**“Bapak Karan, tanda tangannya sebelah sini, Pak.”Karan terkesiap, ia sesegera mungkin mengembalikan fokusnya yang beberapa saat yang lalu sempat melantur entah ke mana. Pria itu buru-buru mengambil pena dan membubuhkan tanda tangannya di kotak kecil di bagian kertas yang paling bawah, yang disodorkan oleh sekretarisnya.“Pak, untuk meeting evaluasi besok, bahan presentasinya sudah saya kirimkan via email. Bisa mohon Bapak periksa dulu?” Perempuan muda itu berujar selepas menarik kembali kertas yang telah Karan tanda tangani. Sang bos kemudian menghela napas lelah.“Saya akan periksa, tapi untuk meeting besok, bisa tolong kamu aja yang pimpin?”“Saya?” Si sekretaris mengerutkan kening dengan khawatir. “Bapak berhalangan hadir, kah? Bapak baik-baik saja?” “Baik-baik aja. Hanya belakangan ini sering pusing.”“Bapak yakin baik-baik saja? Perlu saya kontak dokter, Pak? Atau bapak mau diantarkan periksa ke rumah sakit?”Karan menggeleng singkat sementara berusaha tersenyum. “No need. M
**"Akh, astaga!"Kiran terkejut saat permukaan tipis logam terasa menembus permukaan kulitnya. Perempuan itu segera meletakkan pisau besar yang sedang ia pegang. Setitik cairan merah segar menetes dari ujung jarinya yang tergores."Udah tua begini, pegang pisau masih aja kena. Dasar!" gerutunya kepada diri sendiri sementara beranjak dari counter dapur kafe. Melangkah menuju kotak P3K di sisi lain dinding dapur.Perempuan itu kemudian berjinjit untuk mengaduk isi kotak kayu berwarna putih yang terbuka di hadapannya. Berharap menemukan plester untuk menutupi luka di ujung jari yang kini mulai terasa perih. Namun, tak ia temukan benda tersebut di sana."Oke, baiklah. Plesternya habis. Mungkin aku harus lari sebentar buat beli di minimarket depan–""Tadaima! Oka-San!""Oh?" Kiran terkejut saat suara riang gembira terdengar dari arah pintu. Perempuan itu melupakan luka di ujung jarinya dan segera mengayun langkah ke arah sana. Mendapati putra tercintanya yang baru datang. "Ah, okaeri, Axe
**“Watashi, Kiran.”Musik ceria dan celoteh riang anak-anak yang berada di sekitar sana, mendadak seperti di-mute oleh semesta. Dalam senyapnya rasa, Kiran diam tertegun. Ia menatap lurus kepada manik gelap yang dibingkai kelopak sipit itu. Untuk beberapa saat, keduanya hanya diam dan saling memandang, hingga kemudian Kiran perlahan mengalihkan atensi sebab tak lagi mampu menyelami dalamnya samudera di balik netra Reita yang masih menyorot teduh.“Ahahaha … domo arigatou, Rei-Sensei. Saya merasa tersanjung.” Perempuan itu menggaruk tengkuk dengan jengah. Berusaha keluar dari situasi awkward yang bagaimanapun tidak bisa keduanya hindari setelah pengakuan Rei tadi. Kiran adalah seorang introvert yang agak sulit mencairkan suasana, ingat?“Kiran tidak menyukaiku, ya?”Dua kali tertegun. Perempuan itu hanya bisa mengedipkan mata sementara berusaha merangkai kata-kata untuk disampaikan. “Tentu saja saya menyukai anda, Rei-San. Anda sangat baik kepada saya dan Axel. Dan juga, sangat tampan
**“Tante, aku nggak bisa mencintai dia.”Kiran terdiam dan menunduk. Entah mengapa tidak berani memandang sang tante yang juga tidak menyuarakan apapun. Keheningan yang mengisi suasana terasa sangat tidak nyaman, namun Kiran benar-benar tidak memiliki apapun untuk dikatakan lagi.Hingga akhirnya suara pelan Mila yang mengakhiri kebisuan itu. “Ah, begitu ya? Kamu nggak suka sama dia?”“Bukan nggak suka, tapi nggak cinta, Tan. Dua hal itu punya dua konteks yang berbeda, kan?” Kali ini, Kiran memberanikan diri mengangkat wajah. Dan ya, sang tante sedang menatapnya lurus.“Tapi kamu masih ada keinginan untuk bersama dia, kan?”“Aku ….”Mila memandang lekat kepada sang keponakan. Menunggu jawaban apa yang sekiranya akan disampaikan oleh perempuan itu. Namun hingga beberapa saat lamanya, Kiran masih juga terdiam, tak mengatakan apapun. Meski demikian, Mila paham apa yang terjadi.