya perasaan Arka saja atau apa, tapi dia merasa ada sesuatu yang mengganjal hatinya sekarang—setelah semalam melakukan hubungan yang biasa dia lakukan dengan Alula.Entah itu sensasi maupun kenikmatan yang dia rasakan, semuanya berbeda dan sialnya Arka tak terlalu menikmati kegiatannya dengan Alula semalam. Padahal, perempuan itu bermain cukup agresif—jauh berbeda dengan Aludra yang selalu terlihat polos dan membiarkan Arka menguasai dirinya."Mas, kamu masih mandi?"Arka menoleh seketika saat suara Alula terdengar dari pintu kamar mandi. Jika biasanya setelah melakukan kegiatan, Arka yang akan mandi lebih dulu besok paginya, kali ini berbeda. Alula bangun satu jam sebelum Arka bangun, bahkan perem
"Ka-Kak Arka apa kabar? Baik, kan?"Aludra mengeratkan pegangan tangannya pada ponsel yang kini dia tempelkan di samping telinga kanan. Memberikan diri untuk menanyakan kabar Arka, Aludra kini dilanda ketegangan yang sangat luar biasa.Mengingat tak terlalu sukanya Arka pada dia, Aludra takut respon yang akan diberikan Arka juga tak baik. Pria itu setia pada Alula dan tentunya Aludra takut jika Arka akan merasa risih ketika dirinya bertanya kabar. Padahal, statusnya kini hanya sekadar adik ipar untuk pria itu."Ra."Beberapa detik hening, Arka akhirnya kembali bersuara dan semua itu semakin membuat Aludra tak menentu. Gelisah, bahkan keringat dingin kini keluar dari kening Aludra.Memanfaatkan Aurora yang meminta dia menelepon Alula, Aludra memang sengaja menelepon Arka—tepatnya bukan sengaja karena memang dia tak bisa bebas menghubungi Alula.Semenjak kembali pada Arka, Alula sengaja memblokir nomor Aludra—membuat dia tak bisa bebas menelepon atau sekadar mengirim chat pada kakaknya
*** "Semangat, Sayang. Jangan tegang ya." Menunggu sekitar satu jam setelah sampai di rumah sakit, Aludra akhirnya siap masuk ruang operasi untuk melahirkan putri kecilnya. Tak didampingi Aurora, yang datang ke rumah sakit hanya Dewa karena memang sang istri tak bisa pergi setelah kedua cucunya sigap menghadang agar sang Oma tak bisa ke mana-mana. Namun, tentu saja Aurora berjanji akan datang setelah Regan maupun Raiden berhasil dia tidurkan. Untuk Amanda dan Dirga, kedua orang tua Arka juga sedang dalam perjalanan setelah ditelepon oleh sang putra setengah jam lalu. "Doain ya, Pa." "Pasti, Ra," kata Dewa. Seumur hidup Aludra, ini adalah kali ketiga dia masuk ruang operasi. Pertama saat melahirkan Regan dan Raiden, kedua ketika mendapatkan donor dari Alula dan ketiga, sekarang—ketika dia akan melahirkan putri ketiganya. Sensasinya masih sama. Ruang operasi di setiap rumah sakit masih terasa dingin dan mungkin sedikit menyeramkan. "Kita mulai sekarang ya, Bu." "Iya, dokter."
