***"Oke, Dam. Makasih buat informasinya dan bilangin ke Aludra maaf.""Iya, Ar. Aku harap Alula bisa bersikap lebih dewasa lagi.""Iya."Mengobrol selama beberapa menit, Arka menghembuskan napas kasar sesaat setelah sambungan telepon terputus. Duduk di kursi yang berada di pinggir kolam, Arka memandangi air biru yang terlihat begitu tenang, hingga suara bariton seorang pria terdengar."Udah teleponnya?"Arka menoleh dan mendapati Aksa datang sambil menggendong Danial. Saat ini Arka memang sedang tak di rumahnya karena setelah cekcok di pinggir kolam bersama Alula tadi, dia memutuskan untuk menenangkan diri di rumah sang Kakak untuk beberapa jam."Udah," jawab Arka."Mau apa Damar?" tanya Aksa. "Dia enggak cemburu kaya Alula juga, kan?""Enggak," jawab Arka. "Damar enggak cemburu karena yang aku bicarain sama Aludra emang bukan apa-apa. Alulanya aja yang berlebihan.""Lagian kenapa sih Alula?" tanya Aksa. "Biasanya dia enggak gitu, kan?""Enggak," jawab Arka. "Kalaupun cemburu, enggak
***"Nih, makan lagi."Damar mendesah untuk yang kesekian kalinya ketika sepotong pizza sisa Aludra diberikan padanya.Siang ini, di saat semua orang sibuk di bawah—mempersiapkan dekorasi juga yang lainnya untuk acara lamaran nanti malam, Aludra dan Damar justru duduk santai balkon kamar Aludra.Seharusnya hari ini Damar tak datang, karena nanti malam acara lamaran mereka dilaksanakan. Namun, rengekan Aludra yang tiba-tiba saja menginginkan pizza membuat Damar mau tak mau datang.Sebenarnya banyak yang bisa diminta Aludra untuk membelikannya pizza. Namun, entah kenapa Aludra hanya ingin menyantap pizza yang dibawa Damar."Kenyang, Lu," kata Damar sambil mengusap perutnya yang sudah tak tahan lagi menampung makanan, pasalnya dari satu pizza utuh yang dia bawa, Aludra hanya memakan topingnya saja dan memberikan pizza sisa dia makan untuk disantap Damar."Makan, Damar," rengek Aludra. "Kamu disuruh makan pizza aja masa enggak mau sih?""Ya karena aku kenyang, Ra. Sumpah deh aku enggak k
***"Makan yang banyak, Ar. Anggap aja rumah sendiri."Arka yang duduk di samping Alula langsung mengukir senyum tipisnya ketika ucapan tersebut dilontarkan Aurora sebelum acara makan siang mereka dimulai."Iya, Ma.""Makan yang banyak, Ar. Enggak usah malu," celetuk Damar yang langsung disahuti oleh Alula."Mas Arka punya malu, enggak kaya kamu yang gak punya malu," celetuk Alula."Udah-udah, kalian ini kalau ketemu berantem terus ya," ucap Dewa menginterupsi. "Sekali enggak berantem, bisa enggak?""Alulanya yang mulai, Om.""Ya, Damarnya nyebelin," kata Alula tak mau kalah."Udah-udah makan sana."Sementara Alula dan Damar sibuk saling menimpali ucapan juga Dewa dan Aurora bertugas melerai, atmosfer berbeda terjadi pada Arka dan Aludra.Setelah kejadian di ruang tamu tadi—tepatnya saat panggilan 'Mas' diucapkan Aludra ketika dia terbangun setelah jatuh dari sofa, entah kenapa Arka merasakan sesuatu yang berbeda.Rasanya nyaman ketika panggilan Mas itu dilontarkan Aludra padanya. Pad
***"Kenapa, Mbak?""Hah?"Aludra yang sempat oleng, seketika langsung menegakkam kembali posisi duduknya karena kini seorang MUA sedang merias wajahnya sebelum acara lamaran digelar satu jam lagi.Aludra tak enak badan. Sejak kejadian tadi siang—Alula mendorongnya ke kolam renang, Aludra langsung merasa tak beres dengan tubuhnya ditambah rasa mual yang selalu datang lebih sering dari biasanya."Mbak Rara enggak enak badan ya? Wajahnya anget gini," kata Liani—sang MUA yang selalu diberi kepercayaan oleh Aurora untuk menangani acara-acara formal keluarganya."Iya Mbak, dikit," kata Aludra. "Tapi enggak apa-apa, lanjutin aja.""Oke, Mbak."Berusaha menguatkan dirinya, Aludra bersandar pada kursi lalu diam ketika Liani kembali memoleskan makeup di wajahnya hingga setengah jam berlalu, semuanya selesai.Bukan hanya wajah, penampilan Aludra pun sudah cantik dengan kebaya juga rok batik yang dia pakai. Nantinya, rok batik tersebut akan selaras dengan kemeja batik yang dipakai Damar di pesta
