**Ini hari minggu. Karan mengerjapkan mata setelah terbangun dari tidurnya. Tetap berada pada posisi awal, berdiam diri di atas ranjang dan tidak berniat melakukan apapun lagi. Seharusnya hari ini akan menjadi hari yang menyenangkan jika saja ia bisa melewatkannya bersama Nevia. Entah memasak bersama, mungkin berjalan-jalan ke taman kota, atau bahkan hanya bermalas-malasan saja di rumah. Namun sayang, perempuan itu lagi-lagi tidak ada bersamanya. Karan tidak tahu. Sampai di titik ini, ia rasa sudah tidak punya gagasan lagi tentang istrinya itu.Setengah tahun berlalu semenjak hari pernikahan itu, dan sampai detik ini, Karan masih perjaka. Ya, setidaknya seperti itulah yang ia rasakan. Sebab ia sama sekali belum pernah menyentuh istrinya seujung kuku pun. Nevia selalu memiliki seribu satu alasan untuk menolak. Membuat Karan frustasi saja.“Aku bisa aja memaksa dia atau menggunakan kekerasan, tapi aku nggak mau seperti itu. Bagaimanapun, Nevia adalah perempuan yang aku sayangi. Aku ing
**“Tapi kamu udah janji, Nev. Ini udah satu minggu sejak kamu janji. Sebenernya ada apa, sih? Apa yang kamu sembunyikan?” Karan berucap dengan emosi yang nyaris tidak bisa ia tahan. Menatap lekat kepada istrinya yang tampak salah tingkah sendiri. “Aku masih harus ketemu klien sebentar, Kar. Sebentar kok, nggak akan lama. Setelahnya, aku pasti langsung pulang ke apartemen. Aku janji.”“Klien? Klien yang mana lagi? Hari ini kan nggak ada jadwal kunjungan sama sekali. Jangan mengada-ada.”“Aku nggak mengada-ada. Memang janjinya mendadak aku approve sore ini.”Karan mendesis. Ingin rasanya ia luapkan emosinya di sana saat itu juga kalau saja ia tidak ingat masih berada di ruangan kantor. Memang sudah tak ada pegawai lain yang tinggal selain dirinya dengan Nevia, namun CCTV yang berada di setiap sudut ruang tengah mengawasinya dengan sangat jelas.“Kar, aku janji akan temenin kamu di apartemen sore ini. Tapi aku harus pergi dulu sebentar. Kamu pulang duluan, oke?”Tak ada yang bisa Karan
**“Nevia, apa yang kamu lakukan dengan dia?”Karan merasa dunia di sekitarnya mendadak kehilangan suara. Menenggelamkan dirinya dalam keheningan yang menyakitkan. Kedua matanya masih lekat menatap kepada sepasang entitas yang masih saling menempel di depan sana. Yang mana masih saling berpeluk sembari memagut dan bertukar saliva. Nevia dan Erika.Gelap rasanya dunia Karan. Ia membuka pintu mobilnya dan berjalan perlahan ke arah dua orang itu, membuat yang bersangkutan terhenyak kaget sebab sama sekali tidak mengira akan tertangkap basah melakukan hal di luar nalar pada tengah malam buta begini.“Jadi ini alasanmu?” Karan berucap pelan. Pandangannya bergantian antara Nevia dan satu yang lain di sampingnya.“Karan, kenapa kamu di sini?”“Menurutmu kenapa?”Nevia terlihat panik. Pandangannya bergetar, berganti-ganti dari Karan dan Erika. Perempuan itu sama sekali tidak menduga bahwa sang suami akan muncul di hadapannya pada keadaan seperti ini.“Ini nggak seperti yang kamu lihat, Karan.
