***"Rara udah bangun?"Aurora dan Damar yang sejak tadi duduk di kamar menemani Aurora seketika menoleh ke arah pintu ketika suara Dewa terdengar dari sana.Tak bisa langsung menemani Aludra yang pingsan, Dewa mau tak mau tetap berada di tempat acara untuk menemani para tamu hingga setelah setengah jam berlalu—setelah semua tamu termasuk keluarga Gilang pulang, Dewa baru bisa menghampiri putri bungsunya."Belum," kata Aurora gelisah. Khawatir terjadi sesuatu pada Aludra, wajah perempuan berusia lima puluh satu tahun itu sedikit memerah menahan tangis. "Aku takut Rara kenapa-kenapa, Mas.""Ya udah panggil dokter kalau gitu," kata Dewa. Namun, sebuah penolakan langsung dia dapatkan dari Damar."Jangan, Om. Enggak usah," kata Damar yang langsung membuat Dewa mengerutkan kening."Kenapa jangan? Rara pingsan udah setengah jam lho, Dam. Gimana kalau dia kenapa-kenapa? Mau tanggung jawab, kamu?" tanya Dewa."Bukan gitu maksudnya, Om. Cuman daritadi Aludra udah bilang beberapa kali ke Damar
"Damar, Aludra, siapa yang hamil?"Aludra dan Damar saling melempar tatapan untuk mencari jawaban yang paling tepat untuk pertanyaan yang baru saja dilontarkan pada keduanya."Siapa yang hamil? Emangnya siapa yang hamil, Tante?" tanya Damar—mengalihkan pembahasan. "Alula hamil? Wah selamat dong."Aurora berdecak lalu membawa sepiring mangga yang dia bawa mendekat. "Ditanya malah balik nanya," ucapnya. "Alula enggak hamil.""Terus siapa yang hamil dong, Ma?" tanya Aludra. "Anak tetangga?""Ngaco," celetuk Aurora. Duduk di pinggir kasur, dia memandang Damar dan Aludra secara bergantian. "Tadi pas masuk mama enggak sengaja dengar kalian ngomongin hamil. Sekarang Mama tanya, siapa yang hamil?""Oh itu," kata Damar. Memanfaatkan waktu untuk berpikir, dia akhirnya menemukan jawaban yang tepat agar Aurora tak curiga. "Aludra, Tante.""Hah?! Apa maksud kalian?!" tanya Aurora. "Jangan macam-macam ya!""Damar apaan sih?"Damar terkekeh. "Santai dulu, Tante," ucapnya. "Maksud Damar tuh, kita lag
***"Aludra, selalu aja dia! Apa sih hebatnya Aludra?!"Pergi dari kamar Aludra, Alula kembali menuju kamarnya lalu tanpa ragu membuka pintu dengan kasar. Menoleh, dia berdecak sebal karena ternyata Arka tak menyusulnya dan tentu saja semua itu membuat Alula emosi.Dan lagi, pelampiasannya adalah pintu kamar yang dibanting Alula setelah dirinya masuk ke dalam kamar. Duduk di pinggiran kasur, perhatiannya langsung tertuju pada ponsel yang berbunyi—tanpa notifikasi masuk.Mengambil benda pipih itu dari atas meja, Alula mengerutkan kening ketika ternyata yang masuk ke ponselnya adalah direct message di salah satu akun media sosialnya dan yang membuat Alula melebarkan pupil adalah nama si pengirim pesan.[Marvel91 : Kangen kamu, Lu. Kangen ngehabisin malam di kamar kamu, di bawah selimut. Btw, aku sama Alexa udah putus karena ternyata dia enggak serius sama aku. Balikan, yuk?]Alula menggretakam rahangnya sambil mengeratkan pegangan tangannya pada ponsel yang dia pegang. Berminggu-minggu
***"Jadi perginya udah lama?""Dari jam enam tadi, Non.""Oh oke deh."Masih merasa pusing, Aludra yang pagi ini baru bangun pukul delapan pagi kembali duduk di tangga paling bawah rumahnya setelah mendapat kabar dari salah satu pelayan tentang kepergian Aurora dan Dewa ke Bandung pagi ini.Semalam, Alula dan Arka pulang begitu saja. Meskipun mereka berkata jika tak ada apa-apa dan semuanya baik-baik saja, sebagai orang tua Aurora dan Dewa tetap khawatir dan memutuskan untuk menyusul ke Bandung untuk memastikan semuanya."Mau diambilin sesuatu Non?" tanya Tita—pelayan kesayangan Aludra yang masih berdiri menemani Aludra di dekat tangga."Hm, sebentar Mbak. Rara lagi mikir dulu," kata Aludra. Beberapa detik terdiam, dia akhirnya menginginkan sesuatu. "Mbak Tita.""Ya Non?""Ambilin garam dong, Rara lagi pengen garam. Pake piring kecil aja ya," pinta Aludra yang berhasil membuat Tita melongo."Ga-garam, Non?" tanya Tita memastikan—takut jika yang baru saja dia dengar salah. Namun, Alud
