**“Ibu?”Soraya tidak tahu harus mengatakan apa kepada manusia yang memanggilnya ibu di seberang sana. Sebersit sesal ia rasakan, seharusnya tidak usah mengangkat panggilan telepon itu tadi. Karenanya, sekarang hatinya bergejolak seperti gelombang lautan lepas.“Ibu, ini aku.”Suara baritone itu kembali membuat Soraya terhenyak. Ia menghela napas sebelum berujar, “Ada apa menelepon selarut ini? Ibu mau istirahat.”Soraya membekap mulutnya agar tidak kelepasan isak. Hatinya nyeri, sungguh.“Ibu, aku nggak kasih Ibu undangan, tapi aku sangat berharap Ibu dan Ayah bersedia datang.”Benar, kan? Ia sudah menduga bahwa hal inilah yang membuat sang putra meneleponnya pada tengah malam begini. Soraya mengenal pria muda itu seumur hidup, termasuk kebiasaannya speak up saat hari sudah berada di titik puncaknya seperti sekarang ini. Bagi sebagian orang, malam memang menawarkan ketenangan yang mana siang tidak memilikinya.“Ibu nggak bisa janji.” Soraya menarik napas tanpa suara.“Ibu dan Ayah s
**Haruskah Kiran melanjutkan langkah? Mendekat ke venue itu dan menyalami kedua mempelai seperti tamu-tamu yang lain? Jika saja mempelai pria itu bukanlah suaminya, rasanya mungkin tidak akan seperti ini. Seperti lantai tempatnya berpijak mendadak oleng bagai dek kapal yang berlayar di tengah samudera, hingga membuatnya nyaris limbung.“Nak, kita pulang aja, ya?” bisik Soraya di tengah ramainya hingar-bingar acara. Ia tahu benar bagaimana keadaan perasaan menantunya dan tidak sampai hati jika perempuan itu memaksa bertemu suaminya yang sedang duduk di pelaminan bersama orang lain.Namun, Kiran menggeleng. “Kita pulang setelah aku salaman sama Mas Karan, Bu.”Soraya mendesis lirih. Keras kepala, sungguh.“Kamu benar-benar nggak perlu lakukan ini,” tegas Herman yang juga tidak tega. “Karan nggak akan peduli pun, kamu datang atau enggak.”Kiran agak tersentak mendengar kata-kata ayah mertuanya itu, tapi ia juga tahu itu benar. Herman benar, Karan tidak peduli padanya. Nah, tapi Kiran pe
**“Kamu nggak mau?”Perempuan cantik itu terlihat rikuh dengan pertanyaan yang baru saja ia dengar. Ia melambaikan tangan sambil lalu.“Bukan nggak mau, tapi malam ini aku capek banget. Lagian kan masih ada banyak hari, Kar. Masih ada besok, besok, dan seterusnya.”Karan menghela napas. Ingin rasanya tidak terima dengan kata-kata penolakan halus itu, namun ini baru hari pertama ia menikah. Lagi pun rasa-rasanya memang benar, hari ini jadwal keduanya padat sekali mulai pagi. Dan lebih dari itu semua, Nevia benar, mulai hari ini hingga selamanya, ia bisa meminta haknya kapanpun ia mau. Maka untuk sekali ini, Karan memutuskan mengalah.“Kamu marah?” Nevia bertanya dengan nada penuh rasa bersalah, membuat Karan tak enak hati pun. “Enggak, Sayang. Aku nggak marah, kok.”“Tapi kamu diem aja. Aku minta maaf karena udah nolak, tapi aku emang lagi capek banget malam ini, Kar.”Karan tersenyum lembut. Ia mengulurkan tangan untuk membelai surai panjang sang istri. Ah, hatinya menghangat saat i
**“Ibu, Ayah …. “ Kiran berusaha mengangkat tubuh. Tertatih-tatih, jatuh bangun melangkah menuju kamar kedua mertuanya yang berada agak jauh dengan pintu kamarnya sendiri. Demi apapun. Kiran merasa nyawanya sudah berada di ujung tanduk saat itu. Seperti melihat malaikat maut yang sedang menyeringai ke arahnya dan menyaksikan kematian menyambutnya sejengkal demi sejengkal.“T-tolong ….” Ia merintih, menunduk dan mendapati cairan merah pekat mengalir lambat pada kedua kaki. Ketakutan merambati dirinya seperti bayangan hitam yang membuat dunianya gelap.“I-Ibu, Ibu tolong aku ….” Kiran ketuk pintu kamar ibunya. Ia rasa sudah mengerahkan segenap kekuatan, namun yang terdengar hanya ketukan lirih pada permukaan kayu. Mustahil sekali ibunya akan bisa mendengar jika suara ketukannya seperti itu. “I-Ibu tolong … tolong aku, Bu ….”Entahlah. Sepertinya maut sudah tidak sabaran. Sebab dunia Kiran terasa gelap sesudah itu.Sementara itu Soraya yang tengah terlelap, tiba-tiba saja membuka mata d
**“Ibu, ke mana bayiku?”Soraya tersentak mendengar pertanyaan itu. Ia mengulurkan tangan untuk mengusap lembut kening menantunya seraya mengulas senyum.