***"Alula, kenapa semakin hari aku semakin merasa berbeda?"Sepuluh menit berlalu, Arka tetap nyaman dengan posisinya. Berdiri di bawah guyuran shower, dia membiarkan rambut bahkan tubuhnya dibasahi air yang bahkan terasa sangat dingin di permukaan kulitnya.Ada yang berbeda. Entah ini hanya perasaan Arka saja atau apa, tapi dia merasa ada sesuatu yang mengganjal hatinya sekarang—setelah semalam melakukan hubungan yang biasa dia lakukan dengan Alula.Entah itu sensasi maupun kenikmatan yang dia rasakan, semuanya berbeda dan sialnya Arka tak terlalu menikmati kegiatannya dengan Alula semalam. Padahal, perempuan itu bermain cukup agresif—jauh berbeda dengan Aludra yang selalu terlihat polos dan membiarkan Arka menguasai dirinya."Mas, kamu masih mandi?"Arka menoleh seketika saat suara Alula terdengar dari pintu kamar mandi. Jika biasanya setelah melakukan kegiatan, Arka yang akan mandi lebih dulu besok paginya, kali ini berbeda. Alula bangun satu jam sebelum Arka bangun, bahkan perem
"Ka-Kak Arka apa kabar? Baik, kan?"Aludra mengeratkan pegangan tangannya pada ponsel yang kini dia tempelkan di samping telinga kanan. Memberikan diri untuk menanyakan kabar Arka, Aludra kini dilanda ketegangan yang sangat luar biasa.Mengingat tak terlalu sukanya Arka pada dia, Aludra takut respon yang akan diberikan Arka juga tak baik. Pria itu setia pada Alula dan tentunya Aludra takut jika Arka akan merasa risih ketika dirinya bertanya kabar. Padahal, statusnya kini hanya sekadar adik ipar untuk pria itu."Ra."Beberapa detik hening, Arka akhirnya kembali bersuara dan semua itu semakin membuat Aludra tak menentu. Gelisah, bahkan keringat dingin kini keluar dari kening Aludra.Memanfaatkan Aurora yang meminta dia menelepon Alula, Aludra memang sengaja menelepon Arka—tepatnya bukan sengaja karena memang dia tak bisa bebas menghubungi Alula.Semenjak kembali pada Arka, Alula sengaja memblokir nomor Aludra—membuat dia tak bisa bebas menelepon atau sekadar mengirim chat pada kakaknya
***"Kaya orang gila, bubur ayam aja disenyumin. Saking ramahnya kamu, emang kaya gitu ya, Ar?"Arka yang sejak tadi menyantap bubur ayam sambil tersenyum lantas mendongak ketika celetukan itu dilontarkan Aksa yang risih sendiri melihat adiknya menyantap bubur sambil tersenyum—seperti sedang melihat perempuan.Telepon dengan Aludra selesai, Arka memang memutuskan untuk langsung nenyantap buburnya tanpa melanjutkan obrolan tentang Alula karena entah kenapa setelah mengobrol dengan Aludra, suasana hatinya tiba-tiba saja membaik."Kenapa, Kak?" tanya Arka tanpa melunturkan senyumannya."Kamu kaya orang gila," celetuk Aksa. "Makan bubur sambil senyum-senyum. Ada apa emang di dalam buburnya?""Enggak ada apa-apa," kata Arka. "Lagian emang aku senyum-senyum gitu? Perasaan enggak.""Ck, enggak aja kata kamu," ujar Aksa. "Kenapa sih? Habis teleponan sama adik ipar kayanya seneng banget. Ngomong apa emang dia?""Enggak ngomong apa-apa, dia cuman kasih tahu kalau aku harus ke Jakarta sabtu depa
***"Iya, Kak. Maaf. Nanti enggak lagi-lagi.""Pokoknya Kakak enggak mau denger lagi kamu ngobrol sama Arka, sekali pun itu di telepon. Enggak suka. Kalau ada apa-apa telepon Kakak.""Nomor aku kan Kakak blokir?""Ya udah nanti teleponnya ke nomor telepon rumah, Kakak kasih.""Ya udah.""Awas ya kalau berani telepon Arka lagi. Enggak usah ganjen deh, bentar lagi kamu lamaran.""Iya, Kak."Tanpa