**“Kiran, Axel baik-baik saja, kan?”Soraya berjalan mendekat saat pagi ini Kiran sedang menggendong sang putra sembari berjemur di antara rumpun-rumpun mawar di teras depan.“Semalam Ayah bilang Axel nangis waktu tengah malam. Ibu nggak dibangunin sama Ayah, masa. Padahal Axel-nya dibawa ke kamar.”Kiran tersenyum. “Dia kebangun waktu tengah malam, Bu. Tiba-tiba aja nangis tanpa sebab. Aku nggak enak banget, aku udah bilang sama Ayah, jangan bawa Axel ke kamar, padahal.”Wanita ayu itu tersenyum manis mendengar penuturan sang menantu. “Nggak enak segala, kayak sama siapa aja. Justru Ibu yang minta maaf karena nggak denger suara Axel.”“Dia langsung tenang lagi pas digendong sama Ayah. Dibawa Ayah ke kamar sampai dua jam. Kalau aku nggak ambil kembali, pasti jadinya tidur sama Ayah Ibu sampai pagi. Tadi aja pas Ayah pamit berangkat ke kantor, udah langsung nangis lagi, nggak mau ditinggalin.”Kali ini, wanita itu tampak menatap dengan trenyuh. Memang si bayi masih terlihat rewel hing
**Kiran benar-benar tidak tahu, apakah alasannya ingin bertemu dengan Karan adalah karena Axel atau bukan. Ataukah karena egoisnya sendiri, yang tidak bisa merindukan pria itu diam-diam, sehingga harus melibatkan orang lain. Nah, tapi, sejak semalam ketika Kiran katakan kepada putranya bahwa hari ini Axel akan bertemu dengan Papa, bayi yang berusia hampir empat bulan itu seketika berhenti rewel dan bisa tidur dengan nyenyak.Ah, dan satu lagi, Kiran berangkat sendirian. Hanya berdua dengan sang putra, sebab Soraya dan Herman sedang melayat ke rumah salah satu kerabat.“Sebenarnya Ayah nggak mau izinin,” gerutu Herman dengan wajah tampak sangat tidak senang, ketika hendak berangkat bersama Soraya pagi ini. Ia sudah memakai kemeja dan celana hitam. “Kenapa nggak besok aja, sih? Biar Ayah sama Ibu bisa antarkan?”Kiran hanya tersenyum. “Aku udah terlanjur janji sama Axel, Yah. Takutnya nanti malah jadi tantrum kayak kemarin-kemarin kalau aku ingkar janji. Ayah kan tahu dia sensitif bang
**“Karan?”Kedua mata Kiran sontak melebar kala ia melihat perempuan itu berdiri di ambang pintu kafe. Nevia, ya. Sekarang ia sedang mengayun langkah mendekat, menghampiri suaminya yang masih belum sempat ia membuat pergerakan apapun.“Nev?”“Kamu lagi apa di sini sama dia?” Nevia menunjuk Kiran dengan terang-terangan. Wajahnya biasa saja, tidak menyiratkan emosi apapun. Namun, tetap saja Kiran yang merasa rikuh sendiri. Rasanya seperti sedang bermain belakang dengan suami orang. Padahal secara harfiah, status keduanya masih sama sampai detik ini.“Oh, itu, Nev ….”“Nggak ada. Aku cuma kebetulan lagi makan siang, terus dia datang.”“Dia datang?” Nevia memutar pandangan dengan heran kepada Kiran yang masih kebingungan di tempat. “Kamu sengaja dateng ke sini buat ketemu sama Karan, begitu?”Kiran mengernyit, untuk sesaat ia merasa akan merendah. Namun selanjutnya, ia pikir mengapa harus melakukan hal itu?“Ya, aku sengaja datang.” Begitulah akhirnya yang Kiran ucapkan. Ia memandang lur
**Soraya dan Herman bertukar pandang. Mendadak saja atmosfer kurang menyenangkan melingkupi ruang makan itu, setelah Kiran berkata dengan ekspresi agak serius. Soraya seperti bisa merasakan apa yang akan menantunya katakan bukanlah hal yang baik. Namun, wanita itu tetap menanggapi dengan senyum agar suasana tidak terasa semakin suram. Ia pikir, mungkin ini hanya perasaannya saja.“Mau sampaikan apa, Ki? Jangan serius begitu, dong. Ibu sama Ayah jadi tegang sendiri ini bawaannya kalau kamu begitu.”Kiran tersenyum, meski tampak jelas pendar luka memantul dari kedua obsidiannya yang berkilau. Lapisan bening sudah tampak di sana bahkan sebelum Kiran sempat mengatakan sesuatu.