**Brak!"Tuhan!"Karan terlempar ke depan. Keningnya membentur setir dengan cukup keras. Selama beberapa saat, pria itu hanya bisa mendesis dan terdiam sebab rasa nyeri yang berdenyut menerpa kepalanya jauh lebih buruk daripada yang terlihat."Sial!" Ia mendesis sementara menahan kening dengan telapak tangan. "Sial! Ini sakit banget!"Karan tidak mengerti, mengapa hanya karena benturan sedikit saja, kepalanya terasa seperti terbelah dua. Pandangannya memburam sehingga ia terpaksa menepikan mobilnya ke batas trotoar."Permisi, apa anda nggak apa-apa?" Suara ketukan yang terdengar dari luar mobil, membuat Karan terpaksa mengangkat kepalanya. Seseorang berdiri di sana, dan ia mau tak mau harus menarik turun kaca jendela."Anda baik-baik saja, Pak?" Seorang pria muda menyapa dengan wajah panik. "Pak, saya minta maaf sudah motong jalur sembarangan. Anda nggak apa-apa, kan?"Oh, ini rupanya yang menyebabkan Karan harus menginjak pedal rem terlalu mendadak hingga mobilnya berdecit terhenti
**“Mas, kamu baik-baik aja? Ada yang sakit, kah?”Kiran ingin mendekat, ingin merengkuh tubuh yang masih terbaring di atas brankar itu ke dalam pelukannya. Namun, pandangan yang ia dapatkan dari sang suami membuat tubuhnya mematung di tempat, tak bisa ia gerakkan.“M-Mas?”“Kamu–”“Iya, ini aku, Mas. Kamu nggak apa-apa?” Kiran sungguh ingin mendekat, namun pandangan menuduh itu sungguh membuat kakinya bagai terpaku di atas lantai.Kening Karan berkerut dengan desis kesakitan yang membuat sang istri melupakan keraguannya seketika. Perempuan itu melompat mendekat, memegangi lengan suaminya dan berujar kembali dengan penuh rasa khawatir.“Mas, apa masih sakit? Biar aku panggil dokter sebentar, ya. Tunggu sebentar ya, Mas.”“Mi-minum ….”“Minum? Kamu mau minum?”Mengangguk lemah, Karan kembali memejamkan mata sementara menekan keningnya dengan telapak tangan. Kiran menyambar air dalam gelas di atas nakas dan memberikannya pelan-pelan kepada pria di sampingnya itu. Raut cemas luar biasa
**“Apapun asal jangan yang ini ….”Semalam suntuk, Kiran tidak bisa memejamkan mata. Rasa gelisah itu bagaikan racun yang merambati pembuluh darahnya. Membuatnya diselimuti ketakutan jika pagi datang. Sepenuhnya ia berharap bahwa semua ini hanyalah mimpi. Mimpi yang jangan pernah menjadi kenyataan.Jika nanti Karan sudah bangun dan keluar dari kamarnya, apa yang harus Kiran katakan? Apa yang harus Kiran lakukan?“Kenapa barang-barang di kamarku nggak ada semua?”Dan ternyata itu yang Karan tanyakan setelah ia keluar dari kamarnya pada pagi harinya.Kiran ingin menjawab, namun tenggorokannya seperti tercekat, tak berfungsi sebagaimana mestinya.“Kamu masuk-masuk kamarku?” tuntut pria itu lagi, membuat air mata sang istri mau tak mau kembali berderai setelah semalam sudah nyaris habis terkuras.“M-mas ….”“Sejak kapan kamu bisa keluar masuk seenaknya ke kamar aku? Bukannya kita udah punya kamar masing-masing? Dan aku kan cuma bertanya. Kenapa kamu menangis sampai seperti itu?”Tidak bi
**“Ibu!”Soraya meraih sosok di balik pintu itu tanpa banyak berpikir. Mendekapnya erat-erat dan membiarkannya menumpahkan tangis penuh kepedihan di sana. Sementara itu sang putra yang masih pula tak habis pikir dengan apa yang terjadi, hanya mendengus dan kembali ke lantai bawah, membawa perasaan kesal. Tak percaya bahwa ibunya menyeretnya kembali ke rumah hanya untuk bertangis-tangisan dengan seseorang yang ia sebut menantu.