**“Apa maksudnya? Kamu berniat pulang kemalaman, begitu?”Nevia menelan saliva. Tampak sekali bahwa ia salah bicara, sebab wajahnya seketika membara.“Apa maksudnya, Nev? Kamu mau kemana sama temanmu?” Karan masih terus mengejar.“Ah, apa, sih?” Perempuan itu berusaha menyembunyikan gugup dengan tertawa kecil. Ia mengibaskan tangannya sambil lalu. “Maksudku tuh, Papa nggak akan banyak tanya kalau aku sama temen yang sama-sama cewek, Kar. Kamu kan tahu kalau Papa orangnya kolot banget. Ini aja kalau tahu aku tiap hari pulang ke sini sama kamu, beliau pasti ngamuk.”Masih memasang wajah masam, Karan berusaha berpikir positif. Kekasihnya adalah perempuan baik-baik. Sangat tidak mungkin jika Nevia berakhir bermalam di club dalam keadaan mabuk alkohol bersama teman-temannya. Yeah, sebab itulah yang ada dalam pikiran Karan saat ini.“Jangan mikir yang nggak-nggak, Kar. Kamu kan kenal aku orangnya gimana? Kita udah sekian waktu bersama.”Seperti paham jalan pikiran prianya saja. Pria itu me
**Kiran menghentikan sedan putihnya di depan rumah. Pandanganya menjurus lurus kepada mobil silver yang sudah terlebih dahulu terparkir di garasi. Menatap muram kepada kendaraan itu, ia perlahan turun dan melangkah memasuki rumah.“Mas Karan ada di rumah,” gumamnya, retorik. Sebab, sudah pasti suaminya ada di rumah jika mobilnya ada di garasi, kan?Kiran menelan saliva, pahit. Ia tidak bisa membayangkan jika Nevia ada di dalam sana juga. Tadinya Kiran hanya ingin mengambil beberapa barang untuk ia bawa ke rumah mertuanya. Itu pun diam-diam sebab Soraya melarang keras dirinya menyetir mobil sendiri. Sekarang Kiran menyesal sudah tidak menurut. Seperti ini jadinya, kan?Sebab suaminya –sebentar, apakah masih bisa disebut suami? Sudah berdiri berhadapan dengan dirinya di ambang pintu saat ini.“Mas?” Kiran menyapa pelan. Hanya sekedar basa-basi dan tidak mengharapkan jawaban, sebab ia sudah tahu jikalau pria itu tidak akan menjawab.Benar, Karan justru membuang muka dan kembali mengayu
**“Kamu menikah sama Nevia, satu bulan dari sekarang.”Karan tercengang. Berbagai emosi seperti seketika berkecamuk dalam benaknya saat itu. Ia sungguh tidak mengira bahwa jalannya akan mengalir semudah itu. Nah, sesuatu yang terlalu mudah, justru agak mencurigakan, bukan? Selama beberapa saat, ia masih tercengang kaget.“Sa-satu bulan dari sekarang, Pak?”“Benar.”“Ta-tapi–”“Kenapa lagi? Bukannya kamu cinta sama putri saya?”Karan mengerling, bertukar pandang dengan kekasihnya yang saat itu sedang duduk dan balas memandang dari sisi lain meja makan. Entah hanya karena pikiran Karan yang sedang ribut, atau benar saat itu wajah Nevia tampak agak bosan.Karan menelan saliva. “Sa-saya cinta sama Nevia, Pak.”“Ya, kalau begitu sudah, kan? Jadi apa lagi masalahnya?”Masalahnya adalah, Karan pikir akan ada banyak sekali masalah. Tapi ia juga pikir, ini adalah kesempatan emas yang mana ia tidak boleh sia-siakan. Bukannya ini yang ia harapkan? Menikah dengan kekasih pujaan hatinya. Lantas a
**Karan Raditya Gathfan dan Nevia Angeline Wirawan.Sampai beberapa saat lamanya. Kiran masih terpaku di tempatnya berdiri. Pun kedua matanya yang lekat menatap sepasang nama pada bagian tengah kertas undangan itu. Hingga kemudian butiran-butiran bening menyeruak dari bawah kelopak matanya. Meluncur satu-persatu, jatuh berderai membasahi kertas berbau harum yang masih perempuan itu pegang.