permisi, sambungan telepon diputus secara sepihak—menyisakan raut wajah sedih yang tercetak di wajah cantik Aludra, bahkan kini raut wajahnya pun memerah—menahan keinginan untuk menangis setelah telepon tak diundang dari sang kakak tiba-tiba saja masuk ke ponselnya.Setelah sempat merasa bahagia karena tadi pagi bisa kembali mengobrol dengan Arka, siang ini Aludra kembali dibuat terluka oleh ucapan Alula yang cukup menyakitkan.Ganjen, genit, enggak tahu malu, kata-kata itu tanpa ragu dilontarkan Alula pada Aludra setelah sebelumnya dia mengomeli sang adik karena berani menelepon Arka bahkan me
***"Oke, Dam. Makasih buat informasinya dan bilangin ke Aludra maaf.""Iya, Ar. Aku harap Alula bisa bersikap lebih dewasa lagi.""Iya."Mengobrol selama beberapa menit, Arka menghembuskan napas kasar sesaat setelah sambungan telepon terputus. Duduk di kursi yang berada di pinggir kolam, Arka memandangi air biru yang terlihat begitu tenang, hingga suara bariton seorang pria terdengar."Udah teleponnya?"Arka menoleh dan mendapati Aksa datang sambil menggendong Danial. Saat ini Arka memang sedang tak di rumahnya karena setelah cekcok di pinggir kolam bersama Alula tadi, dia memutuskan untuk menenangkan diri di rumah sang Kakak untuk beberapa jam."Udah," jawab Arka."Mau apa Damar?" tanya Aksa. "Dia enggak cemburu kaya Alula juga, kan?""Enggak," jawab Arka. "Damar enggak cemburu karena yang aku bicarain sama Aludra emang bukan apa-apa. Alulanya aja yang berlebihan.""Lagian kenapa sih Alula?" tanya Aksa. "Biasanya dia enggak gitu, kan?""Enggak," jawab Arka. "Kalaupun cemburu, enggak
***"Nih, makan lagi."Damar mendesah untuk yang kesekian kalinya ketika sepotong pizza sisa Aludra diberikan padanya.Siang ini, di saat semua orang sibuk di bawah—mempersiapkan dekorasi juga yang lainnya untuk acara lamaran nanti malam, Aludra dan Damar justru duduk santai balkon kamar Aludra.Seharusnya hari ini Damar tak datang, karena nanti malam acara lamaran mereka dilaksanakan. Namun, rengekan Aludra yang tiba-tiba saja menginginkan pizza membuat Damar mau tak mau datang.Sebenarnya banyak yang bisa diminta Aludra untuk membelikannya pizza. Namun, entah kenapa Aludra hanya ingin menyantap pizza yang dibawa Damar."Kenyang, Lu," kata Damar sambil mengusap perutnya yang sudah tak tahan lagi menampung makanan, pasalnya dari satu pizza utuh yang dia bawa, Aludra hanya memakan topingnya saja dan memberikan pizza sisa dia makan untuk disantap Damar."Makan, Damar," rengek Aludra. "Kamu disuruh makan pizza aja masa enggak mau sih?""Ya karena aku kenyang, Ra. Sumpah deh aku enggak k
***"Makan yang banyak, Ar. Anggap aja rumah sendiri."Arka yang duduk di samping Alula langsung mengukir senyum tipisnya ketika ucapan tersebut dilontarkan Aurora sebelum acara makan siang mereka dimulai."Iya, Ma.""Makan yang banyak, Ar. Enggak usah malu," celetuk Damar yang langsung disahuti oleh Alula."Mas Arka punya malu, enggak kaya kamu yang gak punya malu," celetuk Alula."Udah-udah, kalian ini kalau ketemu berantem terus ya," ucap Dewa menginterupsi. "Sekali enggak berantem, bisa enggak?""Alulanya yang mulai, Om.""Ya, Damarnya nyebelin," kata Alula tak mau kalah."Udah-udah makan sana."Sementara Alula dan Damar sibuk saling menimpali ucapan juga Dewa dan Aurora bertugas melerai, atmosfer berbeda terjadi pada Arka dan Aludra.Setelah kejadian di ruang tamu tadi—tepatnya