**Karan tertegun di depan sebuah rumah. Ia menatap kosong kepada bangunan yang terlihat sangat sunyi tersebut. Netra gelapnya bergetar, menelisik setiap sudut rumah yang walaupun sepi bagai tak berpenghuni, namun tampak rapi itu. Ragu-ragu, dengan hati sesak dan kaki yang seperti tidak bisa digerakkan ia mencoba menarik pintu gerbangnya hingga terbuka. Bersamaan dengan itu, seorang perempuan separuh baya muncul dari bagian samping halaman rumah tersebut.“Selamat siang,” sapa Karan dengan senyum yang dipaksakan.“Siang.” Perempuan itu menyahut, mendekat dengan raut wajahnya yang tampak heran. “Cari siapa ya, Mas?”“Ah, apa benar ini rumahnya Kiran, Bu? Kiran Cahya Rengganis?”Wanita itu mengerutkan alis sebelum menjawab. Pandangan matanya menelisik Karan dari atas ke bawah. Karan sama sekali tidak mengenal wanita ini, namun jika ditatap seperti itu, ia jadi merasa punya kesalahan pribadi kepadanya.“Bu?”“Ah, ya.” Wanita itu terkesiap sedikit. “Ya, ini rumah almarhum kedua orang tua
**Karan tercenung di tepian jendela, menatap hamparan langit biru dan awan-awan kapas yang mengapung rendah di sampingnya. Pandangannya kosong, terombang-ambing di atas ketinggian tiga puluh lima ribu kaki di atas daratan bersama pesawat besar serta puluhan penumpang di dalamnya. Ia berangkat, akhirnya. Menyusul sosok yang sempat ia sia-siakan hingga pergi sejauh ini. Ia menghela napas, terasa sekali sesak yang menghimpit dada. Karan sama sekali tidak berani berekspektasi lebih selain bisa menemukan Kiran. Itu saja. Meski ia juga sama sekali tidak tahu di bagian sebelah mana Jepang mantan istrinya berada. Ia sama sekali tidak mau berharap banyak perempuan itu masih mau kembali kepadanya. Karan tahu sakit yang ia goreskan pada hati Kiran terlalu dalam untuk dimaafkan.“Kalau nggak salah, nama kotanya Kyoto ….”Hanya itu yang Karan bisa jadikan pegangan. Sepotong informasi dari wanita yang menempati rumah lama Kiran. Kyoto saja, tanpa ada petunjuk yang lain. Jadi, lewat jalan yang mana
**Axel kecil mendudukkan diri di kursi kafe paling sudut. Ia letakkan tas sekolahnya di sana, kemudian menaikkan celana panjang yang ia kenakan dengan hati-hati. Kedua netra bulatnya yang berbinar bening memandang baik-baik lututnya yang ternyata mendapat sedikit memar merah.“Oh, ini nggak apa-apa,” gumamnya dengan kepala mengangguk-angguk. “Axel is okay.”“Axel-Chan apa lututnya luka? Apakah sakit?” Reita datang, meletakkan segelas susu di hadapan si bocah sebelum berjongkok dan turut memandangi kedua kaki mungil itu.“Ie.” Axel menggeleng. “Tidak luka, Sensei. Tidak apa-apa.”“Lain kali hati-hati, hm? Memangnya kenapa tadi lari-lari begitu?”“Arisu mengejarku. Dia pegang ulat bulu, aku kan takut.”Sebentar kemudian, celoteh riang Axel tentang teman-teman sekolahnya mulai mengalir. Ditanggapi dengan senang hati oleh Reita yang sudah berpindah tempat duduk ke samping si bocah. Dari kejauhan, Kiran memandang keduanya dengan senyum mengembang di bibir. Hanya melihat putranya ceria sep
**Kiran memasukkan beberapa box plastik berisi beberapa jenis makanan ke dalam tote bag yang sudah ia siapkan. Memeriksa sekali lagi apa-apa yang sudah ia bawa, sebelum beralih kepada Mila yang sedang berada di pantry.“Tante, maaf ya, aku tinggal pergi sebentar,” ucapnya dengan nada penuh sesal. Membuat wanita yang sedang sibuk dengan panci-panci besar itu meninggalkan kegiatannya sejenak. Mila keluar dari pantry dan menghampiri sang keponakan.“Lama juga nggak apa-apa, sih.”