**“Ini apa?”Kedua mata Karan terpancang lekat kepada kotak kecil berwarna merah yang ia temukan berada di dalam lemarinya. Alisnya berkerut sementara membolak-balik kotak beludru itu.“Ini punya Kiran, kah? Kok ada di sini, ya?”Sudah sangat jelas bahwa itu adalah kotak perhiasan. Maka dari itulah ia heran. Keheranan yang semakin bertambah setelah ia membuka kotaknya dan menemukan sepasang cincin emas dengan berlian kecil di dalam sana.“Kenapa Kiran sembunyiin kotak cincinnya di dalam lemari begini?” Karan masih memandang dengan kening berkerut kepada sepasang cincin itu. Dan seperti yang sudah-sudah, suara-suara berisik mulai mendengung, memenuhi kepalanya setelah itu.“Apa ini bukan punya Kiran? Apa ini punya orang lain?”Karan meraih kepada laci kecil di dalam lemari itu. Menemukan benda lain yang menyentuh jemarinya. Namun, sebelum ia sempat mengambil dan melihat benda apa itu, suara pintu kamar yang terbuka membuat perhatiannya teralihkan.“Mas Karan?”Sang istri berdiri di s
**Brak!"Tuhan!"Karan terlempar ke depan. Keningnya membentur setir dengan cukup keras. Selama beberapa saat, pria itu hanya bisa mendesis dan terdiam sebab rasa nyeri yang berdenyut menerpa kepalanya jauh lebih buruk daripada yang terlihat."Sial!" Ia mendesis sementara menahan kening dengan telapak tangan. "Sial! Ini sakit banget!"Karan tidak mengerti, mengapa hanya karena benturan sedikit saja, kepalanya terasa seperti terbelah dua. Pandangannya memburam sehingga ia terpaksa menepikan mobilnya ke batas trotoar."Permisi, apa anda nggak apa-apa?" Suara ketukan yang terdengar dari luar mobil, membuat Karan terpaksa mengangkat kepalanya. Seseorang berdiri di sana, dan ia mau tak mau harus menarik turun kaca jendela."Anda baik-baik saja, Pak?" Seorang pria muda menyapa dengan wajah panik. "Pak, saya minta maaf sudah motong jalur sembarangan. Anda nggak apa-apa, kan?"Oh, ini rupanya yang menyebabkan Karan harus menginjak pedal rem terlalu mendadak hingga mobilnya berdecit terhenti
**“Mas, kamu baik-baik aja? Ada yang sakit, kah?”Kiran ingin mendekat, ingin merengkuh tubuh yang masih terbaring di atas brankar itu ke dalam pelukannya. Namun, pandangan yang ia dapatkan dari sang suami membuat tubuhnya mematung di tempat, tak bisa ia gerakkan.“M-Mas?”“Kamu–”“Iya, ini aku, Mas. Kamu nggak apa-apa?” Kiran sungguh ingin mendekat, namun pandangan menuduh itu sungguh membuat kakinya bagai terpaku di atas lantai.Kening Karan berkerut dengan desis kesakitan yang membuat sang istri melupakan keraguannya seketika. Perempuan itu melompat mendekat, memegangi lengan suaminya dan berujar kembali dengan penuh rasa khawatir.“Mas, apa masih sakit? Biar aku panggil dokter sebentar, ya. Tunggu sebentar ya, Mas.”“Mi-minum ….”“Minum? Kamu mau minum?”Mengangguk lemah, Karan kembali memejamkan mata sementara menekan keningnya dengan telapak tangan. Kiran menyambar air dalam gelas di atas nakas dan memberikannya pelan-pelan kepada pria di sampingnya itu. Raut cemas luar biasa
**“Apapun asal jangan yang ini ….”Semalam suntuk, Kiran tidak bisa memejamkan mata. Rasa gelisah itu bagaikan racun yang merambati pembuluh darahnya. Membuatnya diselimuti ketakutan jika pagi datang. Sepenuhnya ia berharap bahwa semua ini hanyalah mimpi. Mimpi yang jangan pernah menjadi kenyataan.Jika nanti Karan sudah bangun dan keluar dari kamarnya, apa yang harus Kiran katakan? Apa yang harus Kiran lakukan?“Kenapa barang-barang di kamarku nggak ada semua?”Dan ternyata itu yang Karan tanyakan setelah ia keluar dari kamarnya pada pagi harinya.Kiran ingin menjawab, namun tenggorokannya seperti tercekat, tak berfungsi sebagaimana mestinya.“Kamu masuk-masuk kamarku?” tuntut pria itu lagi, membuat air mata sang istri mau tak mau kembali berderai setelah semalam sudah nyaris habis terkuras.“M-mas ….”