**Kiran tercenung di depan meja kerjanya. Tatapannya kosong, menerawang layar ponsel di mana sebuah foto terpampang di sana. Foto seorang perempuan berusia sekitar akhir tiga puluhan yang sedang tersenyum lebar kepada kamera. Jari-jari tangan perempuan itu membentuk huruf V.Itu Mila, seorang tante, saudara jauh ibu kandungnya yang saat Kiran kecil dulu, sempat tinggal bersama sebab orang tuanya bercerai. Secara kebetulan yang ajaib, belakangan ini Mila menemukan kontak Kiran lewat akun media sosial, dan beberapa saat berikutnya, keduanya telah bertukar kabar dan saling melepas rindu melalui ponsel.“Kiran, mau ya menyusul Tante di sini. Tante juga hidup sendirian di sini. Tante akan senang sekali kalau ada teman. Jangan khawatir, Tante yang akan belikan tiket pesawatnya. Nanti Tante jemput di bandara. Kamu dan putramu. Mau, ya?”Itu sungguh tawaran yang patut dipertimbangkan. Kiran juga tak menyangka akan menemukan lagi saudara lamanya yang telah sekian tahun ia lupakan. Dan hidup b
**Kiran melayangkan pandangan penuh tanya kepada ibu mertuanya. Meminta penjelasan secara nonverbal dari wanita yang berada di sampingnya itu.“Ibu?”“Ah, Kiran … jadi begini.”Kiran kembali mengalihkan atensi lambat-lambat ke arah ambang pintu kamar. Sang mantan suami masih berdiri di sana dengan ekspresi rumit. Kiran mengernyit, menelisik sosok yang sama sekali tidak memandangnya balik itu. Entah mengapa Kiran pikir keadaan pria itu tidak sedang baik-baik saja, dan karenanya hati Kiran sakit sekali. Karan terlihat kurus dan menyedihkan.Hanya sekian menit berdiri di sana, pria itu kemudian kembali masuk dan menutup pintu kamarnya rapat-rapat.“Ibu, bisa jelaskan ini sama aku?” desak Kiran dengan suara menuntut. “Jadi karena ini Ibu meminta aku datang? Ini maksud Ibu berkata sebenarnya ini bukan urusanku, kemarin?”Soraya menghela napas. Tampak mencari celah, dari mana sebaiknya ia ceritakan semua ini. Menantunya tidak tampak baik.Namun sebelum wanita itu mengatakan apapun, suara d
**Pergilah yang jauh, dan jangan pernah berpikir untuk kembali lagi.Kiran masih sesekali terisak. Masih sesekali pula mengusap air mata yang satu dua kali lolos dari ujung netra sembabnya. Ia mengalihkan pandang pada jendela, yang mana sedang menampakkan gulungan samudera awan. Putih, bergulung-gulung, dan sesekali melayang begitu dekat dengan jendela tempatnya termenung. Ia menghindari memandang Axel yang seperti mengerti, diam seribu bahasa walau tidak sedang tidur. Benar kata orang, ikatan batin ibu dan anak itu begitu erat. Axel tahu bahwa hati sang ibunda sedang runtuh berkeping-keping menjadi seribu serpihan. Bayi laki-laki itu hanya lekat menatap sang ibu dalam diam sejak tadi bertolak dari bandara.Di sini akhirnya ibu dan anak itu. Berada di atas ketinggian tiga puluh lima ribu kaki di atas hamparan biru Laut China Selatan. Tujuh atau delapan jam melayang di angkasa, demi melupakan cinta pertama yang tak pernah berbalas. Tragis sekali.Kembali terlintas dalam benak, betapa
**Empat Tahun Kemudian.“Mama!”Kiran mengalihkan atensi dari panci-panci berisi sup miso yang berada di hadapannya. Senyum lebarnya merekah kala mendapati bocah tampan berusia hampir lima tahun yang berlari mendekatinya. Kiran membungkuk dan menyambut si bocah dalam pelukan.“Axel-Chan, sudah pulang, Baby?” Perempuan itu mengecup singkat pipi gembil putranya yang merah merekah sebab udara panas dan terlalu bersemangat.