***"Hati-hati di jalan, Mas.""Kamu juga di rumah hati-hati.""Kenapa?"Aludra menaikkan sebelah alisnya ketika ucapan tersebut dilontarkan Arka. Padahal dirinya merasa tak ada bahaya di rumah ataupun semacamnya. Kenapa harus hati-hati.""Apanya yang kenapa?" tanya Arka."Kamu kenapa nyuruh aku hati-hati. Aku kan enggak akan ke mana-mana," kata Aludra. "Seharian ini aku mau di rumah.""Kamu pikir aku enggak perhatiin?" tanya Arka. "Dari tadi pagi kayanya kamu banyak ngelamun. Makanya aku suruh kamu hati-hati. Kali aja batu dimakan karena ngelamun.""Enggak gitu juga, Mas.""Lagian kenapa sih?" tanya Arka. "Ada yang kamu pikirin? Kalau ada, bilang sama aku. Biar aku kasih solusinya. Jangan tertutup sama suami sendiri dan jangan lupa kalau aku suka orang yang jujur.""Enggak ada apa-apa," kata Aludra. Sambil memandang Arka, otaknya kembali memikirkan alasan penguat agar Arka tak curiga apapun. "Aku cuman lagi kepikiran ucapan Mama.""Yang mana?""Katanya kalau pernah pake kontrasepsi,
***"Untuk memperbaiki gizi Arka. Aku yakin selama hidup sama kamu, makananya enggak terlalu terjamin karena kemampuan masak kamu noob banget. Jadi aku sengaja buatin makanan buat dia.""Aku enggak mau suami aku kekurangan gizi karena kamu."Sekali lagi Aludra menghela napas ketika satu-persatu kotak makan susun berisi makanan dia buka.Semuanya dari Alula. Pagi tadi dengan angkuhnya perempuan itu berkunjung ke rumah Aludra sambil membawa makanan yang dia bilang dibuat sendiri spesial untuk Arka.Meskipun tinggal di hotel, Alula bisa memasak sendiri untuk Arka setelah meminta izin dan tentunya membayar lebih pada pihak restoran di hotel dan voila! Tiga menu sekaligus kini tersaji di depan Aludra."Non Aludranya udah pulang ya, Non?"Suara Bi Minah terdengar dari belakang, Aludra menoleh. Sejak kedatangan Alula pukul setengah sembilan tadi, Bi Minah memang sibuk di lantai dua—menyetrika semua cucian yang sudah kering sejak kemarin, sementara Pak Maman sepertinya jalan-jalan di sekitr k
***"Mama kecewa sama kamu, Aludra!""Papa enggak nyangka kamu tega rebut Arka dari Alula. Papa benci sama kamu!""Udah aku bilang kamu itu jahat, Aludra!""Kita semua benci kamu, Aludra! Benci!""Enggak ... aku enggak rebut Mas Arka ... Mama sama Papa enggak, Rara enggak rebut Mas Arka, Ma. Enggak!"Aludra terperanjat dari tidurnya yang nyenyak dengan deru napas yang tak beraturan, sementara keringat kini membasahi wajahnya.Mimpi buruk. Di tengah malam yang sunyi, sebuah mimpi buruk menyambangi bahkan mengganggu tidur Aludra hingga gadis itu mau tak mau terbangun paksa dengan perasaan gelisah—bahkan panik.Semuanya terasa begitu nyata dan semua itu membuat Aludra takut."Mama, Papa," gumam Aludra pelan. Melirik ke arah kiri, dia kembali dibuat terkejut karena Arka tak ada di sampingnya. Padahal, Aludra masih ingat jika tadi dia tidur dalam pelukan pria itu."Capek," ucap Aludra pelan, sambil memegangi dadanya yang tiba-tiba saja terasa sesak ketika mimpi yang baru saja dia alami mel
***"Asin, kan?""Hihi, dikit."Arka meringis sambil tersenyum sesaat setelah dia menyuapkan sesendok nasi goreng yang baru saja dibuat Aludra pagi ini untuk sarapannya.Terlalu banyak beban pikiran, Aludra melamun pagi ini. Membuat nasi goreng untuk satu porsi, dia justru memasukkan satu sendok garam. Padahal, biasanya hanya perlu setengah atau bahkan seperempat sendok saja.Aludra sudah berniat