“Sejak kapan kamu bisa keluar masuk seenaknya ke kamar aku? Bukannya kita udah punya kamar masing-masing? Dan aku kan cuma bertanya. Kenapa kamu menangis sampai seperti itu?”Tidak bi
**“Ibu!”Soraya meraih sosok di balik pintu itu tanpa banyak berpikir. Mendekapnya erat-erat dan membiarkannya menumpahkan tangis penuh kepedihan di sana. Sementara itu sang putra yang masih pula tak habis pikir dengan apa yang terjadi, hanya mendengus dan kembali ke lantai bawah, membawa perasaan kesal. Tak percaya bahwa ibunya menyeretnya kembali ke rumah hanya untuk bertangis-tangisan dengan seseorang yang ia sebut menantu.“Kiran, apa yang terjadi?” Soraya mengusap air mata yang masih berderai membasahi pipi perempuan muda itu. Menarik tangannya untuk masuk dan duduk berdua di atas ranjang.“Mas Karan … sepertinya udah ingat semuanya, Bu.” Kiran menjawab dengan suara bergetar. Sulit untuknya menahan tangis yang sedari semalam tak habis-habis itu. Ia menggeleng lemah.“Gimana bisa begitu? Apa sesuatu terjadi? Dari kapan dia begitu, Kiran?”“Kemarin pagi waktu berangkat kerja, dia hampir kecelakaan. Mobilnya hampir ketabrak. Dia nggak apa-apa, tapi kepalanya kebentur setir.” Kiran
** “Istrimu sedang hamil.” Selama beberapa saat selanjutnya, keheningan menyelimuti ruangan itu. Karan tampak tertegun dengan kalimat yang ayahnya ucapkan, namun tak menimpali dengan kata apapun. Hanya terdengar satu dua kali isak kecil Kiran yang tersisa. Perempuan itu menunduk dalam, tidak berani memandang sang suami untuk melihat bagaimana responnya atas kata-kata sang ayah mertua barusan. “Hamil?” Hingga kemudian suara Karan terdengar, disertai dengus tawa tak percaya. “Ayah bilang dia hamil?” “Karan, tolong–” “Jadi apa urusanku kalau dia hamil, Ayah?” “Karan, astaga!” Tersentak kaget, Kiran sama sekali tidak mengira jika suaminya akan berkata seperti itu. Hatinya sudah cukup perih dengan segala yang terjadi sejak hari kemarin, namun pria ini masih terus saja menambah rasa sesaknya. “Benar kan, Ayah? Apa hubungannya denganku kalau dia hamil. Kalian tahu kalau aku nggak pernah suka sama dia, kan?” “Karan, itu anakmu! Bisa-bisanya kamu ngomong begitu!” Soraya sudah habis sa
**Soraya benar. Percuma saja Kiran menunggu. Beberapa hari berlalu dalam suasana yang sama persis dengan hari-hari awal ia menikah. Karan hanya pulang ke rumah untuk tidur dan menukar pakaian. Setelahnya, ia akan kembali menghilang entah ke mana. Bahkan pria itu mengembalikan sedan putih milik sang ayah, sebab kini telah memakai sebuah SUV baru. Entahlah, bisa saja pemberian dari Nevia. Hanya sebuah mobil tidak akan mengurangi harta keluarga perempuan itu seujung kuku pun.Hari ini Kiran pulang ke rumah untuk memeriksa keadaan, mungkin ada sesuatu yang bisa ia kerjakan di sana. Meski rasanya itu sama saja dengan menuang air garam ke atas luka. Rumah itu penuh kenangan dan aroma cinta yang sempat suaminya sebarkan beberapa waktu silam.Nah, namun entah kebetulan atau apa, ternyata bersamaan dengan itu, Karan juga sedang pulang. Pria itu baru saja datang membawa dua hal yang membuat perasaan Kiran seperti ditikam belati.Mobilnya yang baru, serta seorang Nevia Angeline di dalamnya.“M-
**“Kamu serius, aku boleh tinggal di sini?”Karan mengedarkan pandangan ke sekeliling tempat yang baru saja ia buka pintunya. Mewah, kesan pertama yang melekat ketika ia mematai tempat tersebut.“Tentu saja, Kar. Apartemen ini punyaku, kamu boleh pakai kapanpun kamu mau.” Nevia tersenyum lebar. Ia memeluk sekilas pria rupawan itu dari samping.“Papa kamu gimana? Apa nggak akan ngomong apa-apa?”“Papa?” Nevia terlihat sedikit berpikir sebelum menjawab. “I’ts okay, nggak perlu dipikirin.”Gadis dua puluh tiga tahun itu melenggang dengan santai, menuju ruang agak dalam sembari menenteng paperbag berisi beberapa baju yang tadi Karan ambil dari rumahnya. Nah, sementara itu Karan justru terdiam. Menghela napas sebelum menghempaskan tubuhnya ke atas sofa. Karan pikir ini agak … bagaimana mengatakannya?“Kenapa malah ngelamun di situ? Kamu mandi, gih. Terus istirahat, ya. Mau makan, nggak? Aku pesenin sesuatu kalau kamu mau.”Tersenyum, Karan merentangkan tangan untuk meminta gadis kesayanga