“Kiran, apa yang terjadi?” Soraya mengusap air mata yang masih berderai membasahi pipi perempuan muda itu. Menarik tangannya untuk masuk dan duduk berdua di atas ranjang.“Mas Karan … sepertinya udah ingat semuanya, Bu.” Kiran menjawab dengan suara bergetar. Sulit untuknya menahan tangis yang sedari semalam tak habis-habis itu. Ia menggeleng lemah.“Gimana bisa begitu? Apa sesuatu terjadi? Dari kapan dia begitu, Kiran?”“Kemarin pagi waktu berangkat kerja, dia hampir kecelakaan. Mobilnya hampir ketabrak. Dia nggak apa-apa, tapi kepalanya kebentur setir.” Kiran
** “Istrimu sedang hamil.” Selama beberapa saat selanjutnya, keheningan menyelimuti ruangan itu. Karan tampak tertegun dengan kalimat yang ayahnya ucapkan, namun tak menimpali dengan kata apapun. Hanya terdengar satu dua kali isak kecil Kiran yang tersisa. Perempuan itu menunduk dalam, tidak berani memandang sang suami untuk melihat bagaimana responnya atas kata-kata sang ayah mertua barusan. “Hamil?” Hingga kemudian suara Karan terdengar, disertai dengus tawa tak percaya. “Ayah bilang dia hamil?” “Karan, tolong–” “Jadi apa urusanku kalau dia hamil, Ayah?” “Karan, astaga!” Tersentak kaget, Kiran sama sekali tidak mengira jika suaminya akan berkata seperti itu. Hatinya sudah cukup perih dengan segala yang terjadi sejak hari kemarin, namun pria ini masih terus saja menambah rasa sesaknya. “Benar kan, Ayah? Apa hubungannya denganku kalau dia hamil. Kalian tahu kalau aku nggak pernah suka sama dia, kan?” “Karan, itu anakmu! Bisa-bisanya kamu ngomong begitu!” Soraya sudah habis sa
**Soraya benar. Percuma saja Kiran menunggu. Beberapa hari berlalu dalam suasana yang sama persis dengan hari-hari awal ia menikah. Karan hanya pulang ke rumah untuk tidur dan menukar pakaian. Setelahnya, ia akan kembali menghilang entah ke mana. Bahkan pria itu mengembalikan sedan putih milik sang ayah, sebab kini telah memakai sebuah SUV baru. Entahlah, bisa saja pemberian dari Nevia. Hanya sebuah mobil tidak akan mengurangi harta keluarga perempuan itu seujung kuku pun.Hari ini Kiran pulang ke rumah untuk memeriksa keadaan, mungkin ada sesuatu yang bisa ia kerjakan di sana. Meski rasanya itu sama saja dengan menuang air garam ke atas luka. Rumah itu penuh kenangan dan aroma cinta yang sempat suaminya sebarkan beberapa waktu silam.Nah, namun entah kebetulan atau apa, ternyata bersamaan dengan itu, Karan juga sedang pulang. Pria itu baru saja datang membawa dua hal yang membuat perasaan Kiran seperti ditikam belati.Mobilnya yang baru, serta seorang Nevia Angeline di dalamnya.“M-
**“Kamu serius, aku boleh tinggal di sini?”Karan mengedarkan pandangan ke sekeliling tempat yang baru saja ia buka pintunya. Mewah, kesan pertama yang melekat ketika ia mematai tempat tersebut.“Tentu saja, Kar. Apartemen ini punyaku, kamu boleh pakai kapanpun kamu mau.” Nevia tersenyum lebar. Ia memeluk sekilas pria rupawan itu dari samping.“Papa kamu gimana? Apa nggak akan ngomong apa-apa?”“Papa?” Nevia terlihat sedikit berpikir sebelum menjawab. “I’ts okay, nggak perlu dipikirin.”Gadis dua puluh tiga tahun itu melenggang dengan santai, menuju ruang agak dalam sembari menenteng paperbag berisi beberapa baju yang tadi Karan ambil dari rumahnya. Nah, sementara itu Karan justru terdiam. Menghela napas sebelum menghempaskan tubuhnya ke atas sofa. Karan pikir ini agak … bagaimana mengatakannya?