Reader-nim, Saya mohon maaf untuk kesalahan posting bab sebelumnya, ya. Sudah saya edit, dan kalian bisa melanjutkan membaca dengan nyaman. Terimakasih sudah memaklumi.
**“Kamu serius, aku boleh tinggal di sini?”Karan mengedarkan pandangan ke sekeliling tempat yang baru saja ia buka pintunya. Mewah, kesan pertama yang melekat ketika ia mematai tempat tersebut.“Tentu saja, Kar. Apartemen ini punyaku, kamu boleh pakai kapanpun kamu mau.” Nevia tersenyum lebar. Ia memeluk sekilas pria rupawan itu dari samping.“Papa kamu gimana? Apa nggak akan ngomong apa-apa?”“Papa?” Nevia terlihat sedikit berpikir sebelum menjawab. “I’ts okay, nggak perlu dipikirin.”Gadis dua puluh tiga tahun itu melenggang dengan santai, menuju ruang agak dalam sembari menenteng paperbag berisi beberapa baju yang tadi Karan ambil dari rumahnya. Nah, sementara itu Karan justru terdiam. Menghela napas sebelum menghempaskan tubuhnya ke atas sofa. Karan pikir ini agak … bagaimana mengatakannya?“Kenapa malah ngelamun di situ? Kamu mandi, gih. Terus istirahat, ya. Mau makan, nggak? Aku pesenin sesuatu kalau kamu mau.”Tersenyum, Karan merentangkan tangan untuk meminta gadis kesayanga
**Kiran membasuh wajahnya dengan air dingin sebanyak mungkin. Membiarkan rasa sejuk menenangkan dirinya setelah dilanda rasa mual hebat. Ia menahan tubuh dengan mencengkeram sisi wastafel dengan kedua tangan. Ini kesekian kalinya dirinya muntah-muntah hari ini. Tubuhnya lemas sebab terlalu banyak cairan yang terbuang.“Kiran?” Soraya memanggil dari luar kamar mandi, wanita itu lantas masuk dan menatap khawatir kepada menantu kesayangannya.“Muntah lagi, ya?”Mengangguk, Kiran mencoba tersenyum walau satu sisi kepalanya sedang berdenyut nyeri. “Nggak apa-apa, Bu. Ini kan normal. Semua orang hamil juga pasti begini, kan?”“Tetap aja khawatir, kamu nggak bisa makan apa-apa dari pagi.”Benar, Kiran menelan salivanya yang terasa pahit. Sejak pagi apapun yang ia telan terpaksa harus keluar kembali sebab mual yang tidak bisa ia atasi.“Apa kita perlu ke dokter, Nak? Kita periksakan aja, yuk.”Nah, dokter kandungan juga salah satu tempat yang berusaha Kiran hindari, meski agaknya itu tidak m
**“Berbahagialah, Mas. Ambil jalan apapun yang kiranya membuatmu bahagia. Nggak usah pikirkan aku.”Karan tertegun, sungguh. Ia pikir setidaknya akan ada drama dahulu, lah. Mengingat betapa selama ini Kiran selalu mati-matian mempertahankan dirinya. Jika sekarang semudah itu ia merelakan dirinya pergi, bukankah itu agak aneh?“Kiran?” Soraya menahan sang menantu, memegangi pergelangan tangan perempuan itu dan menatapnya dengan pandangan memohon. “Kiran mau ke mana, Nak?”“Aku masuk dulu, Bu. Kan aku sudah paham apa maksud Mas Karan datang ke sini. Aku nggak masalah dia menikah sama Nevia. Sementara kita memang nggak bisa bercerai dulu, tapi nanti kalau bayinya sudah lahir, kita bisa langsung cerai. Nggak masalah.”Dua orang tua yang berada di sana sontak terkejut tak alang kepalang. Bagaimana mungkin Kiran semudah itu mengatakannya? Apakah ia sudah akan menyerah sampai di sini?“Kiran, jangan ngomong begitu. Kita bicarakan dulu baik-baik, kita cari solusinya bersama-sama, Nak.” Herma
**“Pasien mengalami dehidrasi, Bu. Keadaannya akan semakin memburuk jika tidak segera dirawat. Beruntung segera dibawa ke sini.”Soraya mengangguk, bertukar tatap dengan sang suami yang duduk di sampingnya. Keduanya tidak mampu mengatakan apapun, hanya saling menghela napas berkali-kali.“Bagaimana dengan kandungannya? Apakah baik-baik saja?” Wanita itu bertanya, kemudian.Dokter perempuan yang memeriksa mengangguk meski wajahnya masih tetap muram seperti sebelumnya. “Beruntung, janin dalam kandungan termasuk kuat, sehingga bisa bertahan. Dalam keadaan demikian, bisa saja Nona Kiran mengalami keguguran sebab kondisinya sendiri termasuk serius.”Mengangguk lagi, Soraya merasa sangat bersalah sebab hal ini. Ia pikir, bagaimanapun orang yang paling bertanggung jawab dalam hal ini adalah dirinya, sebagai orang tua Karan.