“Mas Karan?” bisiknya lirih. “Kamu bener-bener yakin dengan ini, Mas?”Undangan cantik berwarna lylac itu tanpa terasa Kiran remas dalam tangannya. Ia jatuh merosot ke atas lantai bersama tangis tanpa suara.Entah sudah berapa banyak pria itu mengukir luka dalam hatinya. Sudah berapa banyak airmata yang telah ia jatuhkan. Berapa banyak sesak yang ia tahan, dan berapa banyak kesabaran yang harus ia curahkan.“Aku nggak tahu kalau mencintaimu ternyata sesakit ini, Mas.” Masih terisak, Kiran bahkan tidak sanggup bangun dari tempatnya jatuh bersimpuh. “Aku nggak tahu dosa apa yang sudah aku lakukan di
**“Ibu?”Soraya tidak tahu harus mengatakan apa kepada manusia yang memanggilnya ibu di seberang sana. Sebersit sesal ia rasakan, seharusnya tidak usah mengangkat panggilan telepon itu tadi. Karenanya, sekarang hatinya bergejolak seperti gelombang lautan lepas.“Ibu, ini aku.”Suara baritone itu kembali membuat Soraya terhenyak. Ia menghela napas sebelum berujar, “Ada apa menelepon selarut ini? Ibu mau istirahat.”Soraya membekap mulutnya agar tidak kelepasan isak. Hatinya nyeri, sungguh.“Ibu, aku nggak kasih Ibu undangan, tapi aku sangat berharap Ibu dan Ayah bersedia datang.”Benar, kan? Ia sudah menduga bahwa hal inilah yang membuat sang putra meneleponnya pada tengah malam begini. Soraya mengenal pria muda itu seumur hidup, termasuk kebiasaannya speak up saat hari sudah berada di titik puncaknya seperti sekarang ini. Bagi sebagian orang, malam memang menawarkan ketenangan yang mana siang tidak memilikinya.“Ibu nggak bisa janji.” Soraya menarik napas tanpa suara.“Ibu dan Ayah s
**Haruskah Kiran melanjutkan langkah? Mendekat ke venue itu dan menyalami kedua mempelai seperti tamu-tamu yang lain? Jika saja mempelai pria itu bukanlah suaminya, rasanya mungkin tidak akan seperti ini. Seperti lantai tempatnya berpijak mendadak oleng bagai dek kapal yang berlayar di tengah samudera, hingga membuatnya nyaris limbung.“Nak, kita pulang aja, ya?” bisik Soraya di tengah ramainya hingar-bingar acara. Ia tahu benar bagaimana keadaan perasaan menantunya dan tidak sampai hati jika perempuan itu memaksa bertemu suaminya yang sedang duduk di pelaminan bersama orang lain.Namun, Kiran menggeleng. “Kita pulang setelah aku salaman sama Mas Karan, Bu.”Soraya mendesis lirih. Keras kepala, sungguh.“Kamu benar-benar nggak perlu lakukan ini,” tegas Herman yang juga tidak tega. “Karan nggak akan peduli pun, kamu datang atau enggak.”Kiran agak tersentak mendengar kata-kata ayah mertuanya itu, tapi ia juga tahu itu benar. Herman benar, Karan tidak peduli padanya. Nah, tapi Kiran pe
**“Kamu nggak mau?”Perempuan cantik itu terlihat rikuh dengan pertanyaan yang baru saja ia dengar. Ia melambaikan tangan sambil lalu.“Bukan nggak mau, tapi malam ini aku capek banget. Lagian kan masih ada banyak hari, Kar. Masih ada besok, besok, dan seterusnya.”Karan menghela napas. Ingin rasanya tidak terima dengan kata-kata penolakan halus itu, namun ini baru hari pertama ia menikah. Lagi pun rasa-rasanya memang benar, hari ini jadwal keduanya padat sekali mulai pagi. Dan lebih dari itu semua, Nevia benar, mulai hari ini hingga selamanya, ia bisa meminta haknya kapanpun ia mau. Maka untuk sekali ini, Karan memutuskan mengalah.“Kamu marah?” Nevia bertanya dengan nada penuh rasa bersalah, membuat Karan tak enak hati pun. “Enggak, Sayang. Aku nggak marah, kok.”