untuk membuang nasi goreng tak layak tersebut, tapi Arka yang cukup disiplin dalam masalah makanan tentu saja melarang Aludra melakukan semua itu dan pada akhirnya dia memutuskan untuk tetap menyantap nasi goreng asin karya Aludra."Makanya enggak usah dimakan, biar aku buat baru aja ya," kata Aludra. Duduk di depan Arka, dia beranjak lalu berniat mengambil piring nasi goreng tersebut. Namun, dengan segera Arka menggelengkan kepalanya sambil memegangi erat piring nasi gorengnya."Enggak, Lu. Enggak usah," kata Arka. "Ini enggak terlalu asin kok. Nih ya, aku makan lagi."Untuk yang kedua kalin
***"Ini berkasnya, langsung kasih ke Papa aja. Kakak tadi udah chat.""Oh oke, siap."Duduk di ruang tengah, Arka mengambil alih sebuah berkas bermap merah yang diberikan Aksa padanya lalu membaca sekilas isi dari berkas kerjasama perusahaan Dirga juga perusahaan Alexander grup yang dipegang Aksa.Pagi-pagi yang menggagalkan momen kiss diantara Arka dan Aludra tentu saja Aksa. Seolah Tuhan sedang membalikkan keadaan, Aksa yang dulu sering diganggu momen romantisnya oleh Arka, berganti menjadi pengganggu momen romantis yang selalu hampir terjadi diantara Arka dan Aludra."Kenapa enggak datang langsung ke kantor Papa, Kak?" tanya Aludra penasaran."Sibuk banget, Ra. Ini aja lagi hectic banget," kata Aksa. "Ananta aja sering ngomel di rumah karena beberapa hari ini Kakak lembur terus.""Owalah gitu ya," kata Aludra paham."Deuh." Arka tiba-tiba saja memegangi perutnya yang tiba-tiba saja mulas—membuat Aludra juga Aksa kini mengalihkan perhatian padanya."Kenapa, Mas?""Mules," kata Arka
***"Thank you for everything."Mengukir senyuman tipis, Aludra memandang rumah di depannya ini dengan raut wajah yang sulit diartikan.Empat bulan lebih tinggal di rumah tersebut membuat banyak momen baik itu sedih maupun senang dilalui Aludra bersama Arka. Ada tawa, ada tangis, semuanya tersimpan rapi di dalam pikiran Aludra dan tak akan pernah dia lupakan sampai kapanpun.Hari ini mungkin dia pergi, tapi tak munafik. Di dalam hati Aludra dia berharap bisa kembali ke rumah ini dengan status yang lebih baik."Non, mau berangkat sekarang?"Aludra sedikit tersentak. Dia yang sejak tadi berdiri di tangga depan rumah lantas menoleh ketika Pak Maman yang sejak tadi memanaskan mobil, memanggilnya."Eh, Pak. Udah manasin mobilnya?" tanya Aludra."Udah non," ucap Pak Maman."Oh oke," ucap Aludra. Setelahnya dia menaikki satu-persatu undakkan tangga lalu sampai di dekat Range Rover putih Arka yang sudah keluar dari garasi untuk mengantarnya menemui Alula."Masuk, Non," kata Pak Maman sambil m
***"Masuk."Damar hanya tersenyum tipis ketika seorang perempuan kini membukakan pintu kamar hotel untuknya. Melangkahkan kakinya masuk, dia menghempaskan tubuhnya begitu saja di atas kasur dengan posisi telungkup."Damar itu baru diberesin!"Mengukir senyum, Damar membalikkan badannya lalu tersenyum dengan wajah tanpa dosa."Galak banget sih, Lu? Kan kita mau pulang. Biarin aja berantakan.""Ya tetep aja enggak enak dilihatnya, Damar.""Oke-oke," kata Damar. Dia kemudian beringsut lalu duduk di pinggir kasur—memandang sahabatnya kini yang sudah rapi dan cantik dengan dress yang dia pakai. "Jadi pulang sekarang?""Jadi.""Sadar juga," celetuk Damar."Sadar apa?""Iya, kamu akhirnya sadar juga dan enggak ganggu Aludra lagi," kata Damar. "Gitu dong, biarin Aludra bahagia sesekali. Dia