**Karan berdiri di depan pintu unit apartemen di mana sebelumnya ia dan Nevia tinggal. Ia menunduk, memandang gamang lantai tempatnya berpijak. Galau apakah harus masuk atau tidak.“Nevia nggak akan ada di rumah jam segini,” gerutunya lirih, “Jadi kenapa aku harus ragu-ragu segala? Aku datang hanya untuk mengambil kembali barang-barangku.”Karan menghela napas, lantas memantapkan hati untuk melangkah masuk. Dan seperti yang ia sudah duga sebelumnya, apartemen itu sepi, tanpa penghuni. Tak ada tanda-tanda Nevia di sudut yang manapun.“Kamu benar-benar nggak mau menemui aku sama sekali untuk menjelaskan hal ini, Nev? Padahal sudah satu minggu berselang sejak kejadian itu.”Kata-kata itu tak sepenuhnya benar. Nevia memang tidak berusaha mendatangi Karan, namun bukan berarti perempuan itu mangkir sama sekali. Beberapa kali ia mengirim pesan teks atau mencoba menelepon, namun Karan terlalu sakit hati untuk mengangkat telepon atau membalas pesannya. Karan harap Nevia bersedia menemuinya se
**Kiran tercenung di depan meja kerjanya. Tatapannya kosong, menerawang layar ponsel di mana sebuah foto terpampang di sana. Foto seorang perempuan berusia sekitar akhir tiga puluhan yang sedang tersenyum lebar kepada kamera. Jari-jari tangan perempuan itu membentuk huruf V.Itu Mila, seorang tante, saudara jauh ibu kandungnya yang saat Kiran kecil dulu, sempat tinggal bersama sebab orang tuanya bercerai. Secara kebetulan yang ajaib, belakangan ini Mila menemukan kontak Kiran lewat akun media sosial, dan beberapa saat berikutnya, keduanya telah bertukar kabar dan saling melepas rindu melalui ponsel.“Kiran, mau ya menyusul Tante di sini. Tante juga hidup sendirian di sini. Tante akan senang sekali kalau ada teman. Jangan khawatir, Tante yang akan belikan tiket pesawatnya. Nanti Tante jemput di bandara. Kamu dan putramu. Mau, ya?”Itu sungguh tawaran yang patut dipertimbangkan. Kiran juga tak menyangka akan menemukan lagi saudara lamanya yang telah sekian tahun ia lupakan. Dan hidup b
**Kiran melayangkan pandangan penuh tanya kepada ibu mertuanya. Meminta penjelasan secara nonverbal dari wanita yang berada di sampingnya itu.“Ibu?”“Ah, Kiran … jadi begini.”Kiran kembali mengalihkan atensi lambat-lambat ke arah ambang pintu kamar. Sang mantan suami masih berdiri di sana dengan ekspresi rumit. Kiran mengernyit, menelisik sosok yang sama sekali tidak memandangnya balik itu. Entah mengapa Kiran pikir keadaan pria itu tidak sedang baik-baik saja, dan karenanya hati Kiran sakit sekali. Karan terlihat kurus dan menyedihkan.Hanya sekian menit berdiri di sana, pria itu kemudian kembali masuk dan menutup pintu kamarnya rapat-rapat.“Ibu, bisa jelaskan ini sama aku?” desak Kiran dengan suara menuntut. “Jadi karena ini Ibu meminta aku datang? Ini maksud Ibu berkata sebenarnya ini bukan urusanku, kemarin?”Soraya menghela napas. Tampak mencari celah, dari mana sebaiknya ia ceritakan semua ini. Menantunya tidak tampak baik.Namun sebelum wanita itu mengatakan apapun, suara d
**Pergilah yang jauh, dan jangan pernah berpikir untuk kembali lagi.Kiran masih sesekali terisak. Masih sesekali pula mengusap air mata yang satu dua kali lolos dari ujung netra sembabnya. Ia mengalihkan pandang pada jendela, yang mana sedang menampakkan gulungan samudera awan. Putih, bergulung-gulung, dan sesekali melayang begitu dekat dengan jendela tempatnya termenung. Ia menghindari memandang Axel yang seperti mengerti, diam seribu bahasa walau tidak sedang tidur. Benar kata orang, ikatan batin ibu dan anak itu begitu erat. Axel tahu bahwa hati sang ibunda sedang runtuh berkeping-keping menjadi seribu serpihan. Bayi laki-laki itu hanya lekat menatap sang ibu dalam diam sejak tadi bertolak dari bandara.Di sini akhirnya ibu dan anak itu. Berada di atas ketinggian tiga puluh lima ribu kaki di atas hamparan biru Laut China Selatan. Tujuh atau delapan jam melayang di angkasa, demi melupakan cinta pertama yang tak pernah berbalas. Tragis sekali.Kembali terlintas dalam benak, betapa
**Empat Tahun Kemudian.