Satu bulan telah berlalu. Alan baru bisa menyempatkan diri untuk menuruti kemauan mamanya yang memintanya untuk pergi ke psikolog. Selain itu, Alan baru mendapatkan kabar yang sangat mencengangkan dari Rendy—asisten sekaligus sahabatnya itu.“Ren, kamu yakin dengan apa yang baru saja kamu katakan?”Rendy menganggukkan kepalanya. “Saya yakin, Tuan. Saya mendengarnya secara langsung saat Nona Aisa dan Nyonya Merlin sedang mengobrol di ruang tengah.”“Jadi ini alasan kenapa Mama menyuruhku untuk menikah dengan Aisa. Aisa menikah denganku karena dia sudah menandatangani perjanjian dengan Mama. Setelah Aisa berhasil menghilangkan trauma masa laluku, maka pernikahanku dengan Aisa akan berakhir?”Rendy menganggukkan kepalanya. “Iya, Tuan. Itu yang Nona Aisa bicarakan dengan Nyonya Merlin.”“Apa kamu tau dimana dokumen perjanjian itu?”“Kemungkinan besar ada di kamar Nyonya Merlin, Tuan.”Alan tidak menyangka, jika semua ini adalah rencana mamanya. Rencana menjebak Aisa dengan uang agar Aisa
Alan mengambil kembali surat perjanjian itu dari tangan Aisa, lalu merobeknya tepat di depan kedua matanya Aisa.Kedua mata Aisa membulat dengan sempurna. “Apa yang Tuan lakukan? Kenapa Tuan merobek surat perjanjian itu?” tanyanya terkejut.“Seperti yang tadi aku katakan. Aku sudah tidak membutuhkan surat perjanjian itu lagi.”Alan lalu mencengkram dagu Aisa. “Mulai sekarang, kamu bukan lagi pelayanku, tapi ... mulai malam ini dan seterusnya, kamu adalah istri Alan Ferdinan Admaja,” ucapnya penuh penekanan.Aisa membulatkan kedua matanya. “A—apa maksud kamu? i—istri?”“Ya, mulai sekarang, aku akan menganggap kamu sebagai istriku sepenuhnya. Tugas kamu hanyalah menjalankan kewajiban kamu sebagai seorang istri, bukan pelayan. Mulai malam ini, kamu akan tidur di ranjang bersama denganku.”Aisa menelan ludah, tubuhnya mulai menegang, saat jemari tangan Alan mulai membelai pipinya dengan lembut.“A—apa yang kamu lakukan?”Alan tersenyum. “Kenapa? kenapa kamu setakut itu? bukankah ini bukan
Aisa memejamkan kedua matanya saat Alan mulai menyatukan alat ucapnya. Cairan bening bahkan masih terus mengalir dari kedua sudut matanya.Aisa hanya bisa pasrah, jika malam ini adalah malam dimana dirinya harus menyerahkan semuanya kepada Alan, maka dia akan menerimanya. Bagaimanapun Alan berhak atas tubuhnya.Aisa menghirup udara sebanyak-banyaknya saat Alan melepas pagutannya, tapi kedua matanya langsung terbuka saat dia merasakan sesuatu menyentuh kulit lehernya. Ternyata kecupan Alan beralih ke leher jenjang Aisa.Sepertinya Alan akan memanfaatkan kesempatan ini untuk membuktikan kalau dirinya memang bisa melakukan apapun kepada Aisa tanpa takut akan gejala-gejala yang akan dialaminya saat kulit tubuhnya bersentuhan dengan kulit wanita lainnya.Aisa langsung mendorong tubuh Alan, membuat Alan yang tak siap langsung bergerak mundur. “Apa kamu benar-benar akan melakukannya?” tanyanya dengan suara serak karena menahan tangisannya.“Kenapa? apa kamu pikir aku hanya main-main? Kamu ga
Alan membiarkan Aisa tidur lebih lama lagi. Dia lalu melangkah keluar dari kamarnya.“Sayang, dimana istri kamu?” tanya Merlin saat melihat putra semata wayangnya hanya melangkah seorang diri menuju ruang makan.Alan menarik salah satu kursi meja makan untuk dia duduki. “Aisa masih tidur, Ma. Mungkin karena kecapekan,” sahut Alan lalu mengambil piring dan mengisinya dengan makanan.Merlin hanya mengangguk. “Nanti kalian jadi pergi ke psikolog kan?”“Iya, Mama tenang saja. Alan akan ikuti semua yang Mama katakan, karena Alan juga ingin hidup normal.” Alan mengisi piring kosongnya dengan nasi, sayur, dan lauk.“Sayang, kamu harus percaya sama Aisa, karena Mama yakin, dia pasti bisa membuat kamu seperti dulu lagi.” Merlin juga ingin anaknya bisa kembali seperti dulu lagi, hanya Aisa kini harapannya satu-satunya.“Semoga, Ma,” ucap Alan lalu memasukkan satu suapan ke dalam mulutnya.Setelah selesai makan, Alan kembali ke kamarnya dengan membawa nampan yang berisi sepiring makanan dan sege