“Tapi kamu diem aja. Aku minta maaf karena udah nolak, tapi aku emang lagi capek banget malam ini, Kar.”Karan tersenyum lembut. Ia mengulurkan tangan untuk membelai surai panjang sang istri. Ah, hatinya menghangat saat i
**“Ibu, Ayah …. “ Kiran berusaha mengangkat tubuh. Tertatih-tatih, jatuh bangun melangkah menuju kamar kedua mertuanya yang berada agak jauh dengan pintu kamarnya sendiri. Demi apapun. Kiran merasa nyawanya sudah berada di ujung tanduk saat itu. Seperti melihat malaikat maut yang sedang menyeringai ke arahnya dan menyaksikan kematian menyambutnya sejengkal demi sejengkal.“T-tolong ….” Ia merintih, menunduk dan mendapati cairan merah pekat mengalir lambat pada kedua kaki. Ketakutan merambati dirinya seperti bayangan hitam yang membuat dunianya gelap.“I-Ibu, Ibu tolong aku ….” Kiran ketuk pintu kamar ibunya. Ia rasa sudah mengerahkan segenap kekuatan, namun yang terdengar hanya ketukan lirih pada permukaan kayu. Mustahil sekali ibunya akan bisa mendengar jika suara ketukannya seperti itu. “I-Ibu tolong … tolong aku, Bu ….”Entahlah. Sepertinya maut sudah tidak sabaran. Sebab dunia Kiran terasa gelap sesudah itu.Sementara itu Soraya yang tengah terlelap, tiba-tiba saja membuka mata d
**Musim Panas, South Carolina.Emily menekan tombol bel apartemen Reita. Menunggu beberapa saat hingga si empunya apartemen membukakan pintu untuknya. “Hai, Rei,” sapa gadis itu sembari memamerkan senyum manisnya yang biasa.“Em?”“Sibuk?”“Tidak, aku sedang berkemas. Masuklah.”Raut wajah Emily seketika berbeda setelah mendengar kata-kata terakhir Reita. Ia melangkah masuk, dan mendapati sebuah koper besar yang terbuka di atas lantai.“Reita, kau berkemas?”“Yup. Aku akan pulang ke Jepang liburan musim panas ini.” Reita menjawab ringan dengan masih sibuk memilah ini itu. Tidak memperhatikan sama sekali wajah si gadis yang mendadak saja berubah menjadi mendung.“Kau sendiri akan ke mana, Em? Apakah sudah ada rencana?”Emily diam-diam memasukkan lagi dua lembar kertas yang tadinya akan ia tunjukkan kepada lelaki itu. Ia beranjak mendudukkan diri di sofa dan memilih memperhatikan Reita dari kejauhan saja.“Aku? Aku tidak pernah liburan ke mana-mana. Aku akan bekerja part time saja unt
**Musim dingin, South Carolina.Lebih dari satu musim Reita Lee meninggalkan Kyoto yang tenteram dan damai untuk mengasingkan diri ke negeri Paman Sam yang justru sebenarnya bukan tujuan tepat. Seratus delapan puluh derajat berbeda dengan tempat asalnya, negeri matahari terbit yang penuh sopan santun. Beruntungnya, Reita memilih negara bagian Carolina selatan yang cukup ramah dan tenang jika dibanding dengan negara lain Amerika.Lebih dari satu musim berlalu, dan bahkan pria itu sudah menyingkir ke belahan bumi yang lain, namun ia belum juga bisa menghapus bayangan perempuan dari Indonesia itu. Kiran Cahya Rengganis, yang begitu ia kagumi sebab ketangguhannya menghadapi hidup.Reita merapatkan coat yang ia kenakan. Awal November datang, mengirim awan-awan kelabu yang sehari-hari bakal menumpahkan berjuta-juta kubik air langit dari pagi hingga malam. Hawa dingin dan muram memenuhi sudut kota indah itu.“I hate winter,” gerutu pria itu seraya mengamankan diri ke sebuah factory outlet s
**“Pingsan lagi?”Karan sedang berada di kantor tempatnya bekerja saat mendapat telepon dari Mila. Tantenya itu mengatakan bahwa sang istri pingsan lagi di kafe, namun menolak dibawa ke rumah sakit.“Sekarang gimana, Tan?”“Nggak bisakah kamu pulang aja, begitu?”Karan menengok arloji yang melingkari pergelangan tangannya. Mendapati bahwa jam kantor memang segera berakhir.“Aku akan minta izin pulang cepet, deh. Bilang sama Kiran, tunggu sebentar, gitu, ya?”