saat panggilan 'Mas' diucapkan Aludra ketika dia terbangun setelah jatuh dari sofa, entah kenapa Arka merasakan sesuatu yang berbeda.Rasanya nyaman ketika panggilan Mas itu dilontarkan Aludra padanya. Pad
***"Kenapa, Mbak?""Hah?"Aludra yang sempat oleng, seketika langsung menegakkam kembali posisi duduknya karena kini seorang MUA sedang merias wajahnya sebelum acara lamaran digelar satu jam lagi.Aludra tak enak badan. Sejak kejadian tadi siang—Alula mendorongnya ke kolam renang, Aludra langsung merasa tak beres dengan tubuhnya ditambah rasa mual yang selalu datang lebih sering dari biasanya."Mbak Rara enggak enak badan ya? Wajahnya anget gini," kata Liani—sang MUA yang selalu diberi kepercayaan oleh Aurora untuk menangani acara-acara formal keluarganya."Iya Mbak, dikit," kata Aludra. "Tapi enggak apa-apa, lanjutin aja.""Oke, Mbak."Berusaha menguatkan dirinya, Aludra bersandar pada kursi lalu diam ketika Liani kembali memoleskan makeup di wajahnya hingga setengah jam berlalu, semuanya selesai.Bukan hanya wajah, penampilan Aludra pun sudah cantik dengan kebaya juga rok batik yang dia pakai. Nantinya, rok batik tersebut akan selaras dengan kemeja batik yang dipakai Damar di pesta
*** "Semangat, Sayang. Jangan tegang ya." Menunggu sekitar satu jam setelah sampai di rumah sakit, Aludra akhirnya siap masuk ruang operasi untuk melahirkan putri kecilnya. Tak didampingi Aurora, yang datang ke rumah sakit hanya Dewa karena memang sang istri tak bisa pergi setelah kedua cucunya sigap menghadang agar sang Oma tak bisa ke mana-mana. Namun, tentu saja Aurora berjanji akan datang setelah Regan maupun Raiden berhasil dia tidurkan. Untuk Amanda dan Dirga, kedua orang tua Arka juga sedang dalam perjalanan setelah ditelepon oleh sang putra setengah jam lalu. "Doain ya, Pa." "Pasti, Ra," kata Dewa. Seumur hidup Aludra, ini adalah kali ketiga dia masuk ruang operasi. Pertama saat melahirkan Regan dan Raiden, kedua ketika mendapatkan donor dari Alula dan ketiga, sekarang—ketika dia akan melahirkan putri ketiganya. Sensasinya masih sama. Ruang operasi di setiap rumah sakit masih terasa dingin dan mungkin sedikit menyeramkan. "Kita mulai sekarang ya, Bu." "Iya, dokter."
***"Aku takut."Aludra yang sejak tadi duduk bersandar sambil mengelus perutnya seketika menoleh ketika Arka yang sejak tadi fokus mengemudi tiba-tiba saja berucap demikian."Takut apa?" tanya Aludra.Arka menoleh sekilas. "Takut kamu lahiran di jalan," ucapnya. "Usia kehamilan kamu tuh udah tiga puluh tujuh minggu, Ra. Duh ngeri kan kalau lahiran di jalan.""Ck, lebay," celetuk Aludra. "Dokter Ellina kan bilang kalau HPL aku dua minggu lagi, Mas. Santai aja kali.""Kan bisa maju.""Ya jangan maju," kata Aludra. Dia kemudian mengusap lagi perutnya yang buncit. "Jangan lahir dulu ya, Sayang. Mama mau nengok aunty dulu.""Iya Mama," ucap Arka.Hari ini, Aludra memang mengajak Arka ke Karawang untuk mengunjungi makam Alula. Tak membawa anak-anak, seperti biasa Aludra menitipkan Regan dan Raiden bersama Aurora juga Dewa yang sudah berkunjung lebih dulu kemarin ke makam Alula.Kemarin, terhitung delapan belas bulan sudah Alula pergi menghadap Sang Pencipta dan Aludra masih merasa semuany
***"Mas Arka buruan ih! Kok lama!"Sekali lagi Aludra yang sejak tadi menunggu di sofa dekat tangga berteriak memanggil Arka yang tak kunjung turun. Padahal, sudah hampir sepuluh menit dia