"Ini hasilnya, Damar. Kamu seneng apa sedih?"Damar menatap seksama testpack yang ditunjukan Aludra. Bukan testpack digital, dia membeli testpack biasa yang menunjukkan garis sebagai hasil."Ra.""Damar." Aludra yang cengeng, sudah berkaca-kaca, sementara Damar perlahan mengangkat tangan kanannya lalu mengambil alat tes kehamilan itu untuk memastikan jika penglihatannya tak salah dan ternyata memang benar.Dilihat dari jarak yang dekat, garis pada testpack tersebut terlihat sangat jelas. Tak hanya satu, ada dua garis berwarna merah di sana yang menandakan Aludra memang benar-benar hamil.Aludra mengandung seorang bayi, dan bayi tersebut tentunya buah cinta dia dengan Arka yang sudah cukup lama diharapkan kehadirannya."Ra, dugaanku bener, kamu emang hamil," ucap Damar pelan dan Aludra mengangguk sebagai jawaban."Iya, Damar. Aku hamil, dan bayi di perut aku anak Mas Arka," ucap Aludra. Antara senang dan sedih, itulah yang dia rasakan sekarang."Congrats, Ra," ucap Damar yang langsung
***"Awas ya, nanti siang pokoknya ke sini lagi. Jangan sampe enggak.""Iya Lula, kamu bawel banget ya."Pukul sembilan—setelah tadi pagi sekali Aurora dan Dewa datang, keduanya berpamitan. Bukan untuk pulang, Aurora dan Dewa keluar untuk menemui rekan bisnis Dewa yang kebetulan berada di Bandung.Siang nanti—sesuai permintaan Alula, rencananya mereka akan kembali datang untuk makan siang bersama, karena Arka pun akan mengundang Amanda juga Dirga untuk datang."Ya udah, mama hati-hati," kata Alula."Papa enggak?" Dewa cemburu.Alula tersenyum. "Iya, Papa juga," ucapnya.Setelah Dewa dan Aurora menaikki tangga menuju mobil mereka yang terparkir di atas, Alula segera menutup pintu dan di waktu yang bersamaan dia teringat sesuatu."Mas Arka," gumam Alula. Mempercepat langkahnya, Alula berjalan menuju tangga lalu naik ke atas untuk menemui Arka yang kebetulan sedang berada di balkon atas bagian belakang rumahnya untuk mengerjakan pekerjaan kantor.Setelah semalam pulang dadakan dan sampai
***"Atas nama Bu Aludra?""Saya, dokter.""Mari ikut saya, hasilnya sudah keluar.""Iya, dokter."Mendapat panggilan dari dokter kandungan setelah hampir setengah jam menunggu hasil, Aludra menatap Damar dengan raut wajah yang tegang."Damar aku tegang," kata Aludra. "Gimana kalau hasil tesnya negatid dan ternyata aku enggak hamil?""Enggak mungkin, Ra. Tadi kan pas pake testpack di sini garisnya sama dua, masa negatif?" tanya Damar."Ya kali aja tespacknya error.""Kaya otak kamu?""Ih kamu!"Damar terkekeh lalu beranjak dari kursi panjang yang sejak tadi dia duduki. Mengulurkan tangan, dia membantu Aludra untuk bangu. "Ayo, kita butuh hasil itu buat yakinin Arka," ucapnya."Bismillah ya," kata Aludra ketika tangannya meraih uluran tangan Damar lalu beranjak dan setelah itu dia juga Damar melangkah menuju ruangan dokter Friska—obgyn yang menangani Aludra. "Menjelang siang dokter."Dokter Friska yang baru saja membuka hasil pemeriksaan Aludra lantas mendongak lalu mengukir senyumanny
***"Gak bosen kamu diemin aku, Mas?"Arka tak mengindahkan pertanyaan Alula karena kini dia hanya fokus pada koran yang sedang dia baca, sementara sejak tadi Alula sibuk memasak dengan Bi Minah untuk makan siang keluarga karena memang jam sudah menunjukkan pukul setengah dua belas dan makan siang akan digelar pukul dua belas nanti.Sejak kejadian tak mengenakkan tadi bersama Aksa, untuk yang kesekian kalinya Arka memang mendiamkan Alula. Dia memang harus mencintai istrinya, tapi Arka pun tak suka ketika Aksa—kakak yang paling dia sayang juga hormati diperlakukan tak baik oleh Alula."Mas, kamu denger aku ngomong enggak sih?" tanya Alula kesal ketika pertanyaannya tak dijawab dan dirinya yang berdiri di samping Arka pun diabaikan oleh pria itu. "Punya mulut enggak? Jawab dong."Arka memutar bola matanya malas lalu melipat koran yang sejak tadi dia baca. Masih dengan raut wajah kesal, dia memandang Alula yang berdiri di dekatnya. "Punya sopan santun enggak?" tanyanya. "Bisa sopan sedik