“No, aku cuma akan jemput Axel dan temenin dia makan siang aja, kok.”“Dan kencan sama Pak Reita yang ganteng.”“Tante, please.”Mila tertawa renyah. Senang hati saat melihat wajah cemberut keponakan tercintanya. Akhir-akhir ini, hobi Mila adalah menggoda Kiran terkait kedekatannya dengan pak guru tampan itu. Meski yang bersangkutan sendiri selalu berusaha menampik.“Asal kamu tau aja, Tante malah akan dengan senang hati mengizinkan kalaupun kamu mau makan siang di luar setiap hari sama Pak Rei, Ki. Tante senen
**Dua minggu sudah.Karan termenung di bangku taman yang kini sudah menjadi tempat favoritnya. Dua minggu berlalu, dan ia sama sekali belum menemukan jejak Kiran yang seperti hilang ditelan semesta. Karan bahkan sudah mencarinya lewat media sosial setiap malam. Namun nihil, bahkan jejaknya saja tak ada yang tahu.“Mungkin aku memang salah tempat,” gumamnya sementara mengawasi sepasang burung gereja yang beterbangan dengan riang gembira di dekatnya. “Mungkin Kiran memang nggak ada di sini. Karena jujur saja, aku nggak membawa informasi apapun. Hanya nekat datang ke sini dan mencari sebisaku.”Pria itu menghela napas sembari menyandarkan punggungnya di sandaran kursi taman. Pandangannya menerawang, mengitari sudut-sudut taman yang terasa hening pada siang hari seperti ini. Ia baru bergerak saat ponselnya berdering nyaring. Pria itu menengok layarnya sekilas sebelum menerima panggilannya.“Halo, Ibu?” Benar, itu Soraya yang menelepon.“Karan?”“Iya, Bu.”“Sudah ada kemajuan, Nak? Kamu m
**“Mas Karan?”Kiran menyipitkan mata, mencoba memandang siluet itu, menembus halimun pekat yang menyelubungi semesta. Gelap sekali, bahkan Kiran tidak tahu apakah ini siang atau malam.“Mas Karan, apa itu kamu?” Kiran yakin, namun tidak yakin. Hanya siluet yang bisa ditangkap oleh penglihatannya. Namun hanya dari siluet saja, ia yakin bahwa itu adalah bayangan mantan suaminya. Ya, ia masih mengingat dengan baik bagaimana postur mantan prianya.Perempuan itu maju selangkah untuk mendapatkan atensi yang lebih baik. Benar, perlahan kabut pekat mulai tersingkap, menampakkan rupa dari siluet yang sedari tadi mengusik rasa ingin tahunya. Kiran terkesiap, kedua netranya membulat penuh. Ya, benar. Itu adalah Karan. Karan Raditya Gathfan, mantan suaminya.“Mas Karan, kamu lagi apa di sini?”Ia mendekat, sosok itu. Menampakkan dengan jelas raut wajahnya yang tampan, masih sama seperti yang terakhir Kiran lihat.“Kiran?”“Mas, kamu kenapa ada di sini?”“Aku mencarimu. Aku mencarimu ke mana-man
**Pria keturunan Jepang-Korea bermarga Lee itu tersenyum senang saat sekali lagi memandang benda di tangannya. Berbinar-binar, berkilauan, dan tampak elegan. Sebuah cincin perak dengan desain sederhana yang bertahtakan berlian kecil pada permukaannya.“Utsukushidesu yo ne, Axel-Chan?” Reita tunjukkan cincinnya kepada Axel untuk meminta pendapatnya, bagaimana menurut si bocah kecil cincin tersebut.Axel yang sedang menjilati es krim menoleh, menjatuhkan atensi dengan serius kepada benda berkilau yang dipegang sang sensei.“Bagus sekali, Sensei.” Axel mengangguk-angguk. “Tapi itu seharusnya dipakai orang perempuan, kan? Sensei suka yang seperti perempuan, ya?”Reita terkekeh geli mendengar itu. Axel polos dan pintar, selalu berhasil membuat suasana hati Reita menjadi bagus dengan kata-katanya yang jujur apa adanya.“Menurut Axel, siapa yang seharusnya memakai ini?”“Hum?”