terus yang ngalah.""Dam.""Ya?" Damar menaikkan sebelah alisnya."Kamu sayang banget sama Aludra, ya?""Tanya itu mulu perasaan," protes Damar bosan. "Kan udah aku jawab berulang kali. Cinta, Lu. Aku cin
***"Apa aja yang kamu kembaliin sama Alula?"Aludra menoleh ketika pertanyaan tersebut dilontarkan Damar. Saat ini—setelah menenangkan perasaan sakitnya, Aludra langsung mengajak Damar pulang dan sekarang keduanya sedang beristirahat di rest area kawasan Purwakarta."Maksudnya?""Ya selain Arka dan cincin pernikahan, apa aja yang kamu kasih ke Alula?" tanya Damar."Sim card sama catatan aja," kata Aludra."Catatan?" Damar menaikkan sebelah alisnya, sementara Aludra yang kini menyantap bakso untuk makan siang mengangguk pelan. "Catatan apa?"Masih di sisa-sisa sakit yang dia rasakan, Aludra tersenyum tipis. "Apa yang disukai sama apa yang enggak disukai Mas Arka, terus kegiatan yang harus aku lakuin pas ada Mas Arka dan nama-nama orang yang aku kenal di sana. Selebihnya, nanti Kak Lula hubungin aku kalau ada apa-apa.""Aludra," gumam Damar sambil menggeleng pelan—tak habis pikir dengan sikap baik dan tulusnya perempuan di depannya itu, setelah semua yang dilakukan Alula."Kenapa?""Ha
*** "Semangat, Sayang. Jangan tegang ya." Menunggu sekitar satu jam setelah sampai di rumah sakit, Aludra akhirnya siap masuk ruang operasi untuk melahirkan putri kecilnya. Tak didampingi Aurora, yang datang ke rumah sakit hanya Dewa karena memang sang istri tak bisa pergi setelah kedua cucunya sigap menghadang agar sang Oma tak bisa ke mana-mana. Namun, tentu saja Aurora berjanji akan datang setelah Regan maupun Raiden berhasil dia tidurkan. Untuk Amanda dan Dirga, kedua orang tua Arka juga sedang dalam perjalanan setelah ditelepon oleh sang putra setengah jam lalu. "Doain ya, Pa." "Pasti, Ra," kata Dewa. Seumur hidup Aludra, ini adalah kali ketiga dia masuk ruang operasi. Pertama saat melahirkan Regan dan Raiden, kedua ketika mendapatkan donor dari Alula dan ketiga, sekarang—ketika dia akan melahirkan putri ketiganya. Sensasinya masih sama. Ruang operasi di setiap rumah sakit masih terasa dingin dan mungkin sedikit menyeramkan. "Kita mulai sekarang ya, Bu." "Iya, dokter."
***"Aku takut."Aludra yang sejak tadi duduk bersandar sambil mengelus perutnya seketika menoleh ketika Arka yang sejak tadi fokus mengemudi tiba-tiba saja berucap demikian."Takut apa?" tanya Aludra.Arka menoleh sekilas. "Takut kamu lahiran di jalan," ucapnya. "Usia kehamilan kamu tuh udah tiga puluh tujuh minggu, Ra. Duh ngeri kan kalau lahiran di jalan.""Ck, lebay," celetuk Aludra. "Dokter Ellina kan bilang kalau HPL aku dua minggu lagi, Mas. Santai aja kali.""Kan bisa maju.""Ya jangan maju," kata Aludra. Dia kemudian mengusap lagi perutnya yang buncit. "Jangan lahir dulu ya, Sayang. Mama mau nengok aunty dulu.""Iya Mama," ucap Arka.Hari ini, Aludra memang mengajak Arka ke Karawang untuk mengunjungi makam Alula. Tak membawa anak-anak, seperti biasa Aludra menitipkan Regan dan Raiden bersama Aurora juga Dewa yang sudah berkunjung lebih dulu kemarin ke makam Alula.Kemarin, terhitung delapan belas bulan sudah Alula pergi menghadap Sang Pencipta dan Aludra masih merasa semuany
***"Mas Arka buruan ih! Kok lama!"Sekali lagi Aludra yang sejak tadi menunggu di sofa dekat tangga berteriak memanggil Arka yang tak kunjung turun. Padahal, sudah hampir sepuluh menit dia menunggu