***"Aku takut."Aludra yang sejak tadi duduk bersandar sambil mengelus perutnya seketika menoleh ketika Arka yang sejak tadi fokus mengemudi tiba-tiba saja berucap demikian."Takut apa?" tanya Aludra.Arka menoleh sekilas. "Takut kamu lahiran di jalan," ucapnya. "Usia kehamilan kamu tuh udah tiga puluh tujuh minggu, Ra. Duh ngeri kan kalau lahiran di jalan.""Ck, lebay," celetuk Aludra. "Dokter Ellina kan bilang kalau HPL aku dua minggu lagi, Mas. Santai aja kali.""Kan bisa maju.""Ya jangan maju," kata Aludra. Dia kemudian mengusap lagi perutnya yang buncit. "Jangan lahir dulu ya, Sayang. Mama mau nengok aunty dulu.""Iya Mama," ucap Arka.Hari ini, Aludra memang mengajak Arka ke Karawang untuk mengunjungi makam Alula. Tak membawa anak-anak, seperti biasa Aludra menitipkan Regan dan Raiden bersama Aurora juga Dewa yang sudah berkunjung lebih dulu kemarin ke makam Alula.Kemarin, terhitung delapan belas bulan sudah Alula pergi menghadap Sang Pencipta dan Aludra masih merasa semuany
***"Mas Arka buruan ih! Kok lama!"Sekali lagi Aludra yang sejak tadi menunggu di sofa dekat tangga berteriak memanggil Arka yang tak kunjung turun. Padahal, sudah hampir sepuluh menit dia menunggu suaminya turun."Iya sayang, iya. Sebentar," sahut Arka. Memakai pakaian santai, pria itu turun dengan sedikit tergesa-gesa di tangga. "Enggak sabaran banget kamu tuh ya.""Bawaan bayi," celetuk Aludra sambil mengusap perutnya yang buncit. Minggu ini terhitung tiga puluh minggu sudah usia kandungan Aludra."Ck, alasan aja.""Emang kenyataannya gitu.""Regan sama Raiden mana?""Ke mall sama Papa dan Mama.""Beneran jadi anak Oma sama Opa ya mereka tuh," kata Arka."Ya begitulah."Sejak hamil, itensitas Aludra mengasuh anak-anak memang berkurang karena Raiden dan Regan lebih sering dipegang oleh Aurora.Selain sudah tak asi lagi, Aludra juga tak boleh kelelahan selama hamil, sementara Regan dan Raiden yang sudah genap berusia dua tahun semakin lama semakin aktif."Ya udah kita berangkat seka
***"Ini kamu seriusan mau lahiran enggak sih?"Melihat sang istri yang nampak begitu tenang menghadapi proses kontraksi, pertanyaan tersebut akhirnya dilontarkan Damar yang sejak tadi setia duduk di samping Arsya.Kehamilannya sudah mencapai tiga puluh delapan minggu, sore tadi Arsya mengalami sedikit pendarahan. Segera dibawa menuju rumah sakit, dokte kandungan lain yang selama ini menangani Arsya mengatakan jika perempuan itu sudah mengalami bukaan.Ketika datang, Arsya baru mengalami bukaan dua dan sekarang setelah tiga jam berlalu—tepatnya pukul delapan, bukaan tersebut baru sampai ke angka lima.Masih ada lima lagi angka yang harus dilewati Arsya sebelum bukaan lengkap dan bayi yang selama ini dia kandung bisa lahir ke dunia."Emang kenapa?" Arsya yang sejak tadi sibuk mengatur napas sambil menikmati gelombang cinta yang cukup luar biasa, lantas mendongak dan menatap suaminya itu. "Tenang banget," celetuk Damar. "Di film-film tuh yang aku lihat, cewek mau lahiran itu biasanya n
***"Ini seriusan enggak nyadar apa gimana?"Aludra dan Arka mengernyit tak paham sambil memandang Arsya setelah pertanyaan tersebut dilontarkan perempuan tersebut."Maksudnya?" tanya Aludra."Enggak sadar apa?" tanya Arka."Nih." Arsya menunjukkan testpack yang beberapa menit lalu dipakai Aludra. Bukan testpack biasa, testpack yang dipakai adalah testpack digital yang bisa langsung menunjukkan usia kehamilan seorang ibu karena memang saat ini Aludra sedang mengandung."Ten weeks pregnant," gumam Aludra-mengeja tulisan pada testpack lalu Arka yang ikut membaca, spontan menerjemahkan."Hamil sepuluh minggu," ucap Arka.Untuk beberapa detik, sepasang suami istri tersebut bisa dibilang nge-bug, karena setelah membaca testpack baik Aludra maupun Arka saling diam."Kok pada diem sih?" tanya Arsya."Jadi maksudnya aku hamil?" tanya Aludra."Yes, Ra. Kamu hamil," kata Arsya. "Udah sepuluh minggu malah kehamilan kamu tuh.""Kok bisa?" tanya Arka. "Aludra kan baru telat datang bulan dua bulan