“Sensei mau memberikan ini kepada seorang perempuan. Menurutmu harus diberikan kepada siapa, Axel-Chan?”Kedua bola
**Karan menemukannya, tempat itu.Ia berdiri dengan gamang di depan sebuah kafe yang tampak nyaman dan estetik. Ragu-ragu untuk melangkah ke dalam, sebelum ingat bahwa ia menempuh perjalanan yang cukup sulit untuk ke sini.“Apa yang aku harapkan?” Ia bergumam, menatap nyalang tempat itu. Rasa hatinya hampa mengingat bahwa tidak akan ia temukan apa yang ia cari di tempat ini. Orang Indonesia ibu si bocah yang ia temui di taman waktu itu, bernama Mila Dewanti. Sudah sangat jelas dituliskan dalam artikel yang dibacanya dalam mesin pencari. Namun, Karan pikir tak ada salahnya mampir sejenak. Kalaupun tak ada Kiran, ia bisa menyapa si bocah dan menanyakan siapa namanya, kan?“Irasshaimase ….”Suara ramah itu menyapa pendengaran saat Karan melangkahkan kakinya masuk. Ia memaksakan diri untuk tersenyum kepada seorang wanita yang sepertinya berusia pertengahan tiga puluhan, yang membungkuk menyambutnya. Dan ya, wajahnya sangat Indonesia. Karan pikir inilah orangnya, owner tempat ini. Mila De
**Musim Panas, South Carolina.Emily menekan tombol bel apartemen Reita. Menunggu beberapa saat hingga si empunya apartemen membukakan pintu untuknya. “Hai, Rei,” sapa gadis itu sembari memamerkan senyum manisnya yang biasa.“Em?”“Sibuk?”“Tidak, aku sedang berkemas. Masuklah.”Raut wajah Emily seketika berbeda setelah mendengar kata-kata terakhir Reita. Ia melangkah masuk, dan mendapati sebuah koper besar yang terbuka di atas lantai.“Reita, kau berkemas?”“Yup. Aku akan pulang ke Jepang liburan musim panas ini.” Reita menjawab ringan dengan masih sibuk memilah ini itu. Tidak memperhatikan sama sekali wajah si gadis yang mendadak saja berubah menjadi mendung.“Kau sendiri akan ke mana, Em? Apakah sudah ada rencana?”Emily diam-diam memasukkan lagi dua lembar kertas yang tadinya akan ia tunjukkan kepada lelaki itu. Ia beranjak mendudukkan diri di sofa dan memilih memperhatikan Reita dari kejauhan saja.“Aku? Aku tidak pernah liburan ke mana-mana. Aku akan bekerja part time saja unt
**Musim dingin, South Carolina.Lebih dari satu musim Reita Lee meninggalkan Kyoto yang tenteram dan damai untuk mengasingkan diri ke negeri Paman Sam yang justru sebenarnya bukan tujuan tepat. Seratus delapan puluh derajat berbeda dengan tempat asalnya, negeri matahari terbit yang penuh sopan santun. Beruntungnya, Reita memilih negara bagian Carolina selatan yang cukup ramah dan tenang jika dibanding dengan negara lain Amerika.Lebih dari satu musim berlalu, dan bahkan pria itu sudah menyingkir ke belahan bumi yang lain, namun ia belum juga bisa menghapus bayangan perempuan dari Indonesia itu. Kiran Cahya Rengganis, yang begitu ia kagumi sebab ketangguhannya menghadapi hidup.Reita merapatkan coat yang ia kenakan. Awal November datang, mengirim awan-awan kelabu yang sehari-hari bakal menumpahkan berjuta-juta kubik air langit dari pagi hingga malam. Hawa dingin dan muram memenuhi sudut kota indah itu.“I hate winter,” gerutu pria itu seraya mengamankan diri ke sebuah factory outlet s
**“Pingsan lagi?”Karan sedang berada di kantor tempatnya bekerja saat mendapat telepon dari Mila. Tantenya itu mengatakan bahwa sang istri pingsan lagi di kafe, namun menolak dibawa ke rumah sakit.“Sekarang gimana, Tan?”“Nggak bisakah kamu pulang aja, begitu?”Karan menengok arloji yang melingkari pergelangan tangannya. Mendapati bahwa jam kantor memang segera berakhir.“Aku akan minta izin pulang cepet, deh. Bilang sama Kiran, tunggu sebentar, gitu, ya?”