suaminya turun."Iya sayang, iya. Sebentar," sahut Arka. Memakai pakaian santai, pria itu turun dengan sedikit tergesa-gesa di tangga. "Enggak sabaran banget kamu tuh ya.""Bawaan bayi," celetuk Aludra sambil mengusap perutnya yang buncit. Minggu ini terhitung tiga puluh minggu sudah usia kandungan Aludra."Ck, alasan aja.""Emang kenyataannya gitu.""Regan sama Raiden mana?""Ke mall sama Papa dan Mama.""Beneran jadi anak Oma sama Opa ya mereka tuh," kata Arka."Ya begitulah."Sejak hamil, itensitas Aludra mengasuh anak-anak memang berkurang karena Raiden dan Regan lebih sering dipegang oleh Aurora.Selain sudah tak asi lagi, Aludra juga tak boleh kelelahan selama hamil, sementara Regan dan Raiden yang sudah genap berusia dua tahun semakin lama semakin aktif."Ya udah kita berangkat seka
***"Ini kamu seriusan mau lahiran enggak sih?"Melihat sang istri yang nampak begitu tenang menghadapi proses kontraksi, pertanyaan tersebut akhirnya dilontarkan Damar yang sejak tadi setia duduk di samping Arsya.Kehamilannya sudah mencapai tiga puluh delapan minggu, sore tadi Arsya mengalami sedikit pendarahan. Segera dibawa menuju rumah sakit, dokte kandungan lain yang selama ini menangani Arsya mengatakan jika perempuan itu sudah mengalami bukaan.Ketika datang, Arsya baru mengalami bukaan dua dan sekarang setelah tiga jam berlalu—tepatnya pukul delapan, bukaan tersebut baru sampai ke angka lima.Masih ada lima lagi angka yang harus dilewati Arsya sebelum bukaan lengkap dan bayi yang selama ini dia kandung bisa lahir ke dunia."Emang kenapa?" Arsya yang sejak tadi sibuk mengatur napas sambil menikmati gelombang cinta yang cukup luar biasa, lantas mendongak dan menatap suaminya itu. "Tenang banget," celetuk Damar. "Di film-film tuh yang aku lihat, cewek mau lahiran itu biasanya n
***"Ini seriusan enggak nyadar apa gimana?"Aludra dan Arka mengernyit tak paham sambil memandang Arsya setelah pertanyaan tersebut dilontarkan perempuan tersebut."Maksudnya?" tanya Aludra."Enggak sadar apa?" tanya Arka."Nih." Arsya menunjukkan testpack yang beberapa menit lalu dipakai Aludra. Bukan testpack biasa, testpack yang dipakai adalah testpack digital yang bisa langsung menunjukkan usia kehamilan seorang ibu karena memang saat ini Aludra sedang mengandung."Ten weeks pregnant," gumam Aludra-mengeja tulisan pada testpack lalu Arka yang ikut membaca, spontan menerjemahkan."Hamil sepuluh minggu," ucap Arka.Untuk beberapa detik, sepasang suami istri tersebut bisa dibilang nge-bug, karena setelah membaca testpack baik Aludra maupun Arka saling diam."Kok pada diem sih?" tanya Arsya."Jadi maksudnya aku hamil?" tanya Aludra."Yes, Ra. Kamu hamil," kata Arsya. "Udah sepuluh minggu malah kehamilan kamu tuh.""Kok bisa?" tanya Arka. "Aludra kan baru telat datang bulan dua bulan
***"Mas mandinya udah belum, aku udah siapin sarapan tuh. Katanya mau meeting sama Papa?"Masuk ke kamar, pertanyaan tersebut dilontarkan Aludra pada Arka ketika suaminya itu tak terlihat di dalam kamar."Mas!""Di wc, Ra!" teriak Arka—membuat Aludra seketika terkekeh karenanya."Oh lagi nabung, oke. Aku tunggu," kata Aludra. Melangkah masuk, dia duduk di pinggir kasur lalu merentangkan tubuhnya di sana.Tak lama berselang, Aludra menoleh ketika pintu kamar mandi terbuka—menampakkan Arka yang sudah rapi dengan pakaian kantornya seperti biasa.Hampir setahun setelah kepindahannya ke Jakarta