“Sudah, Mama. Tadi Rei-Sensei yang antar Axel pulang. Itu orangnya di sana, tuh.” Bocah tampan itu menunjuk pintu masuk kafe di mana ibu dan anak itu berada. Seorang laki-laki yang berparas seperti seorang idol tampak berdiri kikuk dan tersenyum di sana. Kiran tercenung sesaat sebelum menegakkan tubuh dan mulai melangkah mendekati pria tersebut.“Ah, Rei-Sama?”“Tolong jangan memanggilku begitu.” Pria itu menampilkan wajah tidak setuju segera. “Jangan terlalu formal, oke? Aku hanya gurunya Axel-Chan.”“Ah, emm ….” Kiran tersenyum, ia menundukkan kepala singkat, khas o
**“Bapak Karan, tanda tangannya sebelah sini, Pak.”Karan terkesiap, ia sesegera mungkin mengembalikan fokusnya yang beberapa saat yang lalu sempat melantur entah ke mana. Pria itu buru-buru mengambil pena dan membubuhkan tanda tangannya di kotak kecil di bagian kertas yang paling bawah, yang disodorkan oleh sekretarisnya.“Pak, untuk meeting evaluasi besok, bahan presentasinya sudah saya kirimkan via email. Bisa mohon Bapak periksa dulu?” Perempuan muda itu berujar selepas menarik kembali kertas yang telah Karan tanda tangani. Sang bos kemudian menghela napas lelah.“Saya akan periksa, tapi untuk meeting besok, bisa tolong kamu aja yang pimpin?”“Saya?” Si sekretaris mengerutkan kening dengan khawatir. “Bapak berhalangan hadir, kah? Bapak baik-baik saja?” “Baik-baik aja. Hanya belakangan ini sering pusing.”“Bapak yakin baik-baik saja? Perlu saya kontak dokter, Pak? Atau bapak mau diantarkan periksa ke rumah sakit?”Karan menggeleng singkat sementara berusaha tersenyum. “No need. M
**"Akh, astaga!"Kiran terkejut saat permukaan tipis logam terasa menembus permukaan kulitnya. Perempuan itu segera meletakkan pisau besar yang sedang ia pegang. Setitik cairan merah segar menetes dari ujung jarinya yang tergores."Udah tua begini, pegang pisau masih aja kena. Dasar!" gerutunya kepada diri sendiri sementara beranjak dari counter dapur kafe. Melangkah menuju kotak P3K di sisi lain dinding dapur.Perempuan itu kemudian berjinjit untuk mengaduk isi kotak kayu berwarna putih yang terbuka di hadapannya. Berharap menemukan plester untuk menutupi luka di ujung jari yang kini mulai terasa perih. Namun, tak ia temukan benda tersebut di sana."Oke, baiklah. Plesternya habis. Mungkin aku harus lari sebentar buat beli di minimarket depan–""Tadaima! Oka-San!""Oh?" Kiran terkejut saat suara riang gembira terdengar dari arah pintu. Perempuan itu melupakan luka di ujung jarinya dan segera mengayun langkah ke arah sana. Mendapati putra tercintanya yang baru datang. "Ah, okaeri, Axe
**“Watashi, Kiran.”Musik ceria dan celoteh riang anak-anak yang berada di sekitar sana, mendadak seperti di-mute oleh semesta. Dalam senyapnya rasa, Kiran diam tertegun. Ia menatap lurus kepada manik gelap yang dibingkai kelopak sipit itu. Untuk beberapa saat, keduanya hanya diam dan saling memandang, hingga kemudian Kiran perlahan mengalihkan atensi sebab tak lagi mampu menyelami dalamnya samudera di balik netra Reita yang masih menyorot teduh.“Ahahaha … domo arigatou, Rei-Sensei. Saya merasa tersanjung.” Perempuan itu menggaruk tengkuk dengan jengah. Berusaha keluar dari situasi awkward yang bagaimanapun tidak bisa keduanya hindari setelah pengakuan Rei tadi. Kiran adalah seorang introvert yang agak sulit mencairkan suasana, ingat?