“Cepetan ya, Kar.”Terburu-buru, Karan menghadap manajer sekaligus rekan kerjanya untuk meminta izin pulang beberapa menit lebih awal. Sebenarnya tidak perlu minta izin secara formal juga tak mengapa. Sebab kepala manajer tersebut adalah sahabat Karan sendiri.Jadi tempat pria itu bekerja sekarang adalah sebuah homestay sekaligus agen wisata yang ia kelola bersama kawannya, seorang pria berkebangsaan Inggris. Bisnis kecil yang belakangan prospeknya berkembang semakin bagus.“What’s going on?” Pria bule bernama Steve itu bertanya
**Kiran sebelumnya tidak pernah berani berekspektasi, apa yang terjadi saat sepasang pengantin baru berbulan madu. Pernikahan pertamanya dengan Karan dulu berjalan dengan amat suram, ingat?Jangankan bulan madu, tidur satu ranjang pun tidak terjadi. Meski pada akhirnya malam pertama itu tetaplah berlangsung, namun sudah lewat berbulan-bulan sejak hari pernikahan mereka. Tetaplah beda rasanya dengan yang sengaja melewatkan bulan madu dan malam pertama pada hari-hari pertama pernikahan.“Nikmati saja waktu kalian, nggak usah khawatir sama Axel. Tante yang akan jaga dia, meskipun kalian tinggal bulan madu satu bulan penuh,” goda Mila, beberapa hari setelah Kiran dan Karan sah sebagai sepasang suami istri.“Ah, Tante apa-apaan, sih.” Perempuan itu berusaha menyembunyikan rona wajahnya yang jelas tergambar di kedua pipi. Membuat Mila tergelak keras.“Aku sih gas aja mau berapa lama pun, Tan. Asal Kiran mau aja,” celetuk Karan, menambah panas suasana saja.“Kalian berdua emang pro banget k
**Kiran masih bisa mengingat dengan jelas, hari pernikahan pertamanya dengan Karan yang penuh dengan rasa sedih dan putus asa. Bagaimana pria itu tak henti melemparkan tatapan atau kata-kata yang sarat kebencian kepadanya. Bagaimana ia dengan sangat takut mencium tangan pria itu saat pak penghulu mengucap kata sah untuk pertama kalinya.Kemudian pada malam pertama, di mana ia harus tinggal satu kamar dengan Karan, kemudian hanya kata-kata menyakitkan hati yang ia terima alih-alih suasana hangat pengantin baru.Sekarang, pada pernikahan yang kedua, Kiran merasakan gugup pada skala yang sama, namun dengan suasana hati yang sangat amat berbeda. Gugup yang ini adalah … gugup yang menyenangkan. Ia takut sekali, namun juga tidak sabar.“Apa Mama takut? Mama takut apa?” Axel mendekat. Bocah kecil itu sudah berdandan dengan rapi. Nanti, Axel akan ikut ke kantor KBRI untuk mendapatkan surat pernyataan menikah dan beberapa prosedur lain yang harus dilakukan sebagaimana warga negara Indonesia y
**“Mas, jangan begini.” Kiran mendorong pelan bahu yang lebih tua. “Kita bukan lagi sepasang suami istri yang sah. Nggak enak kalau ada yang lihat nanti. Apalagi, ini udah tengah malam.”Membuat pelukan erat Karan terpaksa harus lepas meski ia menampakkan wajah yang sangat tidak rela.“Aku masih kangen,” gerutu pria itu pelan, “Apa nggak boleh kalau aku menginap di sini?”“Jangan sembarangan, Mas. Jangan kayak anak muda gitu, lah. Udah, sana pulang aja, kamu!”Karan mencebikkan bibir, membuat satu yang lain mau tak mau jadi gemas. Kiran bahkan sudah lupa kalau mantan suaminya ini pada suatu waktu yang lampau pernah memiliki sikap yang clingy begini.“Serius, aku nggak boleh menginap? Tetangganya pada jauh, kok. Nggak akan ada yang lihat.”“Mas, jangan macam-macam. Pulang sekarang, atau kamu nggak boleh datang lagi sama sekali?”Pria rupawan itu tertawa kecil. Ia raih kembali sang mantan istri ke dalam pelukan hangat serta mendaratkan kecupan singkat pada puncak kepala perempuan itu.