secara resmi, Arka tak lagi memegang jabatan manajer di perusahaan Dewa karena sang mertua memercayakan posisi CEO pada menantunya itu.Dan tentu saja jabatan yang dipegang Arka sekarang membuat pekerjaannya lebih sibuk dari biasa."Sakit perut aku tuh," kata Arka sambil melangkahkan kakinya mendekati Aludra yang langsung beringsut ketika Arka duduk di sampingnya."Mas. Kok kamu bau?" tanya Aludra—
***"Diem terus daritadi. Bisu ya?"Anindira menoleh ke arah Alister ketika pertanyaan tersebut dilontarkan pria itu padanya tepat setelah mereka selesai berbelanja di salah satu super market besar di kota Bandung."Enggak penting," ketus Anindira. Mendorong troli berisi belanjaan, dia berjalan menuju bagasi mobil Alister yang terparkir di bagian depan. Tanpa meminta bantuan, Anindira dengan mudah membuka bagasi lalu memasukkan beberapa kresek ke sana.Sementara Alister justru tersenyum sambil bersandar pada bagian samping mobil dengan kedua tangan yang berada di dada."Samson banget kamu tuh ya," celetuk Alister. "Penampilan anggun, tapi tenaga kaya kuli pasar.""Pulang," kata Anindira yang langsung berjalan ke sisi kiri mobil lalu masuk dan duduk di samping kursi kemudi.Sebenarnya Anindira ingin duduk di kursi belakang. Namun, sial. Semua itu tak bisa dia lakukan karena jok belakang dipenuhi beberapa pasang pakaian juga sepatu Alister yang katanya akan dipakai syuting besok pagi d
***"Akhirnya selesai juga.""Capek ya?"Damar yang baru saja menghempaskan tubuhnya ke kasur seketika menoleh—memandang Arsya yang sudah santai dengan celana joger juga sweater rajut.Rangkaian acara pernikahan—mulai dari akad hingga resepsi yang digelar hari ini akhirnya selesai, keluarga Damar dan Arsya memang menginap di salah satu vila mewah di Bandung agar privasi mereka terjaga.Rencananya besok, Damar dan Arsya pulang dari Bandung menuju bandara Soekarno hatta untuk langsung pergi berbulan madu menuju Maldives selama seminggu."Banget," kata Damar. "Gempor rasanya kaki aku berdiri berjam-jam nyalamin tamu."Arsya tersenyum lalu duduk di samping Damar. Tanpa aba-aba, dia langsung meraih lengan suaminya itu untuk memberikan sebuah pijatan."Kamu ngapain?" tanya Damar speecles. Menikahi Arsya memang rasanya seperti mimpi bagi dirinya.Selain umur Arsya yang tiga tahun lebih tua dari Damar, selama masa pacaran keduanya pun tak jarang terlibat cekcok karena perbedaan pendapat yang
***"Kok tegang ya, Ar?"Arka yang duduk tak jauh dari Damar mengukir senyuman tipis ketika ungkapan itu kembali terlontar dari mulut sahabat istrinya tersebut.Menempuh perjalanan dua jam, rombongan keluarga mempelai pria sampai di lokasi pernikahan. Tak mau membuang-buang waktu, akad nikah akan segera dilaksanakan sebelum hari menjelang siang."Bismillah," kata Arka mengingatkan."Udah, tapi tetap aja tegang," kata Damar."Tarik napas, hembuskan napas terakhir," celetuk Arka asal."Oh ok ... eh apa barusan? Hembuskan napas terakhir? Mati dong, Ar.""Bercanda.""Lagi tegang malah dibercandain.""Ya udah sih, rileks aja.""Mempelai perempuan memasuki area akad nikah."Arka dan Damar menghentikan obrolan mereka setelah suara sang pembawa acara terdengar dari pengeras suara—disusul suara gamelan yang mengiring kedatangan Arsya bersama Aludra juga Anindira.Memakai adat sunda, perempuan berwajah blasteran itu nampak cantik dengan siger juga kebaya putih yang dia pakai.Manglingi. Begitu