***"Rara udah bangun?"Aurora dan Damar yang sejak tadi duduk di kamar menemani Aurora seketika menoleh ke arah pintu ketika suara Dewa terdengar dari sana.Tak bisa langsung menemani Aludra yang pingsan, Dewa mau tak mau tetap berada di tempat acara untuk menemani para tamu hingga setelah setengah jam berlalu—setelah semua tamu termasuk keluarga Gilang pulang, Dewa baru bisa menghampiri putri bungsunya."Belum," kata Aurora gelisah. Khawatir terjadi sesuatu pada Aludra, wajah perempuan berusia lima puluh satu tahun itu sedikit memerah menahan tangis. "Aku takut Rara kenapa-kenapa, Mas.""Ya udah panggil dokter kalau gitu," kata Dewa. Namun, sebuah penolakan langsung dia dapatkan dari Damar."Jangan, Om. Enggak usah," kata Damar yang langsung membuat Dewa mengerutkan kening."Kenapa jangan? Rara pingsan udah setengah jam lho, Dam. Gimana kalau dia kenapa-kenapa? Mau tanggung jawab, kamu?" tanya Dewa."Bukan gitu maksudnya, Om. Cuman daritadi Aludra udah bilang beberapa kali ke Damar
"Damar, Aludra, siapa yang hamil?"Aludra dan Damar saling melempar tatapan untuk mencari jawaban yang paling tepat untuk pertanyaan yang baru saja dilontarkan pada keduanya."Siapa yang hamil? Emangnya siapa yang hamil, Tante?" tanya Damar—mengalihkan pembahasan. "Alula hamil? Wah selamat dong."Aurora berdecak lalu membawa sepiring mangga yang dia bawa mendekat. "Ditanya malah balik nanya," ucapnya. "Alula enggak hamil.""Terus siapa yang hamil dong, Ma?" tanya Aludra. "Anak tetangga?""Ngaco," celetuk Aurora. Duduk di pinggir kasur, dia memandang Damar dan Aludra secara bergantian. "Tadi pas masuk mama enggak sengaja dengar kalian ngomongin hamil. Sekarang Mama tanya, siapa yang hamil?""Oh itu," kata Damar. Memanfaatkan waktu untuk berpikir, dia akhirnya menemukan jawaban yang tepat agar Aurora tak curiga. "Aludra, Tante.""Hah?! Apa maksud kalian?!" tanya Aurora. "Jangan macam-macam ya!""Damar apaan sih?"Damar terkekeh. "Santai dulu, Tante," ucapnya. "Maksud Damar tuh, kita lag
***"Aludra, selalu aja dia! Apa sih hebatnya Aludra?!"Pergi dari kamar Aludra, Alula kembali menuju kamarnya lalu tanpa ragu membuka pintu dengan kasar. Menoleh, dia berdecak sebal karena ternyata Arka tak menyusulnya dan tentu saja semua itu membuat Alula emosi.Dan lagi, pelampiasannya adalah pintu kamar yang dibanting Alula setelah dirinya masuk ke dalam kamar. Duduk di pinggiran kasur, perhatiannya langsung tertuju pada ponsel yang berbunyi—tanpa notifikasi masuk.Mengambil benda pipih itu dari atas meja, Alula mengerutkan kening ketika ternyata yang masuk ke ponselnya adalah direct message di salah satu akun media sosialnya dan yang membuat Alula melebarkan pupil adalah nama si pengirim pesan.[Marvel91 : Kangen kamu, Lu. Kangen ngehabisin malam di kamar kamu, di bawah selimut. Btw, aku sama Alexa udah putus karena ternyata dia enggak serius sama aku. Balikan, yuk?]Alula menggretakam rahangnya sambil mengeratkan pegangan tangannya pada ponsel yang dia pegang. Berminggu-minggu
***"Jadi perginya udah lama?""Dari jam enam tadi, Non.""Oh oke deh."Masih merasa pusing, Aludra yang pagi ini baru bangun pukul delapan pagi kembali duduk di tangga paling bawah rumahnya setelah mendapat kabar dari salah satu pelayan tentang kepergian Aurora dan Dewa ke Bandung pagi ini.Semalam, Alula dan Arka pulang begitu saja. Meskipun mereka berkata jika tak ada apa-apa dan semuanya baik-baik saja, sebagai orang tua Aurora dan Dewa tetap khawatir dan memutuskan untuk menyusul ke Bandung untuk memastikan semuanya."Mau diambilin sesuatu Non?" tanya Tita—pelayan kesayangan Aludra yang masih berdiri menemani Aludra di dekat tangga."Hm, sebentar Mbak. Rara lagi mikir dulu," kata Aludra. Beberapa detik terdiam, dia akhirnya menginginkan sesuatu. "Mbak Tita.""Ya Non?""Ambilin garam dong, Rara lagi pengen garam. Pake piring kecil aja ya," pinta Aludra yang berhasil membuat Tita melongo."Ga-garam, Non?" tanya Tita memastikan—takut jika yang baru saja dia dengar salah. Namun, Alud