**Kiran menemukan Mila sedang berada di dapur rumah. Perempuan itu tidak peduli sang tante sedang apa, ia menabrak tubuhnya dan memeluknya dari belakang. Diam dengan posisi seperti itu sampai beberapa saat waktu berlalu. “Kiran, hei … kok tiba-tiba?”Kiran tenggelamkan wajahnya di punggung sang tante sembari mendengung tidak jelas. Entah apa yang ia katakan.“Apa, sih? Tante nggak dengar kamu ngomong apa. Sini, biar Tante balik badan dulu, eh!”Perempuan itu mundur perlahan, membiarkan Mila membalikkan tubuh dan menghadap ke arahnya. Menemukan wajah yang lebih muda terlihat membara seperti sedang terkena demam.“Kamu baik-baik saja? Kok wajahnya merah begitu? Apa jangan-jangan kamu kedinginan? Karan biarin kamu di luar ruangan terlalu lama?”Tadinya, Kiran kan berpamitan untuk bertemu dengan Karan sebentar. Ketika pulang, kenapa keadaannya seperti ini?“Tante ….”“Gimana, Ki?”“Aku nggak menemukan alasan untuk menolak dia lagi.”Nah, sampai di titik ini, Mila akhirnya mengerti walau
**“Axel sudah sembuh, Mama. Ayo kita pulang sekarang.”Bocah manis itu berujar dengan gembira setelah dua hari penuh berada di rumah sakit. Ia sudah kembali sehat dan ceria seperti biasa.“Mama, Axel mau sekolah. Axel boleh sekolah, kan?”“Jangan dulu.” Kiran mengusap surai hitamnya yang lembut. “Besok saja, ya. Kalau badannya sudah benar-benar enakan.”“Tapi sekarang nggak ada Rei-Sensei ya, Mama?” Axel bergumam, wajahnya mendadak murung saat menyebut nama Reita. “Nggak ada yang antar Axel dan ajakin Axel jalan-jalan beli taiyaki lagi.”“Kan bisa sama Mama,” hibur Kiran sembari memberikan senyuman manis lagi. Dua tahun dekat seperti ayah dan anak, tak pelak meninggalkan kenangan yang pasti sulit dilupakan oleh bocah itu.“Kenapa Rei-Sensei pergi ya, Mama?”“Kan Rei-Sensei sudah bilang kalau mau sekolah lagi, Nak. Beliau sedang mengejar cita-cita, jadi kita semua harus mendukung.”“Nggak ada yang ajak Axel jalan-jalan lagi.”“Siapa bilang? Kan bisa jalan-jalan sama Papa.”Sepasang ib
**Kiran sungguh tidak ingin. Ia tidak ingin mendengar suara mantan suaminya, terutama pada tengah malam seperti ini. Namun suara rengekan lemah dari sang putra membuatnya tidak memiliki pilihan lain.“Telepon aja,” desak Mila, “Nggak ada salahnya, pun. Ini demi anak kalian.”Anak kalian? Betapa anehnya istilah itu. Kiran yang susah payah membesarkan Axel sendirian rasanya tidak rela jika ada yang menyebut bocah manis itu anak orang lain.“Kiran, ayolah. Apa lagi yang kamu tunggu?”“Baiklah, baiklah.” Kesal, namun Kiran tidak bisa menolak. Ia kemudian menjauh sementara mendial nomor ponsel Karan yang sebelumnya sudah disimpan Mila di sana. Setengah berharap pria itu sudah jauh terlelap dan tidak akan mengangkat panggilannya. Namun apa yang terjadi, justru pada dengung nada sambung detik pertama, teleponnya seketika diangkat.“Kiran?” Suara husky itu terdengar dari seberang, membuat Kiran buru-buru berdehem untuk mengatasi gugup. “Ada apa, Kiran? Kenapa menelepon malam-malam?”“Sorry,