“Ibu, Ayah ….” Perempuan itu masih sempat mengambil jeda untuk menarik napas. “Aku minta izin untuk pindah dari sini.”Hening setelahnya. Soraya setengahnya tidak mempercayai pendengarannya. Wanita itu meraih gelas berisi air minum dan meneguk separuh isinya sebab tenggorokannya yang tiba-tiba saja terasa sangat ke
**Ini hari minggu. Karan mengerjapkan mata setelah terbangun dari tidurnya. Tetap berada pada posisi awal, berdiam diri di atas ranjang dan tidak berniat melakukan apapun lagi. Seharusnya hari ini akan menjadi hari yang menyenangkan jika saja ia bisa melewatkannya bersama Nevia. Entah memasak bersama, mungkin berjalan-jalan ke taman kota, atau bahkan hanya bermalas-malasan saja di rumah. Namun sayang, perempuan itu lagi-lagi tidak ada bersamanya. Karan tidak tahu. Sampai di titik ini, ia rasa sudah tidak punya gagasan lagi tentang istrinya itu.Setengah tahun berlalu semenjak hari pernikahan itu, dan sampai detik ini, Karan masih perjaka. Ya, setidaknya seperti itulah yang ia rasakan. Sebab ia sama sekali belum pernah menyentuh istrinya seujung kuku pun. Nevia selalu memiliki seribu satu alasan untuk menolak. Membuat Karan frustasi saja.“Aku bisa aja memaksa dia atau menggunakan kekerasan, tapi aku nggak mau seperti itu. Bagaimanapun, Nevia adalah perempuan yang aku sayangi. Aku ing
**“Tapi kamu udah janji, Nev. Ini udah satu minggu sejak kamu janji. Sebenernya ada apa, sih? Apa yang kamu sembunyikan?” Karan berucap dengan emosi yang nyaris tidak bisa ia tahan. Menatap lekat kepada istrinya yang tampak salah tingkah sendiri. “Aku masih harus ketemu klien sebentar, Kar. Sebentar kok, nggak akan lama. Setelahnya, aku pasti langsung pulang ke apartemen. Aku janji.”“Klien? Klien yang mana lagi? Hari ini kan nggak ada jadwal kunjungan sama sekali. Jangan mengada-ada.”“Aku nggak mengada-ada. Memang janjinya mendadak aku approve sore ini.”Karan mendesis. Ingin rasanya ia luapkan emosinya di sana saat itu juga kalau saja ia tidak ingat masih berada di ruangan kantor. Memang sudah tak ada pegawai lain yang tinggal selain dirinya dengan Nevia, namun CCTV yang berada di setiap sudut ruang tengah mengawasinya dengan sangat jelas.“Kar, aku janji akan temenin kamu di apartemen sore ini. Tapi aku harus pergi dulu sebentar. Kamu pulang duluan, oke?”Tak ada yang bisa Karan
**“Nevia, apa yang kamu lakukan dengan dia?”Karan merasa dunia di sekitarnya mendadak kehilangan suara. Menenggelamkan dirinya dalam keheningan yang menyakitkan. Kedua matanya masih lekat menatap kepada sepasang entitas yang masih saling menempel di depan sana. Yang mana masih saling berpeluk sembari memagut dan bertukar saliva. Nevia dan Erika.Gelap rasanya dunia Karan. Ia membuka pintu mobilnya dan berjalan perlahan ke arah dua orang itu, membuat yang bersangkutan terhenyak kaget sebab sama sekali tidak mengira akan tertangkap basah melakukan hal di luar nalar pada tengah malam buta begini.“Jadi ini alasanmu?” Karan berucap pelan. Pandangannya bergantian antara Nevia dan satu yang lain di sampingnya.“Karan, kenapa kamu di sini?”“Menurutmu kenapa?”Nevia terlihat panik. Pandangannya bergetar, berganti-ganti dari Karan dan Erika. Perempuan itu sama sekali tidak menduga bahwa sang suami akan muncul di hadapannya pada keadaan seperti ini.“Ini nggak seperti yang kamu lihat, Karan.
**Karan berdiri di depan pintu unit apartemen di mana sebelumnya ia dan Nevia tinggal. Ia menunduk, memandang gamang lantai tempatnya berpijak. Galau apakah harus masuk atau tidak.“Nevia nggak akan ada di rumah jam segini,” gerutunya lirih, “Jadi kenapa aku harus ragu-ragu segala? Aku datang hanya untuk mengambil kembali barang-barangku.”Karan menghela napas, lantas memantapkan hati untuk melangkah masuk. Dan seperti yang ia sudah duga sebelumnya, apartemen itu sepi, tanpa penghuni. Tak ada tanda-tanda Nevia di sudut yang manapun.“Kamu benar-benar nggak mau menemui aku sama sekali untuk menjelaskan hal ini, Nev? Padahal sudah satu minggu berselang sejak kejadian itu.”Kata-kata itu tak sepenuhnya benar. Nevia memang tidak berusaha mendatangi Karan, namun bukan berarti perempuan itu mangkir sama sekali. Beberapa kali ia mengirim pesan teks atau mencoba menelepon, namun Karan terlalu sakit hati untuk mengangkat telepon atau membalas pesannya. Karan harap Nevia bersedia menemuinya se