**Dua minggu sudah.Karan termenung di bangku taman yang kini sudah menjadi tempat favoritnya. Dua minggu berlalu, dan ia sama sekali belum menemukan jejak Kiran yang seperti hilang ditelan semesta. Karan bahkan sudah mencarinya lewat media sosial setiap malam. Namun nihil, bahkan jejaknya saja tak ada yang tahu.“Mungkin aku memang salah tempat,” gumamnya sementara mengawasi sepasang burung gereja yang beterbangan dengan riang gembira di dekatnya. “Mungkin Kiran memang nggak ada di sini. Karena jujur saja, aku nggak membawa informasi apapun. Hanya nekat datang ke sini dan mencari sebisaku.”Pria itu menghela napas sembari menyandarkan punggungnya di sandaran kursi taman. Pandangannya menerawang, mengitari sudut-sudut taman yang terasa hening pada siang hari seperti ini. Ia baru bergerak saat ponselnya berdering nyaring. Pria itu menengok layarnya sekilas sebelum menerima panggilannya.“Halo, Ibu?” Benar, itu Soraya yang menelepon.“Karan?”“Iya, Bu.”“Sudah ada kemajuan, Nak? Kamu m
**“Mas Karan?”Kiran menyipitkan mata, mencoba memandang siluet itu, menembus halimun pekat yang menyelubungi semesta. Gelap sekali, bahkan Kiran tidak tahu apakah ini siang atau malam.“Mas Karan, apa itu kamu?” Kiran yakin, namun tidak yakin. Hanya siluet yang bisa ditangkap oleh penglihatannya. Namun hanya dari siluet saja, ia yakin bahwa itu adalah bayangan mantan suaminya. Ya, ia masih mengingat dengan baik bagaimana postur mantan prianya.Perempuan itu maju selangkah untuk mendapatkan atensi yang lebih baik. Benar, perlahan kabut pekat mulai tersingkap, menampakkan rupa dari siluet yang sedari tadi mengusik rasa ingin tahunya. Kiran terkesiap, kedua netranya membulat penuh. Ya, benar. Itu adalah Karan. Karan Raditya Gathfan, mantan suaminya.“Mas Karan, kamu lagi apa di sini?”Ia mendekat, sosok itu. Menampakkan dengan jelas raut wajahnya yang tampan, masih sama seperti yang terakhir Kiran lihat.“Kiran?”“Mas, kamu kenapa ada di sini?”“Aku mencarimu. Aku mencarimu ke mana-man
**Pria keturunan Jepang-Korea bermarga Lee itu tersenyum senang saat sekali lagi memandang benda di tangannya. Berbinar-binar, berkilauan, dan tampak elegan. Sebuah cincin perak dengan desain sederhana yang bertahtakan berlian kecil pada permukaannya.“Utsukushidesu yo ne, Axel-Chan?” Reita tunjukkan cincinnya kepada Axel untuk meminta pendapatnya, bagaimana menurut si bocah kecil cincin tersebut.Axel yang sedang menjilati es krim menoleh, menjatuhkan atensi dengan serius kepada benda berkilau yang dipegang sang sensei.“Bagus sekali, Sensei.” Axel mengangguk-angguk. “Tapi itu seharusnya dipakai orang perempuan, kan? Sensei suka yang seperti perempuan, ya?”Reita terkekeh geli mendengar itu. Axel polos dan pintar, selalu berhasil membuat suasana hati Reita menjadi bagus dengan kata-katanya yang jujur apa adanya.“Menurut Axel, siapa yang seharusnya memakai ini?”“Hum?”“Sensei mau memberikan ini kepada seorang perempuan. Menurutmu harus diberikan kepada siapa, Axel-Chan?”Kedua bola
**Karan menemukannya, tempat itu.Ia berdiri dengan gamang di depan sebuah kafe yang tampak nyaman dan estetik. Ragu-ragu untuk melangkah ke dalam, sebelum ingat bahwa ia menempuh perjalanan yang cukup sulit untuk ke sini.“Apa yang aku harapkan?” Ia bergumam, menatap nyalang tempat itu. Rasa hatinya hampa mengingat bahwa tidak akan ia temukan apa yang ia cari di tempat ini. Orang Indonesia ibu si bocah yang ia temui di taman waktu itu, bernama Mila Dewanti. Sudah sangat jelas dituliskan dalam artikel yang dibacanya dalam mesin pencari. Namun, Karan pikir tak ada salahnya mampir sejenak. Kalaupun tak ada Kiran, ia bisa menyapa si bocah dan menanyakan siapa namanya, kan?