“Kenapa malah ngelamun di situ? Kamu mandi, gih. Terus istirahat, ya. Mau makan, nggak? Aku pesenin sesuatu kalau kamu mau.”Tersenyum, Karan merentangkan tangan untuk meminta gadis kesayanga
**Kiran membasuh wajahnya dengan air dingin sebanyak mungkin. Membiarkan rasa sejuk menenangkan dirinya setelah dilanda rasa mual hebat. Ia menahan tubuh dengan mencengkeram sisi wastafel dengan kedua tangan. Ini kesekian kalinya dirinya muntah-muntah hari ini. Tubuhnya lemas sebab terlalu banyak cairan yang terbuang.“Kiran?” Soraya memanggil dari luar kamar mandi, wanita itu lantas masuk dan menatap khawatir kepada menantu kesayangannya.“Muntah lagi, ya?”Mengangguk, Kiran mencoba tersenyum walau satu sisi kepalanya sedang berdenyut nyeri. “Nggak apa-apa, Bu. Ini kan normal. Semua orang hamil juga pasti begini, kan?”“Tetap aja khawatir, kamu nggak bisa makan apa-apa dari pagi.”Benar, Kiran menelan salivanya yang terasa pahit. Sejak pagi apapun yang ia telan terpaksa harus keluar kembali sebab mual yang tidak bisa ia atasi.“Apa kita perlu ke dokter, Nak? Kita periksakan aja, yuk.”Nah, dokter kandungan juga salah satu tempat yang berusaha Kiran hindari, meski agaknya itu tidak m
**Musim Panas, South Carolina.Emily menekan tombol bel apartemen Reita. Menunggu beberapa saat hingga si empunya apartemen membukakan pintu untuknya. “Hai, Rei,” sapa gadis itu sembari memamerkan senyum manisnya yang biasa.“Em?”“Sibuk?”“Tidak, aku sedang berkemas. Masuklah.”Raut wajah Emily seketika berbeda setelah mendengar kata-kata terakhir Reita. Ia melangkah masuk, dan mendapati sebuah koper besar yang terbuka di atas lantai.“Reita, kau berkemas?”“Yup. Aku akan pulang ke Jepang liburan musim panas ini.” Reita menjawab ringan dengan masih sibuk memilah ini itu. Tidak memperhatikan sama sekali wajah si gadis yang mendadak saja berubah menjadi mendung.“Kau sendiri akan ke mana, Em? Apakah sudah ada rencana?”Emily diam-diam memasukkan lagi dua lembar kertas yang tadinya akan ia tunjukkan kepada lelaki itu. Ia beranjak mendudukkan diri di sofa dan memilih memperhatikan Reita dari kejauhan saja.“Aku? Aku tidak pernah liburan ke mana-mana. Aku akan bekerja part time saja unt
**Musim dingin, South Carolina.Lebih dari satu musim Reita Lee meninggalkan Kyoto yang tenteram dan damai untuk mengasingkan diri ke negeri Paman Sam yang justru sebenarnya bukan tujuan tepat. Seratus delapan puluh derajat berbeda dengan tempat asalnya, negeri matahari terbit yang penuh sopan santun. Beruntungnya, Reita memilih negara bagian Carolina selatan yang cukup ramah dan tenang jika dibanding dengan negara lain Amerika.Lebih dari satu musim berlalu, dan bahkan pria itu sudah menyingkir ke belahan bumi yang lain, namun ia belum juga bisa menghapus bayangan perempuan dari Indonesia itu. Kiran Cahya Rengganis, yang begitu ia kagumi sebab ketangguhannya menghadapi hidup.Reita merapatkan coat yang ia kenakan. Awal November datang, mengirim awan-awan kelabu yang sehari-hari bakal menumpahkan berjuta-juta kubik air langit dari pagi hingga malam. Hawa dingin dan muram memenuhi sudut kota indah itu.“I hate winter,” gerutu pria itu seraya mengamankan diri ke sebuah factory outlet s
**“Pingsan lagi?”Karan sedang berada di kantor tempatnya bekerja saat mendapat telepon dari Mila. Tantenya itu mengatakan bahwa sang istri pingsan lagi di kafe, namun menolak dibawa ke rumah sakit.“Sekarang gimana, Tan?”“Nggak bisakah kamu pulang aja, begitu?”Karan menengok arloji yang melingkari pergelangan tangannya. Mendapati bahwa jam kantor memang segera berakhir.“Aku akan minta izin pulang cepet, deh. Bilang sama Kiran, tunggu sebentar, gitu, ya?”