“Mama!”Kiran mengalihkan atensi dari panci-panci berisi sup miso yang berada di hadapannya. Senyum lebarnya merekah kala mendapati bocah tampan berusia hampir lima tahun yang berlari mendekatinya. Kiran membungkuk dan menyambut si bocah dalam pelukan.“Axel-Chan, sudah pulang, Baby?” Perempuan itu mengecup singkat pipi gembil putranya yang merah merekah sebab udara panas dan terlalu bersemangat.“Sudah, Mama. Tadi Rei-Sensei yang antar Axel pulang. Itu orangnya di sana, tuh.” Bocah tampan itu menunjuk pintu masuk kafe di mana ibu dan anak itu berada. Seorang laki-laki yang berparas seperti seorang idol tampak berdiri kikuk dan tersenyum di sana. Kiran tercenung sesaat sebelum menegakkan tubuh dan mulai melangkah mendekati pria tersebut.“Ah, Rei-Sama?”“Tolong jangan memanggilku begitu.” Pria itu menampilkan wajah tidak setuju segera. “Jangan terlalu formal, oke? Aku hanya gurunya Axel-Chan.”“Ah, emm ….” Kiran tersenyum, ia menundukkan kepala singkat, khas o
**“Bapak Karan, tanda tangannya sebelah sini, Pak.”Karan terkesiap, ia sesegera mungkin mengembalikan fokusnya yang beberapa saat yang lalu sempat melantur entah ke mana. Pria itu buru-buru mengambil pena dan membubuhkan tanda tangannya di kotak kecil di bagian kertas yang paling bawah, yang disodorkan oleh sekretarisnya.“Pak, untuk meeting evaluasi besok, bahan presentasinya sudah saya kirimkan via email. Bisa mohon Bapak periksa dulu?” Perempuan muda itu berujar selepas menarik kembali kertas yang telah Karan tanda tangani. Sang bos kemudian menghela napas lelah.“Saya akan periksa, tapi untuk meeting besok, bisa tolong kamu aja yang pimpin?”“Saya?” Si sekretaris mengerutkan kening dengan khawatir. “Bapak berhalangan hadir, kah? Bapak baik-baik saja?” “Baik-baik aja. Hanya belakangan ini sering pusing.”“Bapak yakin baik-baik saja? Perlu saya kontak dokter, Pak? Atau bapak mau diantarkan periksa ke rumah sakit?”Karan menggeleng singkat sementara berusaha tersenyum. “No need. M
**"Akh, astaga!"Kiran terkejut saat permukaan tipis logam terasa menembus permukaan kulitnya. Perempuan itu segera meletakkan pisau besar yang sedang ia pegang. Setitik cairan merah segar menetes dari ujung jarinya yang tergores."Udah tua begini, pegang pisau masih aja kena. Dasar!" gerutunya kepada diri sendiri sementara beranjak dari counter dapur kafe. Melangkah menuju kotak P3K di sisi lain dinding dapur.Perempuan itu kemudian berjinjit untuk mengaduk isi kotak kayu berwarna putih yang terbuka di hadapannya. Berharap menemukan plester untuk menutupi luka di ujung jari yang kini mulai terasa perih. Namun, tak ia temukan benda tersebut di sana."Oke, baiklah. Plesternya habis. Mungkin aku harus lari sebentar buat beli di minimarket depan–""Tadaima! Oka-San!""Oh?" Kiran terkejut saat suara riang gembira terdengar dari arah pintu. Perempuan itu melupakan luka di ujung jarinya dan segera mengayun langkah ke arah sana. Mendapati putra tercintanya yang baru datang. "Ah, okaeri, Axe
**“Watashi, Kiran.”Musik ceria dan celoteh riang anak-anak yang berada di sekitar sana, mendadak seperti di-mute oleh semesta. Dalam senyapnya rasa, Kiran diam tertegun. Ia menatap lurus kepada manik gelap yang dibingkai kelopak sipit itu. Untuk beberapa saat, keduanya hanya diam dan saling memandang, hingga kemudian Kiran perlahan mengalihkan atensi sebab tak lagi mampu menyelami dalamnya samudera di balik netra Reita yang masih menyorot teduh.“Ahahaha … domo arigatou, Rei-Sensei. Saya merasa tersanjung.” Perempuan itu menggaruk tengkuk dengan jengah. Berusaha keluar dari situasi awkward yang bagaimanapun tidak bisa keduanya hindari setelah pengakuan Rei tadi. Kiran adalah seorang introvert yang agak sulit mencairkan suasana, ingat?“Kiran tidak menyukaiku, ya?”Dua kali tertegun. Perempuan itu hanya bisa mengedipkan mata sementara berusaha merangkai kata-kata untuk disampaikan. “Tentu saja saya menyukai anda, Rei-San. Anda sangat baik kepada saya dan Axel. Dan juga, sangat tampan