menunggu suaminya turun."Iya sayang, iya. Sebentar," sahut Arka. Memakai pakaian santai, pria itu turun dengan sedikit tergesa-gesa di tangga. "Enggak sabaran banget kamu tuh ya.""Bawaan bayi," celetuk Aludra sambil mengusap perutnya yang buncit. Minggu ini terhitung tiga puluh minggu sudah usia kandungan Aludra."Ck, alasan aja.""Emang kenyataannya gitu.""Regan sama Raiden mana?""Ke mall sama Papa dan Mama.""Beneran jadi anak Oma sama Opa ya mereka tuh," kata Arka."Ya begitulah."Sejak hamil, itensitas Aludra mengasuh anak-anak memang berkurang karena Raiden dan Regan lebih sering dipegang oleh Aurora.Selain sudah tak asi lagi, Aludra juga tak boleh kelelahan selama hamil, sementara Regan dan Raiden yang sudah genap berusia dua tahun semakin lama semakin aktif."Ya udah kita berangkat seka
***"Ini kamu seriusan mau lahiran enggak sih?"Melihat sang istri yang nampak begitu tenang menghadapi proses kontraksi, pertanyaan tersebut akhirnya dilontarkan Damar yang sejak tadi setia duduk di samping Arsya.Kehamilannya sudah mencapai tiga puluh delapan minggu, sore tadi Arsya mengalami sedikit pendarahan. Segera dibawa menuju rumah sakit, dokte kandungan lain yang selama ini menangani Arsya mengatakan jika perempuan itu sudah mengalami bukaan.Ketika datang, Arsya baru mengalami bukaan dua dan sekarang setelah tiga jam berlalu—tepatnya pukul delapan, bukaan tersebut baru sampai ke angka lima.Masih ada lima lagi angka yang harus dilewati Arsya sebelum bukaan lengkap dan bayi yang selama ini dia kandung bisa lahir ke dunia."Emang kenapa?" Arsya yang sejak tadi sibuk mengatur napas sambil menikmati gelombang cinta yang cukup luar biasa, lantas mendongak dan menatap suaminya itu. "Tenang banget," celetuk Damar. "Di film-film tuh yang aku lihat, cewek mau lahiran itu biasanya n
***"Ini seriusan enggak nyadar apa gimana?"Aludra dan Arka mengernyit tak paham sambil memandang Arsya setelah pertanyaan tersebut dilontarkan perempuan tersebut."Maksudnya?" tanya Aludra."Enggak sadar apa?" tanya Arka."Nih." Arsya menunjukkan testpack yang beberapa menit lalu dipakai Aludra. Bukan testpack biasa, testpack yang dipakai adalah testpack digital yang bisa langsung menunjukkan usia kehamilan seorang ibu karena memang saat ini Aludra sedang mengandung."Ten weeks pregnant," gumam Aludra-mengeja tulisan pada testpack lalu Arka yang ikut membaca, spontan menerjemahkan."Hamil sepuluh minggu," ucap Arka.Untuk beberapa detik, sepasang suami istri tersebut bisa dibilang nge-bug, karena setelah membaca testpack baik Aludra maupun Arka saling diam."Kok pada diem sih?" tanya Arsya."Jadi maksudnya aku hamil?" tanya Aludra."Yes, Ra. Kamu hamil," kata Arsya. "Udah sepuluh minggu malah kehamilan kamu tuh.""Kok bisa?" tanya Arka. "Aludra kan baru telat datang bulan dua bulan
***"Mas mandinya udah belum, aku udah siapin sarapan tuh. Katanya mau meeting sama Papa?"Masuk ke kamar, pertanyaan tersebut dilontarkan Aludra pada Arka ketika suaminya itu tak terlihat di dalam kamar."Mas!""Di wc, Ra!" teriak Arka—membuat Aludra seketika terkekeh karenanya."Oh lagi nabung, oke. Aku tunggu," kata Aludra. Melangkah masuk, dia duduk di pinggir kasur lalu merentangkan tubuhnya di sana.Tak lama berselang, Aludra menoleh ketika pintu kamar mandi terbuka—menampakkan Arka yang sudah rapi dengan pakaian kantornya seperti biasa.Hampir setahun setelah kepindahannya ke Jakarta