**“Tante, aku nggak bisa mencintai dia.”Kiran terdiam dan menunduk. Entah mengapa tidak berani memandang sang tante yang juga tidak menyuarakan apapun. Keheningan yang mengisi suasana terasa sangat tidak nyaman, namun Kiran benar-benar tidak memiliki apapun untuk dikatakan lagi.Hingga akhirnya suara pelan Mila yang mengakhiri kebisuan itu. “Ah, begitu ya? Kamu nggak suka sama dia?”“Bukan nggak suka, tapi nggak cinta, Tan. Dua hal itu punya dua konteks yang berbeda, kan?” Kali ini, Kiran memberanikan diri mengangkat wajah. Dan ya, sang tante sedang menatapnya lurus.“Tapi kamu masih ada keinginan untuk bersama dia, kan?”“Aku ….”Mila memandang lekat kepada sang keponakan. Menunggu jawaban apa yang sekiranya akan disampaikan oleh perempuan itu. Namun hingga beberapa saat lamanya, Kiran masih juga terdiam, tak mengatakan apapun. Meski demikian, Mila paham apa yang terjadi.“Nggak masalah kalau kamu nggak mencintai Pak Rei sekarang. Kalau kamu kasih dia kesempatan, rasa cinta itu aka
**Karan tertegun di depan sebuah rumah. Ia menatap kosong kepada bangunan yang terlihat sangat sunyi tersebut. Netra gelapnya bergetar, menelisik setiap sudut rumah yang walaupun sepi bagai tak berpenghuni, namun tampak rapi itu. Ragu-ragu, dengan hati sesak dan kaki yang seperti tidak bisa digerakkan ia mencoba menarik pintu gerbangnya hingga terbuka. Bersamaan dengan itu, seorang perempuan separuh baya muncul dari bagian samping halaman rumah tersebut.“Selamat siang,” sapa Karan dengan senyum yang dipaksakan.“Siang.” Perempuan itu menyahut, mendekat dengan raut wajahnya yang tampak heran. “Cari siapa ya, Mas?”“Ah, apa benar ini rumahnya Kiran, Bu? Kiran Cahya Rengganis?”Wanita itu mengerutkan alis sebelum menjawab. Pandangan matanya menelisik Karan dari atas ke bawah. Karan sama sekali tidak mengenal wanita ini, namun jika ditatap seperti itu, ia jadi merasa punya kesalahan pribadi kepadanya.“Bu?”“Ah, ya.” Wanita itu terkesiap sedikit. “Ya, ini rumah almarhum kedua orang tua
**Karan tercenung di tepian jendela, menatap hamparan langit biru dan awan-awan kapas yang mengapung rendah di sampingnya. Pandangannya kosong, terombang-ambing di atas ketinggian tiga puluh lima ribu kaki di atas daratan bersama pesawat besar serta puluhan penumpang di dalamnya. Ia berangkat, akhirnya. Menyusul sosok yang sempat ia sia-siakan hingga pergi sejauh ini. Ia menghela napas, terasa sekali sesak yang menghimpit dada. Karan sama sekali tidak berani berekspektasi lebih selain bisa menemukan Kiran. Itu saja. Meski ia juga sama sekali tidak tahu di bagian sebelah mana Jepang mantan istrinya berada. Ia sama sekali tidak mau berharap banyak perempuan itu masih mau kembali kepadanya. Karan tahu sakit yang ia goreskan pada hati Kiran terlalu dalam untuk dimaafkan.“Kalau nggak salah, nama kotanya Kyoto ….”Hanya itu yang Karan bisa jadikan pegangan. Sepotong informasi dari wanita yang menempati rumah lama Kiran. Kyoto saja, tanpa ada petunjuk yang lain. Jadi, lewat jalan yang mana
**Axel kecil mendudukkan diri di kursi kafe paling sudut. Ia letakkan tas sekolahnya di sana, kemudian menaikkan celana panjang yang ia kenakan dengan hati-hati. Kedua netra bulatnya yang berbinar bening memandang baik-baik lututnya yang ternyata mendapat sedikit memar merah.“Oh, ini nggak apa-apa,” gumamnya dengan kepala mengangguk-angguk. “Axel is okay.”“Axel-Chan apa lututnya luka? Apakah sakit?” Reita datang, meletakkan segelas susu di hadapan si bocah sebelum berjongkok dan turut memandangi kedua kaki mungil itu.“Ie.” Axel menggeleng. “Tidak luka, Sensei. Tidak apa-apa.”“Lain kali hati-hati, hm? Memangnya kenapa tadi lari-lari begitu?”“Arisu mengejarku. Dia pegang ulat bulu, aku kan takut.”Sebentar kemudian, celoteh riang Axel tentang teman-teman sekolahnya mulai mengalir. Ditanggapi dengan senang hati oleh Reita yang sudah berpindah tempat duduk ke samping si bocah. Dari kejauhan, Kiran memandang keduanya dengan senyum mengembang di bibir. Hanya melihat putranya ceria sep
**Kiran memasukkan beberapa box plastik berisi beberapa jenis makanan ke dalam tote bag yang sudah ia siapkan. Memeriksa sekali lagi apa-apa yang sudah ia bawa, sebelum beralih kepada Mila yang sedang berada di pantry.