“Kiran tidak menyukaiku, ya?”Dua kali tertegun. Perempuan itu hanya bisa mengedipkan mata sementara berusaha merangkai kata-kata untuk disampaikan. “Tentu saja saya menyukai anda, Rei-San. Anda sangat baik kepada saya dan Axel. Dan juga, sangat tampan
**“Tante, aku nggak bisa mencintai dia.”Kiran terdiam dan menunduk. Entah mengapa tidak berani memandang sang tante yang juga tidak menyuarakan apapun. Keheningan yang mengisi suasana terasa sangat tidak nyaman, namun Kiran benar-benar tidak memiliki apapun untuk dikatakan lagi.Hingga akhirnya suara pelan Mila yang mengakhiri kebisuan itu. “Ah, begitu ya? Kamu nggak suka sama dia?”“Bukan nggak suka, tapi nggak cinta, Tan. Dua hal itu punya dua konteks yang berbeda, kan?” Kali ini, Kiran memberanikan diri mengangkat wajah. Dan ya, sang tante sedang menatapnya lurus.“Tapi kamu masih ada keinginan untuk bersama dia, kan?”“Aku ….”Mila memandang lekat kepada sang keponakan. Menunggu jawaban apa yang sekiranya akan disampaikan oleh perempuan itu. Namun hingga beberapa saat lamanya, Kiran masih juga terdiam, tak mengatakan apapun. Meski demikian, Mila paham apa yang terjadi.“Nggak masalah kalau kamu nggak mencintai Pak Rei sekarang. Kalau kamu kasih dia kesempatan, rasa cinta itu aka
**Musim Panas, South Carolina.Emily menekan tombol bel apartemen Reita. Menunggu beberapa saat hingga si empunya apartemen membukakan pintu untuknya. “Hai, Rei,” sapa gadis itu sembari memamerkan senyum manisnya yang biasa.“Em?”“Sibuk?”“Tidak, aku sedang berkemas. Masuklah.”Raut wajah Emily seketika berbeda setelah mendengar kata-kata terakhir Reita. Ia melangkah masuk, dan mendapati sebuah koper besar yang terbuka di atas lantai.“Reita, kau berkemas?”“Yup. Aku akan pulang ke Jepang liburan musim panas ini.” Reita menjawab ringan dengan masih sibuk memilah ini itu. Tidak memperhatikan sama sekali wajah si gadis yang mendadak saja berubah menjadi mendung.“Kau sendiri akan ke mana, Em? Apakah sudah ada rencana?”Emily diam-diam memasukkan lagi dua lembar kertas yang tadinya akan ia tunjukkan kepada lelaki itu. Ia beranjak mendudukkan diri di sofa dan memilih memperhatikan Reita dari kejauhan saja.“Aku? Aku tidak pernah liburan ke mana-mana. Aku akan bekerja part time saja unt
**Musim dingin, South Carolina.Lebih dari satu musim Reita Lee meninggalkan Kyoto yang tenteram dan damai untuk mengasingkan diri ke negeri Paman Sam yang justru sebenarnya bukan tujuan tepat. Seratus delapan puluh derajat berbeda dengan tempat asalnya, negeri matahari terbit yang penuh sopan santun. Beruntungnya, Reita memilih negara bagian Carolina selatan yang cukup ramah dan tenang jika dibanding dengan negara lain Amerika.Lebih dari satu musim berlalu, dan bahkan pria itu sudah menyingkir ke belahan bumi yang lain, namun ia belum juga bisa menghapus bayangan perempuan dari Indonesia itu. Kiran Cahya Rengganis, yang begitu ia kagumi sebab ketangguhannya menghadapi hidup.Reita merapatkan coat yang ia kenakan. Awal November datang, mengirim awan-awan kelabu yang sehari-hari bakal menumpahkan berjuta-juta kubik air langit dari pagi hingga malam. Hawa dingin dan muram memenuhi sudut kota indah itu.“I hate winter,” gerutu pria itu seraya mengamankan diri ke sebuah factory outlet s
**“Pingsan lagi?”Karan sedang berada di kantor tempatnya bekerja saat mendapat telepon dari Mila. Tantenya itu mengatakan bahwa sang istri pingsan lagi di kafe, namun menolak dibawa ke rumah sakit.“Sekarang gimana, Tan?”“Nggak bisakah kamu pulang aja, begitu?”Karan menengok arloji yang melingkari pergelangan tangannya. Mendapati bahwa jam kantor memang segera berakhir.“Aku akan minta izin pulang cepet, deh. Bilang sama Kiran, tunggu sebentar, gitu, ya?”