***"Mas mandinya udah belum, aku udah siapin sarapan tuh. Katanya mau meeting sama Papa?"Masuk ke kamar, pertanyaan tersebut dilontarkan Aludra pada Arka ketika suaminya itu tak terlihat di dalam kamar."Mas!""Di wc, Ra!" teriak Arka—membuat Aludra seketika terkekeh karenanya."Oh lagi nabung, oke. Aku tunggu," kata Aludra. Melangkah masuk, dia duduk di pinggir kasur lalu merentangkan tubuhnya di sana.Tak lama berselang, Aludra menoleh ketika pintu kamar mandi terbuka—menampakkan Arka yang sudah rapi dengan pakaian kantornya seperti biasa.Hampir setahun setelah kepindahannya ke Jakarta secara resmi, Arka tak lagi memegang jabatan manajer di perusahaan Dewa karena sang mertua memercayakan posisi CEO pada menantunya itu.Dan tentu saja jabatan yang dipegang Arka sekarang membuat pekerjaannya lebih sibuk dari biasa."Sakit perut aku tuh," kata Arka sambil melangkahkan kakinya mendekati Aludra yang langsung beringsut ketika Arka duduk di sampingnya."Mas. Kok kamu bau?" tanya Aludra—
***"Diem terus daritadi. Bisu ya?"Anindira menoleh ke arah Alister ketika pertanyaan tersebut dilontarkan pria itu padanya tepat setelah mereka selesai berbelanja di salah satu super market besar di kota Bandung."Enggak penting," ketus Anindira. Mendorong troli berisi belanjaan, dia berjalan menuju bagasi mobil Alister yang terparkir di bagian depan. Tanpa meminta bantuan, Anindira dengan mudah membuka bagasi lalu memasukkan beberapa kresek ke sana.Sementara Alister justru tersenyum sambil bersandar pada bagian samping mobil dengan kedua tangan yang berada di dada."Samson banget kamu tuh ya," celetuk Alister. "Penampilan anggun, tapi tenaga kaya kuli pasar.""Pulang," kata Anindira yang langsung berjalan ke sisi kiri mobil lalu masuk dan duduk di samping kursi kemudi.Sebenarnya Anindira ingin duduk di kursi belakang. Namun, sial. Semua itu tak bisa dia lakukan karena jok belakang dipenuhi beberapa pasang pakaian juga sepatu Alister yang katanya akan dipakai syuting besok pagi d
***"Akhirnya selesai juga.""Capek ya?"Damar yang baru saja menghempaskan tubuhnya ke kasur seketika menoleh—memandang Arsya yang sudah santai dengan celana joger juga sweater rajut.Rangkaian acara pernikahan—mulai dari akad hingga resepsi yang digelar hari ini akhirnya selesai, keluarga Damar dan Arsya memang menginap di salah satu vila mewah di Bandung agar privasi mereka terjaga.Rencananya besok, Damar dan Arsya pulang dari Bandung menuju bandara Soekarno hatta untuk langsung pergi berbulan madu menuju Maldives selama seminggu."Banget," kata Damar. "Gempor rasanya kaki aku berdiri berjam-jam nyalamin tamu."Arsya tersenyum lalu duduk di samping Damar. Tanpa aba-aba, dia langsung meraih lengan suaminya itu untuk memberikan sebuah pijatan."Kamu ngapain?" tanya Damar speecles. Menikahi Arsya memang rasanya seperti mimpi bagi dirinya.Selain umur Arsya yang tiga tahun lebih tua dari Damar, selama masa pacaran keduanya pun tak jarang terlibat cekcok karena perbedaan pendapat yang
***"Kok tegang ya, Ar?"Arka yang duduk tak jauh dari Damar mengukir senyuman tipis ketika ungkapan itu kembali terlontar dari mulut sahabat istrinya tersebut.Menempuh perjalanan dua jam, rombongan keluarga mempelai pria sampai di lokasi pernikahan. Tak mau membuang-buang waktu, akad nikah akan segera dilaksanakan sebelum hari menjelang siang."Bismillah," kata Arka mengingatkan."Udah, tapi tetap aja tegang," kata Damar."Tarik napas, hembuskan napas terakhir," celetuk Arka asal."Oh ok ... eh apa barusan? Hembuskan napas terakhir? Mati dong, Ar.""Bercanda.""Lagi tegang malah dibercandain.""Ya udah sih, rileks aja.""Mempelai perempuan memasuki area akad nikah."Arka dan Damar menghentikan obrolan mereka setelah suara sang pembawa acara terdengar dari pengeras suara—disusul suara gamelan yang mengiring kedatangan Arsya bersama Aludra juga Anindira.Memakai adat sunda, perempuan berwajah blasteran itu nampak cantik dengan siger juga kebaya putih yang dia pakai.Manglingi. Begitu