“Tante, maaf ya, aku tinggal pergi sebentar,” ucapnya dengan nada penuh sesal. Membuat wanita yang sedang sibuk dengan panci-panci besar itu meninggalkan kegiatannya sejenak. Mila keluar dari pantry dan menghampiri sang keponakan.“Lama juga nggak apa-apa, sih.”“No, aku cuma akan jemput Axel dan temenin dia makan siang aja, kok.”“Dan kencan sama Pak Reita yang ganteng.”“Tante, please.”Mila tertawa renyah. Senang hati saat melihat wajah cemberut keponakan tercintanya. Akhir-akhir ini, hobi Mila adalah menggoda Kiran terkait kedekatannya dengan pak guru tampan itu. Meski yang bersangkutan sendiri selalu berusaha menampik.“Asal kamu tau aja, Tante malah akan dengan senang hati mengizinkan kalaupun kamu mau makan siang di luar setiap hari sama Pak Rei, Ki. Tante senen
**Dua minggu sudah.Karan termenung di bangku taman yang kini sudah menjadi tempat favoritnya. Dua minggu berlalu, dan ia sama sekali belum menemukan jejak Kiran yang seperti hilang ditelan semesta. Karan bahkan sudah mencarinya lewat media sosial setiap malam. Namun nihil, bahkan jejaknya saja tak ada yang tahu.“Mungkin aku memang salah tempat,” gumamnya sementara mengawasi sepasang burung gereja yang beterbangan dengan riang gembira di dekatnya. “Mungkin Kiran memang nggak ada di sini. Karena jujur saja, aku nggak membawa informasi apapun. Hanya nekat datang ke sini dan mencari sebisaku.”Pria itu menghela napas sembari menyandarkan punggungnya di sandaran kursi taman. Pandangannya menerawang, mengitari sudut-sudut taman yang terasa hening pada siang hari seperti ini. Ia baru bergerak saat ponselnya berdering nyaring. Pria itu menengok layarnya sekilas sebelum menerima panggilannya.“Halo, Ibu?” Benar, itu Soraya yang menelepon.“Karan?”“Iya, Bu.”“Sudah ada kemajuan, Nak? Kamu m
**“Mas Karan?”Kiran menyipitkan mata, mencoba memandang siluet itu, menembus halimun pekat yang menyelubungi semesta. Gelap sekali, bahkan Kiran tidak tahu apakah ini siang atau malam.“Mas Karan, apa itu kamu?” Kiran yakin, namun tidak yakin. Hanya siluet yang bisa ditangkap oleh penglihatannya. Namun hanya dari siluet saja, ia yakin bahwa itu adalah bayangan mantan suaminya. Ya, ia masih mengingat dengan baik bagaimana postur mantan prianya.Perempuan itu maju selangkah untuk mendapatkan atensi yang lebih baik. Benar, perlahan kabut pekat mulai tersingkap, menampakkan rupa dari siluet yang sedari tadi mengusik rasa ingin tahunya. Kiran terkesiap, kedua netranya membulat penuh. Ya, benar. Itu adalah Karan. Karan Raditya Gathfan, mantan suaminya.“Mas Karan, kamu lagi apa di sini?”Ia mendekat, sosok itu. Menampakkan dengan jelas raut wajahnya yang tampan, masih sama seperti yang terakhir Kiran lihat.“Kiran?”“Mas, kamu kenapa ada di sini?”“Aku mencarimu. Aku mencarimu ke mana-man
**Pria keturunan Jepang-Korea bermarga Lee itu tersenyum senang saat sekali lagi memandang benda di tangannya. Berbinar-binar, berkilauan, dan tampak elegan. Sebuah cincin perak dengan desain sederhana yang bertahtakan berlian kecil pada permukaannya.“Utsukushidesu yo ne, Axel-Chan?” Reita tunjukkan cincinnya kepada Axel untuk meminta pendapatnya, bagaimana menurut si bocah kecil cincin tersebut.Axel yang sedang menjilati es krim menoleh, menjatuhkan atensi dengan serius kepada benda berkilau yang dipegang sang sensei.“Bagus sekali, Sensei.” Axel mengangguk-angguk. “Tapi itu seharusnya dipakai orang perempuan, kan? Sensei suka yang seperti perempuan, ya?”Reita terkekeh geli mendengar itu. Axel polos dan pintar, selalu berhasil membuat suasana hati Reita menjadi bagus dengan kata-katanya yang jujur apa adanya.“Menurut Axel, siapa yang seharusnya memakai ini?”“Hum?”“Sensei mau memberikan ini kepada seorang perempuan. Menurutmu harus diberikan kepada siapa, Axel-Chan?”Kedua bola