**Karan berdiri di depan pintu unit apartemen di mana sebelumnya ia dan Nevia tinggal. Ia menunduk, memandang gamang lantai tempatnya berpijak. Galau apakah harus masuk atau tidak.“Nevia nggak akan ada di rumah jam segini,” gerutunya lirih, “Jadi kenapa aku harus ragu-ragu segala? Aku datang hanya untuk mengambil kembali barang-barangku.”Karan menghela napas, lantas memantapkan hati untuk melangkah masuk. Dan seperti yang ia sudah duga sebelumnya, apartemen itu sepi, tanpa penghuni. Tak ada tanda-tanda Nevia di sudut yang manapun.“Kamu benar-benar nggak mau menemui aku sama sekali untuk menjelaskan hal ini, Nev? Padahal sudah satu minggu berselang sejak kejadian itu.”Kata-kata itu tak sepenuhnya benar. Nevia memang tidak berusaha mendatangi Karan, namun bukan berarti perempuan itu mangkir sama sekali. Beberapa kali ia mengirim pesan teks atau mencoba menelepon, namun Karan terlalu sakit hati untuk mengangkat telepon atau membalas pesannya. Karan harap Nevia bersedia menemuinya se
**Kiran tercenung di depan meja kerjanya. Tatapannya kosong, menerawang layar ponsel di mana sebuah foto terpampang di sana. Foto seorang perempuan berusia sekitar akhir tiga puluhan yang sedang tersenyum lebar kepada kamera. Jari-jari tangan perempuan itu membentuk huruf V.Itu Mila, seorang tante, saudara jauh ibu kandungnya yang saat Kiran kecil dulu, sempat tinggal bersama sebab orang tuanya bercerai. Secara kebetulan yang ajaib, belakangan ini Mila menemukan kontak Kiran lewat akun media sosial, dan beberapa saat berikutnya, keduanya telah bertukar kabar dan saling melepas rindu melalui ponsel.“Kiran, mau ya menyusul Tante di sini. Tante juga hidup sendirian di sini. Tante akan senang sekali kalau ada teman. Jangan khawatir, Tante yang akan belikan tiket pesawatnya. Nanti Tante jemput di bandara. Kamu dan putramu. Mau, ya?”Itu sungguh tawaran yang patut dipertimbangkan. Kiran juga tak menyangka akan menemukan lagi saudara lamanya yang telah sekian tahun ia lupakan. Dan hidup b
**Kiran melayangkan pandangan penuh tanya kepada ibu mertuanya. Meminta penjelasan secara nonverbal dari wanita yang berada di sampingnya itu.“Ibu?”“Ah, Kiran … jadi begini.”Kiran kembali mengalihkan atensi lambat-lambat ke arah ambang pintu kamar. Sang mantan suami masih berdiri di sana dengan ekspresi rumit. Kiran mengernyit, menelisik sosok yang sama sekali tidak memandangnya balik itu. Entah mengapa Kiran pikir keadaan pria itu tidak sedang baik-baik saja, dan karenanya hati Kiran sakit sekali. Karan terlihat kurus dan menyedihkan.Hanya sekian menit berdiri di sana, pria itu kemudian kembali masuk dan menutup pintu kamarnya rapat-rapat.“Ibu, bisa jelaskan ini sama aku?” desak Kiran dengan suara menuntut. “Jadi karena ini Ibu meminta aku datang? Ini maksud Ibu berkata sebenarnya ini bukan urusanku, kemarin?”Soraya menghela napas. Tampak mencari celah, dari mana sebaiknya ia ceritakan semua ini. Menantunya tidak tampak baik.Namun sebelum wanita itu mengatakan apapun, suara d
**Pergilah yang jauh, dan jangan pernah berpikir untuk kembali lagi.Kiran masih sesekali terisak. Masih sesekali pula mengusap air mata yang satu dua kali lolos dari ujung netra sembabnya. Ia mengalihkan pandang pada jendela, yang mana sedang menampakkan gulungan samudera awan. Putih, bergulung-gulung, dan sesekali melayang begitu dekat dengan jendela tempatnya termenung. Ia menghindari memandang Axel yang seperti mengerti, diam seribu bahasa walau tidak sedang tidur. Benar kata orang, ikatan batin ibu dan anak itu begitu erat. Axel tahu bahwa hati sang ibunda sedang runtuh berkeping-keping menjadi seribu serpihan. Bayi laki-laki itu hanya lekat menatap sang ibu dalam diam sejak tadi bertolak dari bandara.Di sini akhirnya ibu dan anak itu. Berada di atas ketinggian tiga puluh lima ribu kaki di atas hamparan biru Laut China Selatan. Tujuh atau delapan jam melayang di angkasa, demi melupakan cinta pertama yang tak pernah berbalas. Tragis sekali.Kembali terlintas dalam benak, betapa
**Empat Tahun Kemudian.“Mama!”Kiran mengalihkan atensi dari panci-panci berisi sup miso yang berada di hadapannya. Senyum lebarnya merekah kala mendapati bocah tampan berusia hampir lima tahun yang berlari mendekatinya. Kiran membungkuk dan menyambut si bocah dalam pelukan.“Axel-Chan, sudah pulang, Baby?” Perempuan itu mengecup singkat pipi gembil putranya yang merah merekah sebab udara panas dan terlalu bersemangat.“Sudah, Mama. Tadi Rei-Sensei yang antar Axel pulang. Itu orangnya di sana, tuh.” Bocah tampan itu menunjuk pintu masuk kafe di mana ibu dan anak itu berada. Seorang laki-laki yang berparas seperti seorang idol tampak berdiri kikuk dan tersenyum di sana. Kiran tercenung sesaat sebelum menegakkan tubuh dan mulai melangkah mendekati pria tersebut.“Ah, Rei-Sama?”“Tolong jangan memanggilku begitu.” Pria itu menampilkan wajah tidak setuju segera. “Jangan terlalu formal, oke? Aku hanya gurunya Axel-Chan.”“Ah, emm ….” Kiran tersenyum, ia menundukkan kepala singkat, khas o