“Sudah lahir, Nak. Bayinya sudah kamu lahirkan.”Kedua netra sayu itu mengerjap. Kiran menatap lekat kepada Soraya dengan wajah tidak percaya. “Su-sudah lahir, Bu?”“Benar.”Perempuan muda itu berusaha menggeser posisi, hendak duduk. Namun sengatan rasa nyeri yang hebat membuatnya seketika mendesis dan menghentikan niatnya.“Jangan, Ki. Jangan dipaksa buat gerak-gerak dulu. Kamu baru aja sadar.”“Tapi bayinya, Bu? Aku mau lihat bayiku. Di mana dia, Bu? Apa dia baik-baik saja?”Soraya menahan pundak yang lebih muda dan mendorongnya dengan lembut agar kembali bersandar di atas bantal. “Bayinya selamat, Nak. Selamat dan terlahir dengan sempurna.”“Se-selamat?”Soraya kembali tersenyum, menatap ke dalam iris gelap yang mulai berpendar oleh air mata. Sementara Kiran masih terbelalak tak percaya. “Selamat. Hanya saja masih harus dalam pe
**Sudah begitu larut malam saat Karan membuka pintu apartemen. Sekitar pukul sebelas kurang lebih. Tanpa menyalakan lampu sehingga tempat itu temaram, ia menghempaskan tubuh di atas sofa yang dingin.Selama beberapa saat, hanya terus diam begitu tanpa memiliki niat untuk melakukan apapun, sama sekali. Perlahan kedua pandangan pada netra gelapnya menyapu sebuah bingkai besar yang diletakkan di dinding, tepat di hadapan tempatnya duduk.Foto pernikahan dirinya dengan Nevia. Lantas, pria itu memandang kalender meja kecil yang diletakkan di meja sudut.Sudah berapa lama waktu berlalu sejak ia menikah dengan perempuan yang ia cintai itu? Dua atau tiga bulan waktu telah berlalu.Mendesah pelan, ia meraih ponsel dari dalam saku celana dan mendial nomor yang ia simpan dengan nama My Wife.Beberapa kali dengung nada sambung sebelum panggilannya diterima dari seberang sana oleh suara parau yang kedengarannya sedang mengantuk.“Halo, Sayang?”“Kenapa, Kar?”Kenapa? Karan mengernyit dalam. Sejuj
**“Kiran, Axel baik-baik saja, kan?”Soraya berjalan mendekat saat pagi ini Kiran sedang menggendong sang putra sembari berjemur di antara rumpun-rumpun mawar di teras depan.“Semalam Ayah bilang Axel nangis waktu tengah malam. Ibu nggak dibangunin sama Ayah, masa. Padahal Axel-nya dibawa ke kamar.”Kiran tersenyum. “Dia kebangun waktu tengah malam, Bu. Tiba-tiba aja nangis tanpa sebab. Aku nggak enak banget, aku udah bilang sama Ayah, jangan bawa Axel ke kamar, padahal.”Wanita ayu itu tersenyum manis mendengar penuturan sang menantu. “Nggak enak segala, kayak sama siapa aja. Justru Ibu yang minta maaf karena nggak denger suara Axel.”“Dia langsung tenang lagi pas digendong sama Ayah. Dibawa Ayah ke kamar sampai dua jam. Kalau aku nggak ambil kembali, pasti jadinya tidur sama Ayah Ibu sampai pagi. Tadi aja pas Ayah pamit berangkat ke kantor, udah langsung nangis lagi, nggak mau ditinggalin.”Kali ini, wanita itu tampak menatap dengan trenyuh. Memang si bayi masih terlihat rewel hing
**Kiran benar-benar tidak tahu, apakah alasannya ingin bertemu dengan Karan adalah karena Axel atau bukan. Ataukah karena egoisnya sendiri, yang tidak bisa merindukan pria itu diam-diam, sehingga harus melibatkan orang lain. Nah, tapi, sejak semalam ketika Kiran katakan kepada putranya bahwa hari ini Axel akan bertemu dengan Papa, bayi yang berusia hampir empat bulan itu seketika berhenti rewel dan bisa tidur dengan nyenyak.Ah, dan satu lagi, Kiran berangkat sendirian. Hanya berdua dengan sang putra, sebab Soraya dan Herman sedang melayat ke rumah salah satu kerabat.“Sebenarnya Ayah nggak mau izinin,” gerutu Herman dengan wajah tampak sangat tidak senang, ketika hendak berangkat bersama Soraya pagi ini. Ia sudah memakai kemeja dan celana hitam. “Kenapa nggak besok aja, sih? Biar Ayah sama Ibu bisa antarkan?”Kiran hanya tersenyum. “Aku udah terlanjur janji sama Axel, Yah. Takutnya nanti malah jadi tantrum kayak kemarin-kemarin kalau aku ingkar janji. Ayah kan tahu dia sensitif bang