“Cepetan ya, Kar.”Terburu-buru, Karan menghadap manajer sekaligus rekan kerjanya untuk meminta izin pulang beberapa menit lebih awal. Sebenarnya tidak perlu minta izin secara formal juga tak mengapa. Sebab kepala manajer tersebut adalah sahabat Karan sendiri.Jadi tempat pria itu bekerja sekarang adalah sebuah homestay sekaligus agen wisata yang ia kelola bersama kawannya, seorang pria berkebangsaan Inggris. Bisnis kecil yang belakangan prospeknya berkembang semakin bagus.“What’s going on?” Pria bule bernama Steve itu bertanya
**Kiran sebelumnya tidak pernah berani berekspektasi, apa yang terjadi saat sepasang pengantin baru berbulan madu. Pernikahan pertamanya dengan Karan dulu berjalan dengan amat suram, ingat?Jangankan bulan madu, tidur satu ranjang pun tidak terjadi. Meski pada akhirnya malam pertama itu tetaplah berlangsung, namun sudah lewat berbulan-bulan sejak hari pernikahan mereka. Tetaplah beda rasanya dengan yang sengaja melewatkan bulan madu dan malam pertama pada hari-hari pertama pernikahan.“Nikmati saja waktu kalian, nggak usah khawatir sama Axel. Tante yang akan jaga dia, meskipun kalian tinggal bulan madu satu bulan penuh,” goda Mila, beberapa hari setelah Kiran dan Karan sah sebagai sepasang suami istri.“Ah, Tante apa-apaan, sih.” Perempuan itu berusaha menyembunyikan rona wajahnya yang jelas tergambar di kedua pipi. Membuat Mila tergelak keras.“Aku sih gas aja mau berapa lama pun, Tan. Asal Kiran mau aja,” celetuk Karan, menambah panas suasana saja.“Kalian berdua emang pro banget k
**Kiran masih bisa mengingat dengan jelas, hari pernikahan pertamanya dengan Karan yang penuh dengan rasa sedih dan putus asa. Bagaimana pria itu tak henti melemparkan tatapan atau kata-kata yang sarat kebencian kepadanya. Bagaimana ia dengan sangat takut mencium tangan pria itu saat pak penghulu mengucap kata sah untuk pertama kalinya.Kemudian pada malam pertama, di mana ia harus tinggal satu kamar dengan Karan, kemudian hanya kata-kata menyakitkan hati yang ia terima alih-alih suasana hangat pengantin baru.Sekarang, pada pernikahan yang kedua, Kiran merasakan gugup pada skala yang sama, namun dengan suasana hati yang sangat amat berbeda. Gugup yang ini adalah … gugup yang menyenangkan. Ia takut sekali, namun juga tidak sabar.“Apa Mama takut? Mama takut apa?” Axel mendekat. Bocah kecil itu sudah berdandan dengan rapi. Nanti, Axel akan ikut ke kantor KBRI untuk mendapatkan surat pernyataan menikah dan beberapa prosedur lain yang harus dilakukan sebagaimana warga negara Indonesia y
**“Mas, jangan begini.” Kiran mendorong pelan bahu yang lebih tua. “Kita bukan lagi sepasang suami istri yang sah. Nggak enak kalau ada yang lihat nanti. Apalagi, ini udah tengah malam.”Membuat pelukan erat Karan terpaksa harus lepas meski ia menampakkan wajah yang sangat tidak rela.“Aku masih kangen,” gerutu pria itu pelan, “Apa nggak boleh kalau aku menginap di sini?”“Jangan sembarangan, Mas. Jangan kayak anak muda gitu, lah. Udah, sana pulang aja, kamu!”Karan mencebikkan bibir, membuat satu yang lain mau tak mau jadi gemas. Kiran bahkan sudah lupa kalau mantan suaminya ini pada suatu waktu yang lampau pernah memiliki sikap yang clingy begini.“Serius, aku nggak boleh menginap? Tetangganya pada jauh, kok. Nggak akan ada yang lihat.”“Mas, jangan macam-macam. Pulang sekarang, atau kamu nggak boleh datang lagi sama sekali?”Pria rupawan itu tertawa kecil. Ia raih kembali sang mantan istri ke dalam pelukan hangat serta mendaratkan kecupan singkat pada puncak kepala perempuan itu.