“Cepetan ya, Kar.”Terburu-buru, Karan menghadap manajer sekaligus rekan kerjanya untuk meminta izin pulang beberapa menit lebih awal. Sebenarnya tidak perlu minta izin secara formal juga tak mengapa. Sebab kepala manajer tersebut adalah sahabat Karan sendiri.Jadi tempat pria itu bekerja sekarang adalah sebuah homestay sekaligus agen wisata yang ia kelola bersama kawannya, seorang pria berkebangsaan Inggris. Bisnis kecil yang belakangan prospeknya berkembang semakin bagus.“What’s going on?” Pria bule bernama Steve itu bertanya
**Kiran sebelumnya tidak pernah berani berekspektasi, apa yang terjadi saat sepasang pengantin baru berbulan madu. Pernikahan pertamanya dengan Karan dulu berjalan dengan amat suram, ingat?Jangankan bulan madu, tidur satu ranjang pun tidak terjadi. Meski pada akhirnya malam pertama itu tetaplah berlangsung, namun sudah lewat berbulan-bulan sejak hari pernikahan mereka. Tetaplah beda rasanya dengan yang sengaja melewatkan bulan madu dan malam pertama pada hari-hari pertama pernikahan.“Nikmati saja waktu kalian, nggak usah khawatir sama Axel. Tante yang akan jaga dia, meskipun kalian tinggal bulan madu satu bulan penuh,” goda Mila, beberapa hari setelah Kiran dan Karan sah sebagai sepasang suami istri.“Ah, Tante apa-apaan, sih.” Perempuan itu berusaha menyembunyikan rona wajahnya yang jelas tergambar di kedua pipi. Membuat Mila tergelak keras.“Aku sih gas aja mau berapa lama pun, Tan. Asal Kiran mau aja,” celetuk Karan, menambah panas suasana saja.“Kalian berdua emang pro banget k
**Kiran masih bisa mengingat dengan jelas, hari pernikahan pertamanya dengan Karan yang penuh dengan rasa sedih dan putus asa. Bagaimana pria itu tak henti melemparkan tatapan atau kata-kata yang sarat kebencian kepadanya. Bagaimana ia dengan sangat takut mencium tangan pria itu saat pak penghulu mengucap kata sah untuk pertama kalinya.Kemudian pada malam pertama, di mana ia harus tinggal satu kamar dengan Karan, kemudian hanya kata-kata menyakitkan hati yang ia terima alih-alih suasana hangat pengantin baru.Sekarang, pada pernikahan yang kedua, Kiran merasakan gugup pada skala yang sama, namun dengan suasana hati yang sangat amat berbeda. Gugup yang ini adalah … gugup yang menyenangkan. Ia takut sekali, namun juga tidak sabar.“Apa Mama takut? Mama takut apa?” Axel mendekat. Bocah kecil itu sudah berdandan dengan rapi. Nanti, Axel akan ikut ke kantor KBRI untuk mendapatkan surat pernyataan menikah dan beberapa prosedur lain yang harus dilakukan sebagaimana warga negara Indonesia y
**“Mas, jangan begini.” Kiran mendorong pelan bahu yang lebih tua. “Kita bukan lagi sepasang suami istri yang sah. Nggak enak kalau ada yang lihat nanti. Apalagi, ini udah tengah malam.”Membuat pelukan erat Karan terpaksa harus lepas meski ia menampakkan wajah yang sangat tidak rela.“Aku masih kangen,” gerutu pria itu pelan, “Apa nggak boleh kalau aku menginap di sini?”“Jangan sembarangan, Mas. Jangan kayak anak muda gitu, lah. Udah, sana pulang aja, kamu!”Karan mencebikkan bibir, membuat satu yang lain mau tak mau jadi gemas. Kiran bahkan sudah lupa kalau mantan suaminya ini pada suatu waktu yang lampau pernah memiliki sikap yang clingy begini.“Serius, aku nggak boleh menginap? Tetangganya pada jauh, kok. Nggak akan ada yang lihat.”“Mas, jangan macam-macam. Pulang sekarang, atau kamu nggak boleh datang lagi sama sekali?”Pria rupawan itu tertawa kecil. Ia raih kembali sang mantan istri ke dalam pelukan hangat serta mendaratkan kecupan singkat pada puncak kepala perempuan itu.