“Tapi Ibu tidak perlu khawatir.” Dokter perempuan itu berkata lagi. “Setelah perawatan intensif selama beberapa hari, Nona Kiran akan bisa pulih kembali. Hanya saja satu
**“Apa maksudnya? Kamu berniat pulang kemalaman, begitu?”Nevia menelan saliva. Tampak sekali bahwa ia salah bicara, sebab wajahnya seketika membara.“Apa maksudnya, Nev? Kamu mau kemana sama temanmu?” Karan masih terus mengejar.“Ah, apa, sih?” Perempuan itu berusaha menyembunyikan gugup dengan tertawa kecil. Ia mengibaskan tangannya sambil lalu. “Maksudku tuh, Papa nggak akan banyak tanya kalau aku sama temen yang sama-sama cewek, Kar. Kamu kan tahu kalau Papa orangnya kolot banget. Ini aja kalau tahu aku tiap hari pulang ke sini sama kamu, beliau pasti ngamuk.”Masih memasang wajah masam, Karan berusaha berpikir positif. Kekasihnya adalah perempuan baik-baik. Sangat tidak mungkin jika Nevia berakhir bermalam di club dalam keadaan mabuk alkohol bersama teman-temannya. Yeah, sebab itulah yang ada dalam pikiran Karan saat ini.“Jangan mikir yang nggak-nggak, Kar. Kamu kan kenal aku orangnya gimana? Kita udah sekian waktu bersama.”Seperti paham jalan pikiran prianya saja. Pria itu me
**Kiran menghentikan sedan putihnya di depan rumah. Pandanganya menjurus lurus kepada mobil silver yang sudah terlebih dahulu terparkir di garasi. Menatap muram kepada kendaraan itu, ia perlahan turun dan melangkah memasuki rumah.“Mas Karan ada di rumah,” gumamnya, retorik. Sebab, sudah pasti suaminya ada di rumah jika mobilnya ada di garasi, kan?Kiran menelan saliva, pahit. Ia tidak bisa membayangkan jika Nevia ada di dalam sana juga. Tadinya Kiran hanya ingin mengambil beberapa barang untuk ia bawa ke rumah mertuanya. Itu pun diam-diam sebab Soraya melarang keras dirinya menyetir mobil sendiri. Sekarang Kiran menyesal sudah tidak menurut. Seperti ini jadinya, kan?Sebab suaminya –sebentar, apakah masih bisa disebut suami? Sudah berdiri berhadapan dengan dirinya di ambang pintu saat ini.“Mas?” Kiran menyapa pelan. Hanya sekedar basa-basi dan tidak mengharapkan jawaban, sebab ia sudah tahu jikalau pria itu tidak akan menjawab.Benar, Karan justru membuang muka dan kembali mengayu
**“Kamu menikah sama Nevia, satu bulan dari sekarang.”Karan tercengang. Berbagai emosi seperti seketika berkecamuk dalam benaknya saat itu. Ia sungguh tidak mengira bahwa jalannya akan mengalir semudah itu. Nah, sesuatu yang terlalu mudah, justru agak mencurigakan, bukan? Selama beberapa saat, ia masih tercengang kaget.“Sa-satu bulan dari sekarang, Pak?”“Benar.”“Ta-tapi–”“Kenapa lagi? Bukannya kamu cinta sama putri saya?”Karan mengerling, bertukar pandang dengan kekasihnya yang saat itu sedang duduk dan balas memandang dari sisi lain meja makan. Entah hanya karena pikiran Karan yang sedang ribut, atau benar saat itu wajah Nevia tampak agak bosan.Karan menelan saliva. “Sa-saya cinta sama Nevia, Pak.”“Ya, kalau begitu sudah, kan? Jadi apa lagi masalahnya?”Masalahnya adalah, Karan pikir akan ada banyak sekali masalah. Tapi ia juga pikir, ini adalah kesempatan emas yang mana ia tidak boleh sia-siakan. Bukannya ini yang ia harapkan? Menikah dengan kekasih pujaan hatinya. Lantas a
**Karan Raditya Gathfan dan Nevia Angeline Wirawan.Sampai beberapa saat lamanya. Kiran masih terpaku di tempatnya berdiri. Pun kedua matanya yang lekat menatap sepasang nama pada bagian tengah kertas undangan itu. Hingga kemudian butiran-butiran bening menyeruak dari bawah kelopak matanya. Meluncur satu-persatu, jatuh berderai membasahi kertas berbau harum yang masih perempuan itu pegang.“Mas Karan?” bisiknya lirih. “Kamu bener-bener yakin dengan ini, Mas?”Undangan cantik berwarna lylac itu tanpa terasa Kiran remas dalam tangannya. Ia jatuh merosot ke atas lantai bersama tangis tanpa suara.Entah sudah berapa banyak pria itu mengukir luka dalam hatinya. Sudah berapa banyak airmata yang telah ia jatuhkan. Berapa banyak sesak yang ia tahan, dan berapa banyak kesabaran yang harus ia curahkan.“Aku nggak tahu kalau mencintaimu ternyata sesakit ini, Mas.” Masih terisak, Kiran bahkan tidak sanggup bangun dari tempatnya jatuh bersimpuh. “Aku nggak tahu dosa apa yang sudah aku lakukan di