“Nggak masalah kalau kamu nggak mencintai Pak Rei sekarang. Kalau kamu kasih dia kesempatan, rasa cinta itu aka
**Karan tertegun di depan sebuah rumah. Ia menatap kosong kepada bangunan yang terlihat sangat sunyi tersebut. Netra gelapnya bergetar, menelisik setiap sudut rumah yang walaupun sepi bagai tak berpenghuni, namun tampak rapi itu. Ragu-ragu, dengan hati sesak dan kaki yang seperti tidak bisa digerakkan ia mencoba menarik pintu gerbangnya hingga terbuka. Bersamaan dengan itu, seorang perempuan separuh baya muncul dari bagian samping halaman rumah tersebut.“Selamat siang,” sapa Karan dengan senyum yang dipaksakan.“Siang.” Perempuan itu menyahut, mendekat dengan raut wajahnya yang tampak heran. “Cari siapa ya, Mas?”“Ah, apa benar ini rumahnya Kiran, Bu? Kiran Cahya Rengganis?”Wanita itu mengerutkan alis sebelum menjawab. Pandangan matanya menelisik Karan dari atas ke bawah. Karan sama sekali tidak mengenal wanita ini, namun jika ditatap seperti itu, ia jadi merasa punya kesalahan pribadi kepadanya.“Bu?”“Ah, ya.” Wanita itu terkesiap sedikit. “Ya, ini rumah almarhum kedua orang tua
**Karan tercenung di tepian jendela, menatap hamparan langit biru dan awan-awan kapas yang mengapung rendah di sampingnya. Pandangannya kosong, terombang-ambing di atas ketinggian tiga puluh lima ribu kaki di atas daratan bersama pesawat besar serta puluhan penumpang di dalamnya. Ia berangkat, akhirnya. Menyusul sosok yang sempat ia sia-siakan hingga pergi sejauh ini. Ia menghela napas, terasa sekali sesak yang menghimpit dada. Karan sama sekali tidak berani berekspektasi lebih selain bisa menemukan Kiran. Itu saja. Meski ia juga sama sekali tidak tahu di bagian sebelah mana Jepang mantan istrinya berada. Ia sama sekali tidak mau berharap banyak perempuan itu masih mau kembali kepadanya. Karan tahu sakit yang ia goreskan pada hati Kiran terlalu dalam untuk dimaafkan.“Kalau nggak salah, nama kotanya Kyoto ….”Hanya itu yang Karan bisa jadikan pegangan. Sepotong informasi dari wanita yang menempati rumah lama Kiran. Kyoto saja, tanpa ada petunjuk yang lain. Jadi, lewat jalan yang mana
**Axel kecil mendudukkan diri di kursi kafe paling sudut. Ia letakkan tas sekolahnya di sana, kemudian menaikkan celana panjang yang ia kenakan dengan hati-hati. Kedua netra bulatnya yang berbinar bening memandang baik-baik lututnya yang ternyata mendapat sedikit memar merah.“Oh, ini nggak apa-apa,” gumamnya dengan kepala mengangguk-angguk. “Axel is okay.”“Axel-Chan apa lututnya luka? Apakah sakit?” Reita datang, meletakkan segelas susu di hadapan si bocah sebelum berjongkok dan turut memandangi kedua kaki mungil itu.“Ie.” Axel menggeleng. “Tidak luka, Sensei. Tidak apa-apa.”“Lain kali hati-hati, hm? Memangnya kenapa tadi lari-lari begitu?”“Arisu mengejarku. Dia pegang ulat bulu, aku kan takut.”Sebentar kemudian, celoteh riang Axel tentang teman-teman sekolahnya mulai mengalir. Ditanggapi dengan senang hati oleh Reita yang sudah berpindah tempat duduk ke samping si bocah. Dari kejauhan, Kiran memandang keduanya dengan senyum mengembang di bibir. Hanya melihat putranya ceria sep
**Kiran memasukkan beberapa box plastik berisi beberapa jenis makanan ke dalam tote bag yang sudah ia siapkan. Memeriksa sekali lagi apa-apa yang sudah ia bawa, sebelum beralih kepada Mila yang sedang berada di pantry.“Tante, maaf ya, aku tinggal pergi sebentar,” ucapnya dengan nada penuh sesal. Membuat wanita yang sedang sibuk dengan panci-panci besar itu meninggalkan kegiatannya sejenak. Mila keluar dari pantry dan menghampiri sang keponakan.“Lama juga nggak apa-apa, sih.”“No, aku cuma akan jemput Axel dan temenin dia makan siang aja, kok.”“Dan kencan sama Pak Reita yang ganteng.”“Tante, please.”Mila tertawa renyah. Senang hati saat melihat wajah cemberut keponakan tercintanya. Akhir-akhir ini, hobi Mila adalah menggoda Kiran terkait kedekatannya dengan pak guru tampan itu. Meski yang bersangkutan sendiri selalu berusaha menampik.“Asal kamu tau aja, Tante malah akan dengan senang hati mengizinkan kalaupun kamu mau makan siang di luar setiap hari sama Pak Rei, Ki. Tante senen