Aisa dan Alan kini tengah berada disebuah ruangan, lebih tepatnya saat ini mereka sedang mengunjungi psikolog yang dulu menangani kasus Alan.Dokter psikolog itu menceritakan semua yang dia tau tentang kasus Alan kepada Aisa. Bahkan tidak ada yang ditutup-tutupi.Apa yang Aisa dengar, sama seperti yang mama mertuanya ceritakan padanya. Tapi, dia masih yakin, jika ada sesuatu yang Alan sembuyikan selama ini. Entah tentang kebenaran apa yang sengaja Alan tutupi dari keluarganya.“Dok, apa suami saya masih mempunyai peluang untuk sembuh?” tanya Aisa sambil menatap Alan yang saat ini juga tengah menatapnya dari jarak yang lumayan jauh.Alan memilih untuk duduk di sofa yang berada di dekat jendela ruangan itu, sedangkan Aisa saat ini tengah duduk didepan meja kerja Dokter Neysa.“Peluang itu pasti ada. Hanya bagaimana kita mau berjuang untuk sembuh dan keluar dari bayang-bayang masa lalu itu,” ucap Dokter Neysa.“Lalu, apa yang harus saya lakukan untuk bisa membuat suami saya melupakan sem
Aisa tersenyum. “Memangnya aku tidak boleh bersikap seperti ini dengan suamiku sendiri? bukankah kamu sendiri yang bilang, kalau aku adalah istrimu sekarang? Bahkan kamu sudah merobek surat perjanjian yang pernah aku tanda tangani.”“Sebelum pulang ke rumah, bagaimana kalau kita pergi jalan-jalan dulu. Anggap saja ini untuk terapi kamu,” lanjutnya.“Terserah kamu. Tapi, aku tidak yakin, kalau kamu bisa membuatku lepas dari trauma masa laluku,” ucap Alan sambil menyungingkan senyumannya.“Tidak ada salahnya mencoba. Tapi, aku harap kamu jujur sama aku, jujur tentang apa yang sebenarnya terjadi padamu di masa lalu.”“Aku sudah mengatakan semuanya. Memangnya apa yang perlu aku ceritakan lagi?” tanya Alan sambil mengernyitkan dahinya.Aisa mengedikkan kedua bahunya. “Mana aku tau, hanya kamu yang tau apa yang sebenarnya terjadi di antara kamu dan mantan kekasihmu itu.”Alan memilih untuk melangkahkan kakinya melewati lorong rumah sakit itu. Suasana sangat sepi, karena hanya ada Aisa, Alan
Aisa tetap memaksa Alan untuk berkenalan dengan Aisa kecil. Tapi, Alan tetap menolaknya dengan tegas. Bahkan penolakan Alan dan suaranya yang keras, membuat gadis itu kecil itu menangis.Aisa merasa sangat bersalah, karena telah membuat gadis itu menangis dan begitu ketakutan. Dia juga meminta maaf kepada mamanya Aisa kecil, saat mamanya sudah kembali dari toilet dan menghampiri putri kecilnya.“Sudah puas kamu membuat anak sekecil itu menangis!” seru Aisa sambil menatap tajam ke arah Alan—suaminya.Rendy hanya memantau dari jarak yang tidak begitu jauh. Baru kali ini dia melihat Alan diam tidak berkutik saat ada seseorang yang memarahinya.‘Ada apa dengan Alan? Apa dia tidak bisa menjawab setiap kata-kata yang Aisa katakan padanya?’ tanyanya dalam hati.“Bukankah kamu ingin sembuh? Lalu kenapa kamu tidak ingin mencobanya?” kini suara Aisa lebih pelan dari yang tadi.“Aku hanya ingin melakukan apa yang aku bisa. Mungkin dengan kamu mencoba berinteraksi dengan apa yang membuatmu merasa
Alan semakin hari semakin dibuat bingung oleh sikap Aisa yang benar-benar berubah 180 derajat. Bahkan sikap Aisa dalam beberapa hari ini benar-benar membuat Alan kalang kabut akan perasaannya sendiri.“Mas, kok diam? Apa Mas sedang ada masalah di kantor?” tanya Aisa sambil menyandarkan kepalanya di bahu Alan.Saat ini mereka sedang ada di kamar.“Kamu tidak perlu tau,” sahut Alan dengan nada dingin.Aisa tersenyum tipis. ‘Sabar Aisa, semua ini demi kelancaran rencana kamu. Jika kamu bisa membuat Alan sepenuhnya percaya padamu, maka kamu akan dengan mudah membujuknya untuk melakukan apapun yang kamu minta untuk kelancaran terapinya,’ gumamnya dalam hati.“Mau aku bawakan makan malamnya ke kamar?”“Tidak perlu.” Alan lalu beranjak turun dari ranjang dan melangkah keluar dari kamarnya.Aisa menghela nafas panjang. “Sampai kapan aku harus bersikap seperti ini padanya? Kenapa sulit sekali meluluhkan hatinya? Apa cara yang aku pakai masih kurang menyakinkan? Masa aku harus bersikap agresif?