secara resmi, Arka tak lagi memegang jabatan manajer di perusahaan Dewa karena sang mertua memercayakan posisi CEO pada menantunya itu.Dan tentu saja jabatan yang dipegang Arka sekarang membuat pekerjaannya lebih sibuk dari biasa."Sakit perut aku tuh," kata Arka sambil melangkahkan kakinya mendekati Aludra yang langsung beringsut ketika Arka duduk di sampingnya."Mas. Kok kamu bau?" tanya Aludra—
***"Diem terus daritadi. Bisu ya?"Anindira menoleh ke arah Alister ketika pertanyaan tersebut dilontarkan pria itu padanya tepat setelah mereka selesai berbelanja di salah satu super market besar di kota Bandung."Enggak penting," ketus Anindira. Mendorong troli berisi belanjaan, dia berjalan menuju bagasi mobil Alister yang terparkir di bagian depan. Tanpa meminta bantuan, Anindira dengan mudah membuka bagasi lalu memasukkan beberapa kresek ke sana.Sementara Alister justru tersenyum sambil bersandar pada bagian samping mobil dengan kedua tangan yang berada di dada."Samson banget kamu tuh ya," celetuk Alister. "Penampilan anggun, tapi tenaga kaya kuli pasar.""Pulang," kata Anindira yang langsung berjalan ke sisi kiri mobil lalu masuk dan duduk di samping kursi kemudi.Sebenarnya Anindira ingin duduk di kursi belakang. Namun, sial. Semua itu tak bisa dia lakukan karena jok belakang dipenuhi beberapa pasang pakaian juga sepatu Alister yang katanya akan dipakai syuting besok pagi d
***"Akhirnya selesai juga.""Capek ya?"Damar yang baru saja menghempaskan tubuhnya ke kasur seketika menoleh—memandang Arsya yang sudah santai dengan celana joger juga sweater rajut.Rangkaian acara pernikahan—mulai dari akad hingga resepsi yang digelar hari ini akhirnya selesai, keluarga Damar dan Arsya memang menginap di salah satu vila mewah di Bandung agar privasi mereka terjaga.Rencananya besok, Damar dan Arsya pulang dari Bandung menuju bandara Soekarno hatta untuk langsung pergi berbulan madu menuju Maldives selama seminggu."Banget," kata Damar. "Gempor rasanya kaki aku berdiri berjam-jam nyalamin tamu."Arsya tersenyum lalu duduk di samping Damar. Tanpa aba-aba, dia langsung meraih lengan suaminya itu untuk memberikan sebuah pijatan."Kamu ngapain?" tanya Damar speecles. Menikahi Arsya memang rasanya seperti mimpi bagi dirinya.Selain umur Arsya yang tiga tahun lebih tua dari Damar, selama masa pacaran keduanya pun tak jarang terlibat cekcok karena perbedaan pendapat yang
***"Kok tegang ya, Ar?"Arka yang duduk tak jauh dari Damar mengukir senyuman tipis ketika ungkapan itu kembali terlontar dari mulut sahabat istrinya tersebut.Menempuh perjalanan dua jam, rombongan keluarga mempelai pria sampai di lokasi pernikahan. Tak mau membuang-buang waktu, akad nikah akan segera dilaksanakan sebelum hari menjelang siang."Bismillah," kata Arka mengingatkan."Udah, tapi tetap aja tegang," kata Damar."Tarik napas, hembuskan napas terakhir," celetuk Arka asal."Oh ok ... eh apa barusan? Hembuskan napas terakhir? Mati dong, Ar.""Bercanda.""Lagi tegang malah dibercandain.""Ya udah sih, rileks aja.""Mempelai perempuan memasuki area akad nikah."Arka dan Damar menghentikan obrolan mereka setelah suara sang pembawa acara terdengar dari pengeras suara—disusul suara gamelan yang mengiring kedatangan Arsya bersama Aludra juga Anindira.Memakai adat sunda, perempuan berwajah blasteran itu nampak cantik dengan siger juga kebaya putih yang dia pakai.Manglingi. Begitu