**Kiran menemukan Mila sedang berada di dapur rumah. Perempuan itu tidak peduli sang tante sedang apa, ia menabrak tubuhnya dan memeluknya dari belakang. Diam dengan posisi seperti itu sampai beberapa saat waktu berlalu. “Kiran, hei … kok tiba-tiba?”Kiran tenggelamkan wajahnya di punggung sang tante sembari mendengung tidak jelas. Entah apa yang ia katakan.“Apa, sih? Tante nggak dengar kamu ngomong apa. Sini, biar Tante balik badan dulu, eh!”Perempuan itu mundur perlahan, membiarkan Mila membalikkan tubuh dan menghadap ke arahnya. Menemukan wajah yang lebih muda terlihat membara seperti sedang terkena demam.“Kamu baik-baik saja? Kok wajahnya merah begitu? Apa jangan-jangan kamu kedinginan? Karan biarin kamu di luar ruangan terlalu lama?”Tadinya, Kiran kan berpamitan untuk bertemu dengan Karan sebentar. Ketika pulang, kenapa keadaannya seperti ini?“Tante ….”“Gimana, Ki?”“Aku nggak menemukan alasan untuk menolak dia lagi.”Nah, sampai di titik ini, Mila akhirnya mengerti walau
**“Axel sudah sembuh, Mama. Ayo kita pulang sekarang.”Bocah manis itu berujar dengan gembira setelah dua hari penuh berada di rumah sakit. Ia sudah kembali sehat dan ceria seperti biasa.“Mama, Axel mau sekolah. Axel boleh sekolah, kan?”“Jangan dulu.” Kiran mengusap surai hitamnya yang lembut. “Besok saja, ya. Kalau badannya sudah benar-benar enakan.”“Tapi sekarang nggak ada Rei-Sensei ya, Mama?” Axel bergumam, wajahnya mendadak murung saat menyebut nama Reita. “Nggak ada yang antar Axel dan ajakin Axel jalan-jalan beli taiyaki lagi.”“Kan bisa sama Mama,” hibur Kiran sembari memberikan senyuman manis lagi. Dua tahun dekat seperti ayah dan anak, tak pelak meninggalkan kenangan yang pasti sulit dilupakan oleh bocah itu.“Kenapa Rei-Sensei pergi ya, Mama?”“Kan Rei-Sensei sudah bilang kalau mau sekolah lagi, Nak. Beliau sedang mengejar cita-cita, jadi kita semua harus mendukung.”“Nggak ada yang ajak Axel jalan-jalan lagi.”“Siapa bilang? Kan bisa jalan-jalan sama Papa.”Sepasang ib
**Kiran sungguh tidak ingin. Ia tidak ingin mendengar suara mantan suaminya, terutama pada tengah malam seperti ini. Namun suara rengekan lemah dari sang putra membuatnya tidak memiliki pilihan lain.“Telepon aja,” desak Mila, “Nggak ada salahnya, pun. Ini demi anak kalian.”Anak kalian? Betapa anehnya istilah itu. Kiran yang susah payah membesarkan Axel sendirian rasanya tidak rela jika ada yang menyebut bocah manis itu anak orang lain.“Kiran, ayolah. Apa lagi yang kamu tunggu?”“Baiklah, baiklah.” Kesal, namun Kiran tidak bisa menolak. Ia kemudian menjauh sementara mendial nomor ponsel Karan yang sebelumnya sudah disimpan Mila di sana. Setengah berharap pria itu sudah jauh terlelap dan tidak akan mengangkat panggilannya. Namun apa yang terjadi, justru pada dengung nada sambung detik pertama, teleponnya seketika diangkat.“Kiran?” Suara husky itu terdengar dari seberang, membuat Kiran buru-buru berdehem untuk mengatasi gugup. “Ada apa, Kiran? Kenapa menelepon malam-malam?”“Sorry,