“Cepetan ya, Kar.”Terburu-buru, Karan menghadap manajer sekaligus rekan kerjanya untuk meminta izin pulang beberapa menit lebih awal. Sebenarnya tidak perlu minta izin secara formal juga tak mengapa. Sebab kepala manajer tersebut adalah sahabat Karan sendiri.Jadi tempat pria itu bekerja sekarang adalah sebuah homestay sekaligus agen wisata yang ia kelola bersama kawannya, seorang pria berkebangsaan Inggris. Bisnis kecil yang belakangan prospeknya berkembang semakin bagus.“What’s going on?” Pria bule bernama Steve itu bertanya
**Kiran sebelumnya tidak pernah berani berekspektasi, apa yang terjadi saat sepasang pengantin baru berbulan madu. Pernikahan pertamanya dengan Karan dulu berjalan dengan amat suram, ingat?Jangankan bulan madu, tidur satu ranjang pun tidak terjadi. Meski pada akhirnya malam pertama itu tetaplah berlangsung, namun sudah lewat berbulan-bulan sejak hari pernikahan mereka. Tetaplah beda rasanya dengan yang sengaja melewatkan bulan madu dan malam pertama pada hari-hari pertama pernikahan.“Nikmati saja waktu kalian, nggak usah khawatir sama Axel. Tante yang akan jaga dia, meskipun kalian tinggal bulan madu satu bulan penuh,” goda Mila, beberapa hari setelah Kiran dan Karan sah sebagai sepasang suami istri.“Ah, Tante apa-apaan, sih.” Perempuan itu berusaha menyembunyikan rona wajahnya yang jelas tergambar di kedua pipi. Membuat Mila tergelak keras.“Aku sih gas aja mau berapa lama pun, Tan. Asal Kiran mau aja,” celetuk Karan, menambah panas suasana saja.“Kalian berdua emang pro banget k
**Kiran masih bisa mengingat dengan jelas, hari pernikahan pertamanya dengan Karan yang penuh dengan rasa sedih dan putus asa. Bagaimana pria itu tak henti melemparkan tatapan atau kata-kata yang sarat kebencian kepadanya. Bagaimana ia dengan sangat takut mencium tangan pria itu saat pak penghulu mengucap kata sah untuk pertama kalinya.Kemudian pada malam pertama, di mana ia harus tinggal satu kamar dengan Karan, kemudian hanya kata-kata menyakitkan hati yang ia terima alih-alih suasana hangat pengantin baru.Sekarang, pada pernikahan yang kedua, Kiran merasakan gugup pada skala yang sama, namun dengan suasana hati yang sangat amat berbeda. Gugup yang ini adalah … gugup yang menyenangkan. Ia takut sekali, namun juga tidak sabar.“Apa Mama takut? Mama takut apa?” Axel mendekat. Bocah kecil itu sudah berdandan dengan rapi. Nanti, Axel akan ikut ke kantor KBRI untuk mendapatkan surat pernyataan menikah dan beberapa prosedur lain yang harus dilakukan sebagaimana warga negara Indonesia y
**“Mas, jangan begini.” Kiran mendorong pelan bahu yang lebih tua. “Kita bukan lagi sepasang suami istri yang sah. Nggak enak kalau ada yang lihat nanti. Apalagi, ini udah tengah malam.”Membuat pelukan erat Karan terpaksa harus lepas meski ia menampakkan wajah yang sangat tidak rela.“Aku masih kangen,” gerutu pria itu pelan, “Apa nggak boleh kalau aku menginap di sini?”“Jangan sembarangan, Mas. Jangan kayak anak muda gitu, lah. Udah, sana pulang aja, kamu!”Karan mencebikkan bibir, membuat satu yang lain mau tak mau jadi gemas. Kiran bahkan sudah lupa kalau mantan suaminya ini pada suatu waktu yang lampau pernah memiliki sikap yang clingy begini.“Serius, aku nggak boleh menginap? Tetangganya pada jauh, kok. Nggak akan ada yang lihat.”“Mas, jangan macam-macam. Pulang sekarang, atau kamu nggak boleh datang lagi sama sekali?”Pria rupawan itu tertawa kecil. Ia raih kembali sang mantan istri ke dalam pelukan hangat serta mendaratkan kecupan singkat pada puncak kepala perempuan itu.