“Irasshaimase ….”Suara ramah itu menyapa pendengaran saat Karan melangkahkan kakinya masuk. Ia memaksakan diri untuk tersenyum kepada seorang wanita yang sepertinya berusia pertengahan tiga puluhan, yang membungkuk menyambutnya. Dan ya, wajahnya sangat Indonesia. Karan pikir inilah orangnya, owner tempat ini. Mila De
**Sudah terlambat?Seharusnya itu bukanlah sebuah pernyataan yang mengagetkan. Bukankah Karan sudah tahu semuanya? Ia bahkan sudah bertemu dengan pria yang ia pikir suami Kiran dua kali. Pria tampan bermata sipit yang waktu itu, kan? Memangnya apa lagi hubungannya dengan Kiran kalau bukan suami istri? Bahkan ia dengan senang hati menyebut Axel putranya, kan?Ya, seharusnya Karan tidak perlu lagi merasa kaget dan terpukul seperti ini. Tapi tidak bisa. Setelah menemukan bahwa semua ini fakta dan bukan hanya dugaannya, rasanya justru jauh, jauh lebih menyesakkan.Maka, pria itu bergumam pelan seraya mengalihkan pandangan dari Mila ke atas meja yang masih kosong, sebab sedari tadi keduanya hanyut dalam percakapan sampai Karan lupa memesan sesuatu. “Ah, ya … Ibu Mila–”“Panggil tante saja.”“Tante.” Karan mengulum senyum. “Ya, ya. Saya juga sudah tahu, kok. Saya sudah bertemu Axel dua kali. Dan tentu saja, saya juga sudah ketemu sama ayah barunya.”Mila sudah membuka mulut hendak mengatak
**“Aku mencintaimu. Menikahlah denganku.”Reita meraih sepasang tangan Kiran. Menggenggamnya dengan hangat, kemudian mengecupnya lembut. Membuat perempuan itu tertegun dalam diam.Tidak ada kata yang bisa Kiran ucapkan. Ia hanya memandang Reita yang juga tengah memusatkan atensi kepadanya. Pria itu tersenyum kecil dan memiringkan kepala, memberikan afeksi lembut kepada jemari Kiran yang masih belum ia lepaskan.“Re-Rei-San … saya ….”“Tidak apa-apa, aku akan menunggumu. Jika tidak saat ini, mungkin besok atau lusa.”Kiran tercekat. Ia masih tak bisa mengatakan apapun, hanya bisa menunduk dengan menyesal. Reita memiliki sebagian besar yang perempuan impikan dari sosok suami idaman. Ia tampan rupawan, baik hati, finansialnya juga tidak buruk. Namun entah mengapa Kiran seperti memiliki satu sekat dalam hati yang belum bisa ia buka.“Maafkan aku, Rei-San.”“No, you shouldn’t.” Pria itu masih tersenyum, memandangi Kiran dengan lembut sekali. “Aku bilang, aku akan menunggu. Tidak masalah u
**Hari sudah cukup larut ketika Kiran memastikan putranya sudah tidur lelap. Ia menutup pintu kamar pelan-pelan sebelum melangkah dalam hening, ke arah luar ruangan. Tak ada siapapun di rumah itu, sebab Mila belum pulang dari kafe. Kiran memilih langsung pulang ke rumah setelah jalan-jalan bersama Reita dan Axel tadi sore tanpa mampir ke tempat kerjanya lebih dahulu, sebab ia lelah. Lelah hati dan pikiran.“Axel sudah tidur?” Reita meletakkan ponsel yang sedang menyala dalam genggaman tangannya begitu melihat Kiran datang. Pria itu sedang duduk di sofa ruang tamu yang berpenerangan lembut temaram.Kiran mengangguk, menjawabnya, “Sudah. Terimakasih banyak, Rei-San. Terimakasih sudah menggendongnya sampai ke kamar, padahal Axel sudah besar dan pasti berat.”Reita hanya tertawa kecil. Benar, pria itu tadi menggendong Axel dari stasiun hingga ke rumah karena si bocah sudah kelelahan dan tertidur dalam perjalanan pulang.“Aku tidak pernah keberatan, Kiran-Kun.”Kiran mengulum senyum. “And
**Mila terdiam mendengar pertanyaan itu. Ia memandang keponakannya dengan intens. Namun, ia pikir sebaiknya memang segera meluruskan semua ini sebelum segalanya menjadi semakin berlarut-larut. Maka, wanita itu menghela napas.“Sebelumnya, Tante tanya, Ki. Apakah kamu dan Reita sudah memiliki ikatan? Kalian menjalin hubungan?”Pandangan Kiran naik perlahan, beradu tatap dengan tantenya. “Dia memang menyatakan perasaannya kepadaku, Tan. Hari ini.”“Dan kamu jawab apa?”“Aku bilang, aku masih nggak bisa memutuskan. Tapi dia juga bilang dia nggak buru-buru. Dia akan nunggu aku sampai aku bisa balas perasaannya.”“Kamu suka sama dia? Menurutmu, kamu akan jawab apa nantinya?”Kiran diam dan mengalihkan pandang kepada langit-langit ruangan yang temaram. “Itulah, aku aja ragu sama diriku sendiri.”Sekali lagi hela napas terdengar dari sekitar Mila. Wanita itu berujar pelan. “Karena ternyata Karan juga masih mengharapkan kamu. Dia memang datang untuk mencarimu.”“Dia sudah punya keluarga,” tu