**Kiran menemukan Mila sedang berada di dapur rumah. Perempuan itu tidak peduli sang tante sedang apa, ia menabrak tubuhnya dan memeluknya dari belakang. Diam dengan posisi seperti itu sampai beberapa saat waktu berlalu. “Kiran, hei … kok tiba-tiba?”Kiran tenggelamkan wajahnya di punggung sang tante sembari mendengung tidak jelas. Entah apa yang ia katakan.“Apa, sih? Tante nggak dengar kamu ngomong apa. Sini, biar Tante balik badan dulu, eh!”Perempuan itu mundur perlahan, membiarkan Mila membalikkan tubuh dan menghadap ke arahnya. Menemukan wajah yang lebih muda terlihat membara seperti sedang terkena demam.“Kamu baik-baik saja? Kok wajahnya merah begitu? Apa jangan-jangan kamu kedinginan? Karan biarin kamu di luar ruangan terlalu lama?”Tadinya, Kiran kan berpamitan untuk bertemu dengan Karan sebentar. Ketika pulang, kenapa keadaannya seperti ini?“Tante ….”“Gimana, Ki?”“Aku nggak menemukan alasan untuk menolak dia lagi.”Nah, sampai di titik ini, Mila akhirnya mengerti walau
**“Axel sudah sembuh, Mama. Ayo kita pulang sekarang.”Bocah manis itu berujar dengan gembira setelah dua hari penuh berada di rumah sakit. Ia sudah kembali sehat dan ceria seperti biasa.“Mama, Axel mau sekolah. Axel boleh sekolah, kan?”“Jangan dulu.” Kiran mengusap surai hitamnya yang lembut. “Besok saja, ya. Kalau badannya sudah benar-benar enakan.”“Tapi sekarang nggak ada Rei-Sensei ya, Mama?” Axel bergumam, wajahnya mendadak murung saat menyebut nama Reita. “Nggak ada yang antar Axel dan ajakin Axel jalan-jalan beli taiyaki lagi.”“Kan bisa sama Mama,” hibur Kiran sembari memberikan senyuman manis lagi. Dua tahun dekat seperti ayah dan anak, tak pelak meninggalkan kenangan yang pasti sulit dilupakan oleh bocah itu.“Kenapa Rei-Sensei pergi ya, Mama?”“Kan Rei-Sensei sudah bilang kalau mau sekolah lagi, Nak. Beliau sedang mengejar cita-cita, jadi kita semua harus mendukung.”“Nggak ada yang ajak Axel jalan-jalan lagi.”“Siapa bilang? Kan bisa jalan-jalan sama Papa.”Sepasang ib
**Kiran sungguh tidak ingin. Ia tidak ingin mendengar suara mantan suaminya, terutama pada tengah malam seperti ini. Namun suara rengekan lemah dari sang putra membuatnya tidak memiliki pilihan lain.“Telepon aja,” desak Mila, “Nggak ada salahnya, pun. Ini demi anak kalian.”Anak kalian? Betapa anehnya istilah itu. Kiran yang susah payah membesarkan Axel sendirian rasanya tidak rela jika ada yang menyebut bocah manis itu anak orang lain.“Kiran, ayolah. Apa lagi yang kamu tunggu?”“Baiklah, baiklah.” Kesal, namun Kiran tidak bisa menolak. Ia kemudian menjauh sementara mendial nomor ponsel Karan yang sebelumnya sudah disimpan Mila di sana. Setengah berharap pria itu sudah jauh terlelap dan tidak akan mengangkat panggilannya. Namun apa yang terjadi, justru pada dengung nada sambung detik pertama, teleponnya seketika diangkat.“Kiran?” Suara husky itu terdengar dari seberang, membuat Kiran buru-buru berdehem untuk mengatasi gugup. “Ada apa, Kiran? Kenapa menelepon malam-malam?”“Sorry,