**Kiran menemukan Mila sedang berada di dapur rumah. Perempuan itu tidak peduli sang tante sedang apa, ia menabrak tubuhnya dan memeluknya dari belakang. Diam dengan posisi seperti itu sampai beberapa saat waktu berlalu. “Kiran, hei … kok tiba-tiba?”Kiran tenggelamkan wajahnya di punggung sang tante sembari mendengung tidak jelas. Entah apa yang ia katakan.“Apa, sih? Tante nggak dengar kamu ngomong apa. Sini, biar Tante balik badan dulu, eh!”Perempuan itu mundur perlahan, membiarkan Mila membalikkan tubuh dan menghadap ke arahnya. Menemukan wajah yang lebih muda terlihat membara seperti sedang terkena demam.“Kamu baik-baik saja? Kok wajahnya merah begitu? Apa jangan-jangan kamu kedinginan? Karan biarin kamu di luar ruangan terlalu lama?”Tadinya, Kiran kan berpamitan untuk bertemu dengan Karan sebentar. Ketika pulang, kenapa keadaannya seperti ini?“Tante ….”“Gimana, Ki?”“Aku nggak menemukan alasan untuk menolak dia lagi.”Nah, sampai di titik ini, Mila akhirnya mengerti walau
**“Axel sudah sembuh, Mama. Ayo kita pulang sekarang.”Bocah manis itu berujar dengan gembira setelah dua hari penuh berada di rumah sakit. Ia sudah kembali sehat dan ceria seperti biasa.“Mama, Axel mau sekolah. Axel boleh sekolah, kan?”“Jangan dulu.” Kiran mengusap surai hitamnya yang lembut. “Besok saja, ya. Kalau badannya sudah benar-benar enakan.”“Tapi sekarang nggak ada Rei-Sensei ya, Mama?” Axel bergumam, wajahnya mendadak murung saat menyebut nama Reita. “Nggak ada yang antar Axel dan ajakin Axel jalan-jalan beli taiyaki lagi.”“Kan bisa sama Mama,” hibur Kiran sembari memberikan senyuman manis lagi. Dua tahun dekat seperti ayah dan anak, tak pelak meninggalkan kenangan yang pasti sulit dilupakan oleh bocah itu.“Kenapa Rei-Sensei pergi ya, Mama?”“Kan Rei-Sensei sudah bilang kalau mau sekolah lagi, Nak. Beliau sedang mengejar cita-cita, jadi kita semua harus mendukung.”“Nggak ada yang ajak Axel jalan-jalan lagi.”“Siapa bilang? Kan bisa jalan-jalan sama Papa.”Sepasang ib
**Kiran sungguh tidak ingin. Ia tidak ingin mendengar suara mantan suaminya, terutama pada tengah malam seperti ini. Namun suara rengekan lemah dari sang putra membuatnya tidak memiliki pilihan lain.“Telepon aja,” desak Mila, “Nggak ada salahnya, pun. Ini demi anak kalian.”Anak kalian? Betapa anehnya istilah itu. Kiran yang susah payah membesarkan Axel sendirian rasanya tidak rela jika ada yang menyebut bocah manis itu anak orang lain.“Kiran, ayolah. Apa lagi yang kamu tunggu?”“Baiklah, baiklah.” Kesal, namun Kiran tidak bisa menolak. Ia kemudian menjauh sementara mendial nomor ponsel Karan yang sebelumnya sudah disimpan Mila di sana. Setengah berharap pria itu sudah jauh terlelap dan tidak akan mengangkat panggilannya. Namun apa yang terjadi, justru pada dengung nada sambung detik pertama, teleponnya seketika diangkat.“Kiran?” Suara husky itu terdengar dari seberang, membuat Kiran buru-buru berdehem untuk mengatasi gugup. “Ada apa, Kiran? Kenapa menelepon malam-malam?”“Sorry,