***"Apa aja yang kamu kembaliin sama Alula?"Aludra menoleh ketika pertanyaan tersebut dilontarkan Damar. Saat ini—setelah menenangkan perasaan sakitnya, Aludra langsung mengajak Damar pulang dan sekarang keduanya sedang beristirahat di rest area kawasan Purwakarta."Maksudnya?""Ya selain Arka dan cincin pernikahan, apa aja yang kamu kasih ke Alula?" tanya Damar."Sim card sama catatan aja," kata Aludra."Catatan?" Damar menaikkan sebelah alisnya, sementara Aludra yang kini menyantap bakso untuk makan siang mengangguk pelan. "Catatan apa?"Masih di sisa-sisa sakit yang dia rasakan, Aludra tersenyum tipis. "Apa yang disukai sama apa yang enggak disukai Mas Arka, terus kegiatan yang harus aku lakuin pas ada Mas Arka dan nama-nama orang yang aku kenal di sana. Selebihnya, nanti Kak Lula hubungin aku kalau ada apa-apa.""Aludra," gumam Damar sambil menggeleng pelan—tak habis pikir dengan sikap baik dan tulusnya perempuan di depannya itu, setelah semua yang dilakukan Alula."Kenapa?""Ha
***"Eh sosis bakar, Alula pasti suka."Di sela-sela kegiatan menyetirnya, Arka mengukir senyuman tipis ketika secara tak sengaja dia melihat kedai sosis bakar di pinggir jalan dan tentu saja ingatannya langsung tertuju pada Aludra yang sangat menyukai makanan tersebut.Arka yang hari ini baru pulang kantor pukul tujuh malam akhirnya memutuskan untuk meminggirkan mobil sebentar lalu turun untuk memesan sosis bakar untuk Aludra yang nyatanya kini sudah sampai di Jakarta bersama Damar."Dua yang agak gede ya, Mas.""Oh siap."Duduk menunggu di sebuah bangku yang tersedia, sosis pesanan Arka jadi dalam waktu sepuluh menit saja. Sesuai selera Aludra, sosis tersebut polos tanpa mayonaise apalagi saos karena memang Aludra tak suka pedas."Lulu pasti seneng aku bawain sosis," gumam Arka sambil mengukir senyumannya ketika mobil yang dia kendarai mulai melaju menyusuri jalanan pulang menuju komplek perumahan.Pukul setengah delapan, mobil Arka sampai di depan garasi. Seperti biasa, dia menekan
***"Enggak masuk dulu?""Enggak kayanya, Ra. Aku harus langsung pulang, banyak kerjaan yang ketunda soalnya. Diomelin Papa nanti.""Oh ya udah, hati-hati di jalan kalau mau pulang.""Pasti, kamu istirahat ya.""Iya."Setelah melambaikan tangan, mobil sedan hitam yang dikendarai Damar melaju meninggalkan Aludra yang masih berdiri di depan gerbang besar rumahnya.Seminggu sudah Aludra kembali ke kehidupan lamanya sebagai Aludra, seminggu pula dia tak bertemu atau bahkan berkomunikasi dengan Arka.Lupa? Tentu saja tidak. Melupakan Arka—atau lebih tepatnya melupakan perasaannya pada Arka nyatanya tak semudah membalikkan telapak tangan karena setiap malam—tepatnya sebelum tidur, Aludra selalu dilanda kerinduan yang mendalam ketika melihat bagian kasurnya kosong.Padahal biasanya setiap Aludra membaringkan tubuh di kasur, selalu ada Arka di sampingnya.Ah, apa kabar pria itu? Apa Arka sudah lebih nyaman bersama Alula yang asli, sekarang? Jawabannya pasti. Dari segi apapun, Alula selalu leb
***"Mas Arka, aku kangen kamu."Arka refleks membuka matanya ketika suara itu terdengar lembut di telinganya. Memandang langit-langit kamar, Arka mengerjapkan matanya beberapa kali lalu teringat akan sesuatu."Alula," gumam Arka pelan. Menoleh ke sebelah kiri, dia cukup terkejut ketika tak mendapati sang istri di sana. Padahal, tadi mereka sama-sama pergi tidur tepat pukul sembilan. "Lu."Beringsut, Arka mengubah posisinya menjadi duduk lalu mengedarkan pandangan untuk mencari keberadaan Alula yang sepertinya tak ada di kamar."Alula, kamu di mana?" tanya Arka saat dia akhirnya beranjak. Berjalan menuju kamar mandi, dia membuka pintu lalu melongokan kepalanya. Namun, Alula juga tak ada di dalam di sana—membuat Arka sedikit panik karenanya."Alula ke mana sih?" tanya Arka.Tak kunjung menemukan Alula di kamar, Arka akhirnya membuka pintu lalu keluar. Berjalan menuruni tangga, dia melangkahkan kaki menuju dapur setelah melihat lampu menyala di ruangan tersebut."Lu, kamu di mana?" pang
***"Alula, kenapa semakin hari aku semakin merasa berbeda?"Sepuluh menit berlalu, Arka tetap nyaman dengan posisinya. Berdiri di bawah guyuran shower, dia membiarkan rambut bahkan tubuhnya dibasahi air yang bahkan terasa sangat dingin di permukaan kulitnya.Ada yang berbeda. Entah ini hanya perasaan Arka saja atau apa, tapi dia merasa ada sesuatu yang mengganjal hatinya sekarang—setelah semalam melakukan hubungan yang biasa dia lakukan dengan Alula.Entah itu sensasi maupun kenikmatan yang dia rasakan, semuanya berbeda dan sialnya Arka tak terlalu menikmati kegiatannya dengan Alula semalam. Padahal, perempuan itu bermain cukup agresif—jauh berbeda dengan Aludra yang selalu terlihat polos dan membiarkan Arka menguasai dirinya."Mas, kamu masih mandi?"Arka menoleh seketika saat suara Alula terdengar dari pintu kamar mandi. Jika biasanya setelah melakukan kegiatan, Arka yang akan mandi lebih dulu besok paginya, kali ini berbeda. Alula bangun satu jam sebelum Arka bangun, bahkan perem
"Ka-Kak Arka apa kabar? Baik, kan?"Aludra mengeratkan pegangan tangannya pada ponsel yang kini dia tempelkan di samping telinga kanan. Memberikan diri untuk menanyakan kabar Arka, Aludra kini dilanda ketegangan yang sangat luar biasa.Mengingat tak terlalu sukanya Arka pada dia, Aludra takut respon yang akan diberikan Arka juga tak baik. Pria itu setia pada Alula dan tentunya Aludra takut jika Arka akan merasa risih ketika dirinya bertanya kabar. Padahal, statusnya kini hanya sekadar adik ipar untuk pria itu."Ra."Beberapa detik hening, Arka akhirnya kembali bersuara dan semua itu semakin membuat Aludra tak menentu. Gelisah, bahkan keringat dingin kini keluar dari kening Aludra.Memanfaatkan Aurora yang meminta dia menelepon Alula, Aludra memang sengaja menelepon Arka—tepatnya bukan sengaja karena memang dia tak bisa bebas menghubungi Alula.Semenjak kembali pada Arka, Alula sengaja memblokir nomor Aludra—membuat dia tak bisa bebas menelepon atau sekadar mengirim chat pada kakaknya
***"Kaya orang gila, bubur ayam aja disenyumin. Saking ramahnya kamu, emang kaya gitu ya, Ar?"Arka yang sejak tadi menyantap bubur ayam sambil tersenyum lantas mendongak ketika celetukan itu dilontarkan Aksa yang risih sendiri melihat adiknya menyantap bubur sambil tersenyum—seperti sedang melihat perempuan.Telepon dengan Aludra selesai, Arka memang memutuskan untuk langsung nenyantap buburnya tanpa melanjutkan obrolan tentang Alula karena entah kenapa setelah mengobrol dengan Aludra, suasana hatinya tiba-tiba saja membaik."Kenapa, Kak?" tanya Arka tanpa melunturkan senyumannya."Kamu kaya orang gila," celetuk Aksa. "Makan bubur sambil senyum-senyum. Ada apa emang di dalam buburnya?""Enggak ada apa-apa," kata Arka. "Lagian emang aku senyum-senyum gitu? Perasaan enggak.""Ck, enggak aja kata kamu," ujar Aksa. "Kenapa sih? Habis teleponan sama adik ipar kayanya seneng banget. Ngomong apa emang dia?""Enggak ngomong apa-apa, dia cuman kasih tahu kalau aku harus ke Jakarta sabtu depa
***"Iya, Kak. Maaf. Nanti enggak lagi-lagi.""Pokoknya Kakak enggak mau denger lagi kamu ngobrol sama Arka, sekali pun itu di telepon. Enggak suka. Kalau ada apa-apa telepon Kakak.""Nomor aku kan Kakak blokir?""Ya udah nanti teleponnya ke nomor telepon rumah, Kakak kasih.""Ya udah.""Awas ya kalau berani telepon Arka lagi. Enggak usah ganjen deh, bentar lagi kamu lamaran.""Iya, Kak."Tanpa permisi, sambungan telepon diputus secara sepihak—menyisakan raut wajah sedih yang tercetak di wajah cantik Aludra, bahkan kini raut wajahnya pun memerah—menahan keinginan untuk menangis setelah telepon tak diundang dari sang kakak tiba-tiba saja masuk ke ponselnya.Setelah sempat merasa bahagia karena tadi pagi bisa kembali mengobrol dengan Arka, siang ini Aludra kembali dibuat terluka oleh ucapan Alula yang cukup menyakitkan.Ganjen, genit, enggak tahu malu, kata-kata itu tanpa ragu dilontarkan Alula pada Aludra setelah sebelumnya dia mengomeli sang adik karena berani menelepon Arka bahkan me